• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA RELEVANSINYA DENGAN ETIKA BISNIS ISLAM. A. Analisis Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pelaku Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISIS TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA RELEVANSINYA DENGAN ETIKA BISNIS ISLAM. A. Analisis Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pelaku Usaha"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA RELEVANSINYA DENGAN ETIKA BISNIS ISLAM

A. Analisis Ruang Lingkup Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dengan disahkannya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat menjadi landasan bagi konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk memberdayakan dan melindungi kepentingan konsumen, serta membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab.

Hal ini dikarenakan konsumen berada pada posisi yang lemah.

Konsumen menjadi obyek aktifitas bisnis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945.

Penyusunan UU No 8 Tahun 1999 dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen

68

(2)

69

untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Berdasarkan pemikiran tersebut diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.

Berdasarkan pasal 1365 KUHPer : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian bagi orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian.” Pasal ini memberi perlindungan kepada seseorang terhadap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) orang lain. Unsur penting dalam pasal ini ialah perbuatan melawan hukum yang pada zaman dulu ditafsirkan secara sempit, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan UU atau Peraturan Perundangan.

Tetapi kemudian H.R. memberikan tafsiran lebih luas yakni perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar :

a. Hukum atau Peraturan Perundangan.

b. Hak orang lain.

c. Wajib hukumnya sendiri (si pembuat).

d. Keadilan dan kesusilaan

e. Kepatutan yang layak diindahkan dalam pergaulan masyarakat, terhadap orang atau barang.1

1 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok HukumDagang Indonesia Pengetahuan Dasar HukumDagang, Jakarta : Djambatan, 1993, hlm. 135-136.

(3)

70

Berdasarkan KUHPer tersebut kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para produsen menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang dihasilkan, para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang.

Demikian juga bila kesadaran para produsen terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan dunia industri nasional maupun terhadap daya saing produk nasional di luar negeri. Namun demikian, dengan memberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan, pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan dari tanggung jawabnya dalam hal- hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang.

Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk itu, kecuali apabila ia dapat membuktikan keadaan sebaiknya, yaitu bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Tanggung jawab produk, tanpa

(4)

71

kesalahan, merupakan doktrin hukum yang masih baru dan merupakan perluasan dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum. 2

Kriteria perbuatan melawan hukum adalah :

1. Pelanggaran hak-hak. Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak-hak pribadi maupun hak-hak kebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yang melanggar itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya.

2. Unsur kesalahan. Pertanggungjawaban pada kesalahan perdata memerlukan unsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran.

3. Kerugian yang diderita oleh penggugat. Suatu unsur yang esensial dari kebanyakan kesalahan perdata adalah bahwa penggugat harus sudah menderita kerugian fisik atau finansial sebagai akibat dari perbuatan tergugat.3

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Dengan kualifikasi gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Karena kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha.

2 A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, hlm, 243.

3 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit Alumni, 1986, hlm.

199-200.

(5)

72

Penuntutan karena wanprestasi dan karena onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) pelaksanaannya berbeda yakni :

1. Dalam aksi karena onrechtmatige daad maka si penuntut harus membuktikan semua unsur-unsur yakni antara lain bahwa ia harus membuktikan adanya kesalahan pada si pelaku. Dalam aksi karena wanpresptasi maka si penuntut umum menunjukkan adanya wanprestasi, sedang pembuktian bahwa tentang tidak adanya wanprestasi dibebankan pada si pelaku.

2. Tuntutan pengembalian pada keadaan semula hanyalah dapat dilakukan bilamana terjadi tuntutan karena onrechtmatige daad, sedang dalam tuntutan wanprestasi tidak dapat dituntut pengembalian pada keadaan semula.

3. Bilamana terdapat beberapa debitur yang bertanggung gugat, maka dalam hal terjadi tuntutan ganti kerugian karena onrechtmatige daad, masing- masing debitur tersebut bertanggung gugat untuk keseluruhan ganti kerugian tersebut. Kalau tuntutannya didasarkan pada wanprestasi maka penghukuman masing-masing untuk keseluruhannya hanyalah mungkin bilamana sifat tanggung rentengnya dicantumkan dalam kontraknya atau bilamana prestasinya tidak dapat dibagi-bagi.4

Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur :

4 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat untuk Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : Pradanya Paramita, 1979, hlm. 34-35.

(6)

73

a) Adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan barulah merupakan perbuatan melawan hukum apabila : bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang.5

b) Adanya kesalahan/ kelalaian pengusaha/ perusahaan. Dikatakan ada kelalaian apabila timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena kurang hati-hatinya melakukan suatu perbuatan, atau mengurus sesuatu sebagaimana dikehendaki oleh hukum.

Untuk berhasilnya suatu gugatan berdasarkan kelalaian, penggugat harus membuktikan tiga unsur penting yaitu : pertama, bahwa tergugat dibebankan kewajiban berhati-hati dalam melakukan kewajiban hukumnya, kedua, kewajiban hukum itu dilanggar, ketiga, bahwa akibat pelanggaran itu timbul kerugian.6

c) Adanya kerugian yang dialami konsumen. Penggugat harus membuktikan bahwa ia menderita kerugian sebagai akibat dari pelanggaran kewajiban berhati-hati oleh tergugat. Dalam kerugian itu dapat termasuk kerugian terhadap harta benda, kerugian pribadi dan dalam beberapa hal kerugian uang.7

5 Ibid., hlm. 35.

6 Abdul Kadir Muhammad, op. cit., hlm. 212.

7 Ibid., hlm. 218.

(7)

74

d) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Apabila tanggung jawab dalam kesalahan perdata tergantung pada kerugian, penggugat harus membuktikan bahwa kerugiannya secara sah disebabkan oleh perbuatan tergugat.8

Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan keempat unsur tersebut. Hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen. 9

Berdasarkan penjelasan UUPK pasal 45 ayat (2) penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setia tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan UU ini.

Berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (2) UUPK dihubungkan dengan penjelasannya, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :

a) Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral.

8 Ibid., hlm. 236.

9 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 239-240.

(8)

75

b) Penyelesaian melalui pengadilan.

c) Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.10

Karakter dasar product liability pada dasarnya adalah perbuatan pelawan hukum, maka unsur-unsur yang dibuktikan konsumen, yaitu:

a) Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan pengusaha/ perusahaan.

b) Unsur kerugian yang dialami konsumen atau ahli warisnya.

c) Unsur adanya hubungan kausal antara unsur perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.

Unsur kelalaian/ kesalahan tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya. Sebaliknya hal ini menjadi kewajiban pengusaha untuk membuktikan ada tidaknya kelalaian/ kesalahan padanya. Menurut doktrin product liability, tergugat dianggap telah bersalah, kecuali jika ia mampu

10 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm.

223-224.

(9)

76

membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul resiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi/ menggunakan produknya.11

Penggunaan instrumen hukum acara perdata setelah berlakunya UUPK mengetengahkan sistem beban pembuktian terbalik.12 pasal 28 UUPK berbunyi sebagai berikut:

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22 dan pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.“

Konsekuensinya, jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. 13

Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita tersebut.14

Jika pelaku usaha menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/

atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut pasal 23 UUPK dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.15

11 Yusuf Shofie, op. cit., hlm. 242-243.

12 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm.75.

13 Ibid.

14 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 69.

15 Rachmadi Usman, op. cit., hlm. 219-220.

(10)

77

Pasal 19 ayat (1) UUPK menentukan :

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkannya.”

Bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa :

1. Pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan; dan/ atau

2. Pemberian santunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 19 ayat (2) UUPK).

Kata dapat di situ menunjukkan masih ada bentuk-bentuk ganti rugi lain yang dapat diajukan konsumen kepada pelaku usaha. Seperti keuntungan yang akan diperoleh bila tidak terjadi kecelakaan, kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya.16

Instrumen hukum acara pidana dalam UUPK mengedepankan suatu system beban pembuktian terbalik. Pasal 22 UUPK berbunyi sebagai berikut :

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (4), pasal 20 dan pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Sistem pembuktian terbalik pada pasal 22 UUPK itu terbatas pada kasus pidana. Ada dua hal yang perlu dicermati pada pasal 22 UUPK tersebut.

16 Yusuf Shofie, op. cit., hlm. 76.

(11)

78

Pertama, dikatakan kasus pidana apabila unsur-unsur sistem peradilan

pidana menjalankan wewenang penyidikan, penuntutan dan/ atau peradilan suatu tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Kedua, kasus pidana yang dimaksud pasal 22 UUPK itu terkait dengan ketentuan-ketentuan pasal 19 ayat (4), pasal 20 dan pasal 21 UUPK. Pasal 19 ayat (4) UUPK menegaskan bahwa : “pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/

atau jasa tidaklah mengharuskan kemungkinan tuntutan pidana berdasarkan asas pembuktian terbalik ada tidaknya unsur kesalahan”. Sedangkan pasal 20 dan pasal 21 UUPK masing-masing memberikan penekanan sebagai berikut : 1. Tanggung jawab subyek tersangka/ terdakwa, yaitu; importir, jika

importasi produk barang tidak dilakukan agen atau perwakilan produsen barang tersebut di luar negeri.

2. Tangung jawab subyek tersangka/ terdakwa, yaitu : importir bertanggung jawab atas jasa yang diimpor, jika penyediaan jasa tidak dilakukan agen atau perwakilan jasa asing.17

Dalam proses berbisnis selain memperhatikan prinsip kejujuran, keterbukaan, keramahtamahan, keadilan dan kesukarelaan. Para pelaku bisnis juga perlu memperhatikan aspek usaha yang terus menerus bila tahapan tersebut sudah ditempuh maka keberhasilannya adalah keberhasilan yang diiringi dengan rasa syukur, sebaliknya kegagalannya merupakan kegagalan yang tak perlu diratapi tetapi justru disikapi dengan penuh kesabaran.

17 Ibid., hlm. 123-124.

(12)

79

Untuk menciptakan masyarakat bisnis yang kredible, maka masyarakat bisnis yang bertanggung jawab kepada konsumen adalah masyarakat yang menumbuhkan saling kepercayaan, menjunjung tinggi nilai- nilai kejujuran dan keadilan sebagai ciri utama masyarakat yang beradab. 18

Sebagai konsekuensi hokum yang diberikan oleh UUPK dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberi hak kepada konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha, serta menuntut ganti kerugian yang diderita konsumen.

Berdasarkan hal-hal di atas maka ruang lingkup tanggung jawab pelaku usaha adalah memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan berkaitan dengan gugatan konsumen, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahannya.

Dalam Islam prinsip-prinsip umum dalam aktivitas bisnis adalah prinsip kejujuran, kesetimbangan dan keadilan, kebenaran, keterbukaan, kerelaan di antara pihak yang berkepentingan, larangan memakan harta orang lain secara batil, larangan berbuat zalim, larangan eksploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya.

Dengan demikian tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 UUPK adalah tidak bertentangan dengan nilai-nilai

18 Abdullah Aly, “Dimensi Spiritualitas dalam Bisnis di Indonesia: Perspektif Islam”

dalam Maryadi dan Syamsudin (eds), Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik, Surakarta: Muhammadiah University Press, 2001, hlm. 225-226.

(13)

80

bisnis Islam karena dalam mencapai keuntungan menghindari kerugian seminimal mungkin.

B. Analisis Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen

Dengan mengkaji pasal demi pasal dalam UUPK, tampak bahwa beberapa ketentuan yang tertera dalam UU tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis Islam, walaupun dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama yaitu untuk melindungi konsumen. hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (pasal 7 huruf a ), jujur (pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (pasal 8 ayat (1), huruf a, b, c, d, e), menjual barang yang baik mutunya (pasal 8 ayat (2, 3, 4)), larangan menyembunyikan barang yang cacad (pasal 8) dan lain sebagainya.19

Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri.

Itikad baik akan menimbulkan hubungan baik dalam usaha. Dengan itikad baik pelaku usaha tidak akan melakukan usaha yang merugikan pihak lain.

Dalam Islam itikad baik diwujudkan dalam dua bentuk yaitu itikad baik menuntut seseorang berbuat baik kepada orang lain, dan menuntut agar tidak berbuat jahat/ merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an :

19 Neni Sri Imaniyati , Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Bandung : Mandar Maju, 2002, hlm. 177.

(14)

81

!"#$% &' (&' )*

+

,- .'

"' /01 2 3

! 45

&

' )6(78 9

: /

;

<

Artinya : Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. 20

Kata (suka sama suka di antara kamu ) yang terdapat

dalam ayat di atas, maksudnya adalah pedagang dan pembeli. Namun demikian, bukan hanya berlaku untuk pedagang dan pembeli saja. Tapi berlaku untuk semua jenis usaha yang melibatkan banyak orang. Sebab pada hakikatnya setiap pekerja adalah pedagang.

Adanya prinsip suka sama suka ini merupakan satu isyarat betapa pentingnya hubungan yang harmonis antara pedagang dan pembeli, antara produsen dan konsumen, karena keduanya saling membutuhkan.

Di balik prinsip suka sama suka ini tersirat pula pengakuan atas hak asasi manusia dalam arti yang luas. Secara lebih sederhana, hak-hak konsumen harus mendapat perlindungan. Memang kompetisi dalam setiap

20 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan dan Tafsir Al-Qur’an, 1971, hlm. 122.

(15)

82

kehidupan dan profesi diakui dalam Islam tetapi harus dengan cara yang sehat. Dalam arti tidak mengorbankan hak dan kepentingan orang lain.21

Kejujuran dan kebenaran merupakan nilai yang penting. Sehubungan dengan hal tersebut penipuan, sikap mengeksploitasi orang lain yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang dilarang. Aspek yang berkaitan erat dengan penipuan dan ketidakjujuran merupakan hal-hal yang terdapat dalam sistem jual beli yang tidak menentu, yang akan menimbulkan kerugian salah satu pihak.22

Keadilan merupakan konsep yang sangat komprehensif menyangkut semua segi kehidupan umat manusia. Keadilan juga membuahkan keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan dengan keadilan hukum. Keadilan ekonomi Islam didasarkan pada dua unsur. Pertama, keseimbangan dan proporsi yang harus dipertahankan di antara masyarakat dengan mengindahkan hak-hak mereka. Kedua, bagian yang menjadi hak setiap orang dengan penuh kesadaran harus diberikan kepadanya apa yang dituntut dalam hal ini adalah keseimbangan dan proporsi yang tepat bukannya persamaan.23

Dalam dunia bisnis semua orang tidak mengharapkan memperoleh perlakuan tidak jujur dari sesamanya. Dalam dunia bisnis kejujuran berkaitan dengan kualitas produk, komsumen berhak atas produk yang berkualitas karena ia membayar untuk itu.

21 Firdaus Efendi (eds.), Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta: Nuansa Madani, 1999, hlm. 103-104.

22 Muhammad Nejatullah Siddiqi, The Economic Enterprise in Islam, diterjemahkan Anas Sidik, ”Kegiatan Ekonomi dalam Islam”, Jakarta : Bumi Aksara, 1996, hlm. 58-59.

23 Ainur Rofiq Sophiaan (ed.) Etika Ekonomi Politik Elemen-Elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 1997, hlm. 86.

(16)

83

Dalam masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama tetapi juga faktor pokok yang memberi bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat.

Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh betentangan dengan syarat-syarat yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa hukum Islam menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan haluannya, karena Islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja.

Syari’ah Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat Barat pada umumnya.24

Di dalam fiqih perbuatan-perbuatan yang membawa madlarat kepada

orang lain disebut

>? @ 6=2A B C / =2

“sewenang-wenamg dalam menggunakan hak”. Perbuatan tersebut dilarang oleh syara’.25

24 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.

154.

25 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 16-17.

(17)

84

Keharaman perbuatan tersebut disebabkan dua hal :

1. Setiap orang tidak diperbolehkan menggunakan haknya denga sewenang- wenang yang mengakibatkan madlarat bagi orang lain. Oleh sebab itu penggunaan hak dalam syari’at Islam tidak bersifat mutlak, tetapi ada batasannya. Batasannya adalah tidak membawa madlarat bagi orang lain, baik perorangan maupun masyarakat.

2. Penggunaan hak-hak pribadi, tidak hanya untuk kepentingan pribadi saja, tetapi juga harus mendukung hak-hak masyarakat karena kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan bagian dari kekayaan seluruh manusia.

Bahkan dalam keadaan tertentu hak-hak pribadi boleh diambil atau dikurangi untuk membantu hak-hak masyarakat, seperti zakat, sedekah, pajak, infaq dan lainnya.26

Namun demikian, ada dua tindakan seseorang yang tidak digolongkan ke dalam perbuatan sewenang-wenang, yaitu :27

a. Jika dalam menggunakan hak tersebut menurut kebiasaan tidak mungkin menghindarkan kemadlaratan bagi orang lain.

b. Jika dalam menggunakan hak itu telah dilakukan secara hati-hati, tetapi menimbulkan madlarat bagi orang lain, maka tidak termasuk tindakan sewenang-wenang dan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya secara perdata.

26 Ibid., hlm. 18.

27 Ibid., hlm. 23-24.

(18)

85

Akibat hukum bagi orang yang menggunakan hak sewenang- wenang:28

1. Menghilangkan segala bentuk kemadlaratan yang ditimbulkan oleh penggunaan hak sewenang-wenang.

2. Memberi ganti rugi atas kemadlaratan yang ditimbulkan oleh penggunaan hak secara sewenang-wenang, jika kemadlaratan yang ditimbulkannya berhubungan dengan nyawa, harta, atau anggota tubuh seseorang.

3. Membatalkan tindakan sewenang-wenang tersebut.

4. Melarang seseorang menggunakan haknya secara sewenang-wenang.

5. Memberalakukan hukuman ta’zir atas kesewenangan para pejabat dalam menggunakan haknya.

6. Memaksa pelaku kesewenangan untuk melakukan sesuatu.

Asas dalam pertanggungjawaban seseorang ialah bila ia melakukan suatu perusakan secara langsung atau menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut. Akan tetapi terdapat pula hal-hal di mana tanggung jawab dibebankan kepada seseorang yang tidak melakukan perusakan secara langsung atau menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut. Hal ini dapat kita luruskan dalam tiga bentuk sebagai berikut :

Pertama, si pelaku melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang banyak, maka ia telah bertindak sesuai dengan hukum-hukum yang

28 Ibid., hlm. 24-25.

(19)

86

berlaku. Tetapi tindakannya itu telah mengakibatkan kerusakan pada jiwa atau harta seseorang, dan kemudian ternyata bahwa orang yang dirugikan itu nmestinya tidak menanggung kerugian tersebut. Maka pembayaran ganti rugi dalam hal ini dibebankan kepada baitul mal.

Kedua, Bila si pelaku melakukan sesuatu perbuatan atas perintah

orang lain yang mengatakan bahwa dialah orang yang berwenang dan mempunyai hak. Maka yang harus membayar ganti rugi ialah orang yang memberi perintah.

Ketiga, mengenai paksaan. Seseorang yang dipaksa mengerjakan

suatu perbuatan, bila ternyata tidak mungkin dia dianggap sebagai alat bagi orang yang memaksa, maka hukuman dijatuhkan kepada yang berbuat saja dan tidak kepada yang lain. Bila seseorang itu mungkin dianggap sebagai alat bagi orang yang mamaksa, maka dalam hal paksaan yang tak dapat dihindarkan, perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepada orang yang memaksa dan akibat perbuatan itu dibebankan kepada orang yang memaksa, di mana ia harus membayar ganti rugi atas kerusakan. Adapun paksaan yang tidak dapat dihindarkan, maka hal itu tidak dapat menggugurkan pertanggungjawaban di bidang harta dan tidak pula menggugurkan tanggung jawab si pelaku.29

Dalam hal pengaruh halangan-halangan dalam pertanggungjawaban hukum, para ahli fiqih menetapkan bahwa anak-anak dan orang gila

29 Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A.

Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah”, Jilid IV, Jakaarta : Bulan Bintang, 1970, hlm. 118-119.

(20)

87

mempunyai kewajiban yang patut menjadi landasan tanggung jawab dalam biang kebendaan semata, seperti penggantian dalam bidang perpuataran harta, denda karena merusakkan milik orang lain, hubungan perseorangan, kewajiban membayar nafkah, pembayaran pajak, kharaj hasil bumi, karena dalam hal ini hartalah yang dituju dan pembayarannya cukup dilakukan oleh pihak wali.

Adapun kewajiban menerima pembalasan dan hukuman, maka hal ini tidak dapat dilandaskan kepada tanggung jawab anak-anak dan orang gila, karena hukuman adalah suatu balasan atas kelalaian, sedangkan kedua orang itu tidak tergolong orang yang mempuyai ahliyah dalam hal ini.

Bila kedua orang ini tidak mempunyai harta, maka apa yang diwajibkan atas keduanya sesuai dengan kewajibannya ditangguhkan pembayarannya sampai ada kelapangan atau kesanggupan untuk membayar.

Tidak wajib atas wali atau orang yang berkuasa atasnya melakukan penggantian, kecuali bila perusakan atas sesuatu barang itu ditimbulkan karena kelalaian wali atau orang yang berkuasa itu atau kerusakan itu timbul karena dirangsang oleh wali atau orang yang dipuasakan itu.30

Kekeliruan atau ketidaksengajaan yaitu terjadinya sesuatu yang tidak dikehendaki oleh pelakunya. Jika kekeliruan atau ketidaksengajaan itu menimbulkan kerusakan pada hak Allah, si pelaku kekeliruan ini dimaafkan, sehingga kekeliruannya dipandang tidak merusakan hak Allah. Dan jika

30 Ibid., hlm. 116-117.

(21)

88

kekeliruan atau ketidaksengajaan itu menimbulkan kerusakan atau kerugian pada hak manusia, dapat memberikan keringanan.31

Paksaan yaitu tekanan seseorang terhadap orang lain untuk mengucapkan suatu perkataan atau untuk melakuikan suatu perbuatan yang tidak disenangi.32

Paksaaan mempengaruhi ahliyatul ‘ada dalam hal baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, meskipun tidak menghilangkan ahliyahnya, sebab orang yang dipaksa tetap dituntut untuk melakukan semua tuntutan syari’ah.33

Dengan demikian perlindungan terhadap konsumen menurut hukum Positif dan hukum Islam adalah sama, yakni agar tidak ada yang merasa dirugikan.

Tanggung jawab pengusaha Muslim adalah menciptakan produk yang berkualitas sehingga konsumen tidak dirugikan, dan apabila konsumen merasa dirugikan, dapat mengajukan gugatan melalui lembaga peradilan maupun non peradilan sebagaimana yang diatur oleh undang-undang yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan demikian, tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana dimaksud UUPK tidaklah bertentangan dengan hukum Islam.

31 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Ilmu Fiqih, Jilid II, Direktorak Jenderal Pembuinaan Kelembagaan Agama Islam, Yogyakarta : 1984/1985, hlm. 38- 39.

32 Ibid., hlm. 43.

33 H.A. Djazuli, I Nurol Aen, Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 73.

(22)

89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian bab-bab sebelumnya, dapatlah ditarik suatu kesimpulan:

1. Ruang lingkup tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab produsen dalam menjaga kualitas produk dengan membatasi resiko kerugian yang diderita konsumen seminimal mungkin. Dalam hal konsumen menderita kerugian akibat cacat produk, UUPK memberikan hak kepada konsumen untuk menggugat produsen. Pelaku usaha dianggap bersalah atas kerugian yang diderita konsumen kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Sehingga konsekuensinya jika gagal membuktikan ketidaklalaiannya maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki kekuatan hukum yang sah sehingga ia harus memikul tresiko kerugian yang dialami konsumen. Sedangkan bentuk ganti rugi tersebut berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa atau perawatan kesehatan, dan pemberian santunan.

2. Dalam Islam prinsip-prinsip umum dalam aktivitas bisnis adalah prinsip kejujuran, kesetimbangan dan keadilan, kebenaran, keterbukaan, kerelaan di antara para pihak yang berkepentingan. Bisnis harus dilandasi oleh kesadaran menjauhkan diri dari praktek bisnis terlarang serta jauh dari

89

(23)

90

penipuan, berbuat zhalim, dan saling merugikan yang akan membuat orang lain teraniaya, karena bisnis pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari keridhaan Allah. Bisnis tidak bertujuan jangka pendek tetapi bertujuan jangka pendek dan jangka panjang yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial di hadapan masyarakat, negara dan Allah.

3. Penerapan tanggung jawab pelaku usaha menurut UUPK, adalah tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika bisnis Islam yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Karena tidak ada pihak pihak yang dirugikan. Dengan demikian sistem tanggung jawab pelaku usaha menurut hukum Positif dan hukum Islam adalah sama, yakni bertujuan untuk melindungi pihak-pihak yang lemah agar tidak ada yang merasa dirugikan.

B. Saran-saran

Karena UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah undang-undang yang masih baru (berlaku mulai 20 April 2000), tentunya tidak semua rakyat Indonesia khususnya umat Islam mengetahuinya, sehingga perlu diadakan sosialisasi khusus tentang undang-undang tersebut, yakni bahwa tanggung jawab pelaku usaha tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Dalam pelaksanaan undang-undang tersebut, hendaknya pemerintah betul-betul memperhatikan aspek-aspek kemaslahatan, artinya tidak ada

(24)

91

pihak-pihak yang merasa dizhalimi dan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagi pelaku usaha, khususnya pengusaha Muslim hendaknya memenuhi aturan-aturan yang berlaku khususnya dalam hal tanggung jawab produk. Dalam hal ini adalah UU No 8 Tahun 1999 karena hal ini merupakan perangkat hukum yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif sehingga tujuan dari undang-undang ini dapat tercapai.

C. Penutup

Syukur alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan pembahasan skripsi yang sangat sederhana ini. Shalawat dan salam kami junjungkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Penulis menyadari bahwa pembahasan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca agar lebih baik sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap skripsi sederhana ini bermanfaat, Amin.

Referensi

Dokumen terkait

7 Pengertian hutang piutang yang lain ialah memberikan sesuatu (uang atau barang) kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan

Semua madzhab fiqih dan para ulama salaf kontemporer secara tegas dan jelas telah menyatakan di banyak pendapat mereka, bahwa yang menghalalkan pembunuhan terhadap

Pasar industri perasuransian mengalami perubahan dengan total perusahaan perasuransian sebanyak 380 perusahaan yang terdiri dari 45 perusahaan asuransi jiwa, 85 perusahaan

Skripsi karya Sa’adah Lutfi Nur Aini (2199188) yang berjudul Tanggung Jawab Pelaku Usaha Relevansinya Dengan Etika Bisnis Islam ( Studi Analisis Pasal 19 UU

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

Soedarsono (1992), menyatakan pendapat yang diterima petani dari hasil produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi,

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Surga adalah tempat sementara dimana mereka yang telah banyak melakukan perbuatan baik akan mengalami kebahagiaan yang lebih lama, sedangkan neraka adalah tempat