FIKIH SIYASAH K.H ABDUL WAHAB HASBULLAH TAHUN 1950-1955
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh:
Muhamad Fadhly Syah Lingga 160906081
Dosen Pembimbing: Dr. Warjio, MA., Ph.D.
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
MUHAMAD FADHLY SYAH LINGGA (160906081)
FIKIH SIYASAH K.H ABDUL WAHAB HASBULLAH TAHUN 1950-1955
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pembahasan mengenai penggunaan kajian Fikih Siyasah dari Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah yang merupkan salah satu tokoh kiai yang menjadi bagian dari pendiri dari salah satu Organisasi Islam Terbesar di Indonesia yaitu Nadhlatul Ulama. Bukan hanya sebagai salah satu pendiri dari Nadhlatul Ulama, Kiai Wahab juga menjadi orang dibalik keputusan keputusan bermuatan politik dari Nadhlatul Ulama terutama pasca meninggalnya Kiai Haji Hasyim Asyari tahun 1947 serta anaknya Kiai Haji Wahid Hasyim pada tahun 1953.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil dari penerapan fikih siyasah yang dilakukan oleh Kiai Wahab Hasbullah tercermin dari kedua sikap yang ditunjukanya dalam politik Indonesia era pada tahun 1950-1955 yaitu sikap Akomondasional yang ditujukan kepada pihak pemerintahan soekarno & kalangan pengurus Partai Masyumi sebelumnya yaitu Dr. Soekiman. Disisi lain, bentuk sikap lainya adalah sikap Pragmatisme yang ditujukan kepada kalangan politik islam diluar Nadhlatul Ulama terutama Fraksi Natsir di Partai Masyumi yang didominasi kalangan Modernis. Kedua sikap ini tercermin dalam beberapa langkah politik yang dilakukan oleh Kiai Wahab selama tahun 1950-1955 yaitu: Inisiator Nahdlatul Ulama keluar dari Partai Masyumi & Menjadi Partai Politik, Mendirikan Liga Muslimin Indonesia, Bergabung dengan Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I & Kabinet Burhanuddin Harahap, Pemberian gelar “Walyyul Amri Ad-Daruri Bisy-Syaukah kepada Presiden Soekarno, serta berperan penting dalam Nahdlatul Ulama Pada Pemilu 1955.
Kedua sikap yang dilakukan oleh Kiai Wahab yang terlihat dari beberapa langkah politik yang dilakukan oleh Kiai Wahab selama tahun 1950-1955 bermuara kepada satu tujuan, yaitu memberikan maslahat kepada Indonesia dan Umat Islam di Indonesia yang didominasi kalangan Nahdiyin yang mayoritas berasal dari kelompok Islam Tradisionalis di Pulau Jawa.
Kata Kunci: Fikih Siyasah, K.H Abdul Wahab Hasbullah, Nadhlatul Ulama
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
MUHAMAD FADHLY SYAH LINGGA (160906081)
SIYASA FIQH K.H ABDUL WAHAB HASBULLAH 1950-1955
ABSTRACT
This thesis discusses the discussion of the use of Siyasa Fiqh Theorie from Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah who is one of the kiai figures who became part of the founder of one of the Largest Islamic Organizations in Indonesia, namely Nadhlatul Ulama. Not only as one of the founders of Nadhlatul Ulama, Kiai Wahab was also the person behind Nadhlatul Ulama's politically charged decisions, especially after the death of Kiai Haji Hasyim Asyari in 1947 and his son Kiai Haji Wahid Hasyim in 1953
The results of this study conclude that the results of the implementation of siyasah fiqh carried out by Kiai Wahab Hasbullah are reflected in the two attitudes he showed in Indonesian politics in the 1950-1955 era, namely the accommodative attitude aimed at the Soekarno government and the previous Masyumi Party management, namely Dr. Soekiman. On the other hand, another form of attitude is pragmatism aimed at Islamic political circles outside Nadhlatul Ulama, especially the Natsir Faction in the Masyumi Party which is dominated by Modernists. These two attitudes were reflected in several political steps taken by Kiai Wahab during 1950- 1955, namely: the initiator of Nahdlatul Ulama left the Masjumi Party & Becomes a Political Party, Established the Indonesian Muslim League, Joined the Cabinet of Prime Minister Ali Sastroamidjojo I & the Cabinet of Burhanuddin Harahap, Giving the title "Walyyul Amri Ad-Daruri Bisy-Syaukah to President Soekarno, and playing an important role in Nahdlatul Ulama in the 1955 General Election.
The two attitudes taken by Kiai Wahab which can be seen from several political steps taken by Kiai Wahab during 1950-1955 lead to one goal, namely to provide benefits to Indonesia and Muslims in Indonesia who are dominated by Nahdiyin, the majority of whom come from Traditionalist Islamic groups in Java Island.
Keywords: Siyasa Fiqh, K.H Abdul Wahab Hasbullah, Nadhlatul Ulama
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan kelulusan dalam jenjang perkuliahan Strata 1 pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini adalah “Fikih Siyasah K.H Wahab Hasbullah pada tahun 1950-1955”. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Warjio, Ph.D selaku Ketua Program Studi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan Dosen Pembimbing Skripsi saya. Terima kasih yang hanya dapatsaya ucapkan untuk bimbingan dan arahan bapak selama dalam proses pengerjaan skripsi maupun dalam berkegiatan dikampus dan juga ilmu yang telah bapak berikan ke saya mengajar mata kuliah Ilmu Politik.
2. Kepada keluarga besar saya yaitu Ayah, Ibu , dan Adik saya yang sudah memberikan semangat, dukungan dan kasih sayang kepada Saya dalam menjalankan perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Sumatera Utara.
3. Seluruh dosen dan semua staf Departemen Ilmu Politik FISIP USU, yang telah memberi ilmu dan membantu saya selama perkuliahan. Semoga bapak dan ibu selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang.
4. Serta teman-teman seperjuangan saya dalam menempuh studi di prodi Ilmu Politik yang sudah membantu, mendukung dan memberikan semangat kepada saya dalam proses pengerjaan skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Surat Pernyataan ………ii
Abstrak ... iii
Abstract ... iv
Halaman Pengesahan ... v
Halaman Persetujuan... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... ………7
F. Kerangka Konsep dan Teori.. ………...8
G. Metedologi Penelitian ... 30
H. Sistematika Penulisan ... 34
BAB II BIOGRAFI K.H WAHAB HASBULLAH DAN PERAN NYA DI NADHLATUL ULAMA & MASYUMI ... 36
A. Biografi K.H Abdul Wahab Hasbullah ... 36
B. Kiprah K.H Abdul Wahab Hasbullah di Nahdlatul Ulama ... 45
C. Kiprah K.H Wahab Hasbullah di Masyumi ... 60
BAB III DESKRIPSI PENERAPAN FIKIH SIYASAH YANG DILAKUKAN K.H WAHAB HASBULLAH PADA TAHUN 1950-1955 ... 70
A. Inisiator Nahdlatul Ulama Keluar Dari Partai Masyumi & Menjadi ... 71
B. Mendirikan Liga Muslimin Indonesia ... .86
C. Bergabung Dengan Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I ... 88
D. Pemberian Gelar “Walyyul Amri Ad-Daruri Bisy-Syaukah Kepada .... 91
E. Berperan Penting Dalam Nahdlatul Ulama Pada Pemilu 1955 ... 94
BAB 4 PENUTUP ... 102
A. Kesimpulan ... ………102
B. Saran ... 104
Daftar Pustaka ...104
DAFTAR TABEL Halaman 3.1 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1955….………..…97
3.2 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu Konstituante 1955...………..…99
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara yang memiliki populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia, tentu peran ulama dan kiai berada di posisi yang penting ditengah masyarakat Indonesia tekhusus masyarakat Islam di Indonesia.
Untuk istilah Ulama dan Kiai tersendiri, penulis mengambil pendapat dari Hiroko Horikoshi dalam karyanya yang berjudul ―Kiai dan Perubahan Sosial” yang mana Horikoshi secara konsisten membedakan penggunaan istilah ‖kyai‖ dari ‖ulama‖ karena fungsi formal yang diperankannya.
Menurut Horikoshi, ulama lebih memerankan fungsi-fungsi administratif, sedangkan kyai cenderung bermain pada tataran kultural.1
Ulama memiliki status yang sangat urgen dan posisi strategis dalam Islam. Dengan ilmu pengetahuannya, mereka memiliki rasa takwa, takut dan tunduk kepada Allah. Ulama juga memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah baik yang kauniyyah maupun quraniyah. Karena begitu khasnya posisi ulama di dalam Islam, maka tidak sulit untuk difahami kenapa ulama begitu dihormati di kalangan umat Islam, memiliki pengaruh dan membuat umat loyal terhadapnya. Peranan ulama dalam masyarakat cukup beragam, kedudukan sosial ekonomi dan politik seorang ulama yang baik akan
1Miftah Faridi. 2017. ‖Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia‖. Jurnal Sosioteknologi Edisi 11 Tahun.
Agustus 6, 2007, hal.238. https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/103. Diakses pada tanggal 25 Februari 2021.
semakin menambah peran mereka dalam membina masyarakat di lingkungannya. Memang awalnya eksistensi ulama dikenal di dunia pondok pesantren, madrasah, majelis taklim, masjid maupun mushala dan juga sebagai pendidik dan pengajar agama Islam. Namun peran mereka kemudian berkembang ke berbagai bidang kehidupan masyarakat.2 Termasuk dalam bidang politik.
Selain itu, kerangka berfikir para ulama Islam tidak terlepas dari yurisprudensi Islam yang berasal dari abad pertengahan, dan oleh sebab itu pandangan politik kalangan Islam dipengaruhi oleh para pemikir Islam klasik yang bercorak pada pemahaman ahlus sunnah wal jama'ah dengan menganut mazhab empat. Dari empat mazhab ini, kalangan Ulama Islam di Indonesia lebih menekankan pada mazhab Syafi'iyah, ketimbang ketiga mazhab lainnya.
Mazhab ahlussunnah wal jamaah yang dianut sebagian besar Umat Islam di Indonesia merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gugusan konfigurasi aspek-aspek kalam, fikih dan tasawwuf. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh, masing-masing tidak dipilah dalam trikotomi yang satu berbeda atau berlawanan dengan yang lain.3 Ketiga aspek ini sebuah satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun umumnya para kiai dan ulama Islam di Indonesia lebih melakukan penekankan pada dimensi fikih dibanding aspek aspek yang lainnya. Dimensi fikih yang mengatur urusan politik punya cabang yang disebut fikih siyasah.
2 Muhammad Nuh Rasyid. 2019. ―Kapasitas Ulama Dalam Bernegara‖. Al-Ikhtibar: Jurnal Ilmu Pendidikan 6 no . 1 October 23, 2019: hal. 596. https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/ikhtibar/articl e/view/1113. Diakses pada tanggal 15 Maret 2021.
3 Nurfaizin. 2017. NU Dalam Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus pada Pemilukada di Kabupaten Sumenep Tahun 2010. Jurnal Sosiologi Reflektif, Volume 11, No. 2 April 2017. hal. 59.
http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/1352. Diakses pada tanggal 15 kkkkkkkkMaret 2021.
Siyasah dalam peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan. Sistem politik Islam yang disebut dengan siyasah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah umat Islam.
Meskipun demikian, nilai siyasah tidak serta merta menjadi relatif karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah.4
Sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di indonesia, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang unik.
Didirikan oleh ulama pesantren tahun 1926 di Surabaya. Memiliki jaringan struktur kelembagaan organisasi mulai dari pusat sampai desa. Sebagai organisasi ulama, kedudukan mereka dalam Nahdlatul Ulama sangat penting.
Tetapi peran mereka sebagai pemimpin yang berpengaruh pada komunitas mereka sendiri telah membentuk pranata lain, sehingga keberadaan mereka di dalam Nahdlatul Ulama juga mewakili "kepentingan" pranata mereka5 termasuk dalam bidang politik.
Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang besar, menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi ini sebagai salah satu kekuatan sosial politik, kultural dan keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Gagasan yang pertama kali ketika Nahdlatul Ulama dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari
4 A. Djazuli. 2003. Fikih Siyasah. Jakarta: Prenada Media. hal. 1.dalam Jurnal Mustofa Hasan. 2014.
Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih. Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014. hal. 97. https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/madania/article/view/2/11. Diakses pada iiiiiiiiiiiiiiiitanggal 28 April 2021.
5 M. Ali. Haidar 1994. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fikih dalam Politik.
Jakarta: Gramedia. hal. 1.
wawasan sosial keagamaan. Meskipun demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan Nahdlatul Ulama mengabaikan soal-soal politik.6
Dalam berpolitik, Nahdlatul Ulama menggunakan kajian fikih siyasah berdasarkan paham ahlus sunnah wal jama'ah sama seperti organisasi sosial masyarakat islam di Indonesia yang mayoritas bermazhab syafii. Dan itu terlihat dalam perilaku politik K.H Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan Rais ‗Am dan salah satu pendiri dari Nahdlatul Ulama itu sendiri.
K.H Abdul Wahab Hasbullah merupakan salah satu Ulama dari kalangan Islam Tradisionalis yang punya pengaruh besar dalam perpolitikan Indonesia. Dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi Kiai Wahab, tercatat bahwa Kiai Wahab lahir pada bulan Maret tahun 1888 di daerah Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.7
K.H Wahab Hasbullah merupakan salah satu dari pendiri dari organisasi Islam tradisionalis terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama.
K.H. Abdul Wahab Hasbullah tidak pernah absen dalam mengawal perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama dan memperjuangkannya di kancah nasional. K.H. Wahab Hasbullah tidak begitu dikenal jika dibandingkan dengan tokoh- tokoh politik Nahdlatul Ulamayang lain seperti K.H Hasyim Asyari maupun K.H. Wahid Hasyim. Padahal, tampilnya Nahdlatul Ulama dalam panggung politik tidak terlepas dari peran K.H. Wahab Hasbullah.
Sebagai salah satu Ulama Islam yang merupakan pendiri dari Nahdlatul Ulama, tentu saja K.H Wahab Hasbullah akrab terhadap corak
6 Ibid, hal.5.
7 Greg Fealy dan Greg Barton, ed. 1999. Tradisonalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul Ulama- Negara. Yogyakarta: LkiS. hal. 2. Dalam Iis Supriatna. 2006. Pergulatan Politik KH. Abdul Wahab Hasbullah; Studi Analisa Terhadap NU Dan Negara.Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ushuluddin &
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. hal. 12.
pemikiran yang mengacu pada mazhab Syafi'iyah yang dikenal sebagai imam moderat menjadikan pola pikir K.H Wahab Hasbullah di Nahdlatul Ulama lebih akomodatif, khususnya dalam merespon persoalan politik dan saat memberikan treatment kepada kekuasaan. Sebagai organisasi yang umumnya keluaran pesantren, kaidah fikih merupakan kerangka utama dalam menetapkan suatu kebijakan. Bagi kalangan Islam, fikih merupakan "ratu ilmu pengetahuan".8 Menurut Muhammad Ali Haidar dalam bukunya yang berjudul ―NU dan Islam di Indonesia” sebagai ormas islam yang beraliran Sunni bermazhab Imam Syafii, tentu K.H Wahab Hasbullah yang merupakan salah satu pendiri dari Nahdlatul Ulama dalam pemikiran politik merujuk kepada karya karya dari ulama seperti dari golongan sunni ialah 'Ali Ibn Hasan al-Mawardi (991-1031) dengan karyanya yang berjudul al-Ahkam al- Sultaniyah dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Dari dua nama yang pertama itulah beberapa pandangan politik Islam di Indonesia, khususnya NU, mendasarkan rujukan mereka.9
Sementara itu, sejak tanggal 17 Agustus 1950, dengan kembalinya RI ke dalam bentuk negara kesatuan, diberlakulah UUD Sementara 1950 sebagai pengganti UUD RIS 1949. Negara Kesatuan Republik Indonesia waktu itu menganut sistem pemerintahan parlementer, di mana para menteri bertanggungjawab kepada badan legislatif (parlemen). Pada masa ini terdapat kebebasan yang diberikan kepada rakyat tanpa pembatasan dan persyaratan yang tegas dan nyata untuk melakukan kegiatan politik, sehingga berakibat semakin banyaknya bermunculan partai-partai politik. Persaingan secara terbuka antar partai sangat kentara dalam panggung politik nasional.
Masing-masing partai berusaha untuk mencapai cita-cita politiknya, sehingga
8 Greg Fealy. 2003. Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS. hal. 65.
9 Haidar. Op Cit. hal. 23-24.
dalam pemilu yang pertama sejak Indonesia diproklamirkan sangat banyak partai yang menjadi kontestan pemilu. Sistem banyak partai ini berakibat kabinet baru yang akan berjalan akan mantap bila di dalamnya terdapat koalisi.10
Dengan kenyataan yang terjadi di politik indonesia pada awal tahun 1950an seperti perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem demokrasi parlementer dan menjamurnya partai politik diwaktu itu juga mempengaruhi cara pandang bahkan perilaku politik dari kalangan ulama dalam penggunaan kaidah fikih siyasah, yang sumber hukumnya berdasarkan Al Quran, Hadist, Qiyas & Ijtihad ulama terdahulu terkhusus yang dilakukan oleh K.H Wahab Hasbullah. Sebagai Rais ‗Am Nahdlatul Ulama, K.H Wahab Hasbullah punya peran besar dalam politik Indonesia bahkan sebelum perubahan bentuk pemerintahan Indonesia seperti menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung serta berperan dalam masuknya Partai Masyumi kedalam kabinet yang dipimpin Mohammad Hatta pada tahun 1947.
Berdasarkan Latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul, Fikih Siyasah K.H Wahab Hasbullah pada tahun 1950-1955 untuk melihat bagaimana Penerapan kajian fikih siyasah dari K.H Wahab Hasbullah di Nahdlatul Ulama pada politik nasional Indonesia pada tahun 1950-1955.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dalam skripsi ini, permasalahan yang hendak diteliti ialah: Bagaimana
10 Ukasah Martadisastra. 1987. Perbandingan Administrasi Negara Edisi, Cet. 1. Bandung: Nova. hal.
144 dalam Sunarso, Kus Eddy Sartono, Sigit Dwikusrahmadi, Nany Sutarini. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan, PKN Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Unit Mata Kuliah Umum Universitas Negeri Yogyakarta. hal. 82-83.
Penerapan Fikih Siyasah dari K.H Wahab Hasbullah di NU pada tahun 1950- 1955?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah penulis hanya berfokus pada penerapan kaidah fikih siyasah dari K.H Wahab Hasbullah dalam kurun waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1955.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan penerapan kaidah fikih siyasah dalam perilaku politik dari K.H Wahab Hasbullah dalam kurun waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1955.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, merujuk pada konsep fikih siyasah ulama. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan serta pengetahuan bagi pembaca. Serta dengan memahami konsep dari fikih siyasah yang diterapkan ulama ini, kita dapat melihat perilaku politik ulama yang menggunakan fikih siyasah dalam dunia politik indonesia.
2. Secara akademis, penelitian diharapkan mampu menambah referensi penelitian serta media informasi bagi perkemmbangan Departemen
Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pribadi dan masyarakat serta membantu memahami dari penerapan fikih siyasah yang dilakukan oleh ulama.
F. Kerangka Konsep dan Teori
a. Konsep Ulama
1. Definisi Ulama
Definisi ulama dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni definisi secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi kata ulama berasal dari bahasa arab yang berupa jama‘ dari mufrod (kata tunggal) alima yang artinya orang yang berilmu.11
Sementara menurut menurut Muhtarom, Ulama adalah mereka yang mempunyai kelebihan atau ahli dalam bidang ilmu ilmu dalam agama yaitu agama Islam, seperti ahli dalam tafsir ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa arab dan yang lainnya seperti shorof, nahwu, balagah dan masih banyak lainnya terutama dalam bidang ilmu agama Islam. Membimbing umat Islam baik dalam masalah agama maupun dalam masalah sehari-hari yang diperlukan
11 Abdurrohman. 2016. ―Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tentang Anak yang Melakukan Penganiayaan Menurut Hukum Islam,‖ Juni 2016. hal.26. Dalam Roikhatul Hamidah.
2019. Posisi Ulama dalam Pemilihan Gubenur Jawa Timur Perspektif Fiqh Siyasah. Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 22, No. 2, Desember 2019. hal. 432. http://jurnalfsh .uinsby.ac.id/ index.php/qanun/article/view/868. Diakses pada tanggal 27 Maret 2021.
baik dari sisi keagamaan maupun masalah yang selalu ada dalam masyarakat karena ulama sebagai pebimbing moral.12
Ulama sesungguhnya memiliki peran penting di tengah masyarakat.
Ulama memiliki wibawa, Kharisma dan dihormati masyarakat, karena keluhuran akhlaknya. Ulama dianggap sebagai benteng moralitas karena kesederhanaan dan kejujuran yang mereka lakukan. Keberpihakan ulama pada masyarakat bawah, membuat ulama selama ini terpelihara dengan baik, dampak kejujuran, keikhlasan & kenetralan ulama ditengah masyarakat di Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang paternalistik. Masyarakat ini ditandai dengan sikap kepatuhan yang tinggi pada individu yang menjadi pemimpinnya.
Salah satu ulama terkenal Imam Al Ghazali dalam karyanya yang berjudul Ihya‟ Ulumiddin menyebut tanda-tanda ulama akhirat adalah:13
a. Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya, dan tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. (Q.S. Ali Imron:
199)
b. Perilakunya sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan sebelum dia mengamalkannya. (Q.S. Al-Baqoroh:
44)
c. Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa mendalami ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan pendekatan
12 Muhtarom. 2005. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 12. dalam Eka Zalika Salamiah. 2019. Peran Ulama Dalam Pragmatisme Politik Pada Pilgub 2018: Studi Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. hal. 16.
13 Imam Al-Ghazali. 1990. Ihya‟ Ulumiddin cet 1. Semarang: CV.Asyifa. hal. 15. Dalam Ibid. hal. 19.
dirinya kepada Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, dan menjauhi segala perdebatan yang sia-sia.
d. Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah.
e. Menjauhi godaan penguasa jahat, sabda Nabi SAW, ―sejahat-jahatnya ulama ialah yang mendatangi penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah yang mendatangi ulama‖. (HR Ibnu Majjah)
f. Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Jika ia ditanya suatu hukum yang tidak ditemukan dalilnya, ia menjawab, ‖saya tidak tahu‖.
g. Senang dengan semua ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala), muroqqobah (ilmu untuk mencintai perintah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dan menjauhi segala larangan Nya) dan optimis terhadap Rahmat Nya.
h. Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai tingkat haqqul yaqin. Sabda Nabi SAW. ―Yakin itu adalah tingkatan kesempurnaan Iman.‖ (HR Baihaqi)
i. Senantiasa Khasyyah kepada Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala takdzim atas segala kebesaran Nya, tawadhu‟, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala maupun sesamanya.
j. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hatinya.
k. Memiliki ilmu yang berpangkal didalam hati, bukan diatas kitab.
Iahanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rosul SAW.
2. Peran Ulama’ dalam Politik
Bagaimana posisi dan peran ulama‘ dalam berpolitik selalu menjadi perbincangan tanpa henti baik di kalangan ulama‘ sendiri maupun mereka yang terjun dalam arena politik. Seperti perbincangan-perbincangan lainnya, isu ini menghasilkan dua kelompok; mereka yang membolehkan ulama‘
masuk dalam lingkungan politik praktis agar dapat memberi warna yang baik, dan kelompok yang berpendapat bahwa sebaiknya ulama‘ tidak terjun langsung dalam politik sehingga netralitas mereka dapat terjaga. Masing- masing pendapat pasti mempunyai alasan dan bukti yang menurut mereka dapat dijadikan sandaran penting dari pendapat tersebut.
Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai peran ulama‘ dalam politik, ada baiknya kita bersepakat mengenai makna ulama‘ dan batasan- batasannya secara ringkas. Kesepakatan tersebut menjadi penting mengingat ulama‘ (sing. al-‗ālim) bisa juga diartikan secara luas, yaitu orang Islam yang mempunyai ilmu. Jika makna ulama‘ yang luas ini diterapkan, maka akan terdapat banyak golongan dan individu yang masuk dalam golongan ulama‘
tersebut, termasuk ahli politik muslim dan birokrat muslim, guru dan dosen muslim, dokter muslim dan lain sebagainya.14 Ulama‘ yang menjadi landasan wacana dalam makalah ini adalah mereka yang benar-benar mengikhlaskan
14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam agama Islam.
Definisi ini juga masih terlalu luas sebab keahlian dalam agama Islam yang dimiliki oleh seseorang tentu kadar dan kualitasnya berbeda-beda. Keahlian pun bisa bermacam-macam, seperti tauhid, fiqh, filsafat Islam, lingkungan dan sebagainya. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. hal 1774. Dalam Imanuddin Abil Fida.2014. Ulama‟ dan Politik: Mengurai Peran Ulama‟ dalam Politik Era Modern.
Disampaikan pada Kajian Mingguan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) di IIUM, Rabu, 9 April 2014. Diakses pada tanggal 14 Maret 2021 di tautan https://www.academia.edu/
...19974054/Ulama_dan_Politik_Mengurai_Peran_Ulama_dalam_Politik_Era_Modern . hal. 6.
niat untuk belajar ilmu agama Islam dan menyebarkannya di kalangan ummat Muslim tanpa ada pamrih keduniaan yang diinginkannya.15 Dengan demikian, tidak semua orang bisa masuk dalam golongan ulama‘, pun tidaklah mudah seseorang menganggap dirinya ulama‘ atau dianggap sebagai ulama‘
oleh orang lain.
Ulama‘ yang demikian mempunyai posisi penting dan strategis di tengah-tengah masyarakat. Mereka menjadi kaum yang berada di tengah masyarakat namun lebih tinggi posisinya dibandingkan pemimpin. Posisi penting tersebut dikarenakan nasehat, saran dan masukan ulama‘ akan selalu diperlukan oleh pemimpin. Ibn Qutaybah dalam bukunya menegaskan bahwa ulama‘ dan zuhhād berada pada posisi dan peran yang sangat penting (pivotal actor) sebab mereka menjadi penasehat para pemimpin (mulūk) dalam berbagai macam permasalahan seperti Muḥammad ibn Ka‗ab al-Quraẓī yang menasehati ‗Umar ibn ‗Abd al-‗Azīz dan al-Awzā‗ī yang mendapat penghormatan besar dari al-Manṣūr.16 Al-Ùurṭushī juga merekam berbagai kisah menarik perbincangan antara para ulama‘ dan pemimpin semacam al- Aḥnaf ibn Qays dengan Mu‗awiyyah, Sufyān al-Ùaurī dengan al-Mahdī dan Ibn Sammāk dengan Hārūn al-Rashīd.17 Semua kisah tersebut bermuara pada peran strategis para ulama‘ sebagai penasehat pemimpin agar tidak menyimpang dalam menjalankan kewajiban terhadap rakyatnya. Peran strategis tersebut tidaklah diikuti oleh kedudukan tinggi dalam sistem kenegaraan, dalam artian tidak mempunyai jabatan resmi yang penting dalam pentas politik.
15 Abū Hamid al-Ghazālī. n.d. iḥyā‗‗ulūm al-Dīn juz 1. Mesir: Dār al-Sya‘b, hal 81-98. Dalam Ibid.
16 Abū Muḥammad ‗Abd Allāh ibn Muslim ibn Qutaybah al-Dīnawarī. 1994. kitāb „uyūn al-Akhbār, ed.
Muḥammad al-Iskandarānī. Beirut: Dār al-Kitāb al- ‗Arabī. hal 707-714. Dalam Ibid.
17 Abū Bakr Muḥammad ibn al-Walīd al-Fihr al-Ùurṭushī. 1994. Sirāj al-Mulūk v. 1, ed. Muḥammad Fatḥi Abū Bakr. Mesir: al-Dār al-Miṣriyyah al-Lubnaniyah. hal. 117-158. Dalam Ibid.
Keengganan ulama‘ untuk masuk dalam sistem politik yang ada bukanlah gambaran bahwa mereka tidak berpolitik atau menganggap Islam terpisah dengan politik. Semua ulama‘ tetaplah berpolitik dengan tidak memasuki arena politik praktis. Politik semacam inilah yang tetap menjaga netralitas para ulama‘ sehingga setiap kata, ucapan dan perbuatannya hanya untuk menegakkan kebenaran (kalimat al-haqq) dimana pun dan kapan pun berada. Mereka tidak membela partai A atau B, tidak pula mendukung kelompok dan suku C dan D. Tidak pula mempunyai ambisi pribadi ataupun kelompok untuk mendekati pemimpin sehingga dikenal di masyarakat luas.
Bagi mereka, membela kebenaran adalah yang paling utama tanpa melihat siapa yang dibela dan apa yang akan didapatkan. Bahkan, kebenaran tersebut disampaikannya pula di depan pemimpin yang menyimpang sebab itulah seutama-utamanya jihad, terutama bagi para ulama‘ (afḍal al-jihād kalimat al- haqq tuqālu li imām jā‘ir).18
Di samping selalu memberikan saran dan nasehat kepada pemimpin, para ulama‘ secara aktif ikut serta dalam perbaikan masyarakat luas melalui pendidikan. Mendidik masyarakat secara luas berarti ikut serta bersama masyarakat dalam kehidupan mereka. Mereka dekat dengan masyarakat karena masyarakat selalu merindui kehadirannya. Mendidik juga berarti memperbaiki akhlāq semua lapisan masyarakat, mengingatkan kekurang pedulian mereka terhadap nilai-nilai agama dan memberikan perhatian mendalam terhadap segala permasalahan yang menimpa mereka. Dengan berperan aktif dalam perbaikan masyarakat, ulama‘ sudah mengambil posisi penting nan strategis dalam berpolitik dalam sebuah negara. Keaktifan tersebut bisa menjadi senjata ampuh bagi ulama‘ untuk mengubah jalannya
18 Qāsim Shahāb Qabbāh. 2008. al-Ulamā‟ manārāt al-ukkām. Beirut, Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, hal.
133. Dalam Ibid.
pemerintahan yang masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan.
Bahkan, meminjam istilah al-Ùurṭushī, gerakan yang menyentuh pada masyarakat secara langsung tersebut lebih dahsyat dari banyaknya tentara, iṣlāḥ al-ra‗iyyah khayr min kathrah al-junūd.19
Salah satu metode ulama‘ yang mengutamakan gerakan perbaikan masyarakat direkam dengan cukup baik oleh al-Kīlānī yang mengetengahkan ketokohan Imam al-Ghazāli dan ‗Abd al-Qādir al-Jīlānī. Ia menamakannya gerakan pembaharuan dan perbaikan (ḥarakat al-tajdīd wa al-iṣlāḥ).
Menurutnya, gerakan yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut bermula dari pendidikan yang sangat intens di tengah-tengah masyarakat. Dari situlah, al- Ghazāli melihat pentingnya pembentukan generasi baru dari para ulama‘ (ījād jīl al-jadīd min al-ulamā‗) yang memahami hakikat posisinya sebagai ulama‘
diikuti dengan perbaikan metode pendidikan dan pengajaran. Tak lupa pula, al-Ghazāli selalu mengingatkan para pemimpin yang yang berbuat kedhaliman terhadap rakyatnya (naqd al-salāṭīn al-ẓulmah). Metode yang serupa juga diikuti oleh al-Jīlānī yang mengutamakan pendidikan ruh (al- tarbiyah al-rūḥiyyah) dan pendidikan kemasyarakatan (al-tarbiyah al- ijtimā‗iyyah). Ia juga selalu menasehati para pemimpin dan ulama‘ untuk memahami peran dan fungsinya agar tercipta keadilan dalam masyarakat luas.
Gerakan yang dilakukan oleh keduanya, lanjut al-Kīlānī, berpengaruh luas sampai berdirinya daulat al-Zankiyyah.20
b. Fikih Siyasah
19 Al-Ùurṭushī, v. 2. hal 459. Dalam Ibid. hal.7.
20 Mājid ‗Irsān al-Kīlānī. 1985. Hākadhā Úahara Jīl Qalāh al-Dīn wa hākadhā „ādat al-Quds. Jeddah:
al-Dār al-Su‗ūdiyyah. Dalam Ibid.
1. Pengertian Fikih Siyasah
Fikih Siyasah merupakan tarkib idhofi yang tersusun dari dua kata berbahasa Arab, yaitu kata fikih dan kata siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud dengan Fikih Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing–masing kata dari segi bahasa dan istilah. Secara etimologi (bahasa) fikih adalah pemahaman. Sedangkan fikih secara terminologi (istilah) adalah pengetahuan tentang hukum syar'i mengenai amal perbuatan (praktis) yang diperoleh dari dalil tafshili (terinci), yakni hukum-hukum khusus yang diambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Jadi fikih adalah pengetahuan mengenai hukum islam yang bersumber dari al- Qur'an dan as-Sunnah yang disusun oleh mujtahid melalui jalan penalaran dan ijtihad. Kata siyasah berasal dari kata sasa.
Kata ini dalam kamus Lisan al-Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam kitab Lisan al-Arab, yang dimaksud dengan kata siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fikih siyasah ialah ilmu yang mempelajari hal-ihwal urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.21
2. Fikih Siyasah Perspektif al-Qur'an
21 Wahyu Abdul Jafar. 2018. Fikih Siyasah Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Al-Hadist” Al-Imarah:
Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 18 Vol. 3, No. 1, 2018. hal 20. https://ejournal.
iainbengkulu.ac.id/index.php/alimarah/article/view/2140. Diakses pada tanggal 28 April 2021.
Al-Qur'an merupakan pedoman utama umat Islam dalam segala urusannya. Al-Qur'an tidak hanya sebagai penunjuk jalan bagi seorang muslim guna merengkuh kebahagiaan di dunia dan akhirat, namun juga sebagai obat yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit di dalamnya terkandung banyak hukum yang sengaja didesain oleh Tuhan demi kemaslahatan umatnya.
Mulai dari akhlak, hukum, sosial budaya, tatanegara hingga masalah politik. Secara implisit di dalam al-Qur'an memang tidak terdapat kata politik, namun hal-hal yang terkait dengannya terdapat banyak ayat yang mengupasnya, terutama yang terkait dengan Khilafah, Imamah, Wilayah dan lain sebagainya. Hal itu tak lain dimaksudkan demi terciptanya keadilan dan tegaknya undang-undang yang mengarah kepada kemaslahatan sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta‘ala.
Di antara sekian ayat yang menyinggung permasalahan siyasah di antaranya: (سني :14) Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu pengganti- pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat." Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Menjelaskan bahwa manusia memang dijadikan sebagai seorang kholifah dimuka bumi ini. Dimana seorang kholifah pasti membutuhkan skill khusus untuk menopang tugas yang di embanya ini. Skill ini lah yang kemudian kita kenal dengan istilah siyasah. Namun dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala belum menjelaskan nilai-nilai terkait siyasah yang seharusnya diterapkan oleh seorang kholifah. Nilai nilai ini diterangkan pada Ayat lain, yakni pada suratan-Nisa ayat 59 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Dan jika kamu berselisih dalam satu hal maka kembalikanlah persoalan tersebut (penyelesainya) kepada Allah dan Rosulnya jika kamu benar benar
orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Pengembalian persoalan ini kepada Allah dan Rosulnya adalah solusi terbaik dan paling bagusnya penyelesaian.
Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Menjelaskan kepada kita semua bahwa seluruh kebijakan yang dibuat oleh manusia dimuka bumi ini sebagai seorang kholifah harus berorientasi kepada nilai nilai ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan Rosulnya. Jika terdapat suatu aturan yang sesuai dengan aturan Allah dan Rosulnya maka wajib ditaati dan dipatuhi namun sebaliknya jika aturan atau kebijakan tersebut tidak sesuai dengan Allah dan rosulnya maka tidak perlu ditaati dan dipatuhi. Bahkan dalam ayat ini juga Allah memberikan ketegasan kepada kaum muslimin jika benar benar mengaku beriman maka apabila ada perdebatan terhadap persoalan tertentu maka penyelesainnya harus dikembalikan kepada Allah dan Rosulnya.
Hal ini penting sekali dilakukan, karena setiap kebijakan yang berorientasi pada nilai nilai ketaatan dan ketakwaan kepada Allah akan menjadikan kebijakan tersebut membawa kebaikan dan keberkahan kepada masyarakat secara luas, hal ini sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah dalam firmanya surat al A‘raf ayat 96 yang artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya".
Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala memberikan janji kemakmuran dan keberkahan bagi penduduk suatu negeri asal penduduk tersebut beriman dan bertakwa kepada Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kebijakan dan aturan yang dibuat
harus berorientasi pada nilai nilai keimanan dan ketakwaan, agar janji yang telah diberikan oleh Allah bisa terealisir. Nilai nilai selanjutnya yang harus ada dalam fiqh siyasah adalah nilai amanah dan keadilan. Setiap kebijakan atau aturan yang dibuat harus bernafaskan dengan nilai nilai keadilan dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Hal ini sebagaimana firman Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Dalam surat an-Nisa ayat 58 yang artinya
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat."
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan kepada kita bahwa fiqh siyasah yang harus diterapkan oleh seorang kholifah Allah dimuka bumi ini adalah sistem siyasah yang dibangun dengan nilai nilai amanah dan keadailan.
Seorang pemimpin atau kholifah harus menjadikan nilai amanah dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh nya. Setiap tugas yang dibebankan kepadanya harus diselesaikan dengan penuh rasa tangung jawab tanpa membeda bedakan orang atau golongan tertentu yang berkaitan dengan kebijakan yang ia buat. Kebijakan yang dibangun tanpa dilandasi dengan keadilan dan responbility (amanah) akan sia sia tidak akan bisa membawa kemakmuran dan kesuksesan sebagus apapun kebijakan tersebut dibuat. Nilai nilai selanjutnya yang seharusnya ada dalam fiqh siyasah adalah nilai musyawaroh. Setiap masalah yang muncul dalam setiap kebijakan yang dibuat harus diselesaikan dengan jalan musyawaroh jangan diputuskan oleh dirinya saja meskipun ia menjadi seorang pemimpin atau kholifah. Nilai musyawarah dalam setiap urusan ini terdapat dalam surat as-Syuro ayat 38, yang artinya
―Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan dari apa apa yang telah kami rezqikan kepada mereka nafkahkan‖.
Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala menjelaskan kepada kita bahwa segela persoalan yang muncul dalam setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup kaum muslimin harus diselesaikan dengan jalan musyawaroh berdiskusi bersama mencari solusi terbaik. Bukan dengan cara suara voting suara terbanyak, karena terkadang suara mayoritas itu bukan menjadi solusi terbaik untuk semuanya. Suara terbanyak sering sekali disalah gunakan untuk meluluskan kepentingan golongan tertentu saja tanpa memikirkan golongan minoritas.
3. Fikih Siyasah Perspektif al-Hadist
Al-Hads adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Hadis Nabi SAW.
sendiri menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an. Persoalan persoalan yang belum dijelaskan secara detail biasanya oleh hadis akan dijelaskan lebih detail lagi kecuali pada persoalan persoalan yang memang dan seharusnya bersifat umum. Persoalan fiqh siyasah memang tidak pernah diungkap dengan detail.
Namun, prinsip-prinsip umum dalam berpolitik sudah tertera secara ekplisit.
Satu contoh tentang kepemimpinan dalam Islam, di mana as-Sunnah secara jelas menganjurkan untuk senantiasa amanah dalam menjalankan kepemimpinannya.
Artinya ―Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad Al Marwazi berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin 'Abdullah dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin." Al Laits menambahkan; Yunus berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis surat kepada Ibnu Syihab, dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-.
Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa Salim telah menceritakan kepadanya, bahwa 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.
Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut."
Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya."
Dalam hadist ini, Rasulullah menjelaskan kepada kita bahwa pada hakikatnya setiap insan manusia adalah seorang pemimpin dalam setiap kapasitasnya masing masing. Nilai siyasah yang ditekankan oleh Rasulullah SAW dalam hadis ini adalah nilai responbility (tangung jawab).
Kepemimpinan dalam bentuk apapun baik dalam sekala yang tinggi maupun dalam sekala yang rendah akan dimintai pertangung jawabannya. Sehinga amanah yang dibebankan harus dilakukan dengan sangat hati hati dan penuh tanggung jawab.
Nilai nilai selanjutnya yang harus ada dalam fiqh siyasah adalah nilai nilai kejujuran. Seorang pemimpin harus berlaku jujur dan tidak boleh menipu rakyat atau orang yang dipimpinya. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: "Tiada seorang hamba yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyat, ia meninggal dunia pada hari itu, sementara masih ia masih menipu rakyatnya, kecuali Allah telah mengharamkan surga baginya.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita bahwa seorang pemimpin harus berlaku jujur dalam menjalankan setiap kebijakan dan aturan yang telah dibuat. Perbuatan tidak jujur, menipu dan lain sebagainya akan dipertangung jawabkan kelak di akhirat, bahkan secara tegas Rasulullah SAW., mengancam syurga haram bagi seorang pemimpin yang menipu rakyatnya.
Nilai nilai fiqh siyasah yang selanjutnya adalah keadilan seorang pemimpin harus bisa berlaku adil dalam kepemimpinannya. Kebijakan atau aturan yang dibuat harus bisa mengcover seluruh kepentingan dari rakyat yang dipimpinnya walaupun tetap mengacu pada secala prioritas mana yang lebih maslahah. Rasulullah SAW sendiri memberikan jaminan kepada pemimpin yang bisa berlaku adil dalam kepemimpinanya, ia akan mendapatkan naungan langsung dari Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala pada hari kiamat kelak.
Hal ini sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya: ―Dari Abu Hurairah rodiyollohuanhu, telah bersabda
Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang dinaungi Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil…‖
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan pada hari kiyamat dimana tidak ada naungan selain dari Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, ini menujukan bahwa berlaku adil dalam kepemimpinan manfaatnya tidak hanya pada orang yang dipimpin saja melainkan sang pemimpin sendiri bisa mendapatkan manfaatnya juga. Kepemimpinan adil yang dicontohkan oleh Rosulluloh SAW, kemudian diikuti juga oleh para khalifah rosidin.
Kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi SAW, sangat sukses sehinga sangat wajar jika dijadikan model dan acuan untuk kepemimpinan pada generasi selanjutnya. Sejarah telah mencatat tentang kesuksesan kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara.22
4. Fikih Siyasah dan Macamnya
Siyasah berasal dari kata (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau (mengatur kaum, memerintah dan memimpinnya).
Karena itu, berdasarkan pengertian bahasa, siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah di atas secara tersirat berarti: ―Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan‖
22 Ibid, hal. 21-25.
Sedangkan pengertian siyasah secara istilah menurut Ibn `Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim mendefinisikan: ―Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. tidak menentukannya (Ibnu Qayyim: 16)
Dari pengertian siyasah di atas, baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, warga negara dengan lembaga negara, lembaga negara dengan lembaga negara, baik yang bersifat intern suatu negara atau yang bersifat ekstern suatu negara dalam berbagai bidang.
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallâf, yang termasuk objek pem -bahasan siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok- pokok agama, dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.
Berkenaan dengan luasnya objek kajian fikih siyasah, maka dalam tahap perkembangannya, dikenal beberapa pembidangan fikih siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Siyasah Dusturiyyah adalah siyasah yang mengatur hubungan warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu negara.
b. Siyasah Dauliyyah ialah siyasah yang mengatur antara warga negara dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain.
c. Siyasah Maliyyah ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.
Sedangkan pembidangan yang diajukan oleh Hasbi Ash Shiddieqy membaginya menjadi 8 bidang, yaitu Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Tasyri`iyyah, Siyasah Qadha‘iyyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Idariyyah, Siyasah Kharijiyyah atau Siyasah Dawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, & Siyasah Harbiyyah.23
5. Fikih Siyasah Nahdlatul Ulama
Studi tentang NU tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran fikih baik kerangka teoritis (usul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fikih (al-qawa'id aI-fiqhiyyah). Dengan tradisi pemikiran ini NU mencoba memberi jawaban terhadap tantangan perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku dan peran sosio-politiknya.24
Pertama kali yang perlu dikemukakan ialah pengertian tiga hal yaitu usul al-fiqh, fikih, dan qawa'id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih). Usul al-fiqh sebenarnya merupakan metode untuk mengukur derajat kebenaran istinbat.
(penemuan atau penciptaan) hukum agar tidak salah; dan bagaimana prosedur menemukan atau merumuskan hukum ditil (furu') dalam fikih. Dengan metode ini kemudian dapat disusun hukum fikih yang beraneka ragam.
Hukum yang beraneka ragam itu kemudian dapat disusun kembali dengan
23 Mustofa Hasan. 2014. Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih. Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014. hal 98-99. Diakses pada tanggal 28 April 2021.
24 Haidar. Op Cit. hal.11.
memperhatikan kesamaan-kesamaan berbagai faktor yang dapat dipertemukan menjadi kaidah-kaidah fikih yang berlaku umum.
Usul al-fiqh terbentuk dari hasil kajian menurut pengertian dan logika kebahasaan yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah serta dari kajian maqasid syari'ah (tujuan syari'ah). Usul al-fiqh mengandung dua unsur pokok yaitu dari segi pengertian dan logika kebahasaan serta dari segi maqasid syari'ah. Dua unsur pokok tersebut merupakan aspek penting untuk mengukur atau menilai hasil ijtihad dan sekaligus sebagai metode untuk melakukan ijtihad. Kaidah fikih dihasilkan dari analisis induktif (istiqra') dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan (asybah) berbagai macam hukum fikih lalu disimpulkan menjadi kaidah umum. Sedang fikih ialah pengetahuan praksis ('amaIiyyah) hukum syari'ah yang dihasilkan dari dalil- dalil tafsili, yaitu yang berkaitan dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula.
Dengan pengertian di atas dapat dibedakan obyek masing masing.
Obyek usul al-fiqh ialah dalil umum (ijmal) dan hukum universal (kulli) serta prosedur penemuan hukum universal dari dalil umum. Obyek fikih ialah tindakan orang dewasa (mukallaf) dilihat dari segi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Sedang obyek qawa'id al-fiqh ialah masalah dan hukum fikih yang memiliki kesamaan yang dapat diikat menjadi kesatuan berupa kaidah umum.
Ada lima kaidah pokok yang lazim disebut al-qawa'id al-khams al- kubra (lima kaidah induk):
1. "Al-umur bi maqasidiha", artinya setiap perbuatan tergantung kepada niatnya (tujuan).
2. "Al-yaqin la yazulu bi al-syakk", artinya keyakinan tidak hilang karena keraguan.
3. "Al-darar yuzal atau la darara wa la dirar", artinya "bahaya dihilangkan" atau "tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan.
4. "AI-masyaqqah tajlib al-taisir", artinya kesulitan dapat memberikan kemudahan.
5. “Al-adah muhakkamah", artinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan diakui.
Kaidah-kaidah pokok tersebut memiliki cabang atau pecahan. Antara lain dari kaidah ―la darara wa la dirar‖ dapat dirumuskan beberapa kaidah lain seperti:
1. "Dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih", artinya menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
2. "Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuha dararan bi irtikabi akhaffihima", artinya jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.
Kaidah-kaidah lain yang menjadi bagian dari lima kaidah induk tersebut ialah:
1. "Ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib", artinya kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.
2. "Al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur", artinya kemudahan tidak gugur karena kesulitan.
Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari'ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam. Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebutakan memudahkan memahami hukum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematik yang muncul. Dinamika & perubahan yang tejadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fikih tersebut.25
Sementara menurut Greg Fealy salah satu aspek dari Nadhlatul Ulama yang kurang dipahami adalah pemikiran politik keagamaanya. Untuk memahami pandangan NU, orang harus terlebih dahulu membiasakan diri dengan karya-karya tulis para pemikir Islam klasik, seperti al-Mawardi atau al-Ghazali. Pemikiran NU jauh lebih banyak berasal dari mereka ketimbang dari Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha.
Sebagaimana partai-partai Islam tradisionalis lainnya, NU mengambil gagasan-gagasan politik Sunni klasik sebagai rujukan teoretis utama. Kutipan dari karya-karya al-Mawardi, al-Ghazali, al-Baqillani, dan yang lainnya banyak ditemukan dalam teks-teks NU. Preseden preseden sejarah, bukan hanya dari masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin, melainkan dari masa kekhalifahan Umayah dan Abbasiyah, banyak dikemukakan dalam perdebatan mengenai teori dan praktik politik. 26
Sebagai salah satu Ulama dari zaman Klasik yang dijadikan rujukan, tentu karya dari al-Mawardi yaitu al-Ahkam al-Sultaniyah menjadi salah satu kitab rujukan bagi kalangan NU untuk berpolitik. Al-Mawardi pengikut mazhab syafi'i memulai karir sebagai guru dan hakim di berbagai tempat dan
25 Ibid, hal. 12-14.
26 Fealy. Op Cit. hal.65.
akhirnya menempati posisi puncak sebagai 'qadi al-qudat'. Menurut al- Mawardi imamah dibangun sebagai pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia.27 Sementara itu Al-Mawardi menggemukakan konsep ―Taat‖ yang bersumber dari Surah An Nisa ayat 59 dan hadis riwayat Muslim Ibn 'Urwah dari Abu Hurairah mengenai pemimpin.28
Dasar formal pendekatan politik NU terletak di dalam yurisprudensi abad pertengahan. Kebanyakan tokoh NU pada 1950-an dan 1960-an adalah produk pendidikan pesantren, yang mata ajaran utamanya adalah ilmu fiqh.
Bagi kaum tradisionalis, fiqh merupakan ―ratu ilmu pengetahuan'." Ada beberapa disiplin ilmu dalam hukum Islam, yaitu ushul fiqh, kaidah fiqh, dan fiqh. Kata ushul secara harfiah berarti akar atau prinsip, sedangkan ushul fiqh berarti doktrin tentang prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam Encyclopaedia of Islam, fiqh didefinisikan sebagai ―metodologi dalam hukum Islam (dan) ilmu yang didasarkan pada bukti-bukti yang mengarah pada pembentukan standar- standar hukum'.
Empat 'akar (ushul) -nya adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma', dan Qiyas.
Kaidah fiqh mencakup peraturan dan norma-norma yurisprudensi. Semua peraturan itu, diperoleh melalui analisis induktif yang mengaitkan kelompok- kelompok masalah tertentu dengan respons hukum yang tepat. Perumusan dan penerapan peraturan-peraturan tersebut berhubungan erat dengan ushul fiqh.
Fiqh (aslinya berarti pemahaman, pengetahuan, dan pemikiran‖) adalah ilmu yang berhubungan dengan pengetahuan yang berasal dari studi atas keempat akar hukum Islam tersebut. Dalam praktiknya, fiqh membagi perbuatan manusia ke dalam kategori: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram."
27 Haidar. Op Cit. hal.24.
28 Ibid. hal. 26.
Pengaruh kaidah fiqh memegang peranan penting dalam setiap pembahasan tentang perilaku politik NU. Kebanyakan anggota NU sudah mengenal—setidaknya sebagian dari peraturan tersebut walaupun hanya santri yang lebih terpelajar dan ulama yang memahami kekhususan penerapannya.
Penafsiran masing-masing orang mengenai kapan dan bagaimana peraturan- peraturan tersebut harus digunakan cukup beragam.
Prinsip-prinsip yang paling sering dijadikan dasar pengambilan keputusan politik NU dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
kebijaksanaan, keluwesan, dan moderatisme. Ketiga kategori ini saling berkaitan dan—dalam tingkatan yang berbeda—didasarkan pada prinsip- prinsip fiqh.29
Tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama yang dalam teorinya sangat berhubungan dengan tujuan keagamaannya, seperti telah disinggung oleh Greg Fealy. Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat NU, terutama untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan keagamaan, seperti pesantren, madrasah, danmasjid; dan juga membangun, merawat prasarana sosial, seperti klinik kesehatan, pantiasuhan, dan balai pertemuan.
Kedua, berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan penduduknya. Peluang semacam ini akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam maupun umat pada umumnya.
Semakin sejahtera anggota masyarakat kian meningkat pula kemampuan mereka memenuhi kewajiban sosial dan keagamaannya, seperti menunaikan ibadah haji, membayar zakat, dan mendukung upaya peningkatan pendidikan Islam dan kesejahteraan.
29 Fealy. Op Cit. hal.66.
Tujuan politik ketiga adalah mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam birokrasi.Selama masa kolonial, santri tradisional umumnya menjauhkan diri dari lembaga pemerintahan dan mengembangkan usaha- usaha di sektor-sektor swasta dan informal. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi diyakini akan meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Tujuan politik lain yang sama pentingnya bagi NU adalah menjamin peningkatan kondisi sosial-ekonomi pendukung tradisionalisnya. Tujuan ini kadang kadang tersirat dalam literatur NU, namun jarang dibahas secara terang-terangan. Kurang ditampakkan dan diseriusi. Meski demikian, pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas dalam forum-forum partai korespondensi internal partai.30
G. Metedologi Penelitian
a. Metode Penelitian
Soegiono dalam bukunya yang berjudul ―Memahami Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D‖ mengungkapkan bahwa Metode penelitian
30 Masmuni Mahatma. 2017. Paradigma Politik Nahdlatul Ulama dalam Bernegara. Mawai‘zh, Jurnal Dakwah & Pengembangan Sosial Kemanusiaan Vol. 8, no. 1 2017, pp. 31-54. hal 46. https://jurnal.
lp2msasbabel.ac.id/index.php/maw/article/view/695. Diakses pada tanggal 28 April 2021.
pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan dara dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada Ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. (Bedakan cara yang tidak ilmiah, misalnya mencari uang yang hilang, atau provokator, atau tahanan yang melarikan diri melalui paranormal). Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah langkah tertentu yang bersifat logis.
Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (teramati) yang mempunyai kriteria tertentu yaitu valid. Valid menunjukkan derajad ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti. Misalnya dalam masyarakat tertentu terdapat 5000 orang miskin, sementara peneliti melaporkan jauh di bawah atau di atas 5000 orang miskin, maka derajad validitas hasil penelitian itu rendah atau misalnya dalam suatu unit kerja pemerintahan, dimana dalam unit kerja tersebut iklim kerjanya sangat bagus, sementara peneliti melaporkan iklim kerjanya tidak bagus, maka data yang dilaporkan tersebut juga tidak valid. Untuk mendapatkan data yang langsung valid dalam penelitian sering sulit dilakukan, oleh karena itu data yang telah terkumpul sebelum diketahui validitasnya, dapat diuji melalui pengujian.31
Dari pemaparan kerangka diatas, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif menurut
31 Sugiyono. 2015. Memahami Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. hal. 2.
Sugiyono adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.32 Dengan metode penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan bagaimana Penerapan Fikih Siyasah dari K.H Wahab Hasbullah pada tahun 1950-1955.
b. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini menggunakan tipe Deskriptif Rinci. Penelitian deskriptif rinci merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan memahami dan memaknai subyek serta ―memberikan‖ semua gejala yang tampak dan memaknai apa yang ada dibalik gejala (noumena). Dengan kata lain, menggambarkan secara rinci apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, mengapa, dan sejenisnya tentang subjek yang diteliti.33
Metode yang digunakan penulis adalah deskriptif rinci dengan landasan teori tentang fikih siyasah, yang mana itu digunakan untuk mendeskripsikan penerapan fikih siyasah dari K.H Wahab Hasbullah yang seorang ulama dan menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama serta menjabat sebagai Rais ‗Am NU pada tahun 1947 sampai tahun 1971.
c. Teknik Pengumpulan Data
32 Ibid. hal.9.
33 Suyitno. 2018. Metode Penelitian Kualitatif Konsep, Prinsip Dan Operasionalnya. Tulungagung:
Akademia Pustaka.hal. 7.
Peneliti akan menggunakan teknik studi pustaka, studi pustaka merupakan suatu jenis penelitian yang digunakan dalam pengumpulan informasi dan data secara mendalam melalui berbagai, buku, catatan, majalah, literatur maupun referensi lainnya, serta hasil penelitian sebelumnya yang relevan, untuk mendapatkan jawaban dan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.
Teknik Studi pustaka juga dapat mempelajari berbagai buku dan referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang dapat berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti dan dalam penelitian ini Peneliti lebih banyak menggunakan referensi dari karya yang ditulis oleh peneliti yang meneliti aktifitas politik NU seperti Greg Fealy maupun Muhammad Ali Haidar.
d. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Analisis data menurut Bogdan & Biklen dalam Moleong analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain. Setelah data terkumpul dilakukan pemilahan secara selektif disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Sebab itu, dilakukan pengolahan dengan proses editing yaitu dengan meneliti kembali data-data