1
PARIWISATA BERWAWASAN KEBANGSAAN:
Suatu Analisis Berdasarkan Teori Hukum Dengan Orientasi Kebijakan1
Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra2
A. PENDAHULUAN
Wawasan kebangsaan adalah cara suatu bangsa mengidentifikasi diri sebagai satu kesatuan sosial yang disebut bangsa dan cara setiap individu di dalam kesatuan sosial itu mengidentifikasi diri di dalam dan dalam hubungan dengan kesatuan sosialnya.3 Kata wawasan kebangsaan mengandung serangkaian persyaratan yang harus dipenuhi untuk membawa wawasan itu ke dalam realitas kehidupan sosial suatu masyarakat. Persyaratan itu, mencakup: pengetahuan, kesadaran, pengakuan, penerimaan, penganutan, ingatan, pelaksanaan, dan integritas diri setiap entitas yang menjadi bagian dari kesatuan sosial itu. Derajat capaian wawasan di dalam kehidupan nyata sebanding dengan kemampuan setiap entitas memenuhi persyaratan itu.4
Pengetahuan adalah pengetahuan setiap entitas tentang hakekat diri mereka sebagai manusia, yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa memerlukan kesatuan sosial yang lebih besar dan stabil sebagai konsekwensi dari lingkungan diri dan kesatuannya, yang juga merupakan kesatuan-kesatuan sosial, yang memiliki kebutuhan dasar untuk hidup dan karena lingkungan ini senantiasa memancarkan tekanan, ancaman dan serangan terhadap lingkungannya untuk memenuhi
1 Disajikan dalam KONGGRES PANCASILA VIII, Balai Senat UGM, 30 Mei 2016.
2 Guru Besar Ilmu Hukum, Bidang Hukum Ekonomi Internasional, pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Ideologi, adjunct professor pada School of Law Charles Darwin University.
3 Oommen, Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, h. 8. Lihat juga: Calverton, The Making of Society, Modern Library, New York, 1937, h. 74.
4 Ibid, h. 9. Lihat juga: Saxe Commins and Robert N. Linscott, The Political Philosophers, Modern Pocket Library, New York, 1953, h. 6.
2 kebutuhan alamiahnya. Dalam kehidupan sosial modern kebutuhan itu menjadi semakin mutlak, karena jumlah kesatuan sosial semakin bertambah dan alat-alat untuk memenuhi kebutuhan itu semakin terbatas, sementara pada sisi lainnya pengetahuan dan teknologi berkembang semakin teknis, meningkatkan kemampuan setiap entitas dan kesatuan sosial memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih kuat dan cepat.
Kebutuhan terhadap kesatuan sosial merupakan refleksi dari kebutuhan alamiah yang lebih mendasar, yaitu kebutuhan terhadap rasa aman dari ancaman, tekanan, dan serangan dari kekuatan yang berasal dari luar dirinya, yang dapat memusnahkan manusia, serta kebutuhan terhadap rasa nyaman untuk dapat hidup secara alamiah sebagai makhluk hidup yang berpikir. Kebutuhan itu merupakan rasio alamiah wawasan kebangsaan, yang berfungsi sebagai instrumen pengendali orientasi diri dan perilaku setiap entitas terhadap kesatuan sosial di mana ia menjadi bagiannya, untuk senantiasa menjaga keseimbangan hubungan antara diri dan kesatuan sosialnya.
Ancaman berbagai kekuatan dari luar diri manusia adalah rasio yang menjadi dasar sikap, perilaku, dan keputusan setiap entitas untuk senantiasa berusaha memenuhi persyaratan itu. 5
Ketika manusia berpikir dalam susunan yang lebih baik, manusia mulai memikirkan tentang cara memelihara keseimbangan itu. Sejak itu manusia mulai menciptakan berbagai lembaga untuk memelihara keseimbangan itu, seperti: adat, kebiasaan, dan hukum. Mereka mengunci dan membakukan proses alamiah itu dengan kesepakatan- kesepakatan yang kemudian meningkat menjadi bentuk yang lebih formal yang disebut hukum. Kesepakatan-kesepakatan itu, dalam kehidupan masyarakat modern
5 Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind, Harvill Secker, London, 2011, h. 48-50.
3 diformulasikan kedalam bentuk kesepakatan, keputusan politik atau kebijakan.6 Dalam praktek, upaya-upaya demikian itu tidak senantiasa dapat mengendalikan kekuatan dari proses alamiah kehidupan sosial manusia dan dalam keadaan demikian hukum seringkali harus menyerah pada kekuatan alamiah proses sosial.
Kunci fungsi dan pencapaian fungsi dari wawasan kebangsaan adalah pengetahuan dan kesadaran diri setiap entitas terhadap keberadaan dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial yang terdiri dari entitas yang tidak memiliki cukup semangat dan kemampuan untuk mengisi diri dengan pengetahuan kebangsaan, fungsi dan pencapaian tujuan wawasan kebangsaan merupakan masalah besar. Sisi individual dari setiap entitas yang mempunyai kepentingan diri dapat mengubah perhatian suatu entitas dari kepentingan bersama ke kepentingan dirinya. Naluri untuk menyelamatkan dan mengamankan diri sendiri sebagai naluri alamiah manusia mendorong suatu entitas bersikap mementingkan diri sendiri (selfish), mengabaikan, dan bahkan mempunyai semangat menghancur entitas lainnya dalam kesatuan sosial yang sama demi memenuhi kepentingan dirinya. Dalam kondisi demikian, suatu kesatuan sosial membutuhkan intervensi kekuasaan untuk mengembalikan orientasi entitas dari orientasi terhadap diri ke orientasi terhadap kesatuan sosialnya. Pengembalian demikian itu dapat saja diserahkan kepada mekanisme alam, tetapi terlalu berisiko, karena perubahan orientasi dapat menjadi arus sosial yang sulit dikendalikan. Sebelum suatu arus menjadi obsesi kelompok, maka suatu arus perlu dipecah melalui tindakan strategis, seperti: penyegaran
6 George W. Keeton and Georg Schwarzenberger, Power Politics: A Study of Internatinal Society, Stevens & Sons Limited, 1951, h. 26.
4 kesadaran dan ingatan, pemulihan komitmen, dan tuntunan yang bersifat terus- menerus melalui berbagai jalur yang bersentuhan dengan proses kehidupan.7
Strategi kebijakan adalah strategi yang umum dipilih untuk memenuhi kebutuhan demikian itu. Kebijakan pemerintah yang memiliki cakup luas dan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia merupakan instrumen efektif yang dapat digunakan sebagai media untuk melakukan intervensi terhadap perubahan sosial alamiah dalam memelihara keseimbangan kepentingan antara kepentingan individual setiap entitas dengan kepentingan kesatuan sosial yang menjadi wadahnya. Cara ini juga telah menjadi pilihan dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memelihara kesadaran terhadap kesatuan itu. Pemerintah telah menggunakan Undang-Undang Kepariwisataan sebagai media untuk memelihara kesadaran terhadap kesatuan sosial itu. Penggunaan itu dilakukan dengan cara menempatkan visi dan misi kebangsaan di dalam UU Kepariwisataan. Pasal 2 dan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya: UU Kepariwisataan) menyerap wawasan kebangsaan sebagai materi undang-undang dengan cara mentransformasikan visi dan misi itu ke dalam azas dan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan. Pasal 2 UU Kepariwisataan mengatur tentang azas penyelenggaraan pariwisata dan Pasal 4-nya mengatur tentang tujuan penyelenggaraan pariwisata. Pasal 2 menentukan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas, antara lain: manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kesetaraan; dan kesatuan, yang merupakan penjabaran dari kesadaran diri Bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan sosial yang terbangun dari berbagai entitas sosial yang lebih kecil dan beragam, yang berasal dari etnis dan kultur yang berbeda, yang perlu senantiasa diingatkan terhadap kesatuan
7 Ida Bagus Wyasa Putra, Teori Hukum Dengan Orientasi Kebijakan, Udayana University Press, 2016, h. 3.
5 kebangsaan sebagai wadah hidup dalam tata pergaulan masyarakat bangsa-bangsa yang lebih besar.
Pasal 4 UU Kepariwisataan menentukan bahwa tujuan penyelenggaraan kepariwisataan adalah: meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan;
mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air;
memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa, yang juga merupakan penjabaran dari kesadaran diri Bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan sosial yang tersusun atas berbagai entitas sosial yang beragam yang perlu diberi pengalam hidup sebagai satu-kesatuan sosial dalam bentuk kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan, untuk memelihara rasa senasib dan sepenanggungan, serta rasa percaya terhadap kesatuan sosial yang mewadihinya.8
Penetapan azas dan tujuan penyelenggaraan pariwisata itu tidak serta-merta menghasilkan keadaan-keadaan sosial yang sesuai atau searah dengan azas dan tujuan Undang-undang itu. Penyelenggaraan pariwisata di Indonesia disamping menghasilkan manfaat bagi kesatuan sosial bangsa sebagai keseluruhan, ternyata juga menghasilkan berbagai keadaan yang terbalik dengan azas dan tujuan penyelenggaraan pariwisata. Kandungan nilai kapitalistik di dalam pariwisata telah mendorong pariwisata menjadi kegiatan yang terpusat pada orientasi devisa dan pertumbuhan ekonomi, dengan konsekwensi akhir pengabdian pariwisata terhadap berbagai kepentingan dan kehendak pemilik kapital. Kebijakan pariwisata juga terseret kearah fasilitasi terhadap visi dan misi devisa dan pertumbuhan ekonomi itu.
Konsentrasi visi dan misi kebijakan kearah visi dan misi devisa dan pertumbuhan
8 I Made Suastra, Dkk, Kajian Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah Bali Menuju Pariwisata Berkeadilan dan Berkelanjutan, Laporan Penelitian, Universitas Udayana-Direktorat Jendral Ketahanan Nasional RI, 2016, h. 22.
6 ekonomi membuat kebijakan pariwisata terhendi pada empat sektor pembangunan pariwisata, yaitu: industri, destinasi, pasar, dan kelembagaan, yang mengalihkan orientasi pariwisata dari pembangunan kesejahteraan rakyat, penghapusa kemiskinan, pemecahan masalah pengangguran, pelestarian alam, lingkungan, dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, mempererat persahabatan antarbangsa ke fasilitasi capital dengan segala ekses negatifnya. Pariwisata menghasilkan aliran manfaat searah dan terkonsentrasi pada pemerintah dan pengusaha dan kelompok sosial tertentu; sikap memihak pemerintah terhadap kapitalis, perilaku serakah dan mementingkan kelompok atau diri sendiri yang bertolak belakang dengan azas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kesetaraan dan kesatuan yang memerosotkan kepercayaan entitas terhadap kesatuan sosialnya.9
Kandungan nilai kapitalistik membuat pariwisata tidak hanya meyajikan manfaat, tetapi juga berbagai keadaan yang bertolak belakang dengan tujuan pariwisata, seperti: keterpusatan manfaat pariwisata pada kelompok sosial tertentu yang bertolakbelakang dengan tujuan kesejahteraan rakyat dan penghapusan kemiskinan;
keberpihakan kebijakan tenaga kerja terhadap tenaga kerja asing yang bertentangan dengan tujuan mengatasi pengangguran; kecenderungan pemerintah mengiktui kehendak investor yang bertolak belakang dengan tujuan melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; keterfokusan pembangunan pariwisata hanya terhadap keempat sektor pariwisata saja (industri, destinasi, pasar, dan kelembagaan) yang bertolak belakang dengan tujuan memajukan kebudayaan;
dominasi dampak pariwisata dalam bentuk kejahatan seksual, kejahatan terhadap benda-benda kebudayaan, peredaran narkotika, perubahan gaya hidup,
9 Ibid.
7 penyimpangan perilaku seksual yang bertentangan dengan tujuan mengangkat citra bangsa, dan memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, sebagai tujuan penyelenggaraan pariwisata. Pariwisata disamping menyajikan manfaat yang sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pariwisata, juga menyajikan dampak yang bertolak belakang dengan tujuan penyelenggaraan pariwisata, yang mengancam sendi-sendi fundamental kehidupan bangsa dan keberlanjutan kehidupan bangsa.10
Keadaan demikian itu menunjukkan bahwa kebijakan pariwisata mengandung masalah yang perlu diatasi. Keterpusatan pembangunan pariwisata pada keempat sektor pariwisata itu, dan pengabaian terhadap kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata, merupakan sebab yang mengubah pariwisata menjadi kegiatan yang bersifat destruktif, mengancam dan membahayakan sendi-sendi kehidupan bangsa, dan karena itu pemulihan posisi kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata dengan cara menempatkan kebudayaan sebagai komponen pembangunan pariwisata merupakan tindakan strategis yang tidak boleh ditunda. Reformulasi kebijakan pariwisata dengan cara memasukkan kebudayaan sebagai sektor tambahan yang perlu dibangun kedalam kebijakan pembangunan pariwisata bukan hanya merupakan cara untuk memaksimalkan manfaat dan memelihara keberlanjutan pariwisata sebagai sumber pendapat negara dan masyarakat, tetapi juga merupakan cara untuk memelihara keberlanjutan fungsi bangsa sebagai suatu kesatuan sosial.11
10 Ida Bagus Wyasa Putra, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010, h. 7.
11 Ibid., h. 8-12.
8 B. KARAKTERISTIK MASALAH DALAM PENYELENGGARAAN PARIWISATA
1. Ancaman pariwisata terhadap kebudayaan sebagai akar nilai-nilai kebangsan Keterfokusan pembangunan pariwisata terhadapap empat sektor pembangunan pariwisata sebagai diatur di dalam Pasal Pasal 7 UU Kepariwisataan (industri pariwisata, destinasi, pemasaran; dan kelembagaan kepariwisataan) dan pengabain terhadap kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata dapat meningkatkan daya penghancur pariwisata terhadap kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata. Kebudayaan bukan hanya berkedudukan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata, melainkan juga sebagai akar identitas kebangsan. Sehingga, kehancuran kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata lebih jauh akan mengakibatkan kehancuran identitas kebangsaan.12
2. Ancaman pariwisata terhadap masyarakat sebagai bangsa dan pendukung nilai-nilai kebangsaan
Kebudayaan hendaknya dipahami sebagai struktur yang lebih luas dan sistemik.
Cara UNESCO mengartikan kebudayaan sebagai semata-mata warisan budaya membuat kebudayaan kehilangan esensinya sebagai akar identitas kebangsaan.
Kebudayaan dalam realitas tidak terbatas hanya pada warisan budaya, melainkan wujud sistem yang terpadu antara alam sebagai tempat kebudayaan, masyarakat sebagai pendukung (pemilik, pemelihara, dan pengembang) kebudayaan, dan kebudayaan sebagai produk daya pikir kreatif manusia dalam merespon perilaku alam dan lingkungan sosialnya. Pengertian kebudayaan dalam makna komprehensif ini mengalihkan pandangan manusia tehadap kebudayaan darai sekedar wujud waridan atau benda-benda budaya kea rah sistem kebudayaan yang untuk dan sistemik. Pembangunan kebudayaan dengan demikian tidak
12 Ida Bagus Wyasa Putra, Kebudayan Sebagai Sumber Daya Ekonomi: Memulihkan Identitas, Meningkatkan Kesejahteraan Umat Manusia, Bali World Culture Forum, Dinas Kebudayaan Bali, 2011, h. 13.
9 berhenti pada pemeliharaan warisan budaya, melainkan lebih kepada pemeliharaan alam sebagai wadah kebudayaan dan masyarakat pendukung kebudayaan sebagai aktor kebudayaan, yang pada instalasi terakhir dapat bermakna sederhana, yaitu penguatan dan fasilitas terhadap masyarakat pendukung kebudayaan itu.
Pengabaian pembangunan kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata, yang harus diartikan sebagai pembangunan terhadap manusia pendukung kebudayaan itu, dapat membuat pariwisata bukan hanya menjadi sumber ketidakadilan, melainkan “predator” penhancur sumber dayanya sendiri.
Masyarakat sebagai pemilik, pemelihara, dan pengembang kebudayaan harus membiayai sendiri sendiri kepemilikan, pemeliharaan, dan pengembangan kebudayaan miliknya itu, dan ketika kebudayaan itu menghasilkan manfaat ekonomi dalam berbagai bentuknya, manfaat itu tidak kembali kepada masyarakat pemilik dan pemelihara yang membiayainya, tetapi pemerintah dan pengusaha yang tidak berurusan apapun dengan pemeliharaan dan pembiayaan pemeliharaan itu. Model hubungan pariwisata dan kebudayaan dalam format ini bukan hanya melahirkan soal keadilan, melainkan terutama soal daya dukun dan keberlanjutan fungsi kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi pariwisata yang lebih jauh menentukan nasib dan keberlanjutan pariwisata sebagai bentuk kegiatan ekonomi. Tiada kegiatan ekonomi tanpa sumber daya ekonomi dan tiada sumber daya ekonomi tanpa pemeliharaan.13
13 Ibid.
10 3. Ancaman pariwisata terhadap lingkungan hidup sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya nilai-nilai kebangsaan
Lingkungan hidup merupakan situs dasar setiap kebudayaan. Memandang lingkungan hidup secara terpisah dari proses budaya merupakan cara pandang
“sekuler” yang membahayakan lingkungan hidup dan kesatuan sosial yang hidup di dalam lingkungan itu. Memandang lingkungan hidup sebagai sistus kebudayaan membuat pembangunan lingkungan menjadi bagian dari pembangunan kebudayaan. Dalam cara pandang ini, pembangunan kebudayaan mencakup pemeliharaan, perbaikan atau pemulihan, dan pengembangan fungsi- fungsi lingkungan hidup dari suatu ruas ruang atau ekosistem. Pemahaman terhadap lingkungan secara terpisah dengan kebudayaan dapat melahirkan pandangan “sekuler” tentang lingkungan dan dapat dengan mudah menjatuhkan status lingkungan hidup kedalam status instrumen kapital (faktor produksi). Demi percepatan pertumbuhan ekonomi lingkungan hidup dibenarkan untuk dieksploitasi sebesar-sebarnya untuk percepatan pemulihan kapital dan besaran akumulasi keuntungan investasi. Konsep destinasi wisata yang bersifat “sekuler”
atau dilepaskan dari kebudayaan sebagai induknya dapat dengan mudah jatuh kedalam pelukan konsepsi kapitalis, dan jika demikian maka pengelolaan destinasi dapat diabdikan sepenuhnya kepada akumulasi kapital. “Sekularisasi”
lingkungan hidup dari kebudayaan merupakan awal bencana lingkungan, lebih jauh bencana ekonomi pariwisata.14
14Ida Bagus Wyasa Putra, Problem Konsep Dalam Penyelenggaraan Pariwisata Berkelanjutan, Seminar Nasional Pekan Ilmiah Mahasiswa 2013, Pengelolaan Dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Dalam Konsep Tri Hita Karana Sebagai Upaya Pembangunan Sektor Pariwisata Berkelanjutan Di Bali, 6 Juli 2013, Denpasar, h. 7.
11 C. PENYEBAB MASALAH KEBANGSAAN DALAM PENYELENGGARAAN
PARIWISATA
Masalah kebangsaan dalam penyelenggaraan pariwisata bersumber pada masalah perlakuan ekonomi terhadap kebudayaan. Status kebudayaan di beberapa negara, seperti Australia, Inggris, dan Eropa dipulihkan sesuai dengan perkembangan realitas dirinya. Penyelenggaraan perdagangan jasa pariwisata di seluruh dunia menunjukkan bahwa jenis perdagangan ini bergantung penuh pada kebudayaan tradisional. Pernyataan ini tidak mencakup “pariwisata gelap” yang bernafas dari hasil eksploitasi manusia, judi dan obat bius. Kebudayaan merupakan aliran nafas utama sumber kehidupan pariwisata. Negara-negara yang mengandalkan pariwisata sebagai sumber devisa, secara berangsur-angsunr memulihkan identitas dan keindahan bentang alamnya sebagai situs kebudayaan, untuk kemudian memelihara dan menjaganya dengan ketat dari incara para “perusuh”
dan jika itu terjadi menjatuhkan sanksi berat kepada para pelanggarnya.
Cara lain yang digunakan untuk memelihara identitas bentang alamnya adalah membangkitkan kesadaran kebangsaannya (kesatuan sosialnya) akan keberadaan bentang alam sebagai aset budayan yang tidak hanya berhenti pada fungsi penanda identitas, melainkan sebagai sumberdaya ekonomi yang secara sikluistis menentukan keberlanjutan hidup mereka. Memanfaatkan kesadaran kesatuan (sosial) sebagai cara untuk memelihara lingkungan hidup sebagai aset kesatuan adalah metode klasik yang diaktifkan kembali oleh beberapa bangsa. Mereka tidak berpijak pada teori-teori baru untuk menggerakkan visi dan misi itu, melainkan hanya mencontoh saja dari tata cara kehidupan kebudayaan di Indonesia, seperti misalnya Bali, yang oleh entitasnya tidak disadari sebagai sumber inspirasi.
12 Sumber problem kebangsaan yang mendasar di Indonesia akan bersumber pada formulasi kebijakan pembangunan pariwisata sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU kepariwisataan. Pengabaian pembangunan kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi akan meningkatkan daya penghancur nilai-nilai kapitalisme terhadap kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi dan akhrinya kebudayaan sebagai akar nilai-nilai kebangsaan, selanjutnya nilai-nilai kebangsaan itu sendiri.
Implikasi formulasi kebijakan ini semakin hari semakin jelas dan nyata, dan jika itu dibiarkan, pariwisata akan menjadi instrumen penghancur nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
D. KEBUTUHAN PERLAKUAN KEBIJAKAN TERHADAP PARIWISATA
Arah cara kerja pariwisata sebagai media kapitalis dan model formulasi kebijakan pariwisata Indonesia merupakan pintu utama kehancuran nilai-nilai kebangsaan bangsa Indonesia. Kerusakan lingkungan hidup, sumber daya alam, transformasi lahan, perubahan gaya hidup dan orientasi kehidupan masyarakat pada tempat- tempat di mana pariwisata diselenggarakan memberi petunjuk tentang cara kerja nilai-nilai kapitalis yang tertransformasikan ke dalam berbagai bentuk konsep, formulasi kebijakan, gaya hidup, dan produk perdagangan (barang maupun jasa) yang membuat masyarakat tidak mudah mengenali cara kerja nilai-nilai itu. Sifat tersembunyi dari nilai-nilai itu di dalam berbagai kemasan transformatif mengakibatkan nilai-nilai kapitalis dalam kandungan pariwisata tidak mudah dikenali dan diantisipasi. Nilai-nilai itu bekerja secara tersembunyi dan persisten dengan akibat-akibat yang sangat fundamental.15
15 Ida Bagus Wyasa Putra, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum: Suatu Model Penerapan Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Universitas Udayana, 2015, h. 21.
13 Kunci penyelesaian masalah ini adalah reformulasi kebijakan. ada dua bentuk reformulasi yang segera perlu diusahakan, yaitu: (1) redefinisi kebudayaan, kebudayaan sebagai sumber daya ekonomi; dan (2) memasukkan kebudayaan sebagai komponen pembangunan pariwisata.
E. KESIMPULAN
(1) Nilai-nilai kebangsaan merupakan nilai-nilai alamiah yang bekerja pada ruang hubungan entitas dengan kesatuan sosial (bangsa) dan interaksi alamiah antara etnisitas dengan homogenitas.
(2) Keseimbangan hubungan entitas dengan kesatuan sosial dalam sifat alamiah dapat diintervensi melalui strategi kebijakan. Penggunaan kebijakan sebagai instrumen politik untuk melakukan intervensi terhadap perubahasan sosial yang bersifat alamiah merupakan model umum yang digunakan oleh negara- negara modern.
(3) Indonesia telah meggunakan model intervensi kebijakan sebagai media pengembangan kesadaran kebangsaan, sebagaimana dapat dikenali di dalam model kebijakan pariwisata Indonesia. Tetapi, “sekularirasi” pariwisata dari kebudayaan dapat membuat pariwisata dengan mudak terjatuh ke dalam status agensi kapitalis dengan berbagai akibat buruk terhadap nilai-nilai kebangsan.
(4) Kebudayaan merupakan akar kepribadian bangsa. Memberikan interpretasi baru terhadap konsepsi kebudayaan dengan berpijak pada realitas ketergantukan pariwisata terhadap kebudayaan merupakan cara epistemelogis yang dapat membantu memulihkan daya hidup dan selanjutnya fungsi-fungsi kebudayaan dalam kehidupan bangsa, serta memulihkan dan memelihara kesadaran entitas terhadap kesatuan sosialnya (bangsa).
14 (5) Pemulihan fungsi-fungsi kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai akar dan penanda identitas bangsa dalam tata pergaulan masyarakat global, dapat dilakukan dengan cara melakukan intervensi kebijakan terhadap kebijakan pariwisata, yaitu dengan cara memasukkan kebudayaan sebagai sektor tambahan dalam pembangunan pariwisata dalam status kebudayaan sebagai sumberdaya ekonomi pariwisata.
15 DAFTAR BACAAN
Calverton, The Making of Society, Modern Library, New York, 1937.
Commins, Saxe and Robert N. Linscott, The Political Philosophers, Modern Pocket Library, New York, 1953.
Harari, Yuval Noah, Sapiens: A Brief History of Humankind, Harvill Secker, London, 2011.
Keeton, George W. and Georg Schwarzenberger, Power Politics: A Study of Internatinal Society, Stevens & Sons Limited, 1951.
Oommen, Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas, Kreasi Wacana, Bantul, 2009.
Putra, Ida Bagus Wyasa Putra, Teori Hukum Dengan Orientasi Kebijakan, Udayana University Press, 2016.
_______, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010.
_______, Kebudayan Sebagai Sumber Daya Ekonomi: Memulihkan Identitas, Meningkatkan Kesejahteraan Umat Manusia, Bali World Culture Forum, Dinas Kebudayaan Bali, 2011.
_______, Problem Konsep Dalam Penyelenggaraan Pariwisata Berkelanjutan, Seminar Nasional Pekan Ilmiah Mahasiswa 2013, Pengelolaan Dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Dalam Konsep Tri Hita Karana Sebagai Upaya Pembangunan Sektor Pariwisata Berkelanjutan Di Bali, 6 Juli 2013.
_______, Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum: Suatu Model Penerapan Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Universitas Udayana, 2015.
Suastra, I Made, Dkk, Kajian Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah Bali Menuju Pariwisata Berkeadilan dan Berkelanjutan, Laporan Penelitian, Universitas Udayana- Direktorat Jendral Ketahanan Nasional RI, 2016.