• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara mendapat hak kepemilikan atas tanah. Dalam rangka perolehan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Banyak cara mendapat hak kepemilikan atas tanah. Dalam rangka perolehan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak cara mendapat hak kepemilikan atas tanah. Dalam rangka perolehan dan peralihan hak atas tanah sebagai pengakuan eksistensi hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan cara, antara lain yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, zakat, membuka tanah baru, dan wakaf.1

Wakaf sebagai sebuah pranata yang berasal dari hukum Islam memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaan dan sosial umat Islam. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mempositifkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Peraturan hukum wakaf yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia dewasa ini, dapat dijumpai dalam buku III Kompilasi Hukum Islam. Selain mengatur aspek teknis secara prosedural, buku III Kompilasi Hukum Islam pun memperdalam aspek substantif mengenai wakaf secara umum. Serta dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu juga menerangkan tentang wakaf, baik dari pengertian maupun ketentuan atau syarat untuk nazhir.

Pengertian Wakaf sebagaimana dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat 1, Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan

1 Diakses pada : https://hutasoitislam.wordpress.com/tag/, Tanggal 26 Februari 2017, Pukul 14:00 WIB

(2)

2 melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama.2

Hal tersebut berarti suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian harta benda milik dan dilembagakan untuk selamanya bagi kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Benda milik yang dimaksud tidak hanya benda sekali pakai akan tetapi juga bernilai menurut ajaran Islam. Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat 4 menyatakan bahwa benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tanah yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.3

Wakaf adalah suatu bentuk amal yang pahalanya akan terus-menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Seperti tercermin dalam Firman Allah di dalam QS Al-Baqarah ayat 267 yang artinya wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, pada hal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan kamu akan mencicingkan mata padanya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.4

2 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215 ayat 1

3 Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 65

4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Penerbit J-ART, Bandung, 2004, Al- Baqarah ayat 267, Hlm 45

(3)

3 Wakaf juga sebagai usaha pembentukan watak kepribadian seorang muslim untuk melepaskan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai tinggi tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan dikalangan umat dan penanggulangan kemiskinan yaitu mengenai sasaran wakaf dalam ajaran Islam. Dengan demikian jika wakaf dikelola dengan baik tentu sangat menunjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial budaya, politik maupun pertahanan keamanan.5

Seperti diketahui di Indonesia hampir semua tempat ibadah umat Islam merupakan tanah wakaf. Bahkan banyak sarana pendidikan, rumah sakit dan sarana kepentingan umum lainnya merupakan tanah wakaf, dan jika tidak dikelola dengan baik akan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya tanah wakaf dapat digunakan untuk kepentingan umat disalahgunakan oleh orang- orang yang menginginkan tanah tersebut untuk memperkaya diri sendiri.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1 Ayat 1, Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.6

5 Diakses pada : https://hutasoitislam.wordpress.com/tag/, Tanggal 26 Februari 2017, Pukul 14:00 WIB

6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(4)

4 Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta‘ala dan untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Tidak hanya itu, wakaf merupakan amalan yang tidak akan terputus ketika seseorang meninggal dunia.

Artinya : Perbuatan manusia terputus apabila telah meninggal, kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akannya. (HR. Muslim).7

Menurut Asaf Fyee, bahwa sebelum agama Islam datang, di Arabia tidaklah dikenal lembaga wakaf. Akan tetapi, telah ada institusi yang serupa dengan institusi perwakafan, walaupun tidak memakai istilah wakaf. Hal ini diperkuat oleh pendapat Abdul Ghofur Anshori yang menyatakan bahwa, umat Islam telah terlepas dari agama dan kepercayaan yang mereka anut sebelumnya, dan telah mengenal beberapa bentuk praktik pendayagunaan harta benda. Substansinya tidak jauh beda dengan batasan makna wakaf dikalangan umat Islam. Hal ini didasarkan pada seluruh umat manusia di dunia yang telah menyembah Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan mereka. Hal tersebut, mendorong umat manusia untuk membuat tempat peribadatan mereka masing-masing.8

Selanjutnya mengenai pengelolaan benda wakaf, ditentukan dalam Pasal 227 Kompilasi Hukum Islam, bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nazhir dilakukan secara bersama-sama oleh Kantor Urusan Agama

7 Imam Muslim, Shahih Muslim, Syirkatul Ma’arif Littob’i Wannasyri, Bandung, 2010, hlm. 14

8 Rachmadi Usman, Op., cit, hlm. 53

(5)

5 Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.

Ini berarti pengawasan terhadap benda wakaf tidak hanya dilakukan oleh pihak eksekutif saja, tetapi bersama-sama antara pihak eksekutif dan yudikatif.

Sebagaimana dikemukakan di atas, benda wakaf bersifat kekal. Dalam arti, manfaat dari benda wakaf boleh dinikmati, tapi benda wakafnya sendiri tidak boleh ditiadakan. Timbul masalah, bagaimana seandainya harta wakaf tersebut sudah tidak bermanfaat lagi, ia akan menjadi lebih bermanfaat lagi apabila harta tersebut diubah peruntukannya.9

Menurut Pasal 225 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain yang dimaksud dalam ikrar wakaf.10 Sedangkan Pasal 225 ayat 2 menyebutkan penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat yaitu :

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

b. Karena kepentingan umum.

9 Al-Bukhari, Syarah Sahih al-Bukhari, Bairut, Bandung, 2009, hlm. 91

10 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 225 ayat 1

(6)

6 Perubahan tersebut pun dapat dilakukan, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at. Hal tersebut diperkuat dengan aturan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 41 disebutkan :11

(1) Bahwa harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’at.”

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.”

(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfa’at dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.”

Akan tetapi, di dalam kehidupan yang kompleks ini tidak terlepas dari adanya permasalahan. Tidak hanya dalam urusan rumah tangga saja sengketa dapat terjadi, melainkan dalam urusan wakaf pun perselisihan dapat terjadi. Biasanya perselisihan terjadi antara ahli waris wakif dengan nazhir, atau bahkan sengketa dalam penarikan harta benda yang sudah diwakafkan. Seharusnya dari pihak wakif sebelum mewakafkan hartanya, harus dipikir secara matang dan dirundingkan dengan ahli waris. Agar ahli waris mengetahuinya dan dari situlah ahli waris diharapkan tidak menarik kembali benda wakaf di kemudian hari. Sengketa tersebut biasanya diselesaikan melalui pengajuan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi.12

11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

12 Bakri, Hasbullah, Bunga Rampai Tentang Islam, Negara dan Hukum, CV. Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2007, hlm. 66

(7)

7 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 226 Kompilasi Hukum Islam, bahwa penyelesaian sengketa, sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nazhir mengajukannya ke Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.13

Sengketa wakaf dapat juga terjadi karena beberapa kemungkinan sebagai berikut :14

1. Kedangkalan pemahaman sebagian umat Islam tentang kedudukan dan arti harta wakaf, baik bagi wakif maupun masyarakat, sementara wakaf mempunyai dua dimensi yaitu ibadah dan sosial.

2. Harga tanah yang semakin melambung dapat menjadi pemicu timbulnya masalah wakaf.

3. Sewaktu melakukan ikrar wakaf, pihak wakif tidak memperhitungkan kondisi ekonomi pihak ahli waris yang akan ditinggalkan, sehingga seluruh hartanya atau sebagian besarnya diwakafkan. Akibatnya, terjadi pengingkaran oleh ahli warisnya.

4. Kondisi ekonomi pihak nazhir yang tidak menguntungkan sehingga mendorongnya untuk menyalahgunakan harta wakaf.

5. Kondisi nazhir yang tidak memahami bahwa penggunaan harta wakaf harus sesuai dengan tujuan pihak wakif.

6. Pihak yang berwakaf tidak secara tegas memberitahukan anak atau ahli warisnya bahwa tanah tertentu telah diwakafkan kepada pihak tertentu.

7. Nazhir bukan badan hukum, melainkan bersifat pribadi, sehingga lebih leluasa dan sekehendak hati mendayagunakan benda wakaf tanpa kontrol.

Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pada esensinya tidak jauh berbeda dengan Peratuaran Pemerintah No 42 Tahun 2006, hanya saja pada undang-undang tersebut memberikan alternatif penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase, dan jalan terakhir melalui pengadilan, dan pada

13 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 226

14 Suhrawardi K. Lubis dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika dengan UMSU Publisher, Jakarta, 2009, hlm. 168

(8)

8 dasarnya jalan utama dalam menyelesaikan sengketa wakaf adalah dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, seperti yang terdapat dalam Pasal 62 Undang- Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu :15

1. Penyelesaian sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

2. Apabila cara penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

Dalam penyelesaian sengketa perwakafan pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perwakafan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, Pasal 49 yang menyebutkan, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam yaitu :16

a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah

i. Ekonomi syari’ah

Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 tersebut, apabila subyek sengketanya

15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

16 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama

(9)

9 antara orang-orang yang beragama Islam maka Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 ayat 2 yaitu :

“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49”

Pengajuan tuntutan ke pengadilan bagi pihak yang merasa haknya dilanggar merupakan suatu keharusan untuk menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Seperti halnya dalam kasus yang ada di dalam Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls tentang Pembatalan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf Nomor 01 Tahun 1983 yang terletak di Kabupaten Siak Provinsi Riau, dalam perkara tersebut hakim menjatuhkan putusan yaitu mengabulkan gugatan para penggugat dengan menyatakan batal atau tidak sah dan tidak berkekuatan hukum terhadap Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama, Kabupaten Siak, hal ini dikarenakan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf tersebut dibuat terhadap tanah atau kebun getah karet Nomor 5212 SKD/0552/Tahun 1960 milik Alm Ayah dan Alm Ibu Penggugat, yang pada awalnya tanah tersebut (obyek sengketa) dipercayakan oleh Alm Ayah Penggugat kepada Tergugat I untuk menjaga dan

(10)

10 mengelolanya, dan selain itu Alm Ayah Penggugat juga tidak pernah memeritahkan Tergugat I untuk mewakafkan kepada siapapun, akan tetapi belakangan ini Penggugat sebagai ahli waris yang sah dengan surat keterangan tanah kebun getah atau karet Nomor 5212 SKD/0552/tahun 1960, mengetahui bahwa tanah miliknya telah diterbitkan surat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf Nomor 01 Tahun 1983 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama di Kabupaten Siak Provinsi Riau, dan di surat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf tertera di daftarkan oleh Tergugat I, dan Penggugat juga meyakini pengalihan tanah milik Penggugat yang dibuatkan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf oleh Tergugat II dengan menempatkan Tergugat I sebagai nazhir adalah syarat dengan pengaturan yang tidak sah, karena dalam pengakuannya Tergugat I diancam akan diusir jika tidak menandatangani Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf tersebut, sangat jelas bahwa yang bertindak selaku pemberi wakaf adalah bukan orang yang memiliki benda yang diwakafkan (wakif), yang berarti tidak dinyatakan langsung oleh yang memiliki harta benda tersebut. Dan dalam perbuatan wakaf memang tidak pernah dilakukan. Setelah menganalisa dan memetakan alur posita terhadap Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls tersebut penulis tertarik untuk mengkaji dan membahasnya dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk tesis yang berjudul : “ Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Di Pengadilan Agama Bengkalis Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum (Studi Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls) “.

(11)

11 B. Masalah Pokok

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah pokok dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa tanah wakaf di Pengadilan Agama Bengkalis (Studi putusan nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls) dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ?

2. Apa sajakah kendala-kendala dalam penyelesaian sengketa tanah wakaf di Pengadilan Agama Bengkalis ?

C. Tujuan dan manfaat penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa tanah wakaf di Pengadilan Agama Bengkalis (Studi putusan nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls) dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam penyelesaian sengketa tanah wakaf di Pengadilan Agama Bengkalis.

Manfaat penulis dengan adanya penelitian ini, bermanfaat di tinjau dari dua segi yaitu segi teoritis dan praktis yaitu :

1. Manfaat Teoritis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dapat di bangku perkuliahan dan membandingkannya dengan kejadian di lapangan.

2) Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.

(12)

12 3) Sebagai sarana dalam mengembangkan wacana dan pemikiran sebagai mahasiswa dalam bentuk karya ilmiah bagi Universitas Islam Riau khususnya program Pascasarjana.

2. Manfaat Praktis

1) Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum dan khususnya dalam hukum wakaf.

2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya bidang hukum bisnis.

D. Kerangka Teori 1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf menurut bahasa arab berarti “al-habsu” yang berasal dari kata kerja bahasa arab habasa-yahbisu-habsan yang berarti menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” yang berarti mewakafkan harta kepada Allah subhanahu wa ta‘ala. Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa-yaqifu-waqifan yang berarti berhenti atau berdiri.

Sedangkan wakaf menurut istilah syara’atau hukum Islam adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya dan digunakan untuk kebaikan.17

17 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Rajawali Press, Bandung, 1992, hlm. 23

(13)

13 2. Dasar Hukum Wakaf

Berbicara mengenai dasar hukum wakaf sebenarnya dalam Al-Qur’an tidak menyebutkan dengan jelas dan tegas tetapi dalam beberapa ayat memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat. Hal ini dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan. Diantara ayat-ayat tersebut adalah :

1. Qs Al-Imran ayat 92

Artinya : Kamu sekalian tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu infakkan sebagian dari harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.18

2. Qs Al-Baqarah ayat 267

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, pada hal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan kamu akan mencicingkan mata padanya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.19

3. Qs An Nahl ayat 97

Artinya : Barang siapa yang berbuat kebaikan laki-laki atau perempuan dan ia beriman, niscayakan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang

18 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Penerbit J-ART, Bandung, 2004, Al-Imran ayat 92, Hlm 62

19 Departemen Agama, Al-Baqarah ayat 267, Hlm 45

(14)

14 mereka amalkan dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dri apa yang telah mereka kerjakan.20

4. Qs Al-Hajj 77

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.21

Hadits-hadits berikut dibawakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulugh Al-Marram ketika mengangkat bahasan wakaf. Hadits pertama yang menerangkan tentang wakaf itu termasuk amal jariyah.22 Wakaf sendiri berarti menahan bentuk pokok dan menjadikannya untuk fii sabilillah sebagai bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). (Lihat Minhah Al-‘Allam, 7: 5). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim No. 1631).

Yang dimaksud sedekah jariyah adalah amalan yang terus bersambung manfaatnya. Seperti wakaf aktiva tetap (contoh: tanah), kitab, dan mushaf Al- Qur’an. Inilah alasannya kenapa Ibnu Hajar Al-Asqalani memasukkan hadits ini

20 Departemen Agama, An Nahl ayat 97, Hlm 278

21 Departemen Agama, Al-Hajj 77, Hlm 341

22 Elsi Kartka Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 56

(15)

15 dalam bahasan wakaf dalam Bulughul Maram. Karena para ulama menafsirkan sedekah jariyah dengan wakaf.

3. Macam-Macam Wakaf

Wakaf itu terdiri dari dua macam yaitu :

1. Wakaf ahli atau wakaf keluarga atau wakaf khusus, Yang dimaksud dengan wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. 23 Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, setelah berlangsungnya wakaf ahli ini selama puluhan tahun menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf ahli ini berupa tanah pertanian.

Menghadapi kenyataan semacam itu, di beberapa negara yang bidang perwakafannya telah mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu diadakan peninjauan kembali yang hasilnya dipertimbangkan lebih baik lembaga wakaf ahli ini dihapuskan.24

Untuk sementara waktu wakaf ahli dapat diambil menjadi jalan keluar untuk mempertemukan ketentuan-ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu mengenai macam- macam harta yang menurut hukum adat dipertahankan menjadi harta keluarga secara kolektif, tidak diwariskan kepada anak keturunan secara individual seperti

23 Abdurrahman, Op.,cit, hlm. 70

24 Ahmad Azhar Basyir, Op., cit, hlm. 14

(16)

16 tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, barang-barang kelakeran di Sulawesi dan lain sebagainya.

2. Wakaf umum atau wakaf khairi, yang dimaksud dengan wakaf umum adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu seperti mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid, mewakafkan sebidang kebun yang hasilnya untuk dapat dimanfaatkan untuk membina suatu pengajian dan sebagainya. Wakaf umum inilah yang perlu digalakkan dan dianjurkan untuk dilakukan kaum muslimin, karena wakaf ini dapat dijadikan modal untuk menegakkan agama Allah, membina sarana keagamaan, membangun sekolah, menolong fakir miskin, anak yatim piatu, orang terlantar, dan sebagainya. Macam wakaf inilah yang pahalanya terus menerus mengalir dan diperoleh wakif sekalipun sudah meninggal dunia.

4. Syarat dan Unsur dalam Wakaf

Mengenai bagaimana keutamaan dari harta wakaf ini dapatlah dijelaskan bahwa “Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dari pada bersedekah, lagi pula lebih besar manfaatnya. Sebab harta itu kekal dan terus menerus selama harta itu tetap menghasilkan atau tetap digunakan sebagai layaknya dengan cara yang produktif”.25

Untuk kepentingan orang banyak dan masyarakat, bentuk harta wakaf itu amat besar manfaatnya dan amat diperlukan untuk kelangsungan usaha-usaha amal Islam

25 Ibid., hlm. 8

(17)

17 sebagai sumber yang tidak akan habis untuk pembiayaan yang semakin lama semakin meningkat.

Wakaf sebagai harta yang kekal yang selalu menjadi sumber kekayaan membiayai amal-amal kemasyarakatan dalam ajaran Islam yang beraneka warga itu sudah sepantasnya menjadi perhatian kita seluruh kaum muslimin, terutama di Indonesia yang sedang dalam periode pergeseran kepada masyarakat modern yang lebih maju yang susunan harta itu harus dijalankan dengan organisasi yang modern pula.

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :26

1. Ada orang yang berwakaf (wakif) 2. Nazhir

3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf

5. Peruntukkan harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf

Sedangkan untuk sahnya suatu wakaf menurut hukum Islam harus dipenuhi tiga syarat :27

1. Wakaf mesti kekal dan terus menerus artinya tidak boleh dibatasi dengan jangka waktu, oleh sebab itu tidak sah jika dikatakan oleh orang yang berwakaf.

2. Wakaf tidak boleh dicabut. Jika terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah wakif meninggal dunia dan wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya.

3. Wakaf tidak boleh dipindah tangankan. Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu harta itu telah menjadi milik Allah subhanahu wa ta‘ala. Pemilikan itu tidak

26 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

27 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 22

(18)

18 boleh dipindah tangankan kepada siapapun baik orang, badan hukum, maupun negara.

Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya.

5. Harta Benda Wakaf

Pengertian harta benda wakaf, menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu “Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah yang diwakafkan oleh wakif”.28

Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, harta benda wakaf yaitu :

1. Benda tidak bergerak.

2. Benda bergerak.

Yang dimaksud dengan benda tidak bergerak yaitu :

1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar, dapat juga diikuti dengan bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atasnya dan tanaman serta benda lain yang berkaitan dengan tanah.

2. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

28 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(19)

19 Menurut prinsip hukum agraria nasional kita, hanya hak milik yang mempunyai sifat penuh dan bulat (bukan mutlak). Sedangkan hak-hak lainnya atas tanah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai hanya mempunyai sifat yang terbatas. Karena pemegang haknya itu sendiri terikat dengan jangka waktu dan syarat-syarat tertentu.

Bertitik tolak dari prinsip tersebut, karena perwakafan ini bersifat kekal dan abadi untuk selama-lamanya, maka oleh karena itu hak atas tanah yang bersifat terbatas dalam tenggang dan jangka waktu tertentu dan terikat dengan syarat tertentu seperti dalam tanah yang berstatus sebagai hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak dapat diwakafkan. Dengan perkataan lain tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah yang berstatus sebagai hak milik. Apabila pemegang hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai ingin mewakafkan tanah yang dalam penguasaannya, maka terlebih dahulu ia harus mengajukan permohonan perubahan. Hal-hal yang menjadi hak milik setelah hak milik itu dipunyainya barulah tanah tersebut bisa diwakafkan.29

Wakaf untuk benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, yaitu :30

1. Uang

2. Logam mulia 3. Surat berharga 4. Kendaraan

5. Hak atas kekayaan intelektual 6. Hak sewa

29 Taufik Hamami, Op., cit, hlm. 29

30 Ibid., hlm. 34

(20)

20 7. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku

Harta benda wakaf ini baik bergerak maupun tidak bergerak hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.

Pihak-pihak yang terkait yaitu :

1. Wakif yaitu orang yang mewakafkan hartanya dalam istilah Islam disebut wakif.

Sedangkan pengertian wakif menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu Pasal 1 angka 2 “Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya”.31

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa, Wakif yaitu :

i. Perseorangan ii. Organisasi iii. Badan Hukum

Untuk mewakafkan tanah yang dimiliki, tidak semua orang dapat melakukannya atau dapat dianggap sah wakaf yang telah diberikan itu karena untuk menjadi seorang wakif harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :32 1. Orang yang berwakaf itu harus merdeka dan pemilih penuh dari barang yang

diwakafkan. Tidak sah wakafnya seseorang budak sahaya atau tidak sah mewakafkan tanah milik orang lain atau wakafnya seseorang pencuri atas barang curiannya.

2. Orang yang berwakaf itu harus berakal sempurna. Tidak sah wakaf yang diberikan oleh orang gila dan tidak sah pula wakaf yang diberikan oleh orang lemah akalnya disebabkan sakit atau terlalu lanjut usia, juga tidak sah wakafnya

31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

32 Mohammad Daud Ali, Op., cit, hlm. 34

(21)

21 orang dungu karena akalnya dipandang kurang. Wakaf itu memerlukan keharusan akal sehat dan dengan pertimbangan yang sehat pula.

3. Orang yang berwakaf itu harus cukup umur atau sudah balig. Karena cukup umur atau balig itu lazim dipandang sebagai indikasi sempurnanya akal seseorang.

Oleh sebab itu tidak sah wakaf yang diberikan oleh anak kecil, apakah ia sudah mampu melakukan tamyiz atau belum.

4. Orang yang berwakaf harus berpikir jernih dan tenang, tidak tertekan karena bodoh, bangkrut, atau lalai walaupun wakaf tersebut dilakukan melalui seorang wali.

Mengenai masalah kedewasaan atau cukup umur pertimbangannya adalah kesempurnaan akal yang dimiliki seseorang. Fiqih Islam menentukan bahwa orang berumur 15 tahun dipandang telah mempunyai pertimbangan kehidupan.

Akan tetapi kadangkala anak yang sudah berumur 15 tahun juga belum mempunyai kesempurnaan akal. Dalam hal ini ada ide untuk mebedakan pengertian antara baliq dan rasyid. Akan lebih tepat apabila dalam menentukan kecakapan ditentukan dengan adanya syarat rasyid.33

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa syarat seorang wakif perseorangan adalah :34

1. Dewasa 2. Berakal sehat

3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum 4. Pemilih sah harta benda wakaf

33 Ahmad Azhar Basyir, Op., cit, hlm. 9

34 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(22)

22 Wakif badan hukum atau organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum atau organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf miliknya sesuai dengan anggaran dasar badan hukum atau organisasi tersebut.

2. Nazhir yaitu Pengawasan atau perwalian harta wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, akan tetapi wakif dapat menyerahkan pengawasan harta wakaf itu kepada orang lain baik perorangan maupun badan hukum atau organisasi. Guna lebih menjamin agar perwakafan dapat terselenggara dengan baik, negara juga berwenang campur tangan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur seluk-beluk perwakafan.

Pengertian nazhir dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu Pasal 1 angka 4 adalah sebagai berikut “Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”.

Sebagaimana wakif, untuk menjadi seorang nazhir juga harus mempunyai syarat-syarat yaitu :

1. Warga Negara Republik Indonesia 2. Beragama Islam

3. Sudah dewasa 4. Amanah

5. Mampu secara jasmani dan rohani

6. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

(23)

23 Sedangkan untuk nazhir yang berbentuk badan hukum syaratnya adalah : a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan harus memenuhi syarat nazhir

perseorangan.

b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.

Semua persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Adanya persyaratan di atas dimaksudkan agar pengurus baik yang terdiri dari perorangan maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Khusus untuk perwakafan tanah milik, nazhir yang berbentuk badan hukum harus mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang di wakafkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Perwakafan Tanah Milik Nazhir mempunyai tugas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu :35

1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.

2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

4. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

35 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(24)

24 Tugas-tugas yang dibebankan kepada nazhir itu termasuk cukup berat sehingga selain kewajiban nazhir juga mempunya hak. Hak yang dimiliki nazhir adalah nazhir berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

3. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disebutkan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf”.

Sebagaimana diketahui bahwa mewakafkan tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan melalui sebuah ikrar atau pernyataan. Untuk itu diperlukan seorang pejabat khusus yang secara resmi ditunjuk. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara tegas dan jelas kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana Pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sendiri diangkat dan diberhentikan oleh menteri agama seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 9 ayat (2). Apabila dibaca secara seksama mengenai isi

(25)

25 pasal tersebut maka ruang lingkupnya masih sangat umum dan tidak dijelaskan secara spesifik mengenai PPAIW itu sendiri. Penegasan mengenai hal ini lebih lanjut Menteri Agama mengaturnya dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang secara tegas ada dalam tiga pasal yaitu Pasal 5 sampai dengan Pasal 7.

Kantor Urusan Agama ditunjuk sebagai PPAIW. Administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama kecamatan dan dalam hal suatu kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agama nya maka Kepala Kanwil Departemen Agama menunjuk Kantor Urusan Agama terdekat sebagai PPAIW di kecamatan tersebut.

Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agama itu menyebutkan bahwa PPAIW wajib menyelenggarakan daftar akta ikrar wakaf. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif ataupun kuasanya harus menyerahkan surat dan atau tanda bukti kepemilikan atas harta benda yang diwakafkannya tersebut kepada PPAIW.36 Hal ini dimaksudkan agar diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran adanya hak wakif atas harta benda wakaf dimaksud.

PPAIW atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar ditandatangani, dengan melampirkan salinan akta ikrar wakaf beserta surat-surat

36 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(26)

26 dan atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional, akan menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf dan bukti pendaftaran tersebut akan disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.

4. Badan Wakaf, Pengertian badan wakaf menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yaitu “Badan wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia”.

Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Badan wakaf Indonesia ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan atau kabupaten atau kota sesuai dengan kebutuhan.

Anggota badan wakaf Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang meliputi :37

37 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(27)

27 1. WNI

2. Beragama Islam 3. Dewasa

4. Amanah

5. Mampu secara jasmani dan rohani

6. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

7. Memiliki pengetahuan, kemampuan dan atau pengalaman di bidang perwakafan dan atau ekonomi, khususnya dari ekonomi syari’ah

8. Mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional

9. Serta persyaratan lain untuk menjadi anggota badan wakaf Indonesia di tetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia.

6. Pendaftaran Tanah

Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan hak atas tanah, Undang- Undang Pokok Agraria telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan sebagai tindak lanjut Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diperbaruhi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Dasar utama pendaftaran tanah adalah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 19 yaitu :38

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang baru berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomis, serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.

38 Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria

(28)

28 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian mengenai pendaftaran tanah sebagai berikut Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

E. Konsep Oprasional

Konsep oprasional berisikan batasan-batasan tentang terminologi yang terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian. “ Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf di Pengadilan Agama Bengkalis Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum (Studi Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls) “.

1. Penyelesaian sengketa adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan.39

2. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya

39 Diakses pada : http://kbbi.web.id, Tanggal 26 Februari 2017, Pukul 10.00 WIB

(29)

29 untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama.40

3. Putusan Pengadilan Agama Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls

4. Asas Kepastian hukum yaitu sicherkeit des scherts selbst atau kepastian tentang hukum itu sendiri.41

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat penelitian

Dari sudut metode yang di pakai dalam penelitian ini, maka jenis penelitian ini adalah Observational Research dengan cara survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi menggunakan wawancara sebagai alat pengumpul data yang pokok.42 Pada penelitian ini penulis melakukan penelitian langsung pada lokasi penelitian untuk mendapatkan bahan, data-data dan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini.

Sifat penelitian deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran suatu kejadian yang terjadi secara jelas dan terperinci tentang penyelesaian sengketa tanah wakaf di

40 Lihat Pada Kompilasi Hukum Islam, hlm. 30

41 Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas Dan Kepastian Hukum, Kencana, Jakarta, 2016, hlm.

181

42 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2008, Hlm 3

(30)

30 Pengadilan Agama Bengkalis dihubungkan dengan asas kepastian hukum (Studi Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls).

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian, yaitu di Pengadilan Agama Bengkalis. Jl. Lembaga No. 01, Senggoro, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau 28711, Indonesia.

3. Populasi Dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah : 1. Hakim Pengadilan Agama Bengkalis 2. Pegawai Kantor Dapertemen Agama 3. Wakif

4. Nazhir

4. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder, dengan rincian sebagai berikut :

a. Data Primer

Data Primer yaitu data yang berupa keterangan yang berasal dari pihak- pihak yang terlibat dengan objek yang diperoleh dari wawancara pada waktu melakukan penelitian di lapangan yaitu melalui tanya jawab secara langsung dan Putusan Nomor 349/Pdt.G/2013/PA.Bkls tentang pembatalan akta pengganti akta ikrar wakaf.

(31)

31 b. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu pendukung data primer yang diperoleh dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Kompilasi Hukum Islam dan serta data yang diperoleh melalui kajian bahan pustaka, yang meliputi berbagai buku-buku literatur, skripsi, jurnal dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat- pendapat para ahli yang ada hubungannya dengan pokok masalah yang di atas.

5. Alat Pengumpul Data

Adapun alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Wawancara, yaitu suatu pengumpulan data melalui proses tanya jawab secara langsung yang dilakukan peneliti kepada Hakim Pengadilan Agama Bengkalis, Pegawai Kantor Dapertemen Agama, Wakif, dan Nazhir.

6. Analisis Data

Setelah data yang penulis peroleh, lalu penulis olah data tersebut dengan cara menguraikan dalam bentuk rangkaian kalimat yang jelas dan rinci. Kemudian dilakukan pembahasan dengan memperhatiakn teori-teori hukum, undang-undang, dokumen-dokumen dan data lainnya serta dengan membandingkannya dengan pendapat para ahli.

(32)

32 7. Metode Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian yang penulis lakukan ini, penulis menggunakan metode penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode induktif yaitu penyimpulan dari hal-hal khusus kepada hal-hal umum.

Referensi

Dokumen terkait

• Pengeluaran kas untuk pembayaran biaya • Pembayaran angsuran atau pelunasan utang • Penarikan kembali saham yang beredar. • Pembelian saham atau aktiva

Hal itu dapat dilihat dari pertimbangan putusannya sebagai berikut : “Menimbang bahwa maksud Tergugat I dalam eksepsinya point 1 adalah bahwa kepemilikan Para Penggugat

Pada kegiatan pelaksanaan, partisipasi yang diukur adalah petani menanam tanaman pokok dan tanaman semusim pada lahan garapan, sedangkan dalam kegiatan evaluasi adalah

Adapun pembahasan dalam penelitian ini antara lain membahas mengenai sejarah perkembangan manaqibnya mulai dari sejarah berdirinya Pondok Pesantren tersebut sampai

SiARSi Supervisor Dasbor Log Sampling Renlak Kelas Terapi Tabel Renlak Zat Aktif Jenis Sediaan Halaman Statis Grup Pengguna Pengguna Operator Log Sampling... BALAI BESAR POM

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) cara dan tata ungkap wimba pada relief Monumen Simpang Lima Gumul Kediri menggambarkan waktu, ruang, penggambaran

Bahwa penggantian kerugian oleh Penggugat I terhadap Tergugat tidak dapat dijadikan dasar Tergugat untuk memberhentikan Penggugat I dengan alasan melakukan kesalahan

Variabel tergantung yang diukur pada penelitian ini sifat fisikokimia (gel quality yang meliputi gel strength dan folding test; cooking yield; water