• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membongkar Jaring Kuasa di Balik Aksi Kekerasan Berjubah Agama.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Membongkar Jaring Kuasa di Balik Aksi Kekerasan Berjubah Agama."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

セ@

:")

Diterbitkan:

Unit Penerbitan

Fakultas Sastra Unud

(2)

PUSTAKA

Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya

ISSN 0215-9198

JS.184.12

Volume XII, Nomor 2 • Agustus 2012

Terbit dua kali setahun pada bulan Februari danAgustus. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis bidang kebudayaan. ISSN 0215-9198

Ketua Penyunting

Made Jiwa Atmaja

Sekretaris Penyunting

I Ketut Sudewa

Penyunting Pelaksana

IB. Putra Yadnya I Nyoman Suarka

I Ketut Kaler Maria Maltidis Banda

Mitra Bestari

I Wayan Cika (Unud) I Dewa Putu Wijana (UGM) Nengah Bawa Atmadja (UNDIKSHA) Henricus Supriyanto (IKIP Negeri Surabaya)

I Ketut Subagiasta (IHDN Denpasar)

Pelaksana Tata Usaba

I Gusti Bagus NgurahAntara, SE.,MM

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Sastra Unud

Jln. Nias 13, Denpasar-Bali, Telp (0361)224121,E-milatmajajiwa@yahoo.corn

Pustaka Jurnal Ilmu-ilmu Buda ya terbit pertama kali dengan nama Widya Pustaka

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kerta HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Petunjuk Bagi ( calon) Penulis Pustaka di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.

(3)

PJIB

PUSTAKA Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya

ISSN 0215-9198

Volume·XII, Nomor 2 • Agustus 2012

DAFTARISI

KATA PENGANTAR ... m

MEMBONGKARJARING KUASA

DI BALIK AKSI KEKERASAN BERJUBAH AGAMA

I Gusti Ketut Gde Arsana ... セNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN@ 145-163

PEMBANGUNAN PUSAT INFORMASI MAJAPAHIT: UPAYA PEMASYARAKATAN TINGGALAN ARKEOLOGI DI SITUS TROWULAN

Zuraiclah ... ... ... 164-17 4

UPAYA MENINGKATKAN KES.ADARAN DAN APRESIASI MASYARAKAT TERRl\DAP MUSEUM:

STUDI KASUS PENGELOLAAN MUSEUM MANUSIA PURBA DI GILIMANUK KABUPATEN JEMBRANA-BALI

I Nyoman Wardi dan I Wayan Srijaya ... 175-195

YOGA DALAM PENINGKATAN KEROHANIAN BAGI MASYARAKAT HINDU BALI

(SEBUAH KASUS DI DUSUN SILAKARANG)

Ni Ketut Suci ... 196-206

LANGKAH SIMBOLIK DALAM MEMAHAMI KARYA SASTRA MENURUT PAUL RECOEUR

Maria Matildis Banda ... , ... 207..;215

TOKOH MAGGIE KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL

(4)

BEBERAPA KENDALA PEMBELAJAR BAHASA INDONESIA PENUTUR BAHASAJEPANG

I Wayan Simpen ... 230-256

DEFINITE AND INDEFINITE ARTICLE IN ENGLISH AND FRENCH (COMPARATIVE STUDY)

Putu Weddha Savitri ... .-... 257-267

FUNCTIONS OF QUESTIONS IN SCHOLARLY WRITING

f Nyoman Tri Ediwan ... 268-280

MAKNA VERBA AGARU SEBAGAI VERBA INTRANSITIF YANG BERPOLISEMI DALAM BAHASA JEPANG

Ira Natasha Naomi Purba ... 281-292

Pedoman Bagi Penulis

Untuk Jw:nal Ilmu-ilmu Budaya PUSTAKA ... 293-294

Indeks Penulis ... セNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN@ 295

(5)

KATA PENGANTAR

Aksi anarkis yang mengatasnamakan. agama seperti diperl.i.1iatkan televisi

swasta nasional telah menjadi pemandangan keseharian. Pernyataan ini mungkin

agak berlebihan, tetapi mungkin ungkapan

mi

yang dapat merepresentasikan

perasaan tidak nyaman sebagian orang ketika aksi kekerasan mengatasnamakan

agama menj'.1-di fenomenal. Di sisi lain. dari representasi itu, tersimpan pertanyaan

mengapa harus meialrukan tindakan kekerasan ketika suatu realita keagamaan

tampak h.erbeda dari apa yang kita yakini. Bahkan, dengan mengatasnamakan

agama tertenffi kita mengontrol perilaku cLm realitas lain, yang dalam pandangan

kita tampak berbeda clan tidak sesuai dengan apa yang kita p_ersepsikan. Apakah

fenomena ini merupakan tempat ketidaksaran agama dalam melakukan tindakan

tertentu?

Seorang- ilmuwan memiliki kepekaan untuk melihat kemudian mengamati

suatu fenomena yang menyimpang dari nilai kemanusiaan clan k.:!benaran. Walaupun

kebenaran itu sendiri·bersifat relatif, kadang-kaclang kehilangan tolok ukur, seorang __ ilmuwan membawa. watak yang konsisten dalam memperjuangkan kebenaran, meskipun jiwanya terancam. Dari sisi tematik, jelas fenomena seperti ito.1 merupakan objek aktual yang ·perlu dikaji seraya menunjukkan sikap keberpihakan ilmu · pengetahuan, lebih khusus ilmu · humaniora kepada kebenaran dan kemanusiaan. Tentu saja dalam mengkaji fenomena yang clemikian, sang ilmuwan harus melakukan analisis yang tajam, tidak memihak clan mengutamakan argumentasi.

dセ@ Pustaka ]urnal Ilmu-ilmu Budaya nomor 2, Agustus 2012, pembaca yang budimari disajikan tulisan yang membongkar fenomena tindakan anarkis

seperti itu,

cWam

tulisan berjuclul "Membongkar Jaring Kekuasaan di Balik Aksi

Kekerasan Berjubah Agama", yang ditulis I Gusti Ketut Arsana", disusul tulisan "Pembangunan Pusat lnformasi Majapahit: Upaya Pemasyarakatan Tinggalan Arkeologi" karya Zuraidah, clan "Upaya :t-.1eningkatkan Kesadaran clan Apresiasi Masyarakat Terhadap Museum: Stucli Kasus Kabupaten Jembrana-Bali'' karya I ··

Nyoman Wardi clan I Wayan Sujaya. Keclua tulisan terakhir ini menunjukkan sikap

kepedulian arkeolog -kita terhaclap informasi mengenai tinggalan arkeologi yang menurut pengamatan mereka kurang menclapatkan perhkuan yang sepatutnya ..

Bukanlah sesuatu yang ironis ketika aksi arnakis mengatasnamakan agama menjadi fenomenal di Jakarta, scmentara di sebuah desa di Bali, -yakni di Silkarang, Ubud dikembangkan latihan yoga untuk menjernihkan pikiran clan tinclakan. Karena tinclakan bersumber dari pikiran, betapa pentingnya menjernihkan pikiran, sebelum

(6)

laporannya ber.judul ''Yoga dalam Peningkatan Kerohanian bagi Masyarakat di Dusun Silkarang". Selanjutnya, Maria Maltidis Banda mencoba mengaplikasikan teori estetika Paul Recoeur tcrhadap puisi Chairil Anwar cukup baik dijadikan inspirasi bagi mahasiswa sastta Indonesia. Tulfaan Maria Maltidis Banda berjudul "Langkah Simbolik dalam Memahami K.arya Sastta Menurut Paul Ricoeur".

Melengkapi kajian sastta Banda, Yusuf Santoso menulis "Tokoh Maggie: Kajian Psikologi Sosial" yang dapat memunculkan pertanyaan apakah teori psikologi

sosial dalam diaplikasi dengan tepat terhadap tokoh fiktif, kecuali dengan suatu

penganclaian? Empat tulisan berikutnya adalah serangkaian kajian linguistik dengan objek bahasa berbeda, juga untuk memperkaya perspektif kita.

Semoga sajtan kali ini ada manfaat:r:iya.

(7)

MEMBONGKARJARING KUASA

DI BALIK AKSI KEKERASAN BERJUBAH AGAMA

I Gusti Kctut Gdc Arsana

Jurusan Antropologi Falculw Sastra Unud

ABSTllACT:

Critics toward the government's slow and discriminative responses in dealing with issues related to religious beliefs are the indications that there areno clear boundaries between Nation and religions in Indonesia. Indonesia is not a country that is based on a certain religion or secularism. The vagueness of this identity often generates :nisle-.. ding policies in conducting the nation authority. In relation to that, the nation can be no longer cleac from the influence of majority religion that has power. The psychological condition influenced by the majority of_ religion that has been very dominant in the nation's policies permits political protection upon religion that is hyper protected. Such politica1 authority tends to support the demands of majority gioup in order to protect religion that is legally acknowledged by the nation hence suppressing other religious communities or beliefs that are consented by the decree and human rights. The majority group and the nation then becomes an ally compositing political authority that often determines the policies in this 」ッオョセᄋ@ that is the exchange of authority to support one another. This situation implicates to the vague position between nation and religion. The absence of the nation law and the takeover of the authority for the sake of the majority religion that can often be seen are the results of the collaboration. In the name of majorit)•, a violent aggression for the sake of protecting the religion seems to be legal from the view of religion and the nation law.

. Keywords: authority, violence, and religion

1.

Pendahuluan

Dibandingkan dengan realitas lainnya seperti politik clan ekonoini, agama

tampaknya menempati posisi unik dalam janmng kehidupan manusia.

Jika

ekonomi

secara langsung clan kongkret bersentuhan dengan pemenuhan manusia secara

6.sik, maka agama tidaklah demikian. Agama adalah · realitas 'langit' bersumber dari realitas ontologis yang mutlak, sehingga pembumian clan pemanusiaan agama melewati rentang antropologis, sosiologis dan historis yang berliku dan panjang.

Menurut Syamsul Ari6.n (2005), dalam diri manusia memang terdapat potensi

religious (fitrah majbullah); sehingga dari sudut セ@ agama yang dihadirkan melalui

proses pewahyuan (utusan Tuhan) 'sekadar' mengafumasikan potensi itu. Meskipun demikian, menurutnya penerimaan seseorang kepada agama sampai pada proses fungsionalisasinya tidaklah bersifat seketika. Adan ya jarak waktu, sejarah dangeografi, fungsionalisasi agama pertama-tama akan menghadapi otentisitasnya. Biasanya·para

Ahli agama berkeyakinan, persoalan otentisitas ini dapat diatasi jika kembali ke akar

(8)

dianggap paling otentik, kecuali sebatas pada truth of claim saja yang dilakukan oleh masing-masing paham. Sejarah perkembangan agama ternyata sering direpotkan oleh persoalan itu, karena banyaknya paham-paham keagamaan yang sama-sama bersil--ukuh terhadap hasil pengembaraan hermeneutiknya guna menemukan apa yang dianggap paling otentik dari paham keagamaan yang dikembangkan. - ·

Selanjutnya Syamsul Arifin mempertanyakan, kalau agama secara doktrinal mengajarkan kedamaian lalu mengapa dalam realitasnya justeru rentan terhadap konflik? Konflik sebenamya lebih banyak berada pada ranah sosiologis, baik di tingkat pemaknaan, maupun pada tataran interaksi sosial. Pada tingkat pemaknaan, sejauh ini ma::.ih cukup dominan adanya anggapan bahwa agama yang paling benar dan dapat memberikan jalan keselamatan adalah hanya agama yang dipeluknya;

sedangkan yang lain sesat. Pandangan beragama semacam ini akan mendorong

munculnya sLlcap ganda sekaligus, yaitu defensif dan opensif. Dengan sikapnya

yang pertama, seseorang akan mempertahankan mati-matian terhadap intervensi

kebenaran yangdatangdariagamalain; dan dengan sikap yangkedua, akanmendorong seseorang membentangkan jalan keselamatan kepada pemeluk agama lain. Menurut

Ari.fin, semua sikap ini muncul karena seseorang lebih terpaku pada

eksklusivisme-agama, yakni agama dipahami hanyalah semata sebagai kategori ウゥュ「ッセ@ formalistik

dan ritualistik; atau agama dalam kawasan eksoterik, yang memang mengandung

perbedaan antara·

agama/

paham yang satu dengan yang lain, karena itu sangatlah

mustahil untuk dipertemukan (Syamsul Arifin, 2005: 5-6).

Uday Mashudi mengkategorisasi ke dalam dua kelompok cara pemaknaan

agama yang biasanya berkembang di dalam kehidupan inasyarakat. Pertama,

kelompokorangyangmendalamireligiusitas tertentudankemudianmengartikulasikan keimanan pada level yang lebih kongkret dengan mengamalkannya bagi kebajikan

sesama, siapa pun dan dari kepercayaan apapun.

Kedua,

adalah kelompok

masyarakat religius yang menekuni keimanan dan keyakinan tertentu, tetapi tidak

bersedia keluar dari kelompok keimanannya dan cenderung menganggap kelompok

keimanan yang lainnya, sebagai sesuatu yang salah, sesat, menyimpang, oleh

karenanya perlu diluruskan (salvation of claim).

Selanjutnya, Mashudi membedakan bahwa kelompok pertama memahami agama sebagai penghayatan, dan yang kedua lebih banyak memahaminya sebagai semata ilmu pengetahuan. Sebagai penghayatan, dalam pandangan kelompok

pertama, agama adalah sejumput nilai yang harus dikunyah sebelum dilafalkan;

agama dengan demikian dipandang sebagai norma yang -harus diimani dengan segenap rasa, jiwa, dan kemudian laku. Sebaliknya, bagi kelompok kedua, agama dipelajari sebagai pengetahuan yang lebih menekankan pada kemampuan untuk melafalkannya. Ajaran · agama dilafalkan dengan riuh-gemuruh tetapi seringkali

:,1

i

セ@

'l セ@

'

;\ 1, セ@

'

•,

!

·1

j

l

(9)

i セN|@

kehilangan makna terdalamnya. Mereka lebih asyik masuk tenggelam clalam

kebisingan lafal ayat-ayat suci dan jarang sekali menceburkan diri clalam 'tempuran'

realitas spiritual. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, Mashudi menilai bahwa clalam

masyarakat kita (di Indonesia) tampak sekali lebih ban yak 、ゥセ・ュ。ョァ。エゥ@ oleh

hingar-bingar pelafalan ayat-ayat sud, klaim-klaim sebagai kelompok yang paling benar;

dan bahkan agama telah dipakai secara institusional sebagai instrumentarium untuk melegitimasi pembenaran. Kasus yang menimpa Ahmadiyah memang hanya salah satu dari sekian persoalan yang ada. Berbagai aksi yang mengarah kepada gangguan

dan ketenteraman beragama dari penghalangan kegiatan beribadah, penutupan

tempat ibadah, pengerusakan tempat ibadah yang tak pelak lagi sampai menimbulkan

korban jiwa, sampai saat ini m::.sih menjadi persoalan di negeri yang sangat majemuk dari segi agama ini (Mashudi, 2005: 19-21). Mセ。ュー。ゥ@ memasuki penghujung tahun

2012 ini pun persoalan kehidupan beragama di negeri ini belum menunjukkan

tanda-tanda berakhir. Beberapa saja contoh dari kondisi sejenis, misalnya ketegangan yang berlanjut pembakaran pusat pendidikan agama (pesantren) yang terjadi di Sampang Madura, dan ketegangan antar umat beragama di sekitar komplek perumahan. Taman

Yasmin Bogor (TY. One,16 dan 22 Januari 2012). Sementara persoalw. mengenai

keberadaan Jemaah Ahmadiyah yang telah berkepanjangan, sampai kini pun masih

belum menemukan solusinya.

2. Kekerasan Bejubah Agama

Fenomena yangsebangundengancara pemahaman beragama yang dogmatism,

negeri ini masih dihantui oleh mitos para "jihader" (Suhadah) yang mengiklaskan

dirinya menjadi bomerdalam peristiwa ''born bunuh diri" (dengan sebutan populer

"calon pengantin surga''); Gejala semacam itu pada dasarnya bersumher dari produk proses pemahaman beragama yang terdoktrinasi oleh pemikiran-pemikiran

yang cendrung bersifat imajiner. Hal ini seringkali herakar dari proses intemalisasi

beragam.a yang ditanamkan melalui sistem pedagogis yang terdoktrinir clan

in-breeding. Proses ini terjadi karena umumnya mereka adalah kelompok-kelompok

kecil dengan rekruitmen yang relatif tertutup. Pemikiran mereka cendrung ke dalam, tidak ada upaya untuk meluaskan horizon ke luar, sehingga tidak tnuncul input yang terbuka. Jadi, radikalisme mereka sesungguhnya bersifat emosional clan tradisi berpikirnya cendrung politis clan militan. Melalui tesis-tesisnya yang biasanya simplistik clan naff menyebabkan mereka mudah terasut untuk bertindak anarkis, terlcbih-lebih dalam menyikapi masalah-masalah penistaan aqidah agama. Produk

ini kemudian dengan mudah diarahkan sebagai instrument untuk mendukung

(10)

pemimpinnya (Kuntowijoyo, 1993: 206).

Tampaknya sulit dijelaskan dengan akal rasional, tetapi memang begitulah agama; Agama bukannya tidak rasional, melainkan berada di wilayah pemikiran 'irasional'. Para penganut Maocis kemudian mendifinisikannya bahwa 'agama' adalah madat bagi rakyat (Moeslim Abdurrahman, 2003: 54). Pandangan semacam itu seringkali berangkat dari asumsi-asumsi seputar bagaimana suatu ajaran (agama) diintermilisasikan, apakah lebih menyentuh keimanan/ ke-taqwa-an seseorang ataukah lebih mengarah kepada pembentukan imajinasi. Apabila sasarannya lebih

mengarah kepada pembentukan imajinasi, maka sangatlah mungkin perilaku

beragama seperti yang disebutkan di atas bisa terjadi. Ketika imajinasi telah tertanamkan dengan kuat maka wilayah pemikiran rasionalitas akan mudah diliputi oleh obsesi-obsesi imajiner yang halusinatif .. Dalam proses intemalisasi inilah doktrin-doktrin (ideologt) akan berkembang menjadi berhala-berhala; dan biasanya dengan mudah membentuk pandangan-pandangan yang bersentimenkan agama. Fanatisme beragama biasanya lahir dari cara pemahaman beragama semacam itu dan ketika diarahkan menjacli ekstrim, sangatlah mungkin menjadikannya benih-benih berkembangnya sikap-sikap radikalisme beragama. Menurut M. Subhi Azhari (2005: 14), sikap semacam itu tampaknya semakin menguat di Indonesia bersamaan dengan berlangsungnya proses pelembagaan gerakan-gerakan keagamaan tertentu

di masyarakat. Munculnya Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) yang

terdiri atas berbagai ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPJ), Hisbuttahir Indonesia (HTI), Front Ukhuwah Islamiah Indonesia (FUil), Persatuan Islam (Persis) dan sebagainya; menjadikan kelompok-kelompok Islam fanatik yang sebelumnya berserakan, menemukan salurannya yang tepat. Selain itu, masih ada gerakan-gerakan agama militan lainnya yang terbentuk melalui proses pemahaman

ajaran

agama

yang

in-breeding.

Salah satu di antaranya yang pemah marak

、ゥー・イ「ゥョセァォ。ョ@ media adalah misalnya Jema'ah Anzhori Taoh'id (JA1) pimpinan Uztad Abu Bakar Ba'zir. Melalui sistem rekruitmennya yang ketat dan tertutup, para pengikut gerakan keagamaan semacam itu biasanya dikenal memiliki karakter militant sehingga memungkinkan para pemimpinnya untuk mengarahkan organisasi

itu sesuai keinginannya. Dalam proses penanaman ajaran agama itu tak jarang

terjadi berbagai manipulasi atau pembajakan ayat-ayat yang terdapat di.dalam kitab suci. Hal itu dimaksudkan terutama untuk membentuk karakter keagamaan yang

cenderung absolut セ@ eksklusif. Dengan begitu mereka biasanya menjadi sangat

(11)

memandang mereka sebagai pihak yang bersalah; oleh karenanya harus dihukum.

Hukum yang diterapkan di sini bukan lagi dalam koridor hukum Negara, melainkan

hukum massa yang jauh lebih kejam clan sadis.

Kekerasan agama (sacred violence) sebetulnya selain muncul dari proses

pembajakan teks-teks kitab suci, dogma, dan tafsir agama yang kemudian ditanamkan melalui teknik pendoktrinan, juga disebabkan karena agama dihayati sebagai

semacam 'barang' yang serba

magis

clan serba mutlak. Agama dipandang tidak

bisa diinterpretasikan kembali, apalagi disesuaikan dengan perkembangan jaman. Agama dengan demikian, dipahami sebagai sesuatu yang serba teosentris, bukan

antroposentris; dan atau sebagai the ultimate concern (mutlak benar dan dipegang

teguh). Akibatnya, agama akhirnya menjadi berhala-berhala baru sehingga orang

beragama menjadikannya 'idolatry · dan bukan sebagai kritik sosial (Qodir, 2007:

225).

Sama bahayanya dengan radikalisme ekstrim, dalam perjalanan sejarah agama

(kini Islam khususnya di Indonesia) juga sedang dihadapkan pada · persoalan

dogmadsme beraganm. Pada hal agama Islam sendiri berbeda sekali dengan

sebagaimana agama dipahami oleh Barat; Islam (main-stream) menurut Kuntowijoyo

bukanlah sebuah sistem teokrasi, ケセエオ@ sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh

pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cru:a yang didikte oleh teologi. Lebih

jauh Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa, di dalam struktur keagamaan Islam

tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Nilai-nilai Islam

pada dasamya bersifat all-embracing. Oleh katena itu, tugas terbesar Islam adalah

melakukan transformasi sosial dan budaya (Kuntowijoyo, 1993: 197).

Agak janggal kalau belakangan ternyata petjalanan sejarah Islam mulai ditandai oleh berkembangnya pemikiran-pemikiran teokratik yang oleh para penganut tertentu seolah-olah menempatkan agama (Islam) menjadi 'bagaikan monumen' clan bukan lagi sebagai medium transformati£ Penyimpangan arah Islam seperti itu pernah dikritik oleh seorang cendikiawan Islam yang dikenal berpandangan liberal

yaitu Ulil Abshar-Abdala. Kritik yang dilontarkannya itu sesungguhnya berpusat

kepada persoalan trend mengenai bangkitnya kembali isu penegakan 'syari'at' di

Indonesia yang seringkali diliputi tindakan kekeras?-fi. Dalam kritinya, Ulil Abshar-Abdala menyatakan berik:ut.

(12)

bahwa 'syar'at' adalah suatu 'paketlengkap' yang sudah jadi suatu 'resep' Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala jaman, adalah wujud ketidaktahuan dan

ketidak..-nampuan memahami Sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syari'at

Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk dengan kemalasan

berpikir, atau lebih parah

lagi

merupakan cara untuk lari dari masalah;

sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa mer.erima 'kemalasan'semacam ini, apalagi ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum

Tuhan, yang ada adalah Sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki

umat manusia.

Menurutnya, musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme,

sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia

terus berkembang; dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga

sekarang dari hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua

bangsa" (Ulil Abshar-Abdala, 2003: 1-2).

Sistem keyakinan beragama-yang eksklo.sif yang biasanya menjadi ciri utama

dari dogmatisme seringkali diliputi. oleh sikap-sikap prejudice yang mengedepar.kan

penguatan identitas berasaskan sentiment kelompok yang ber-etos-kan solidaritas

'kami dan mereka'atau we and the others. Sikap semacam ini biasany::i. juga mudah

terjangkiti virus mental xenophobia yang berkecenderungan untuk bersikap

curiga-mencurigai, kebencian, serta menafikan dan bahkan terdorong untuk

mengenyahkan (xenos) terhadap segala sesuatu yang berciri 'sang lain' (the othel).

Mereka melihat dirinya seakan-akan hidup di dalam sebuah wadah kontener yang tertutup dan apa pun yang berada di luar wadah tersebut harus dinafikan (Kristeva, 1991: 191). Sikap inilah dapat mengkondisikan munculnya berbagai rasa keakuan

(egocentrisme), arogansi, intoleransi serta melunturnya rasa empati terhadap

sesama bangsa sendiri, lataran memiliki pandangar: agama yang tidak sebangun de_ngan dirinya. Mereka seringkali asyik terbuai oleh romantisme mengenai kejayaan

sejarah asal- mula agatnanya. Dalam pandangan mereka, 'Islam yang benar' (azah)

hanyalah yang bertradisi ke-timur tengah-an khususnya yang berafiliasi Mekkah di Arab Saudi. Atas dasar itu kemudian mereka dengan tegas menolak anasir-anasir

(Islam) yang berasal dari ranah non-Arab. Dengan demikian, Ahmadiyah yang lahir

di luar ranah Arab- Saudi yakni di Qadian (India) kemudian tidak diakuinya sebagai

bagian dari Islam karena .dianggapnya berada di luar mainstream Islam. Selain itu

(13)

kelompok penganut pemikiran tersebut juga menolak tegas teori Gujarat maupun teori Persia yang berpendapat bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Mereka hanya sepakat dengan teori Mekkah seperti yang pernah diajukan oleh Hamka clan Azyumardi Azra. Dalam pandangan kedua

tokoh ini menegaskan bahwa as:i.l-·muasal Islam di Nusantara adalah Mekkah; bukan

Gujarat dan juga bukan dari Persia (AcengAbdulAzis Dy, dkk., 2007: 1). Pemusatan

orientasi tunggal tentang asal-muasal Islam di negeri ini tidak lain climaksudkan.

untuk mengokohkan kembali integritas umat Islam di seluruh kawasan di dunia

yang bersemangatkan "solidaritas Islam dengan pusatnya yang tunggal"

(Rhabitah

al-Alam al-Islam1).

Melalui pusat yang tunggal inilah kemudian Islam dikendalikan.

Melalui doktrin-dokttinnya yang kuat, pu5at pengendalian Islam tersebut sekaligus dianggap memegang hak atas otoritas Islam di seluruh dunia. Dalam melancarkan misinya, sebagian dari mereka cenderung memperjuangkan Islam melalui cara-cara

kekerasan yang terinspirasikan dari tradisi

Syaukah

di masa lampau. Umumnya

kelompok yang berpandangan radikal itu telah tertanamkan begitu k:uat etos

perjua.ngan agama yang mengusung metode

gital

Gihad bersenjata atau kekerasan).

Atas ulahnya inilah kemudian berkembang dugaan bahwa markas pusat Islam

tersebut menjadi sarangnya bagi 'Muslim Fanatik". Atau dalam sebutan Snouck

Hurgronje sebagai Tarekat yang menganut pah.am 'mistik urakan' dan

kini

lebih

populer dengan sebutan 'teroris' (Baso, 2005:215). Mereka tidak pernah hentinya: untuk menebar hantu teror yang menakuti, sehingga mengakibatkan runtuhnya citra Islam di kalangan Barat karena Islam disti.gma identik dengan agama penebar teror. (Esposito, dkk..,2008:176). Menurut Dawam Rahardjo (2005:3) perang teror yang kembali muncul itu mengingatkannya pada sejarah masa lalu tentang hubungan kelam antara Barat clan Timur (Islam) yang dikenal dengan teori 'perang ideologi'

antar peradaban

(gash al-fik.f).

Polarisasi dan pengkutuban Barat dan Timur sampai

sekarang masih terus berlanjut yang clitandai dengan adanya rasa sating curiga.

Pengkutuban tersebut lahir sebagai produk sejarah panjang pembenturan ideologis antara Islam sebagai dunia Timur dan Kristen sebagai representasi Barnt. Dalam . pembacaan Hassan Hanafi (dalam Listiyono Santoso, dkk.., 2007: 280) bahwa muatan konseptual ideologis inilah yang membuat setiap pertemuan antara clua tradisi selalu disertai clengan letupan-letupan kecurigaan clan kewaspadaan satu terhaclap lainnya.

Selain 'xenophobia' masih ada istilah lain yang dipakai untuk melukiskan mitos

tentang Islam yang pernah berkembang di Negara-negata Bara:t, seperti 'lslamofobi'

clan 'Eurabia'. Mitos ini merupakan bagian clari proyek radikalisme eksu1.m yang

pernah menghantui orang-orang di sekitar Eropa. Mitos itu menggambarkan

(14)

baru Muslim. Mitos itu didasarkan pada realitas pertumbuhan populasi Muslim di wilayah tersebut yang terus mengalami peningkatan. Imigran yang berasal dari wilayah-wilayah timur-:tengah seperti Turki clan ataupun juga imigran kulit hitam asal

Hungaria yang berubah aga..-na menjadi Muslim, dipandang sebagai 。ョ」。ュセ@ ser:ius

bagi penduduk Eropa yang beragama Kristen. Dalam mitos itu juga dihubungkan

pula dengan seorang penembak jitu (snipei) kulit hitam terkenal yang beralih agama

menjadi Muslim bernama John Allen Muhammad. Pengalaman sejarah mencatat bahwa orang-orang kulit hitam yang beralih agama menjadi Muslim sering berbalik haluan untuk melawan N egaranya. Atas dasar pengalaman sejarah itulah, tokoh tersebut dicurigai clan ditakuti (Esposito, dkk., 2008: 176).

Di Afganistan, tokoh mitos yang pernah menghantui dunia Barat, misalnya Osama Bin-Laeden yang disebut-sebut sebagai gembongnya Jama'ah al-Islamiah

OI)

yang juga menempuh perlawanan terhadap dunia Barat melalui cara-cara teror

kekerasan. Organisasi tersebut -memiliki jaringan luas di seluruh dunia termasuk Asia khususnya Indonesia. Namanya menjadi lebih populer sebagai ikon "jihader" manakala ia secara gemilang berhasil meluluh-lantahkan pusat bisnis dunia yakni

gedung kembar WfC (Word Trade Centre) di Amerika Serikat melalui cara

menabrakkan pesawat terbang. Walaupun gembong teroris tersebut kini telah tiada, tetapi mitos bertemakan perang teror yang dikonstruksinya masih mengahantui dunia Barat karena sepeninggalnp masih banyak para pengikutnya yang potensial melanjutkan petjuangannya sebagai "sUhadah".

Menurut Zuly Qodir (2007: 34) fenomena beragama semacam itu merupakan sinyalemen bahwa agama telah tergerus dan dimanfaatkan menjadi' ideologi ketika agama tersebut berkesempatan melakukan ekspansi. Dalam kesempatan itulah kemudian para pemeluknya yang fanatik merasa perlu untuk menundukkan agama lainnya dengan cara-cara kekerasan di luar batas-batas peri-kemanusiaan, karena

mereka menganggap agama atau ajaran iainnya -telah menyimpang dari kehendak

Tuhan. Kekerasan berjubah agama seperti itu jauh lebih mengerikan ketimbang

persebaran ideologi-ideologi dunia seperti yang sering dikhawatirkan ofoh kaum agamawan, semisal: sosialisme-komunis dan kapitalisme. Menurut Zuly Qodir berbahayanya dari agama yang menjadi ideologi bukan saja karena agama tersebut

tidak dapat memberikan respons positif dan segera (rapid response) atas

problem-problem yang muncul, tetapi tendensinya lebih mengarah pada adanya politisasi dari kelompok yang merasa memiliki otoritas menafsirkan agama tersebut. Dari sanalah -agama-agama yang teddeologisasi biasanya lebih mencerminkan wajahnya yang instanan, kering clan tidak lagi mencerahkan. Selanjutnya, Zuly Qodir menunjukkan bahwa walaupun semua agama tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri adanya ideologi yang dibawanya, terlebih-lebih agama-agama rumpun Abraham (Yahudi, Kristen

(15)

dan Islam). Ketiga rumpun agama tersebut menurut Zuly Qodir sangat kuat dengan ideologi misionarisnya yang tak jarang membawa akibat bentrokan antar sesamanya termasuk dengan agama lainnya. Dalam sejarahnya selama bertahun-tahun wacana ketegangan antar mereka terus melanda dunia. Bahkan telah menyulut perang di berbagai kawasan yang menelan korban jiwa, yang oleh mereka 、ゥー・イ」。ケ。ゥョセZM。@

sebagai 'mati di jalan Tuhan'. Di sinilah sifat dari ambivelensi beragama tersebut; di satu sisi dia mengajarkan perdamian, keselamatan, tetapi di sisi lainnya justru dibarengi dengan kekerasan, pertumpahan darah dan menjadi salah satu sumber bencana kemanusiaan (Zuly Qodir, 2007: 34-35).

3.

Kemayoritasan dan Kekuasaan: Membangun Proyek Koalisi

'Sesat', satu kata yang sampai beJakangan ini masih terus menggulir dan sekaligus sering mewarnai topik-topi.k pemberitaan media massa di Tanah

Air.

Dalam agama Islam, institusi yang dianggap memiliki legalitas untuk mengeluarkan

fatwa seperti sesat-menyesatkan, haram-halal dan sebagainya, adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun demi.kian, dalam implementasinya fatwa sesat dalam

konteks keagamaan itu selalu merupakan hubungan sinergis antara MUI dengan institusi-institusi lainnya dalam menjamin leg.ilitasnya. Legalitas fatwa (sesat), dengan demikian akan dipandang leLih legitimit apabila hal itu dikeluarkan melalui adanya sinergi antara MUI dan institusi Negara seperti kejaksaan Gaksa Agung), kementerian

agama

(Menteri Agama) dan kementerian dalam negeri (Menteri

Dalam Negen).

Terbilang uni.k t:unpaknya di Indonesia, ketika fungsi kejaksaan juga terkait dengan 'kepentingan agama'; yang dalam konteks kepentingan untuk meluruskan paham-paham keagamaan yang dianggap menyimpang. Keunikannya itu pen:iah dipertanyakan 'Kompas"(dimuat dalam terbitan 5 Agustus 1993) yang berbunyi:

"Sejak kapan sebetulnya kejaksaan diberi wewenang begitu luas untuk menindak ォ・ャッューッォセォ・ャッューッォ@ agama dan kepercayaan yang dianggap menyimpang itu?; Sejak kapan kejaksaan mengimajinasi.kan dirinya sebagai pelindung dari apa yang kemudian disebut kesucian agama dan ketenteraman kehidupan umat beragama?".

(16)

Dalam UUDS 19 50 Pasal 43 ayat (3) ada disebutkan bahwa "Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan clan pcrsekutuan agama yang diakui". Dalam ayat (5) "Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patut taat kepada undang-undang termasuk aturan-aturan hukum yang tidak tertulis".

Menurut Ahmad Baso ada dua kata: "diakui" clan "perlindungan", yang

mengarah kepada fungsi Pemerintah (dalmn hal ini kejaksaan) memiliki 'imajinasi'

untuk menentukan mana aga..+na yang diakui clan mana yang tidak; atau mana yang resmi clan yang tidak resmi.

Menurut Ahmad Baso (2005: 241-247), kemunculan biro Pengawasan

Terhadap Kepercayaan Masyarakat (Pakem) terinspirasikan dari UUDS 1950

pasal 43 yang sesungguhnya rumusan kata-katanya masih mengandung sejumlah

kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan dari kata dalam pasal 18 UUDS 1950

tersebut maka Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (menjabat 19 53-19 55) berinisiatif

membentuk Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-icepercayaan di dalam masyarakat (disingkat: Panitia lnterdep Pakem) dengan SK. No. 167 / PROMOSI/1954 yang diketuai oleh Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung

pada Mahkamah Agung. Salah satu tugas dari panitia ini adalah "mempelajari dan

menyelidiki bentuk, corak, clan tujuan dari kepercayaan-kepercayaan di dalam

masyarakat beserta cara-cara perkawinan".

Dalam upaya untuk mengefektifkan penangkalan terhadap kemunculan aliran-aliran paham keagamaan semacam itu, maka pada tahun 1960, lembaga tersebut

ditingkatkan menjadi セゥイッ@ Pakem' (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Biro

pa.kem tersebut memiliki tugas pokok yaitu "mengkoordinasikan tugas pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan dalam masyarakat bersama instansi-instansi · pemerintah lainnya untuk kepentingan keagamaan clan ketertiban umum". Lembaga ini kemudian dikukuhkan pula oleh Tap MPRS No. II/1960 tentang Garis-Garis ·Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta berencana Tahapan Pertama

1961-1969. Ada tiga tugas pokok yang dijabarkan dalam Tap MPRS tersebut, sebagai

berikut:

(1) (2)

Menyalurkan kepercayaan/ agama ke arah pandangan yang sehat;

Menyalurkan perkembangan kepercayaan/ agama itu ke arah ke-Tuhan-an Yang Maha Esa;

(17)

Tap MPRS ini pula yang mendasari lahirnya UU Pokok Kejaksaan tahun 1961 yang membebankan tugas kepada kejaksaan pada fungsi 'pengawasan terhadap

kelompok-kelompok agama kepercayaan dalam masyarakat'. Lembaga PAK.EM ini

kemuclian menjadi bersifat nasional, didirikan di tiap-tiap provinsi clan kabupaten, melalui Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No. 34/Pakem/ S.E./61 tanggal 7 April 1961. Tugas pokok Pakem terutama adalah:

"mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran kepercayaan/ kebatinan, memerikas clan mempelajari buku-buku, brosur-brosur keagamaan/ aliran kepercayaan, baik

yang berasal dari dalam maupun luar negeri, demi kepentingan ketertiban

umum".

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas dalam penertiban agama/ kemunculan aliran kepercayaan yang berpotensi dapat · mengganggu ketertiban

umum, maka melalui Surat Instruksi Jaksa Agung No. 1 /Insr/Secr/1963 tanggal 5

Pebruari 1963dirumuskan dua butir tugas dari biro Pakem, seperti:

(1) Ajaran-ajaran/ gerakan-gerakan yang dapat menimbulkan gangguan

ketertiban/ keamanan umum;

(2) Ajaran-ajaran/ gerakan-gerakan yang dapat merugikan para pengikutnya

atau masyarakat umwnnya di bidang mental/ spiritual clan ュ。エセイゥ。ャN@ Dalam

hal suatu gerakan agama/ aliran kepercayaan memunpakkan tanda-tanda

clan kecenderungan kea rah kesesatan, maka Tim Pakem harus mengambil

tindakan pencegahan.

Pada hakikatnya secai:a hukum, kedudukan Pakem dipandang masih· lemah

karena bclum memilik:i. payung hukum yaitu Undang-undang. Menurut Weinata

Sairin (1996: 26-28), tugas pengawasan yang dilimpahkan kapada Biro Pakem Kejaksaan mulai mendapat kedudukan hukum (hukum positif) sejak dikeluarkannya Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tanggal 27Januari1965 tentang "Pencegahan clan Penyalahgunaan clan/ atau Penodaan Agama, yang kemudian menjadi hukum

posirif. Dalam pasal 1 ·disebutkan:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan, atau mengusahakan dukungan um.um, untuk melakukan

(18)

Tujuan pokok dari penetapan Presiden tersebut adalah untuk 'mengamankan' agama-agama rcsmi yang diakui negara dari tindakan penyimpangan clan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain, yang pada gilirannya juga untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Selanjutnya menurut Weinata Seirin (1996:79), ini adalah salah satu momen ketika agama dan negara saling bertukar tempat clan sekaligus saling memperalat satu sama lain. Karena dalam aturan itu disebutkan larangan melakukan penafsiran atau kegiatan yang

'menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama'. Aturan inilah selanjutnya clipakai

dasar oleh kelompok-kelompok agamawan di Indonesia terutama yang sedang gencarnya menjalankan agenda-agenda purifikasi atau lebih populemya 'pemurnian agama semurni-murninya'. Wacana kemurnian dan kesahihan tafsir yang benar, jelas

akan dijadikan dalih oleh kalangan agamawan untuk mengontrol dan mengendalikan

sejauh mana prakti.k-praktik keagamaan yang dijalankan individu atau kelompok masyarakat menyimpang dari garis-garis pokok ajaran keagamaan. Sekaligus sebagai kelanjutannya, memaks3kan agenda-agenda puritanisasi atau proselitisasi bagi

komunitas-komunitas agama yang tidak mengindahkan

garis pemurnian, garis-garis

dan pokok ajaran yang benar dalam agama.

Dalam menjalankan agendanya itu, seringkali tampak adanya keterlibatan aparat (polisi ataupun juga tentara) sehingga terkesan bahwa praktik-praktik keagamaan adalah sesuatu yang 'kriminal'. Kriminal, karena dicap 'sesat' yang oleh tokoh-tokoh agama dan aparatur negara dianggap berpotensi dapat menggangu ketenteraman warga (Daniel Dhakidae, 2003: 67). Berdasarkan catatan Kahumas Kejaksaan Agung, sejilk tahun 1949 hingga tahun 1992 saja sudah terdapat 517 aliran kepercayaan di wilayah RI yang 'mati' (Kompas, 5 Agustus 1993). Dapat dibayangkan berapa jumlahnya kalau dihitung sampai sekarang; karena yang jelas belum. termasuk pembubaran aliran-aliran keagamaan/ kepercayaan atau pun yang

telah difatwa sebagai aliran 'sesat' yang masih marak tetjadi belakangan ini. 'Mari'

adalah bahasa lain dari bubar, membubarkan diri, dibubarkan, dilarang, disesatkan

atau dikriminalkan; sebagaimana logika yang biasa dianut oleh kelompok dominan

yang merasa sebagai agama yang diakui resmi oleh Nega..-a.

Pengkafuan berlanjut pada vonis penyesatan tak terlepas dari keimanan

yang bercorak misionaristis yang selalu berangkat dari keyakinan kebenaran yang

monolitik dan keyakic.an ortodoksi yang absolut. Moeslim Abdurrahman (2003:

150-151) menilai hal.itu sebagai sebuah kecenderungan kuat yang biasanya terjadi

dalam jenis agama wahyu. Sebagai contoh misalnya, ia melihat betapa kerasnya

Islam dalam menuntut ketegasan antara 'identitas agama' dengan sinkretisme

(19)

merasa Islam-nyalah yang paling benar; clan atas pandangan teologis semacam itu kemudian menjadi bersikap tidak toleran terhadap siapa pun yang mengungkapkan ke-Islam-an itu dalam wajah clan produk budaya mereka sendiri. 'Islamisasi' yang dipakai contoh oleh Moeslim Abdurrahman, dipandang sebagai proses sejarah yang tidak akan pernah berakhir. Karena hal itu memang merupakan panggilan

agama (calling) sebagai bagian dari tugas suci. Dengan begitu, orang-orang yang

merasa 'lebih Islam', tentu terpanggil akan berusaha, terus-menerus, dengan

keyakinan clan ikhtiarnya, agar orang lain menjadi Islam, seperti dirinya. Ingatlah

akan dalih tentang seruan agama untuk mengajak 'agar mereka kembali ke jalan

Allah'. Menurut Moeslim Abdurrahman, inilah alasan mengapa selama ini tumbuh

semangat dakwah; semangat yang menempatkan bahwa dalam mengekspresikan 'ke-Islam-ari' harus ada kriteria normatif yang bisa menggolongkan umat Tuhan.

Seolah-olah yang satu merasa harus menjadi subyek clan yang lain menjadi obyek

dari kegiatan dakwah keagamaan.

Pada dasarnya, seruan 'agar mereka kembali ke jalan Allah' merupakan reaksi yang didorong oleh adanya perubahan-perubahan yang dipandang berada di luar jalur ajaran agama. Oleh karena pemahaman atas isi ajaran agama (yang benar)

itu menjadi klaim para pemuka agama (claim of religious elite) yang biasanya juga

adalah pimpinan-pimpinan di masyarakat (elite class), maka atas kepentingannya

untuk mempertahakan status quo-nya; dengan demikian, mereka juga harus

dapat mengendalikan clan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama

demi juga mempertahankan kedudukannya di masyarakat. Dengan demikian, pemahaman baru terhadap agama tergantung kepada mereka. Tentu saja mereka tidak serta merta dapat menerima 'sesuatu yang berasal dari luar'. Sebagai pimpinan

masyarakat mereka akan berusaha lfl.engendalikan clan mengarahkan berdasarkan

prinsip-prinsip seleksi; mana yang baik buat diri mereka, clan mana yang dianggap

akan merugikan atau dianggap merusak sistem tatanan masyarakat; serta yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dipahaminya. Pada fungsi penolakan inilah sering terkumpul luapan emosi, arogansi atau otoritarianisme yang eksplosif ( Muh. Shaleh Isre, 1999: 77) clan selanjutnya dapat mendorong munculnya sikap

hiperprotection di kalangan pemimpin agama.

Majelis U1ama Indonesia (MUI) yang sejauh ini banyak menuai kritik terutama

dalam kiprahnya untuk membentengi umat Islam dari kekhawatirannya terhadap merebatnya paham kebebasan di masyarakat. Dalam mukadimaah MUI yang

. tercantum di dalam buku "Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI Tentang

Aliran-Aliran Sesat Di Indonesia" (t.t.: 1-2), secara sistematis telah dirancang pedoman

(20)

Kriteria tersebut selanjutnya diperankan untuk menyeleksi paham atau pun ajaran-ajaran yang tuenyerupai Islam. Berdasarkan hasil penyeleksian itu kemudian selanjutnya dipakai landasan dalam mengambil langkah-langkah kelembagaan. Penetapan fatwa yang populer dikenal dengau 'sesat-menyesatkan' terhadap aliran keagamaan Islam yang berkembang di Indonesia, berpedoman dari. 'Kriteria Aliran Sesat'berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 6Nopember 2007 (dimuat dalam buku saku "Catatan Seputar Kesesatan Ahmadiyah", 2008: 17-19). Ada 10 butir kriteria yang dirumuskan dalam menentukan bahwa suatu paham keagamaan dapat digolongkan sebagai aliran sesat, seperti:

(1) Mengingkari salah satu dari. rukun iman yang 6 ( en.un) yakni beriman kepada

Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya,

kepada hari akhirat, kepada qadla clan qadar clan rukun Islam 5 Qima) yakni

mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan syakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji;

(2) Meyakini clan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i

(al-Qur'an dan Assunnah);

(3)" Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur'an;

(4) Menginglr.ari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur'an;

(5) Melakukan penafsiran al-Qur'an yang tidak betadasarkan kaidah-kaidah

tafsir;

(6) Mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam;

(7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan;

(8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir;

(9) Merubah, menambah clan atau mengurangi. pokok-pokok ibadah yang telah

ditetapkan oleh syari' ah seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak 5 waktu;

(10) Mengkafukan sesama muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengkafukan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Juga ditekankan bahwa suatu alitan dinyatakan sesat apabila termasuk dalam salah satu dari. sepuluh kriteria tersebut, tetapi tampaknya tidak ada rumusan yang menyatakan keputusan itu bersifat mengi.kat. Ini menunjukkan bahwa MUI dapat dikatakan hanya memiliki peranan sebatas sebagai institusi keagamaan yang bersifat

adhoq. Keputusan pelarangan ataupun pembubaran yangmemiliki kekuatan hukum

tetap terhadap aliran yang digolongkan sesat berada di wilayah huk.um Negara, yang

sejauh ini masih berpedoman pada Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tanggal

27 Januari 1965 yang selanjutnya dikukuhkan sebagai Undang-undang No.5 Tahun 1969. Dasar hukum untuk menetapkan suatu aliran sesat sebagai bentuk pelanggaran

(21)

hukum (Negara) inipun masih arus memenuhi lagi dua delik. (pelanggaran) dalam bidang agama, yakni 'delik. penyelewengan agama' clan delik. 'anti agama'. Ketentuan tersebut tercantum dalam Surat Kejaksaan Agung RI No.B-1177 /D.1/10 1982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang: 'Tindak Pidana Agama' (Baso, 2005: 244-245).

Dapat dikatakan Surat Kejagung RI tersebut telah dengan gemilang berhasil memberangus 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 seperti dilansir harian Kompas 5 Agustus 1993; clan jumlahnya tentu terus meningkat sampai belakangan. Namun, jangkaun hukum untuk memutuskan bahwa aliran Ahmadiyah dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran tindak pidana agama, sejauh ini tampaknya masih belum dapat memenuhi persyaratan. Karena pada dasarnya kegiatan sempalan agama tersebut belum terbukti secara hukum melakukan pelanggaran yang dapat cligolongkan sebagai tindak pidana agama. Menurut Ahmad Baso, fatwa sesat clan menyesatkan tidak lain hanyalah imajinasi sekelompok Ulama yang tergabung dalam MUI untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap komitmen ikrar semangat 'solidaritas Islam' yang cligelorakan untuk mengitnbangi kekuasaan Barat yang bersekutu. Mt::nurut pembacaan Ahmad Baso, MUI dalam hal ini identik dengan 'ke-mayoritas-an' sehingga menjadikannya sebagai faktor penggerak pendifinisian segenap dinamika sosial-politik umat Islam di Indonesia

sampai sekarang. Imajinasi kemayoritasan ini pada gilirannya · menentukan satu

bentuk representasi kehidupan sosial-politik. Artinya, ia tidak hanya bernilai secara politis, bermanfaat untuk kepentingan artikulasi politik, tetapi menjadikan dirinya bagian dari politik itu sendiri. Oleh karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, maka negara berkewajiban melaksanakan hukum Islam (Baso, 2005: 314-315). Selanjutnya Ahmad Baso juga menyitir bahwa dalam konteks ini, Islam (MUI) memang tidak tampak menyatu atau melebur ke dalam negara. Namun, menempati posisinyamasing-masingyang 'empuk', yang di dalatnnya seringkali dapat berlangsung tukar menukar kekuasaan. Negara terpanggil juga menjalankan hukum Islam, dan MUI diupayakan mendukung legitimasi kebijakan negara. MeWui praktik-praktik perselingkuhan seperti inilah potret ketidak-tegasan identitas bentuk Negara RI ditampilkan: Indonesia bukan negara agama clan bukan pula negara sekuler. Bukan

Negara Agama karena negara tidak menjadi satu dengan agama, masing-masing

sudah ada pembagian kerja dengan wilayah tugasnya masing-masing. Bukan pula

Negara Sekuler karena Negara tidaklah angkat tangan (hands ッセ@ terhadap agama,

(22)

agama (Islam) dan Negara pun berantakan, kalau identitas 'kelamin'nya terungkap; Indonesia 'negara agama', 'Negara Islam' atau, Indonesia 'Negara Sekuler'. Maka menurut Ah..tnad Baso lebih baik identitas 'kelamin' Negara ini dalam bahasa fiqih dibuat

khuntsa,

dibuat remang-remang; bukan laki dan bukan perempuan, tapi bukan pula waria (Baso, 2005: 321). Memosisikan antara agama (Islam sebagai mayoritas) dengan Negara sampai sekarang tampaknya masih menimbulkan beragam pandangan. Ada yang berpandangan bahwa Islam adalah agama sekaligus Negara

(din wa daula);

tetapi sebaliknya, ada pula yang berpandangan bahwa dalam Islam agama dan politik adalah dunia yang berbeda dan terpisah, mulai sejak jaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Di Mesir misalnya, pandangan yang memisahkan antara agama (Islam) dengan negara dianut oleh seorang cendikiawan berpengaruh di negeri itu yaitu Ali Abdul Raziq. Dalam pandangannya itu, Raziq bahkan menegaskan bahwa kekhalifahan atau sistem pemerintahan Islam tertentu

tidak pernah ada atau tidak pemah dibutuhkan dalam Islam; dan oleh karena itu ia menganjurkan pemisahan antara agama Win Negara. Di Indonesia, pandangan semacam Raziq umumnya dianut oleh kalangan cendikiawan Islam yang tergolong generasi 'neo-modemis Islam'. Mereka yang sering disebut-sebut berada dalam arus pemikiran ini ada beberapa di antaranya yang namanya populer di Indonesia seperti misalnya, NU!cholish Madjid, Jalaluddin Rahmat, Dawam Rahardjo, Khomaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Amien Rais, Abdurrahman Wahid; dan ten tu banyak

1agi

yang lainnya. s・ュセ@ tokoh tersebut lebih berorientasi pada arah pengembangan Islam di Indonesia menuju Islam progresif, Islam yang demokratis, pluralis dan toleran. Walaupun versi mereka berbeda-beda, tetapi semua tokoh tersebut sepakat dan kembali ingin menegaskan bahwa Indonesia ini tetap adalah negara berlandaskan Pancasila; jadi bukan negara agama. Jika Amin Rais menganjurkan proses 're-Islamisasi' melalui reformasi agama, pendidikan, hukum dan sosial untuk memajukan Islam di Indonesia; sementara rival-nya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih menekankan 'lndonesianisasi', 'pribumisasi' atau kontekstualisasi Islam dengan kultur setempat: "Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri. Karena sifatnya yang norma-normatif, wahyu cenderung permanen. Di sisi lain, bu.daya adalah · ciptaan manusia clan oleh karena itu berkembang sesuai perubahan sosial, Tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya". Dengan cara ini Gus Dur ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat dan menentang formalisme Islam yang seragam. Menurut Gus Dur; formalisme Islam, akan dapat inengarah pada hegemoni hukum yang membatasi interpretasi hukum dan teologi alternatif. Dengan demikian, Gus Dur menolak untuk memosisikan Islam sebagai lembaga legal dan politik formal dari Negara. Islam legal-formalistik ini lantas didasarkan

160

(23)

pada pendekatan literalis yang lebih kaku terhadap kitab suci. Visi monolitis dari Islam yang menuntut lingkungan monokultural untuk mengekspresikan agamanya, dengan kesucian yang setepat-tepatnya dengan pola hidup yang ditetapkan dan tidak membuka ruang bagi keragaman. Mereka lalu memperjwmgkan agar memformalkan

Islam dalam kehidupan Negara (Esposito, dkk., 2002: 190, 262-263). Tampaknya

apa yang diintroduksi Michel Foucault benar, bahwa kekuasaan di mana pun selalu menindas, karena kekuasaan telah mereproduksi kebenaran menurut ukurannya. Selanjutnya, Foucault menilai bahwa kebenaran yang direproduksi kekuasaan dan dominasi sesungguhnya memberangus kebebasan ma.nusia untuk menjalin relasi. antarsesama melalui relasi yang seimbang clan egaliter, bukan didasarkan atas

pengaruh dan dominasi (Foucault; 1980: 133).

4.

Simpulan

Sebenarnya di negara · manapun juga, termasuk di Indonesia, selalu akan

tumbuh pusat-pusat kekuasaan (power centre). Di Indonesia, di luar pusat kekuasaan

(formal negara) masih terdapat berbagai. kelompok masyarakat yang seringkali dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan formal, sekalipun itu sebenarnya ilon-prosedural sifatnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok masyarakat tersebut selalu harus diperhitungkan dalam kehidupan kenegaraan. Dari kelompok-kelompok

ini minimal harus dimintakan dukungan setiap saat. Dengan demikian, proses

kenegaraan tampaknya

juga

tetap berla.ngsung di luar pusat kekuasaan formal.

Biasanya mereka seringkali dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan kenegaraan, baik itu sebagai legalisator maupun juga sebaliknya. Di Indonesia, kelompok Islam (sebagai um.at mayoritas) biasanya selalu diperhitungkan dalam kebijakan kenegaraan

itu. Dalam proses relasi semacam ini1ah imajinasi kemayoritasan pada gilirannya

menentukan satu bentuk representasi kehidupan sosial-politik. Artinya, ia tidak

hanya bernilai secara politis, bermanfaat untuk kepentingan artikulasi politik, tetapi

juga menjadi. bagian dari politik itu sendiri. Perselingkuhan kekuasaan semacam

inilah kemudian menjadi senjata ampuh untuk memproteksi Islam (resmi) dari

kekhawatiran menyusupnya atau terinfiltrasinya anasir-anasir ideologi di luar yang

selama ini telah dipiliami umat bergama (Islam inain-stream). Melalui j2ring kuasa

inilah praktik-praktik hegemoni, penetrasi clan diskriminasi sampai dengan tindakan

represif dalam kasus-kasus konflik agama dinisc3yakan, karena secara tersamar memperoleh 'restti'dari institusi agama clan juga pemerintah. Dengan deniikian, relasi kuasa semacam itu tepat jika diibaratkan dengan 'politik rabun ayam': walaupun

(24)

Daftar Pustaka

Abdul Azis Dy., Aceng, dkk., 4007. Islam Ahlussunnah Wa/j'ama ah Di Indonesia:

Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama. Jakarta: Penerbit

Pustaka Ma'arif NU.

Abdurrahman, Moeslim, 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial Jakarta. Penerbit:

Erlangga.

Abshar-Abdalla, Ulil, 2003. "Menyegarkan Kertibali Pemahaman Islam", dalam:

Ortecrafts 03, 2003. Ubucl Bali. Penerbit Mitra Bali Fair Trade Foundation.

Arifin,

Syamsul, 2005. "Relevansi Gagasan Multikulturalisme Dalam Masyarakat

Berbeda Agama". M:i.kalah Yang Disampaikan Dalatn Seminar Nasional Etika

Multikulturalisme Di uョゥカ・イウゥエ。セ@ Katolik Widya Mandala Surabaya, Sabtu 22

Oktober 2005.

Arsana, I Gusti Ketut Gde, 2009. "Agama dan Politik Kekerasan: Ambivalensi

· Sikap, Kala Mendirikan Surga Di Bumi'. Makalah dalam Mattikulasi Karya

Siswa Program Sudi Magister (S2) Kajian Budaya (2009/2010), Universitas Udayana Denpasar.

Azhari, M. Subhi, 2006. "Sesatkah Ahmadiyah?", dalam: Mozaik Pesantten, Edisi

01/Th.1/0ktober 2006. Jakarta. Penerbit Depag RI. Bekerjasama Dengan Institute for The Study of Religion and Democracy (IRD).

Azra,

Azyumardi, 1998.

]aringan Ulama Timur Tengah Dan kepulauan Nusantara

Abad.XVII Dan XVIII Bandung: Penerbit Mizan.

Baso, Ahmad, 2005. Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme

Dan Liberalisme. Bandung: Penerbit Mizan.

Basri, Hasan, tt. "Mengenal Sekte Ahmadiyah (Mirzaiyah)". Selebaran YangTidak

Diterbitkan.

Dawam Rahardjo, M., 2005. "Meredam Konfiik: Merayakan Multikulturalisme'.

Makalah yang Disampaikan Dalatn Seminar Nasional Etika Multikulturalisme Di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Sabtu 22 Oktober 2005.

Dhakidae, Daniel, 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan pada Afassa Orde Baru.

Jakarta: Penerbit Gramedia.

Dawam Rahardjo, 2005. Meredam Konflik: !vferayakan Multikulturalisine .

Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Etika Multikulturalisme yang diselenggarakan oleh Universitas Widya_ Mandala Surabaya, Sabtu 22 Oktober 2005.

Esposito, John L.-John O.Voll, 2002. Tokoh-Kunci Gerakan Islam Kontemporer.

Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada.

(25)

Esposito, John L. & Dalia Mogahed, 2008. Saatnya Muslim Bicara: Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer

Lainnya. Bandung: Penerbit Mizan.

Foucault, J\.fichel, 1980. Power Knowledge. New York: The Hasvester Press.

Hamidi,Jazim, dkk., 2001. Intervensi Negara terhadap Agama: studi Konvergensi

-Atas politik Aliran Keagamaan Dan Reposisi Peradilan Agama Di Indonesia.

Yogyakarta: Penerbit UII Press.

Isre, Muh Shaleh, 1999. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

KristeYa,Julia, 1991. Strangers to Ourselves. Harvester & Wheatsheaf.

Kuntowijoyo, 1993. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Alesi. Bandung: Penerbit

Mizan.

MUI., tt. MengawaJ Aqidah Umat: Fatwa MUI Tentang Aliran-Aliran Sesat Di

Indonesia. Jakarta Pusat: Penerbit Sekretariat Majleis Ulama Indonesia.

MUI., 2008. Catatan Seputar Kesesatan Ahmadiyah (Buku Salm). Jakarta Pusat:

Penerbit Sekretariat Majelis Ulama Indonesia.

Mashudi, Uday, 2006. "Merenungi Kembali Makna Beragama", dalam: Moziiik

Pesantren, Edisi 01/Th.1/0ktober 2006. Jakarta: Penerbit Depag RI Bekerjasama Dengan Institute for the Study of Religion and democracy (IRD).

Prakoso, Djoko, 1989. Tugas-Tugas Kejaksaan Agung di Bidang Non Yustisial.

Jakarta: Penerbit Bina Akasara.

Qodir, Zuly, 2007. Islam Syariah Vis-A-Vis Negara, Ideologi gerakan Politik Di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Santoso, Listiyono, 2007. "Kritik Hassan Hanafi Atas Epistemologi Rasionalitas

Modern dalam Listiyono Santoso: Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri,

2007. Penerbit: AR-RUZZ MEDIA.

Seirin, Weinata, 1996. Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan. Jakarta: Penerbit

BPK Gunung Mulia.

Suryawan, MA., 2006. Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman

Ahmadiyah. Tangerang: penerbit CV. Azzahra Multimedia.TY. One, 16 dan

22 Januari 2012.

(26)

PEMBANGUNAN PUSAT INFORMASI MAJAPAHIT:

UPAYA PEMASYARAKATAN TINGGALAN ARKEOLOGI

DI SITUS TROWULAN

Zuraidah

Fakultas Sastra, Universitas Udayana

ABSTRACT:

Trowulan site as one of セオャエオイ。ャ@ heritages has an important potential to be devcloped as a cultural tourism interest. This potentiiil is legalized by the government into the development project of Majapahit fuformation Centre. The.re are some goals to be achieved br executing this project, such as (1) to make Trowulan site as a

cultural tourism interest, (2) to enhance the economical sector of the local society through tourism sector, (3) to build one location as an information centre of archaeological remains in Trowulan site, (4) and to socialize archaeological remains as a cultural heritage.

For the sake of realizing the above goals, it is not an

easr

job in which the government and the experts of archaeology are demanded to work together in developing the human resourees- in Trowulan site and are able to persuade the society in order to preserve the archaeological remains in Trowulan site. Several pro and contra come up for the plan of devcloping the Majapahit Information Centre, however, apart from that problem the government, through the development of the Majapahit Information Centre, attempts to promote· more about the diversity of archaeological remains which are found in Trowulan site, by uniting cultural elements, knowiedge and creativity for attracting the public so that thq love more the cultural heritage from the Majapahit era.

Key1J0rds: The Majapahit lnformatlon Centre, socialization of archaeological remains, Trowulan site.

1.

Pendahuluan

Pemasyarakatan

tinggalan

arkeologi bisa diartikan sebagai upaya untuk

memberikan informasi kepada masyarakat tentang latar belakang sejarah benda-benda arkeologi atau dapat diartikan sebagai upaya untuk menjadikan tinggalan

arkeologi itu bagian dari masyarakat. Pemasyarakatan ·

tinggalan

arkeologi harusnya

dilakukan oleh pihak yang mengerti dan mendalami ilmu arkeologi, sehingga

masyarakat mendapatk:an informasi dan pemahaman yang benar tentang tinggalan

arkeologi.

Di sinilah perlunya peranan arkeologi publik. Arkeologi publik adalah disiplin arkeologi yang menghubungkan banyak pihak dengan arkeologi, terutama masyarakat sebagai pemilik warisan budaya (McManamon, 2000:5). Pemasyarakatan

tinggalan arkeologi dapat dilakukan melalui publikasi hasil penelitian, pameran,

sosialisasi pada masyarakat, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan tinggalan arkeologi, bahkan dengan. cara menjadikan tinggalan arkeologi itu sebagai obyek wisata budaya.

164

...

..

Referensi

Dokumen terkait

- Proses cek data produk yaitu pemrosesan pengecekan data untuk memastikan bahwa data yang akan ditambahkan ada pada database atau tidak. - Proses tambah produk yaitu

Menurut Mahyuddin (2008:59) yakni analisis data dimulai dengan menelaah sejak mulai pengumpulan data sampai seluruh data terkumpul. Data tersebut direduksi

Penentuan formula optimum gel ekstrak buah apel dengan metode Simplex Lattice Design dilakukan dengan pengujian terhadap 3 respon dari sifat fisik gel yaitu daya lekat

Pada BBRSEKP terdapat tiga grains, yaitu: (1) pendapatan – analisis pada pendapatan meliputi: total pendapatan keluarga nelayan, rata-rata pendapatan keluarga nelayan per sumber

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang strategi produksi, strategi pemasaran, dan strategi keuangan dalam pengembangan bisnis rambak kulit kerbau

Sehingga dapat dikatakan bahwa jamu tradisional yang diuji tersebut mempunyai khasiat yang tidak berbeda bermakna dengan obat modern (asetosal 45 mg/kgbb) atau dapat dikatakan

penting saja, yaitu ' yang memuat atau mengandung soal-soal politik dan lain- nya yang lazimnya dikehendaki ber- bentuk traktat atau treaty serta soal- soal yang

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pupuk cair amina dapat digunakan sebagai pengganti pupuk urea yang selama ini menjadi bahan pendukung utama dalam budidaya ikan di kolam