• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Konsep dan Teori

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Konsep dan Teori

a. Konsep Ulama

1. Definisi Ulama

Definisi ulama dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni definisi secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi kata ulama berasal dari bahasa arab yang berupa jama‘ dari mufrod (kata tunggal) alima yang artinya orang yang berilmu.11

Sementara menurut menurut Muhtarom, Ulama adalah mereka yang mempunyai kelebihan atau ahli dalam bidang ilmu ilmu dalam agama yaitu agama Islam, seperti ahli dalam tafsir ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa arab dan yang lainnya seperti shorof, nahwu, balagah dan masih banyak lainnya terutama dalam bidang ilmu agama Islam. Membimbing umat Islam baik dalam masalah agama maupun dalam masalah sehari-hari yang diperlukan

11 Abdurrohman. 2016. ―Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tentang Anak yang Melakukan Penganiayaan Menurut Hukum Islam,‖ Juni 2016. hal.26. Dalam Roikhatul Hamidah.

2019. Posisi Ulama dalam Pemilihan Gubenur Jawa Timur Perspektif Fiqh Siyasah. Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 22, No. 2, Desember 2019. hal. 432. http://jurnalfsh .uinsby.ac.id/ index.php/qanun/article/view/868. Diakses pada tanggal 27 Maret 2021.

baik dari sisi keagamaan maupun masalah yang selalu ada dalam masyarakat karena ulama sebagai pebimbing moral.12

Ulama sesungguhnya memiliki peran penting di tengah masyarakat.

Ulama memiliki wibawa, Kharisma dan dihormati masyarakat, karena keluhuran akhlaknya. Ulama dianggap sebagai benteng moralitas karena kesederhanaan dan kejujuran yang mereka lakukan. Keberpihakan ulama pada masyarakat bawah, membuat ulama selama ini terpelihara dengan baik, dampak kejujuran, keikhlasan & kenetralan ulama ditengah masyarakat di Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang paternalistik. Masyarakat ini ditandai dengan sikap kepatuhan yang tinggi pada individu yang menjadi pemimpinnya.

Salah satu ulama terkenal Imam Al Ghazali dalam karyanya yang berjudul Ihya‟ Ulumiddin menyebut tanda-tanda ulama akhirat adalah:13

a. Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya, dan tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. (Q.S. Ali Imron:

199)

b. Perilakunya sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan sebelum dia mengamalkannya. (Q.S. Al-Baqoroh:

44)

c. Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa mendalami ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan pendekatan

12 Muhtarom. 2005. Reproduksi Ulama di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 12. dalam Eka Zalika Salamiah. 2019. Peran Ulama Dalam Pragmatisme Politik Pada Pilgub 2018: Studi Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. hal. 16.

13 Imam Al-Ghazali. 1990. Ihya‟ Ulumiddin cet 1. Semarang: CV.Asyifa. hal. 15. Dalam Ibid. hal. 19.

dirinya kepada Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala, dan menjauhi segala perdebatan yang sia-sia.

d. Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah.

e. Menjauhi godaan penguasa jahat, sabda Nabi SAW, ―sejahat-jahatnya ulama ialah yang mendatangi penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah yang mendatangi ulama‖. (HR Ibnu Majjah)

f. Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Jika ia ditanya suatu hukum yang tidak ditemukan dalilnya, ia menjawab, ‖saya tidak tahu‖.

g. Senang dengan semua ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Alloh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala), muroqqobah (ilmu untuk mencintai perintah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dan menjauhi segala larangan Nya) dan optimis terhadap Rahmat Nya.

h. Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai tingkat haqqul yaqin. Sabda Nabi SAW. ―Yakin itu adalah tingkatan kesempurnaan Iman.‖ (HR Baihaqi)

i. Senantiasa Khasyyah kepada Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala takdzim atas segala kebesaran Nya, tawadhu‟, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala maupun sesamanya.

j. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hatinya.

k. Memiliki ilmu yang berpangkal didalam hati, bukan diatas kitab.

Iahanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rosul SAW.

2. Peran Ulama’ dalam Politik

Bagaimana posisi dan peran ulama‘ dalam berpolitik selalu menjadi perbincangan tanpa henti baik di kalangan ulama‘ sendiri maupun mereka yang terjun dalam arena politik. Seperti perbincangan-perbincangan lainnya, isu ini menghasilkan dua kelompok; mereka yang membolehkan ulama‘

masuk dalam lingkungan politik praktis agar dapat memberi warna yang baik, dan kelompok yang berpendapat bahwa sebaiknya ulama‘ tidak terjun langsung dalam politik sehingga netralitas mereka dapat terjaga. Masing-masing pendapat pasti mempunyai alasan dan bukti yang menurut mereka dapat dijadikan sandaran penting dari pendapat tersebut.

Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai peran ulama‘ dalam politik, ada baiknya kita bersepakat mengenai makna ulama‘ dan batasan-batasannya secara ringkas. Kesepakatan tersebut menjadi penting mengingat ulama‘ (sing. al-‗ālim) bisa juga diartikan secara luas, yaitu orang Islam yang mempunyai ilmu. Jika makna ulama‘ yang luas ini diterapkan, maka akan terdapat banyak golongan dan individu yang masuk dalam golongan ulama‘

tersebut, termasuk ahli politik muslim dan birokrat muslim, guru dan dosen muslim, dokter muslim dan lain sebagainya.14 Ulama‘ yang menjadi landasan wacana dalam makalah ini adalah mereka yang benar-benar mengikhlaskan

14 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ulama diartikan sebagai orang yang ahli dalam agama Islam.

Definisi ini juga masih terlalu luas sebab keahlian dalam agama Islam yang dimiliki oleh seseorang tentu kadar dan kualitasnya berbeda-beda. Keahlian pun bisa bermacam-macam, seperti tauhid, fiqh, filsafat Islam, lingkungan dan sebagainya. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. hal 1774. Dalam Imanuddin Abil Fida.2014. Ulama‟ dan Politik: Mengurai Peran Ulama‟ dalam Politik Era Modern.

Disampaikan pada Kajian Mingguan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) di IIUM, Rabu, 9 April 2014. Diakses pada tanggal 14 Maret 2021 di tautan https://www.academia.edu/

...19974054/Ulama_dan_Politik_Mengurai_Peran_Ulama_dalam_Politik_Era_Modern . hal. 6.

niat untuk belajar ilmu agama Islam dan menyebarkannya di kalangan ummat Muslim tanpa ada pamrih keduniaan yang diinginkannya.15 Dengan demikian, tidak semua orang bisa masuk dalam golongan ulama‘, pun tidaklah mudah seseorang menganggap dirinya ulama‘ atau dianggap sebagai ulama‘

oleh orang lain.

Ulama‘ yang demikian mempunyai posisi penting dan strategis di tengah-tengah masyarakat. Mereka menjadi kaum yang berada di tengah masyarakat namun lebih tinggi posisinya dibandingkan pemimpin. Posisi penting tersebut dikarenakan nasehat, saran dan masukan ulama‘ akan selalu diperlukan oleh pemimpin. Ibn Qutaybah dalam bukunya menegaskan bahwa ulama‘ dan zuhhād berada pada posisi dan peran yang sangat penting (pivotal actor) sebab mereka menjadi penasehat para pemimpin (mulūk) dalam berbagai macam permasalahan seperti Muḥammad ibn Ka‗ab al-Quraẓī yang menasehati ‗Umar ibn ‗Abd al-‗Azīz dan al-Awzā‗ī yang mendapat penghormatan besar dari al-Manṣūr.16 Al-Ùurṭushī juga merekam berbagai kisah menarik perbincangan antara para ulama‘ dan pemimpin semacam al-Aḥnaf ibn Qays dengan Mu‗awiyyah, Sufyān al-Ùaurī dengan al-Mahdī dan Ibn Sammāk dengan Hārūn al-Rashīd.17 Semua kisah tersebut bermuara pada peran strategis para ulama‘ sebagai penasehat pemimpin agar tidak menyimpang dalam menjalankan kewajiban terhadap rakyatnya. Peran strategis tersebut tidaklah diikuti oleh kedudukan tinggi dalam sistem kenegaraan, dalam artian tidak mempunyai jabatan resmi yang penting dalam pentas politik.

15 Abū Hamid al-Ghazālī. n.d. iḥyā‗‗ulūm al-Dīn juz 1. Mesir: Dār al-Sya‘b, hal 81-98. Dalam Ibid.

16 Abū Muḥammad ‗Abd Allāh ibn Muslim ibn Qutaybah al-Dīnawarī. 1994. kitāb „uyūn al-Akhbār, ed.

Muḥammad al-Iskandarānī. Beirut: Dār al-Kitāb al- ‗Arabī. hal 707-714. Dalam Ibid.

17 Abū Bakr Muḥammad ibn al-Walīd al-Fihr al-Ùurṭushī. 1994. Sirāj al-Mulūk v. 1, ed. Muḥammad Fatḥi Abū Bakr. Mesir: al-Dār al-Miṣriyyah al-Lubnaniyah. hal. 117-158. Dalam Ibid.

Keengganan ulama‘ untuk masuk dalam sistem politik yang ada bukanlah gambaran bahwa mereka tidak berpolitik atau menganggap Islam terpisah dengan politik. Semua ulama‘ tetaplah berpolitik dengan tidak memasuki arena politik praktis. Politik semacam inilah yang tetap menjaga netralitas para ulama‘ sehingga setiap kata, ucapan dan perbuatannya hanya untuk menegakkan kebenaran (kalimat al-haqq) dimana pun dan kapan pun berada. Mereka tidak membela partai A atau B, tidak pula mendukung kelompok dan suku C dan D. Tidak pula mempunyai ambisi pribadi ataupun kelompok untuk mendekati pemimpin sehingga dikenal di masyarakat luas.

Bagi mereka, membela kebenaran adalah yang paling utama tanpa melihat siapa yang dibela dan apa yang akan didapatkan. Bahkan, kebenaran tersebut disampaikannya pula di depan pemimpin yang menyimpang sebab itulah seutama-utamanya jihad, terutama bagi para ulama‘ (afḍal jihād kalimat al-haqq tuqālu li imām jā‘ir).18

Di samping selalu memberikan saran dan nasehat kepada pemimpin, para ulama‘ secara aktif ikut serta dalam perbaikan masyarakat luas melalui pendidikan. Mendidik masyarakat secara luas berarti ikut serta bersama masyarakat dalam kehidupan mereka. Mereka dekat dengan masyarakat karena masyarakat selalu merindui kehadirannya. Mendidik juga berarti memperbaiki akhlāq semua lapisan masyarakat, mengingatkan kekurang pedulian mereka terhadap nilai-nilai agama dan memberikan perhatian mendalam terhadap segala permasalahan yang menimpa mereka. Dengan berperan aktif dalam perbaikan masyarakat, ulama‘ sudah mengambil posisi penting nan strategis dalam berpolitik dalam sebuah negara. Keaktifan tersebut bisa menjadi senjata ampuh bagi ulama‘ untuk mengubah jalannya

18 Qāsim Shahāb Qabbāh. 2008. al-Ulamā‟ manārāt al-ukkām. Beirut, Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, hal.

133. Dalam Ibid.

pemerintahan yang masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan.

Bahkan, meminjam istilah al-Ùurṭushī, gerakan yang menyentuh pada masyarakat secara langsung tersebut lebih dahsyat dari banyaknya tentara, iṣlāḥ al-ra‗iyyah khayr min kathrah al-junūd.19

Salah satu metode ulama‘ yang mengutamakan gerakan perbaikan masyarakat direkam dengan cukup baik oleh al-Kīlānī yang mengetengahkan ketokohan Imam al-Ghazāli dan ‗Abd al-Qādir al-Jīlānī. Ia menamakannya gerakan pembaharuan dan perbaikan (ḥarakat al-tajdīd wa al-iṣlāḥ).

Menurutnya, gerakan yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut bermula dari pendidikan yang sangat intens di tengah-tengah masyarakat. Dari situlah, al-Ghazāli melihat pentingnya pembentukan generasi baru dari para ulama‘ (ījād jīl al-jadīd min al-ulamā‗) yang memahami hakikat posisinya sebagai ulama‘

diikuti dengan perbaikan metode pendidikan dan pengajaran. Tak lupa pula, al-Ghazāli selalu mengingatkan para pemimpin yang yang berbuat kedhaliman terhadap rakyatnya (naqd al-salāṭīn al-ẓulmah). Metode yang serupa juga diikuti oleh al-Jīlānī yang mengutamakan pendidikan ruh (tarbiyah rūḥiyyah) dan pendidikan kemasyarakatan ((tarbiyah al-ijtimā‗iyyah). Ia juga selalu menasehati para pemimpin dan ulama‘ untuk memahami peran dan fungsinya agar tercipta keadilan dalam masyarakat luas.

Gerakan yang dilakukan oleh keduanya, lanjut al-Kīlānī, berpengaruh luas sampai berdirinya daulat al-Zankiyyah.20

b. Fikih Siyasah

19 Al-Ùurṭushī, v. 2. hal 459. Dalam Ibid. hal.7.

20 Mājid ‗Irsān al-Kīlānī. 1985. Hākadhā Úahara Jīl Qalāh al-Dīn wa hākadhā „ādat al-Quds. Jeddah:

al-Dār al-Su‗ūdiyyah. Dalam Ibid.

1. Pengertian Fikih Siyasah

Fikih Siyasah merupakan tarkib idhofi yang tersusun dari dua kata berbahasa Arab, yaitu kata fikih dan kata siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud dengan Fikih Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing–masing kata dari segi bahasa dan istilah. Secara etimologi (bahasa) fikih adalah pemahaman. Sedangkan fikih secara terminologi (istilah) adalah pengetahuan tentang hukum syar'i mengenai amal perbuatan (praktis) yang diperoleh dari dalil tafshili (terinci), yakni hukum-hukum khusus yang diambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Jadi fikih adalah pengetahuan mengenai hukum islam yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang disusun oleh mujtahid melalui jalan penalaran dan ijtihad. Kata siyasah berasal dari kata sasa.

Kata ini dalam kamus Lisan al-Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam kitab Lisan al-Arab, yang dimaksud dengan kata siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fikih siyasah ialah ilmu yang mempelajari hal-ihwal urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar-dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.21

2. Fikih Siyasah Perspektif al-Qur'an

21 Wahyu Abdul Jafar. 2018. Fikih Siyasah Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Al-Hadist” Al-Imarah:

Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 18 Vol. 3, No. 1, 2018. hal 20. https://ejournal.

iainbengkulu.ac.id/index.php/alimarah/article/view/2140. Diakses pada tanggal 28 April 2021.

Al-Qur'an merupakan pedoman utama umat Islam dalam segala urusannya. Al-Qur'an tidak hanya sebagai penunjuk jalan bagi seorang muslim guna merengkuh kebahagiaan di dunia dan akhirat, namun juga sebagai obat yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit di dalamnya terkandung banyak hukum yang sengaja didesain oleh Tuhan demi kemaslahatan umatnya.

Mulai dari akhlak, hukum, sosial budaya, tatanegara hingga masalah politik. Secara implisit di dalam al-Qur'an memang tidak terdapat kata politik, namun hal-hal yang terkait dengannya terdapat banyak ayat yang mengupasnya, terutama yang terkait dengan Khilafah, Imamah, Wilayah dan lain sebagainya. Hal itu tak lain dimaksudkan demi terciptanya keadilan dan tegaknya undang-undang yang mengarah kepada kemaslahatan sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta‘ala.

Di antara sekian ayat yang menyinggung permasalahan siyasah di antaranya: (سني :14) Artinya: "Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat." Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Menjelaskan bahwa manusia memang dijadikan sebagai seorang kholifah dimuka bumi ini. Dimana seorang kholifah pasti membutuhkan skill khusus untuk menopang tugas yang di embanya ini. Skill ini lah yang kemudian kita kenal dengan istilah siyasah. Namun dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala belum menjelaskan nilai-nilai terkait siyasah yang seharusnya diterapkan oleh seorang kholifah. Nilai nilai ini diterangkan pada Ayat lain, yakni pada suratan-Nisa ayat 59 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Dan jika kamu berselisih dalam satu hal maka kembalikanlah persoalan tersebut (penyelesainya) kepada Allah dan Rosulnya jika kamu benar benar

orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Pengembalian persoalan ini kepada Allah dan Rosulnya adalah solusi terbaik dan paling bagusnya penyelesaian.

Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Menjelaskan kepada kita semua bahwa seluruh kebijakan yang dibuat oleh manusia dimuka bumi ini sebagai seorang kholifah harus berorientasi kepada nilai nilai ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan Rosulnya. Jika terdapat suatu aturan yang sesuai dengan aturan Allah dan Rosulnya maka wajib ditaati dan dipatuhi namun sebaliknya jika aturan atau kebijakan tersebut tidak sesuai dengan Allah dan rosulnya maka tidak perlu ditaati dan dipatuhi. Bahkan dalam ayat ini juga Allah memberikan ketegasan kepada kaum muslimin jika benar benar mengaku beriman maka apabila ada perdebatan terhadap persoalan tertentu maka penyelesainnya harus dikembalikan kepada Allah dan Rosulnya.

Hal ini penting sekali dilakukan, karena setiap kebijakan yang berorientasi pada nilai nilai ketaatan dan ketakwaan kepada Allah akan menjadikan kebijakan tersebut membawa kebaikan dan keberkahan kepada masyarakat secara luas, hal ini sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah dalam firmanya surat al A‘raf ayat 96 yang artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya".

Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala memberikan janji kemakmuran dan keberkahan bagi penduduk suatu negeri asal penduduk tersebut beriman dan bertakwa kepada Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala.

Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kebijakan dan aturan yang dibuat

harus berorientasi pada nilai nilai keimanan dan ketakwaan, agar janji yang telah diberikan oleh Allah bisa terealisir. Nilai nilai selanjutnya yang harus ada dalam fiqh siyasah adalah nilai amanah dan keadilan. Setiap kebijakan atau aturan yang dibuat harus bernafaskan dengan nilai nilai keadilan dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Hal ini sebagaimana firman Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Dalam surat an-Nisa ayat 58 yang artinya

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat."

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan kepada kita bahwa fiqh siyasah yang harus diterapkan oleh seorang kholifah Allah dimuka bumi ini adalah sistem siyasah yang dibangun dengan nilai nilai amanah dan keadailan.

Seorang pemimpin atau kholifah harus menjadikan nilai amanah dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh nya. Setiap tugas yang dibebankan kepadanya harus diselesaikan dengan penuh rasa tangung jawab tanpa membeda bedakan orang atau golongan tertentu yang berkaitan dengan kebijakan yang ia buat. Kebijakan yang dibangun tanpa dilandasi dengan keadilan dan responbility (amanah) akan sia sia tidak akan bisa membawa kemakmuran dan kesuksesan sebagus apapun kebijakan tersebut dibuat. Nilai nilai selanjutnya yang seharusnya ada dalam fiqh siyasah adalah nilai musyawaroh. Setiap masalah yang muncul dalam setiap kebijakan yang dibuat harus diselesaikan dengan jalan musyawaroh jangan diputuskan oleh dirinya saja meskipun ia menjadi seorang pemimpin atau kholifah. Nilai musyawarah dalam setiap urusan ini terdapat dalam surat as-Syuro ayat 38, yang artinya

―Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan dari apa apa yang telah kami rezqikan kepada mereka nafkahkan‖.

Dalam ayat ini Allah Allah Subhanahu Wa Ta‘ala menjelaskan kepada kita bahwa segela persoalan yang muncul dalam setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup kaum muslimin harus diselesaikan dengan jalan musyawaroh berdiskusi bersama mencari solusi terbaik. Bukan dengan cara suara voting suara terbanyak, karena terkadang suara mayoritas itu bukan menjadi solusi terbaik untuk semuanya. Suara terbanyak sering sekali disalah gunakan untuk meluluskan kepentingan golongan tertentu saja tanpa memikirkan golongan minoritas.

3. Fikih Siyasah Perspektif al-Hadist

Al-Hads adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Hadis Nabi SAW.

sendiri menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an. Persoalan persoalan yang belum dijelaskan secara detail biasanya oleh hadis akan dijelaskan lebih detail lagi kecuali pada persoalan persoalan yang memang dan seharusnya bersifat umum. Persoalan fiqh siyasah memang tidak pernah diungkap dengan detail.

Namun, prinsip-prinsip umum dalam berpolitik sudah tertera secara ekplisit.

Satu contoh tentang kepemimpinan dalam Islam, di mana as-Sunnah secara jelas menganjurkan untuk senantiasa amanah dalam menjalankan kepemimpinannya.

Artinya ―Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad Al Marwazi berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin 'Abdullah dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma, bahwa

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin." Al Laits menambahkan; Yunus berkata; Ruzaiq bin Hukaim menulis surat kepada Ibnu Syihab, dan pada saat itu aku bersamanya di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang untuk shalat Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana banyak jama'ah dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-.

Maka Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk mendirikan shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa Salim telah menceritakan kepadanya, bahwa 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.

Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.

Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut."

Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban

Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban

Dokumen terkait