BAB I PENDAHULUAN
H. Sistematika Penulisan
Adapun pembagian sistematika penulisan dibagi menjadi empat bagian yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada BAB I ini terdiri dari beberapa bagian yang dimulai dari latar belakang masalah penelitian, batasan masalah penelitian, tujuan penelitian,
34 Umar Sidiq, Moh. Miftachul Choiri. 2019. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan.
Ponorogo: CV. Nata Karya. hal. 50.
manfaat penelitian, kerangka teori dan konseptual (literature review), metedologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II BIOGRAFI SINGKAT K.H WAHAB HASBULLAH & PERAN NYA DI NAHDLATUL ULAMA & MASYUMI
Pada BAB II ini terdiri dari beberapa bagian yang dimulai dari biografi singkat dari Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, lalu kiprahnya di Nahdlatul Ulama serta kiprahnya di Masyumi dimulai dari organisasi MIAI sampai menjadi Partai Masyumi sebelum tahun 1950.
BAB III DESKRIPSI PENERAPAN FIKIH SIYASAHYANG DILAKUKANK.H WAHAB HASBULLAHPADA TAHUN 1950-1955
Pada BAB III penulis akan mendeskripsikan mengenai penerapan fikih siyasah yang dilakukanKiai Haji Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais
‗Am NU pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1955.
BAB IV PENUTUP
Pada BAB IV merupakan bab terakhir yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Penulis akan membuat rangkuman pembahasan yang singkat sehingga menjadi sebuah kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta menambahkan beberapa masukan yang akan menjadi saran terkait dengan hasi penelitian tersebut.
BAB II
BIOGRAFI K.H WAHAB HASBULLAH DAN PERAN NYA DI NADHLATUL ULAMA & MASYUMI
A. Biografi K.H Abdul Wahab Hasbullah
a. Latar Belakang Keluarga
Dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi Kiai Wahab, tercatat bahwa Kiai Wahab lahir pada bulan Maret tahun 1888 di daerah Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.35 K.H.Abdul Wahab Hasbullah adalah figur ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki andil yang cukup besar dalam perjuangan bangsa, khususnya dalam mencapai kemerdekaan. Selain sebagai tokoh bangsa, beliau juga termasuk panutan bagi santri-santri di pondok pesantren yang dipimpinnya, yaitu di Pondok Pesantren Bahrul
‗Ulum, tepatnya di desa Tambak beras, kabupaten Jombang-Jawa Timur.
Beliau juga termasuk orang yang pertama mendirikan madrasah di pondok pesantren tersebut. Sebuah lembaga pendidikan yang tergolong baru dilingkungan pesantren, karena saat itu umumnya di pesantren menerapkan sistem sorogan dan bandungan.36
35 Greg Fealy dan Greg Barton, ed. 1999. Tradisonalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LkiS. hal. 2. Dalam Supriatna. Op Cit. hal. 14.
36 Saifuddin Zuhri. 1987. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung. hal. 30. Dalam Ibid. hal.
13.
Kiai Wahab (Panggilan sehari-hari KH. Abdul Wahab Hasbullah) termasuk dari golongan bangsawan (ningrat jawa) dan keturunan ulama. Dari silsilahnya, Kiai Wahab masih ada keturunan dengan Raja Brawijaya IV (Lembu Peteng) dilihat dari garis ayahnya. Sedang dari silsilah ibunya, memiliki garis keturunan yang sama dengan ayahnya yang pertemuan nasabnya pada Jaka Tingkir (Karebet), yang merupakan putra Raja Brawijaya IV.37 Jaka Tingkir menikah dengan putri Sultan Treggono, raja ketiga dari Kerajaan Demak, dan melahirkan putra yang bernama Pangeran Banawa.
Selama hidupnya Pangeran Banawa tinggal di daerah Kudus dengan menjadi guru tarekat. Banawa memiliki putra yang bernama Muhammad yang lebih dikenal dengan Pangeran Sambo. Cicit Pangeran Sambo, setelah dua keturunan, bernama Kiai Sikhah yang dikenal dengan Kiai Abdus Salam.38
Kiai Abdus Salam dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai Latifah dan Nyai Layyinah. Dari pernikahan antara Nyai Latifah dengan Kiai Said, murid dari Kiai Abdus Salam, dikaruniai empat orang anak, Kiai Syafi‘i, Kiai Chasbullah (ayahanda Kiai Wahab), Kiai Hasyim, dan Nyai Kasminah. Dari pernikahan Nyai Layyinah dengan Kiai Utsman, murid Kiai Abdus Salam juga, dikaruniai seorang putri bernama Nyai Halimah yang biasa disebut dengan Winih (bibit), yang merupakan ibunda K.H. Hasyim Asy‘ari.
b. Latar Belakang Pendidikan
37 Deliar Noer. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Pustaka LP3ES. hal.
250. Dalam Ibid. hal. 13.
38 Saifullah Ma‘sum ed. 1998. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan.
hal. 71-72. Dalam Ibid.
Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di pesantren, maka Wahab kecil dibekali pendidikan utama langsung dari orang tuanya. Oleh ayahnya diajari pendidikan agama tingkat dasar, seperti membaca al-Qur‘an, Tauhid, Fikih, bahasa Arab, dan Tasawuf.39
Setelah dididik selama tiga belas tahun dan dirasa cukup, Kiai Wahab berkelana ke berbagai pondok pesantren. Di beberapa pesantren tersebut, Kiai Wahab memperdalam bermacam-macam ilmu dengan spesifikasi yang berbeda. Pesantren Langitan merupakan pilihan pertama untuk belajar.
Setelah setahun belajar, Kiai Wahab pindah ke Pesantren Mojosari Nganjuk dibawah bimbingan Kiai Sholeh dan Kiai Zainuddin, di sana Kiai Wahab mempelajari kitab-kitab fikih, khususnya kitab Fath‘ul Mu‘in selama empat tahun. Kemudian Kiai Wahab melajutkan studinya ke Pesantren Cepoko yang hanya bertahan selama empat bulan. Kemudian pindah ke Pesantren Tawangsari Surabaya, di sana Kiai Wahab mempelajari hukum Islam dibawah bimbingan oleh Kiai Ali selama satu tahun.
Dari Pesantren Tawangsari, pindah ke Pesantren Branggahan Kediri dibawah bimbingan Kiai Faqihuddin selama satu tahun. Di sana Kiai Wahab belajar Tafsir dan Tasawuf. Setelah menamatkan pelajarannya di Branggahan, Kiai Wahab kemudian melanjutkan ke Pesantren Kademangan Bangkalan dibawah bimbingan Kiai Cholil, seorang ulama tradisionalis yang cukup terkenal di masanya. Selama tiga tahun Kiai Wahab memperdalam tata Bahasa Arab. Dari pesantren Kademangan kemudian Kiai Wahab oleh Kiai Cholil disarankan agar melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng dibawah bimbingan K.H. Hasyim Asy‘ari. Di pesantren ini, Kiai Wahab mendapatkan bimbingan selama empat tahun. Bahkan oleh Kiai Hasyim, Kiai
39 Aboebakar Atjeh ed. 1957. Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar.
Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim.hal. 6. Dalam Ibid. hal. 16.
Wahab diangkat sebagai lurah pondok, suatu jabatan tertinggi di kalangan santri.40
Di berbagai pesantren inilah, kehidupan Kiai Wahab ditempa dan mempelajari banyak kitab penting hingga mahir. Namun dengan begitu banyaknya pesantren yang dikunjungi dan segudang kitab yang dipelajarinya, tidak membuat Kiai Wahab puas, bahkan semakin membuat dirinya haus oleh ilmu. Melihat semangat Kiai Wahab dalam mencari ilmu begitu menggebu-gebu, maka disarankan oleh Kiai Hasyim Asy‘ari untuk melanjutkan studi ke Makkah. Akhirnya pada tahun 1912 Kiai Wahab berangkat ke Makkah dengan mengajak KH.Bisri Syansuri ikut serta.
Di kota suci ini, selain menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kiai Wahab bertemu dan berguru dengan beberapa ulama terkenal. Di antaranya: Kiai Machfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Asy‘ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Said Ahmad ibn Bahri Syatha, Syaikh Umar Bajened dan Syaikh Abdul Karim al-Daghistani.
Kesempatan selama di Makkah dipergunakan sebaik mungkin untuk memperkaya khasanah keilmuannya dengan langsung belajar pada ulama-ulama yang sudah termasyhur hingga ke seluruh penjuru dunia. Setelah mengenyam pendidikan selama lima tahun di Makkah, Kiai Wahab kembali ke tanah air. Pendidikan yang diperolehnya dengan tanpa mengenal lelah ini semakin menambah wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kiai Wahab.
Dari riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang sebayanya, Kiai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.41
40 Ibid. hal. 17.
c. Rekam Jejak Berorganisasi
Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kiai Wahab sudah menonjol sejak di menempuh pendidikan di pesantren. Terkadang disela-sela belajar, Kiai Wahab sering mengadakan kelompok belajar dan diskusi secara rutin. Dalam diskusi kelompok tersebut, dibahas berbagai macam persoalan mulai dari keagamaan hingga sosial kemasyarakatan. Karenanya, sepulangnya dari pesantren, Kiai Wahab tidak canggung sama sekali ketika terjun ke masyarakat untuk mempraktekkan ilmunya. Di pesantren Tebuireng misalnya, Kiai Wahab terlibat dalam ―kelas musyawarah‖ yang merupakan forum diskusi yang terdiri dari santri senior yang telah memiliki pengalaman mengenyam pendidikan pesantren minimal selama sepuluh tahun di berbagai pesantren.
Dalam forum ―kelas musyawarah‖ dibahas berbagai persoalan keagamaan yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat, dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Dalam forum tersebut, yang terlibat selain Kiai Wahab adalah: K.H. Bisri Syansuri Jombang, K.H. As‘ad Syamsul Arifin Situbondo, K.H. Manaf Abdul Karim Lirboyo, K.H. Abbas Cirebon, dan lain-lain. Selama belajar di Makkah, Kiai Wahab juga terlibat dalam organisasi, diantaranya bersama Kiai Abbas dari Jember, Kiai Asnawi dari Kudus, membentuk Sarikat Islam cabang Makkah.42
Bahkan keterlibatannya di Sarekat Islam terus dilakukannya ketika kembali ke tanah air. Bahkan keterlibatannya di Sarekat Islam semakin mendekatkan hubungan Kiai Wahab dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang menjadi pemimpin politik saat itu, seperti H. Agus Salim, Ki
41 Ibid. hal. 18.
42 Kacung Marijan. 1992. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal.
17. Dalam Ibid. hal. 19.
Hajar Dewantara, W. Wondoamiseno, Alimin, Soekarno dan lain sebagainya.43
Sepulangnya dari Makkah pada tahun 1914, Kiai Wahab tidak langsung mengabdi ke pesantrennya. Umumnya jika seorang santri atau putra Kiai yang memiliki pesantren, sepulang dari menempuh pendidikan, langsung mengabdi di pesantren tersebut. Kiai Wahab justru tinggal di Surabaya, salah satu kota terbesar ke dua di masa Hindia Belanda, bahkan di kota ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan aktifitas politik dan sosial dari berbagai organisasi.44
Kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu adalah masyarakat dalam tekanan penjajah Belanda dengan segala bentuk akibatnya, karenanya Kiai Wahab mencoba mencari cara bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang progresif agar dapat memperbaiki keadaan. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa Kiai Wahab tidak kembali untuk mengabdi di pesantren ayahnya. Kiai Wahab segera melibatkan dirinya dalam berbagai aktifitas.
Aktifitas pertama yang dilakukannya, setibanya di Surabaya, adalah mengajar di Madrasah al-Qur‘an milik mertuanya dari istri pertamanya, Kiai Musa. Di sela-sela kesibukkanya mengajar, Kiai Wahab mencoba melakukan kontak dengan teman-teman belajarnya, baik di waktu menuntut ilmu di pesantren maupun di Makkah untuk membicarakan fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat. Akhirnya pada tahun 1916 bersama K.H. Mas Mansur, kawan mengaji di Makkah, Kiai Wahab membentuk madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah air).45
43 Humaidi Abdussani dan Ridwan Fakla, A.S, ed. 1995. Biografi 5 Rais „Am Nahdlatul Ulama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Ltn-NU. hal. 31. Dalam Ibid. hal. 20.
44 Ma‘sum. KH.Abdul Wahab Chasbullah. hal. 201. Dalam Ibid.
45 Atjeh, Sedjarah Hidup. hal. 489. Dalam Ibid. hal. 21.
Madrasah ini mendapat dukungan penuh dari ulama-ulama pesantren seperti K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Halim Laimunding, K.H.Alwi Abdul Aziz, K.H. Ma‘shum, Abdullah Ubaid, dan beberapa ulama terkenal lainnya.
Karenanya dalam menjalankan roda organisasi, banyak dibantu oleh ulama-ulama tersebut. Dalam organisasi inilah Kiai Wahab, yang menjabat Kepala Dewan Guru, mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme. Selain Mas Mansur yang menjabat sebagai Kepala Sekolah, tokoh-tokoh besar lain, seperti H.O.S Cokro Aminoto, Soendjata, R. Panji Suroso, juga membantu mendirikan madrasah ini.46
Dua tahun kemudian, tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (Kabangkitan Para Saudagar). Lembaga yang bergerak di bidang perekonomian ini adalah sebuah koperasi dagang yang pemegang sahamnya terdiri dari para ulama. Di organisasi ini Kiai Wahab memegang jabatan sebagai bendahara sekaligus penasehat dengan ketuanya KH. Hasyim Asy‘ari.
Sebagai seorang pengusaha, tidaklah mengherankan jika waktu itu Kiai Wahab sudah memiliki mobil mewah buatan Amerika dan sepeda motor Harley Davidson yang kerap digunakan untuk berkeliling Surabaya dan Jombang dengan tetap mengenakan pakaian ―kebesarannya‖ berupa sarung dan serban putih serta sepatu. Fenomena ini merupakan gambaran unik dari seorang ―Kiai desa‖ ditengah tradisi Kiai yang identik dengan kesederhanaan.47
Diawal tahun 1919, bersama seorang ulama senior dari Surabaya, KH.
Ahmad Dahlan Kebondalem, Kiai Wahab mendirikan forum diskusi yang
46 Andree Feilard. 1999. NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: LKiS.
hal. 9.
47 Zuhri. Berangkat dari Pesantren. hal.201-202. Dalam Supriatna. Op Cit. hal. 22.
bernama Taswirul Afkar (Pergolakan Pemikiran),48 mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan serta topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang cukup luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik minat kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum ini untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting. Agaknya Kiai Wahab bermaksud ingin mempertemukan aspirasi masyarakat Islam tradisionalis dengan aspirasi masyarakat Islam pembaharu dalam suatu wadah menuju satu kepentingan bersama yaitu menghadapi politik kolonial Belanda yang ingin umat Islam menjadi terpecah belah.49
Forum ini menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional. Selain itu, menjadi jembatan antara generasi tua dengan generasi muda. Dengan semakin populernya forum ini, akhirnya Taswirul Afkar yang mulanya hanya bertempat di Surabaya, kemudian menjalar ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gemanya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa. Forum ini tidak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang sedang marak, tetapi juga dimaksudkan untuk menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Selain itu dalam upaya rekrutmennya, Kiai Wahab lebih mementingkan progresifitas berfikir
48 Slamet Effendy Yusuf, dkk. 1983. Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU. Jakarta: CV. Rajawali. hal. 6-7. Dalam Ibid. hal. 22.
49 Zuhri. 1972. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Yamunu. hal.
607. Dalam Ibid.
dan bertindak, sehingga forum ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.50
Namun, seiring dengan meruncingnya perdebatan antara golongan tradisionalis dengan golongan pembaharu, hal ini berimbas pula perbedaan pendapat pada persoalan khilafiyah antara Kiai Wahab yang lebih condong kepada kaum tradisionalis dengan KH.Mas Mansur yang lebih dekat dengan pemikiran kalangan pembaru. Karena perbedaan inilah, akhirnya hubungan antara Kiai Wahab dan Mas Mansur menjadi retak. Akhirnya pada tahun 1922, KH.Mas Mansur menyatakan keluar dari Nahdlatul Wathan, dan kemudian menjadi anggota Muhammadiyah.51 Dengan keluarnya Mas Mansur tidak menjadikan Kiai Wahab patah semangat dari upaya penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri al-Irsyad, Syaikh Ahmad Syurkati, misalnya, Kiai Wahab seringkali melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Begitu juga dengan pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, Kiai Wahab sering bertandang ke rumahnya di Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.52
Ketika di Surabaya kaum terpelajar mendirikan Islamic Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kiai Wahab pun ikut terlibat dan menggunakan kesempatan tersebut untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bahkan Kiai Wahab berkawan akrab dengan Dr. Soetomo dan lain-lainnya. Dengan dibantu oleh K.H. Mas Alwi selaku Kepala Sekolah, menggantikan K.H. Mas Mansur, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang
50 Ma‘sum ed. Karisma Ulama. hal.145-146. Dalam Ibid. hal. 23.
51 Zuhri. Sejarah Kebangkitan Islam. hal.606. Dalam Ibid.
52 Ma‘sum. KH. Abdul Wahab Chasbullah. hal.55. Dalam Ibid. hal. 24.
baru, diantaranya: Akhul Wathan di Semarang, Far‘ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far‘ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabatul Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.53
B. Kiprah K.H Abdul Wahab Hasbullah di Nahdlatul Ulama
a. Latar Belakang dan Proses Pendirian Nahdlatul Ulama
Pada tahun 1869 Masehi terjadi suatu peristiwa yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dunia Islam di Timur Tengah.
Peristiwa tersebut adalah pembukaan Terusan Suez. Sejak itu arus pelayaran yang pada mulanya sepi menjadi ramai. Akibat yang muncul tidak hanya pada bidang perdagangan semata. Bagi umat Islam di Indonesia, pembukaan Terusan Suez memberikan implikasi yang tidak sedikit, khususnya dalam masalah haji. Tercatat setiap tahun terjadi peningkatan jamaah dalam menunaikan ibadah haji. Umumnya para jama‘ah haji tidak hanya sekedar melakukan ritual ibadah. Banyak yang menetap selama beberapa tahun untuk berguru kepada para syeikh di sana.54 Fenomena tersebut, di Timur Tengah sedang merebak gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab yang dikenal dengan gerakan paham Wahabisme nya, maupun Jamaluddin al-Afghani & Muhammad Abduh dengan gerakan Pan Islamisme-nya. Imbas dari gerakan tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan, terjadi kontak pemikiran intensif antara jama‘ah haji
53 Chairul Anam. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Solo: Jatayu Sala. hal. 25.
Dalam Ibid.
54 Marijan.Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah. hal.2. Dalam Ibid. hal. 29.
Indonesia dengan gerakan ini dan banyak para jama‘ah haji yang sambil menuntut ilmu itu terpengaruh oleh faham gerakan tersebut. Tak pelak lagi, ketika para jama‘ah haji kembali ke tanah air, mereka membawa faham pembaharuan itu untuk disosialisasikan di daerahnya masing-masing.
Namun tidak semua kalangan menerima faham tersebut secara bulat-bulat, khususnya kalangan ulama pesantren yang pernah belajar di Mekkah.
Mereka menilai bahwa pembaharuan Islam tidak mesti dilakukan secara frontal seperti yang difahami oleh para penganut faham pembaharuan. Mereka berpendapat, bahwa pembaharuan Islam dapat direlevansikan terhadap tradisi lokal. Bila purifikasi ajaran Islam ini dilakukan secara radikal, akan berdampak pada psikologis masyarakat.55
Dengan munculnya gerakan ini, praktis sejak awal 1910-an di kalangan masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Jawa, berkembang polarisasi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis dan sering menimbulkan perdebatan- perdebatan di antara dua kubu itu. Rivalitas dua kubu tersebut, semakin memuncak seiring dengan dukungan yang kian meningkat dari kalangan modernis dalam wilayah kaum tradisional di sepanjang pesisir utara dan timur Jawa.56
Sebagai upaya sosialisasi gerakan pembaharuan ini, di kalangan modernis, berdiri dua organisasi yang berlainan visi di wilayah Jawa.
Pertama, Sarekat Islam.57 Sarekat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Solo oleh H. Samanhudi. Pada mulanya dinamakan Sarikat Dagang Islam.
Organisasi ini bercorak politik. Organisasi ini lahir, selain karena faktor
55 A. Gaffar Karim. 1995. Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.2 hal. 47. Dalam Ibid. hal. 30.
56 Ma‘sum. KH. Abdul Wahab Chasbullah. hal.65-66. Dalam Ibid.
57 Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia. hal.115. Dalam Ibid.
gerakan Pan Islamisme, juga karena situasi ekonomi umat Islam yang didominasi Cina. Kedua, adalah Muhammadiyah, Persis, Jami‘atul Khoir dan al-Irsyad58 yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan.
Muhammadiyah mendapat dukungan besar dan mengalami kemajuan pesat.
Diantara keempat organisasi tersebut, Muhammadiyah termasuk organisasi yang paling keras menentang perilaku tradisi lokal yang dianut oleh kalangan tradisionalis.
Menghadapi ancaman serius dari kaum modernis ini, KH.Abdul Wahab Hasbullah tampil sebagai figur yang membela kaum tradisionalis.
Langkah awal yang dilakukan adalah bersama KH.Mas Mansur, membentuk Madrasah Nahdlatul Wathan. Tak lama kemudian mendirikan Taswirul Afkar yang dikenal dengan sebagai forum diskusi, dan Nahdlatul Tujjar. Figur Kiai Wahab semakin lama semakin populer seiring dengan penampilannya dalam setiap forum diskusi maupun debat publik dengan kalangan modernis.
Terlebih lagi, setelah hubungannya dengan Mas Mansur retak dan kemudian hengkang dari Nahdlatul Wathan.59
Sebagai seorang yang piawai dalam diskusi dan pendebat ulung, Kiai Wahab juga tak segan-segan berhadapan dengan tokoh-tokoh nasional kala itu. Tokoh-tokoh terkemuka seperti: KH. Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Syurkati, KH. Mas Mansur, dan tokoh lainnya, merupakan lawan debat yang sering menjadi langganan Kiai Wahab.60
58 Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Sedangkan Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di Bandung.Jami‘atul Khoir pada 17 Juli 1905, dan al-Irsyad pada 11 Agustus 1915 di Jakarta.Namun kedua organisasi yang disebutkan terakhir ini, tidak bertahan lama. Lihat, Noer, Gerakan Modern. hal 68-97. Dalam Ibid. hal. 31.
59 Ibid. hal. 31.
60 Ma‘sum. KH. Abdul Wahab Chasbullah. hal.68. Dalam. Ibid.
Diskusi-diskusi dengan kalangan modernis, yang pada mulanya hanya bersifat berdebatan semata, menjadi semakin meruncing. Untuk mengantisipasi pertikaian yang umumnya berkisar pada persoalan khilafiyah itu, maka dibentuklah upaya untuk mencari penyelesaian permasalahan dengan membentuk Kongres al-Islam yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, H.O.S. Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, dan KH.Mas Mansur. Kongres pertama dilaksanakan di Cirebon pada tanggal 31 Oktober-2 November 1922. Kongres ini dimaksudkan untuk menampung seluruh aspirasi umat.61
Namun karena dalam kongres tersebut membicarakan tentang persoalan agama, dimana al-Irsyad dan Muhammadiyah disatu pihak dan golongan tradisi di pihak lain, maka sering menimbulkan perdebatan. Mereka sepakat memilih wakil dari SI sebagai pimpinan. Namun dengan dipilihnya wakil SI sebagai pemimpin tidak menjadikan persoalan selesai, buntut dari
Namun karena dalam kongres tersebut membicarakan tentang persoalan agama, dimana al-Irsyad dan Muhammadiyah disatu pihak dan golongan tradisi di pihak lain, maka sering menimbulkan perdebatan. Mereka sepakat memilih wakil dari SI sebagai pimpinan. Namun dengan dipilihnya wakil SI sebagai pemimpin tidak menjadikan persoalan selesai, buntut dari