• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... iii. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN SAMPUL DALAM... ii. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... iii. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4. Originalitas Penelitian ... 11

1.5. Tujuan Penulisan ... 13

1.5.1 Tujuan Umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 13

1.6. Manfaat Penulisan ... 14

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.6.2 Manfaat Praktis ... 14

(3)

1.7. Landasan Teoritis ... 14

1.7.1 Teori Liberalisasi Perdagangan ... 14

1.7.2 Teori Mengikatnya Hukum Internasional ... 16

1.7.3 Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional... 17

1.8. Metode Penelitian ... 20

1.8.1 Jenis Penelitian ... 20

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 21

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 22

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 23

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI ERA KOMUNITAS EKONOMI ASEAN 2.1. Tinjauan Umum tentang Hukum Perdagangan Internasional ... 26

2.1.1. Pengertian ... 26

2.1.2. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Hukum Perdagangan Internasional ... 28

2.1.3. Subjek Hukum dalam Hukum Perdagangan Internasional ... 29

2.1.4. Sumber Hukum Perdagangan Internasional ... 33

(4)

2.2. Tinjauan Umum tentang Association of Southeast Asian

Nations (ASEAN) ... 34

2.2.1. ASEAN sebagai Organisasi Internasional ... 34

2.2.2. Pembentukan ASEAN Community 2015 ... 43

2.2.3. ASEAN Economic Community (Komunitas Ekonomi ASEAN) ... 45

2.3. Tinjauan Umum tentang Persaingan Usaha ... 48

2.3.1. Pengaturan Persaingan Usaha di Indonesia... 48

2.3.2. Pengaturan Persaingan Usaha di ASEAN ... 52

2.4. Tinjauan Umum tentang Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional... 57

2.4.1. Para Pihak dalam Sengketa ... 57

2.4.2. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa ... 59

2.4.3. Forum Penyelesaian Sengketa ... 60

BAB III HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA 3.1. Aspek Hukum Materiil Persaingan Usaha di Indonesia ... 66

3.1.1. Asas dan Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 66

3.1.2. Bentuk Larangan-Larangan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 73

3.2. Aspek Hukum Formil Persaingan Usaha di Indonesia ... 76

(5)

3.2.1. Kedudukan Kelembagaan KPPU ... 79 3.2.2. Status Hukum KPPU ... 82 3.2.3. Tugas dan Fungsi serta Wewenang Kelembagaan

KPPU ... 84 3.2.4. Ekstrateritorialitas KPPU ... 91 3.2.5. Mekanisme Penanganan Perkara Persaingan Usaha . 97 3.3. Tinjauan Komprehensif ... 98

BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERSAINGAN USAHA DI ASEAN

4.1. Charter of the Association of Southeast Asian Nations

(Piagam ASEAN) ... 103 4.2. ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy ... 106 4.3. ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement

Mechanism ... 110 4.3.1. Prosedur Penyelesaian Sengketa menurut ASEAN

Protocol on Enhanced Dispute Settlement

Mechanism ... 112 4.4. Tinjauan Komprehensif ... 123

(6)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 125 5.2. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA

(7)

ABSTRAK

ANALISA YURIDIS PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI ERA KOMUNITAS EKONOMI ASEAN

Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi dari Visi ASEAN 2020. Komunitas Ekonomi ASEAN akan menetapkan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan menciptakan pergerakan bebas arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi dan modal. Konsekuensi dari pergerakan bebas tersebut adalah munculnya persaingan baru, pasar baru dan potensi bersentuhannya pelaku usaha dengan hukum persaingan usaha antar negara anggota ASEAN. Saat ini baru ada enam negara anggota ASEAN yang mempunyai hukum persaingan usaha, yaitu Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam dan Phillippina. ASEAN sendiri belum memiliki hukum persaingan usaha dan lembaga pengawas persaingan usaha secara khusus di wilayah ASEAN.

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum dan pendekatan kasus yang akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: hukum persaingan usaha di Indonesia dalam perdagangan internasional dan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan ASEAN apabila terjadi persaingan usaha tidak sehat di era Komunitas Ekonomi ASEAN.

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik yaitu: pertama, hukum persaingan usaha di Indonesia belum tegas menentukan apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kewenangan ekstrateritorialitas dan persoalan mengenai definisi dari pelaku usaha yang diberikan oleh UU Larangan Praktek Monopoli. Kedua, mekanisme penyelesaian sengketa persaingan usaha di ASEAN tidak diatur secara khusus dalam ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy, sehingga berdasarkan Piagam ASEAN mekanisme penyelesaian sengketa terhadap sengketa-sengketa yang berkenaan dengan penafsiran atau penerapan perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi wajib diselesaikan sesuai dengan ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism.

Kata kunci: komunitas ekonomi ASEAN, persaingan usaha

(8)

ABSTRACT

JURIDICAL ANALYSIS OF ANTI-COMPETITIVE BUSINESS PRACTICES IN INTERNATIONAL TRADE IN THE ERA OF ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

ASEAN Economic Community is the realization of the end goal of economic integration as espoused in the ASEAN Vision 2020. It will establish ASEAN as a single market and production base making free movement of goods, services, skilled labour, investment and free flow of capital. The consequences of free movement are the emergence of new competition, new market and the potential of facing business actors with the law of business competition among ASEAN member states. There are currently six ASEAN member states that have competition law, namely Indonesia, Thailand, Singapore, Malaysia, Vietnam and Phillippina. ASEAN itself doesn’t yet have competition law and competition regulatory body.

This article is a normative legal research that uses the statute, analytical- conceptual and the case approaches which will discuss two main legal issues, inter alia:

competition law in Indonesia within international trade and ASEAN dispute settlement mechanism to settle anti-competitive business practices in the era of ASEAN Economic Community.

The writer concludes, inter alia: first, competition law in Indonesia is uncertain determining the extraterritoriality of the competition regulatory body (KPPU) and the issue of the scope of business actors granted by the Prohibition of Monopoly Practices Act.

Secondly, ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy is not specifically provided dispute settlement mechanism of anti-competitive business practices, accordingly Charter of ASEAN, where not otherwise specifically provided, disputes which concern the interpretation or application of ASEAN economic agreements shall be settled in accordance with the ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism.

Keywords: ASEAN economic community, business competition

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar-negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara- negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.1

Keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masing-masing negara membuat semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah harus ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya. Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama abad ke-15 dan 16, teori atau aliran yang mulai lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar-besarnya dan menekan impor serendah- rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor-impor merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).2

1 M. Rafiqul Islam, 1999, International Trade Law, LBC, Sydney, h. 1.

2 Huala Adolf, 2014, Hukum Perdagangan Internasional, Cet. 6, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Huala Adolf I), h. 19.

1

(10)

Dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara-negara cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecendrungan ini peran perjanjian internasional menjadi semakin penting.3 Hal ini didasari atas perkembangan teori-teori ekonomi yang memberikan pengaruh signifikan terhadap norma-norma hukum ekonomi baik dalam skala nasional maupun internasional.

Sesungguhnya hukum perdagangan internasional dikonstruksi dari pemikiran-pemikiran ekonomi (economic theory) yang berawal dari praktik-praktik negara, kebiasaan-kebiasaan para pelaku usaha melakukan interaksi dan transaksi perdagangan yang selanjutnya praktik-praktik tersebut melahirkan kebiasaan. Kebiasaan tersebut dikenal dengan istilah lex mercatoria yang kemudian diadopsi menjadi konsep yang positivistik dalam sejumlah perjanjian internasional yang sifatnya tertulis4 sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969): “International agreement concluded between status in written form and government by international law, wheter en bodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever its particular Detignation.”

Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini telah melahirkan aturan-aturan yang semakin mengkhusus dalam perdagangan internasional yaitu di bidang barang, jasa dan penanaman modal di antara negara-negara.5 Salah satu perjanjian multilateral yang sangat berpengaruh adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and

3 M. Rafiqul Islam, op.cit., h. 2.

4 Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.

5 M. Rafiqul Islam, op.cit., h. 2.

(11)

Trade/GATT) tahun 1947.6 Sejak berdiri hingga dewasa ini, aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu organisasi internasional baru, yaitu The World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO).7

Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan internasional. Alasannya adalah bidang pengaturan yang tercakup di dalam WTO sekarang ini sangat kompleks. WTO tidak semata-mata hanya mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan, dan lain-lain.8 WTO memiliki fungsi utama mengawasi dan memastikan perdagangan internasional berlangsung dengan lancar (smoothly), dapat diprediksi (predictably) dan dengan bebas (freely) semaksimal mungkin bagi negara maju dan juga negara berkembang.9 Sistem WTO yang juga dikenal sebagai sistem perdagangan multilateral (the multilateral trading system) terdiri dari perjanjian-perjanjian WTO (the WTO agreements) yang dinegosiasikan dan ditandatangani oleh sebagian besar negara- negara pelaku perdagangan di dunia dan disahkan di parlemen masing-masing negara anggota.10

Terlepas dari perannya sebagai wadah kerja sama yang banyak dipilih negara- negara di dunia, multilateralisme memiliki kekurangan dalam hal efisiensi waktu. Hal ini

6 Huala Adolf I, op.cit., h. 26.

7 Huala Adolf I, op.cit., h. 27.

8 Huala Adolf I, op.cit., h. 27.

9 World Trade Organization, “THE WTO in Brief”, URL:

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/inbrief_e/inbr00_e.htm. Diakses tanggal 15 Juli 2017.

10 World Trade Organization, “THE WTO in Brief”, URL:

https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/inbrief_e/inbr00_e.htm. Diakses tanggal 15 Juli 2017.

(12)

bisa disebabkan oleh alotnya negosiasi, terlalu banyaknya negara yang berpartisipasi sehingga banyak kepentingan yang harus diupayakan untuk diakomodasi dan sebagainya.

Ketika dua atau lebih negara merasa kepentingan mereka belum cukup terakomodasi oleh wadah multilateralisme, negara-negara mulai berinisiatif untuk membuat perjanjian dengan jumlah partisipan lebih sedikit. Dengan demikian, negosiasi akan relatif mudah dan ketentuan-ketentuan perjanjian yang diambil diharapkan bisa lebih mengakomodasi kepentingan negara partisipan. Maka kemudian, negara-negara yang letaknya berdekatan secara geografis membentuk perjanjian regional.

Negara-negara yang secara geografis berada di Asia Tenggara membentuk Association of Southeast Asian Nations (selanjutnya disebut ASEAN) dengan dasar Deklarasi ASEAN 1967. 11 Sejak pendiriannya pada 1967, ASEAN telah banyak melaksanakan kerja sama di berbagai bidang, baik secara regional maupun internasional.

Pada Januari 1992 ASEAN menyepakati ASEAN Free Trade Area (selanjutnya disebut AFTA). AFTA menyediakan provisi-provisi liberalisasi perdagangan dengan penurunan bea impor intra-ASEAN hingga 0-5% dalam lima belas tahun mulai 1 Januari 1993 dengan skema utama Tarif Preferensi Efektif Bersama (Common Effective Preferential Tariff/CEPT).12 AFTA selain memberikan pengurangan-pengurangan dan bahkan penghapusan hambatan tarif, juga bermaksud mewujudkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hambatan nontarif, serta perbaikan kebijakan fasilitas

11 Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN-Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010, ASEAN Selayang Pandang, Edisi ke-19, Jakarta, (selanjutnya disebut ASEAN Selayang Pandang)

h. 2.

12 Ludo Cuyvers dan Wisarn Pupphavesa, From ASEAN to AFTA, A Centre of ASEAN Studies (CAS), Discussion Paper No. 6, CAS in coop. with Centre for International Management and Development Antwerp, September 2006, h. 6. URL : http://webh01.ua.ac.be/cas/pdf/cas06.pdf. Diakses pada 15 Juli 2017.

(13)

perdagangan.13 AFTA terus berkembang dengan mitra wicara seperti China-ASEAN AFTA, ASEAN-EU AFTA, ASEAN-Japan AFTA.14

Pada Konfrensi Tingkat Tinggi (selanjutnya disebut KTT) di Kuala Lumpur, Malaysia pada 1997, para pemimpin negara anggota ASEAN menyepakati Visi ASEAN 2020 untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil, sejahtera, saling peduli dan diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020.15

Menindaklanjuti Visi ASEAN 2020, ASEAN kemudian menyepakati Deklarasi Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003. Deklarasi Bali Concord II kembali menekankan harapan integrasi ASEAN dengan rencana perwujudan ASEAN Community. ASEAN Community akan berdiri pada tiga pilar, yaitu: ASEAN Economic Community (Komunitas Ekonomi ASEAN) yang bertitik berat pada pelaksanaan pasar tunggal (single market) ASEAN pada 2020, ASEAN Political-Security Community (Komunitas Politik-Keamanan ASEAN) dan ASEAN Socio-Cultural Community (Komunitas Sosial Budaya).16 Namun realisasi Visi ASEAN 2020 ini selanjutnya disepakati para negara anggota untuk dipercepat menjadi pada tahun 2015.17

AFTA yang telah dilaksanakan oleh ASEAN sesungguhnya adalah tahapan untuk mulai mewujudkan pasar tunggal pada tahun 2015. Pasar tunggal ASEAN ini merupakan esensi perwujudan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Para pemimpin anggota ASEAN

13 Ibid.

14 ASEAN Selayang Pandang, loc.cit.

15 ASEAN Selayang Pandang, op.cit., h. 4.

16 ASEAN Selayang Pandang, op.cit., h. 83.

17 Association of Southeast Asian Nations, 2007, ASEAN Economic Community Blueprint, URL:

http://asean.org/wp-content/uploads/archive/5187-10.pdf. (selanjutnya disebut ASEAN Economic Community Blueprint) Diakses tanggal 15 Juli 2017.

(14)

kemudian membentuk Cetak Biru (Blueprint) pelaksanaan Komunitas Ekonomi ASEAN.

Mengacu pada Cetak Biru (Blueprint), ASEAN berusaha dan berharap dapat mewujudkan pergerakan bebas arus barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan investasi. Komunitas Ekonomi ASEAN terdiri dari dua belas sektor prioritas, yaitu produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, karet, tekstil, kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata dan logistik.18 Liberalisasi kedua belas sektor ini diharapkan terwujud dengan menjunjung lima elemen utama pasar tunggal, yaitu pergerakan bebas barang, pergerakan bebas jasa, pergerakan bebas tenaga kerja terampil, pergerakan bebas investasi dan pergerakan bebas modal.19

Prinsip pergerakan bebas yang fundamental tersebut memberi jaminan kepada pelaku usaha untuk bebas mengambil keputusan usaha, memberi jaminan kepada tenaga kerja untuk bebas memilih tempat kerja, memberi jaminan kepada konsumen untuk bebas memilih produk di antara varietas-varietas produk yang tersedia.20 Adanya prinsip pergerakan bebas tersebut dalam liberalisasi perdagangan jelas memberikan dampak positif seperti peningkatan produksi global, pertukaran komoditas, perluasan internasional pasar dan peningkatan persaingan antar pelaku usaha.

Persaingan antar pelaku usaha merupakan suatu keharusan dalam bidang bisnis dan ekonomi. Persaingan usaha dapat diamati dari dua sisi, yakni dari sisi pelaku usaha atau produsen dan sisi konsumen. Dari sisi produsen, persaingan usaha berbicara mengenai bagaimana perusahaan menentukan strategi bersaing, apakah dilakukan secara sehat atau

18 ASEAN Economic Community Blueprint.

19 ASEAN Economic Community Blueprint.

20 ASEAN Economic Community Blueprint.

(15)

saling mematikan. Dari sisi konsumen, persaingan usaha terkait dengan seberapa tinggi harga yang ditawarkan dan seberapa banyak ketersediaan pilihan. Kedua faktor tersebut akan menentukan tingkat kesejahteraan konsumen atau masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan kesejahteraan konsumen dan produsen.21

Pada kenyataannya, ASEAN belum memiliki hukum persaingan usaha secara khusus di wilayah ASEAN. Saat ini yang ada hanya ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy (selanjutnya disebut Regional Guideline) sebagai pedoman dalam penilaian yang secara langsung mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan struktur industri serta pasar. Regional Guideline hanya membantu negara-negara anggota dalam peningkatan kepedulian pentingnya kebijakan persaingan usaha bukan untuk menjaga persaingan usaha diantara negara anggota ASEAN. Dengan kata lain, setiap anggota negara ASEAN harus mengawasi persaingan usaha di negara masing-masing melalui lembaga persaingan usahanya. Apabila terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat di negara anggota ASEAN tersebut, maka lembaga persaingan usaha harus menegakkan hukum persaingan usahanya. Dengan terintegrasinya pasar ASEAN, maka lembaga persaingan usaha di masing-masing negara tidak hanya mengawasi dan menjamin persaingan usaha di masing-masing negara, tetapi juga secara tidak langsung mengawasi persaingan di pasar regional ASEAN.

21 Sukarmi, 2010, “Peran UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam meningkatkan persaingan usaha di era AFTA” dalam Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, h. 2.

(16)

Sampai saat ini baru ada enam negara anggota ASEAN yang mempunyai hukum persaingan usaha, yaitu Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam dan Phillippina. Philippina merupakan negara yang terbaru mengundangkan hukum persaingannya pada tanggal 21 Juli 2015, yaitu Phillippine Competition Act.22 Empat negara anggota ASEAN yang lain, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, dan Myanmar masih dalam proses persiapan pembentukan hukum persaingan usahanya masing- masing.23

Indonesia merupakan salah satu dari enam negara ASEAN yang sudah lebih dulu menegakkan hukum persaingan usahanya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Larangan Praktek Monopoli). UU Larangan Praktek Monopoli mengamanatkan pembentukan suatu komisi untuk mengawasi pelaksanaan undang- undang. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU Larangan Praktek Monopoli yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU). Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan UU Larangan Praktek Monopoli untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha.24

22 M. Udin Silalahi, 2015, “Peranan Hukum Persaingan Usaha dan Tantangannya dalam Mengawasi Kegiatan Usaha di Era MEA”, Kolom Edukasi Edisi Agustus 2015, URL: http://aci.or.id/kolom-edukasi- persaingan-usaha-di-harian-bisnis-indonesia-edisi-agustus-2015/. Diakses tanggal 16 Juli 2017.

23 Ibid.

24 Andi Fahmi Lubis, et.al., 2009, Hukum Persaingan Usaha antara Teks & Konteks, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta, h. 311.

(17)

Dengan adanya UU Larangan Praktek Monopoli dan KPPU sebagai lembaga penegaknya hendaknya memberikan dampak positif dan kepastian hukum terhadap persaingan usaha di Indonesia.

Implementasi ASEAN Economic Blueprint dalam mewujudkan Komunitas Ekonomi ASEAN tentu membawa konsekuensi bagi dunia usaha khususnya di Indonesia.

Dalam perspektif kompetisi, konsekuensi dari terbukanya pasar akibat kebebasan peredaran barang dan jasa (free flow of goods and services) adalah munculnya persaingan baru, pasar baru dan potensi bersentuhannya pelaku usaha Indonesia dengan hukum persaingan negara-negara ASEAN. Sampai saat ini belum ada lembaga persaingan usaha untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha diantara wilayah negara anggota ASEAN dan belum ada hukum persaingan usaha secara khusus di wilayah ASEAN.

Berdasarkan segala uraian diatas, penulis tertarik untuk menelusuri aspek hukum persaingan usaha dalam konteks perdagangan internasional dalam bentuk skripsi dengan judul “ANALISA YURIDIS PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI ERA KOMUNITAS EKONOMI ASEAN”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan dua masalah yang akan dibahas. Adapun permasalahan tersebut antara lain:

1. Bagaimana hukum persaingan usaha di Indonesia mengatur persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan internasional di kawasan ASEAN?

(18)

2. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang dapat dilakukan ASEAN apabila terjadi persaingan usaha tidak sehat di era Komunitas Ekonomi ASEAN?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, perlu ditegaskan materi yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembahasan materi yang terlalu melebar dan pada akhirnya menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam pembahasan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai pengaturan persaingan usaha di Indonesia dalam kaitannya dengan perdagangan internasional di kawasan ASEAN.

2. Dalam pembahasan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai bentuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang dapat dilakukan ASEAN apabila terjadi persaingan usaha tidak sehat di era Komunitas Ekonomi ASEAN.

1.4. Originalitas Penelitian

Penulis diwajibkan untuk menuliskan penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis sebagai bahan pembanding untuk menunjukkan orisinalitas dari penelitian. Dalam hal ini penulis juga diwajibkan untuk memberikan minimal dua substansi pembeda untuk menghindarkan penelitian dari anggapan plagiat.

(19)

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua buah skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan kebijakan persaingan usaha dalam ASEAN Economic Community yang meliputi:

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Harmonisasi Kebijakan Persaingan Usaha Masyarakat Ekonomi ASEAN

I Gusti Ayu Agung Ratih Maha Iswari DP (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana)

Tahun 2016

1. Bagaimana pengaturan kebijakan persaingan usaha pada Masyarakat Ekonomi ASEAN?

2. Bagaimana harmonisasi kebijakan persaingan usaha pada Masyarakat Ekonomi ASEAN?

2. Kajian Pengaturan Terhadap Standar Produk Prioritas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN kaitannya dengan Praktik Monopoli

I Gusti Putu Ngurah Satriawibawa

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana)

Tahun 2016

1. Bagaimanakah

harmonisasi pengaturan standar produk menurut hukum nasional dan hukum internasional?

2. Bagaimanakah pengaturan standar produk prioritas usaha kecil, mikro, dan menengah dalam MEA yang dapat mencegah praktik monopoli?

(20)

1.5. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Udayana;

2. Untuk mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa;

3. Sebagai sarana bagi mahasiswa untuk dapat berfikir kritis, rasional dan sistematis;

4. Untuk melatih diri mengembangkan kemampuan dalam menyatakan suatu pemikiran ilmiah yang tertulis sebagai sumbangan pemikiran ilmiah dan turut andil dalam pengembangan ilmu hukum;

5. Sebagai sumbangan pemikiran bagi mahasiswa yang membutuhkan pengetahuan lebih dalam khususnya untuk mahasiswa bagian hukum internasional.

(21)

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kesiapan kerangka hukum (legal framework) Indonesia mengenai persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan internasional.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh ASEAN apabila terjadi persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan internasional di era Komunitas Ekonomi ASEAN.

1.6. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengaturan persaingan usaha dalam perdagangan internasional dan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh ASEAN apabila terjadi persaingan usaha tidak sehat dalam perdagangan internasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan refrensi tambahan untuk pengembangan ilmu hukum secara umum dan bidang hukum inernasional mengenai persaingan usaha dalam perdagangan internasional secara khusus.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah sebagai upaya pengembangan kerangka hukum maupun kebijakan-kebijakan khususnya di bidang persaingan usaha dalam perdagangan internasional.

1.7. Landasan Teoritis

(22)

1.7.1 Teori Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan atau yang dikenal dengan istilah perdagangan bebas menjadi fenomena global yang sangat penting dewasa ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Nadeem Bhatti yakni: “Economic liberalization is getting importance in recent literature throughout world. Liberalization may be effects asymmetrically; some firms may advantage whilst others looses, leading to developing within industry deviation in industrial execution.25 Dalam pendapat tersebut perdagangan bebas mempunyai dua sisi, di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain dapat merugikan.

Beberapa keuntungan yang ditawarkan oleh perdagangan bebas meliputi banyak aspek sebagaimana dijelaskan berikut ini: “Arguably, special interest groups stand to lose from free trade. But special interest groups may, in the long run, gain more than they will lose by adopting free trade rather than isolation.”26 Perdagangan bebas mampu meningkatkan kesempatan untuk memperoleh barang dan jasa dengan harga dan kualitas yang bersaing, mengembangkan kerjasama internasional, mendatangkan modal bagi negara berkembang, meningkatkan standar hidup, menciptakan lapangan pekerjaan serta memungkinkan negara berkembang berkompetisi pada arena perdagangan internasional.

Argumentasi yang kontradiktif dengan konsep liberalisasi perdagangan barang dan jasa didasarkan pada argumentasi kedaulatan negara dan pentingnya perlindungan akan kepentingan ekonomi nasional. Negara maju yang telah mempunyai kesiapan dan kelebihan-kelebihan akan memberikan keuntungan bagi pelaku pelaku usaha negara maju.

25 Nadeem Bhatti et.al., 2011, “New Growth Theories and Trade Liberalization: Measurement of Effects of Technology Transfer on Pakistan’s Economy” dalam Modern Applied Science Vol. 5, No. 3, June 2011, Canadian Center of Science and Education, h. 85.

26 Robert W McGee, 1994, ”The Fatal in NAFTA, GATT and All Other Trade Agreements” dalam New York Journal International Law & Business, h. 549.

(23)

Kesiapan tersebut di antaranya berkaitan dengan daya saing, iklim persaingan usaha dan struktur pembiayaan yang didukung oleh sektor perbankan yang lebih kondusif.27

1.7.2 Teori Mengikatnya Hukum Internasional

Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan mengenai dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional. Teori-teori tersebut antara lain:

1. Teori hukum alam (natural law)

Ajaran hukum alam diperkenalkan oleh Hugo Grotius. Ajaran ini mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional dan mempunyai ciri keagamaan yang kuat.

Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia.

Menurut para penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan bangsa-bangsa. Dengan kata lain, negara terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Teori hukum alam ini memiliki kelemahan yaitu pengertiannya yang abstrak dan tergantung pada penilaian subjektif. Akan tetapi karena idealismenya yang tinggi teori ini menimbulkan keseganan bagi hukum internasional dan sekaligus dasar bagi mengikatnya hukum internasional.28

2. Teori kehendak negara

Teori ini didasari atas kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak dari negara untuk tunduk pada hukum internasional. Aliran ini didasarkan pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Salah satu orang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah George Jellineck dengan Selbst limitation theorie. Seorang pemuka lain dari aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain merupakan hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Kelemahan dari teori ini yaitu teori ini tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum dapat mengikat negara-negara dan bagaimana negara baru sejak munculnya dalam masyarakat hukum internasional sudah terikat dengan hukum internasional terlepas dari kemauan negara tersebut.29

3. Teori kehendak bersama negara 27 Ade Maman Suherman, op.cit., h. 23.

28 Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Edisi ke-2, Cetakan ke-1, PT.

Alumni, Bandung, h. 46-48.

29 Ibid, h. 49.

(24)

Triepel mengemukakan bahwa hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kehendak satu persatu negara melainkan karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara spesifik, melainkan diberikan secara diam-diam (implied). Teori ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai kekuatan mengikat dari hukum internasional dalam hal negara melepaskan diri dari kekuatan mengikat tersebut.30

4. Mazhab Wiena

Menurut mazhab ini norma hukum merupakan dasar terakhir dari kekuatan mengikat hukum internasional. Kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada kaidah dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesis asal. Hans Kelsen yang dianggap sebagai bapak dari Mazhab Wiena mengemukakan asas “pacta sunt servanda” sebagai kaidah dasar (grundnorm) dari hukum internasional. Kelemahan dari teori ini yaitu ketidakmampuannya dalam menjawab dasar mengikatnya kaidah dasar (grundnorm).31

5. Mazhab Perancis

Mazhab ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social). Jadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa hukum mutlak diperlukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.32

1.7.3 Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional

Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional merupakan masalah terpenting yang senantiasa diperdebatkan dalam praktik hubungan internasional. Mengenai hubungan antara perangkat hukum ini terdapat dua aliran besar, yaitu:

1. Aliran Monisme

Menurut aliran ini antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua kesatuan hukum dari satu sistem hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya, karena terletak dalam satu sistem hukum yang sama maka negara yang menganut aliran

30 Ibid, h. 50.

31 Ibid, h. 51-52.

32 Ibid, h. 53.

(25)

monisme menganggap hukum internasional berlaku pula (terinkorporasi) di lingkungan hukum nasional, setara dengan hukum nasional dengan mempertahankan sifat hukum internasional tersebut tanpa mengubahnya sejauh isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan-hubungan hukum nasional.33

Dalam perkembangannya aliran monisme terpecah menjadi dua, yaitu aliran monisme primat hukum internasional dan monisme primat hukum nasional.34

Menurut aliran monisme primat hukum nasional, hukum internasional berasal dari hukum nasional. Contohnya, hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara- negara, karena hukum internasional berasal atau bersumber dari hukum nasional maka hukum nasional kedudukannya lebih tinggi dari hukum internasional, sehingga bila ada konflik hukum nasional yang diutamakan. Meskipun aliran ini mengandung kebenaran fakta bahwa memang banyak aturan hukum internasional berasal dari praktik negara- negara tetapi bilamana aliran ini diikuti akan sangat berbahaya bagi pelaksanaan hubungan internasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aliran monisme primat hukum nasional tidak mengakui eksistensi hukum internasional.35

Adapun aliran monisme primat hukum internasional menyatakan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional, jadi kedudukannya lebih tinggi dari hukum nasional. Hukum internasional harus diutamakan bila terjadi konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Aliran ini memang sangat idealis dan itulah yang seharusnya terjadi jika masyarakat internasional menginginkan adanya suatu tertib hukum internasional. Kritik terhadap aliran ini adalah ketidaksesuaian fakta

33 Sefriani, 2015, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Edisi ke-2, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 76.

34 Ibid.

35 Ibid.

(26)

bahwa dalam realitanya hukum internasional lebih banyak bersumber pada hukum nasional yaitu dari praktik negara.36

2. Aliran Dualisme

Aliran ini mengemukakan bahwa antara hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan yang dimaksud adalah:

a. subjek, subjek hukum internasional adalah negara-negara sedangkan subjek hukum nasional adalah individu;

b. sumber hukum, hukum internasional bersumber pada kehendak bersama negara adapun hukum nasional bersumber pada kehendak negara; dan

c. hukum nasional memiliki intregritas yang lebih sempurna dibandingkan hukum internasional.37

Perbedaan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut Anzilotti dapat ditarik dari dua prinsip yang fundamental. Hukum nasional mendasarkan diri pada prinsip bahwa aturan negara (state legislation) harus dipatuhi, sedangkan hukum internasional mendasarkan pada prinsip bahwa perjanjian antar negara harus dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda.

Hukum internasional dan hukum nasional yang terpisah dan merupakan dua sistem hukum yang berbeda, maka permasalahan yang muncul bukan tentang hierarki, melainkan masalah transformasi. Hukum internasional hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan dalam hukum nasional. Demikian juga sebaliknya.38

1.8. Metode Penelitian

36 Ibid.

37 Ibid, h. 77.

38 Sefriani, op.cit., h. 77.

(27)

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten. Oleh karena itu metodelogi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.39

Adapun metodelogi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara mengkaji pokok permasalahan yang dibahas kemudian mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan dan menggunakan data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan, meliputi buku–buku literatur, jurnal, makalah dan dokumen–dokumen resmi dari pemerintah.40

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan, yakni:41 1. Pendekatan kasus (the case approach);

2. Pendekatan peraturan perundang-undangan (the statute approach);

3. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach);

4. Pendekatan sejarah (historical approach);

5. Pendekatan perbandingan (comparative approach);

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Pendekatan peraturan perundang-undangan (the statute approach)

39 H. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17.

40 Philips Dillah dan Suratman, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Jakarta, h. 51.

41 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII, Kencana Predana Media Group, Jakarta, h. 133.

(28)

Penulis menelaah peraturan yang terkait dengan isu yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah instrumen-instrumen hukum internasional, yaitu: ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy, ASEAN Economic Community Blueprint, Charter of the Association of Southeast Asian Nations dan ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism. Penulis juga melakukan pendekatan dengan menelaah hukum persaingan usaha di Indonesia, yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008.

2. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach)

Penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber hukum lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini, penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terdapat dalam ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy, ASEAN Economic Community Blueprint, Charter of the Association of Southeast Asian Nations, ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008.

3. Pendekatan kasus (the case approach)

(29)

Pendekatan kasus dalam penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Penulis menelaah kasus- kasus yang berkaitan dengan persaingan usaha dalam perdagangan internasional yang terjadi di era Komunitas Ekonomi ASEAN

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.42 Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.43 Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu:

a. ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy;

b. ASEAN Economic Community Blueprint;

c. Charter of the Association of Southeast Asian Nations;

d. ASEAN Protocol on Enchanced Dispute Settlement Mechanisms;

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan

f. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.44 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku

42 Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta, h. 51.

43 Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 144.

44 Ibid.

(30)

literatur, jurnal, makalah, dan internet yang berhubungan dengan pengaturan persaingan usaha dalam perdagangan internasional.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Sistem ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Menggunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya.

2. Menggunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.

3. Menggunakan kartu subjek. Kartu subjek adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu bahan. Dari subjek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka.45

Ketiga teknik pengumpulan bahan tersebut dipakai dalam penelitian ini oleh penulis dalam mengumpulkan bahan hukum baik di perpustakaan hukum, internet dan lain sebagainya.

45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23.

(31)

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Teknik deskripsi, berupa teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.

3. Teknik evaluasi, merupakan penetian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap pandangan, proposisi, pernyataan umum, norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi, tidak dapat dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

5. Teknik sistematisasi, berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

(32)

Referensi

Dokumen terkait

koperasi tersebut di atas di Persidangan Negeri Perak 2021 yang akan diadakan pada 17 Mac 2021 (Rabu). Bersama-sama ini disertakan pengesahan saya sebagai wakil

23 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet.. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum

Analisis data menggunakan ANAVA Hasil : Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol daun binahong dosis 50, 100 dan 200 mg/kg bb dapat menurunkan kadar

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan konsumsi zat gizi yang meliputi energi, karbohidrat, lemak, protein, zat besi, vitamin A, dan seng, status gizi

Dari hasil analisis data dari pengujian hipotesis yang dilakukan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan shooting dalam setiap jenis point tembakan dan daerah tembakan di setiap serangan yang dilakukan tim

2) Oleh karena nyata-nyata telah terbukti secara sah menurut hukum Termohon I, Termohon II dan Termohon III mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya

Understanding the Turbulence of Business Environment in Telecom Industry: Empirical Evidence from Indonesia Memahami Turbulensi Lingkungan Bisnis pada