BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kalah di Perang Dunia II, Jepang harus berada di bawah kendali
Supreme Commander Allied Powers (SCAP) bentukan Sekutu selama bulan
Agustus 1945 hingga April 1952 yang sepenuhnya dijalankan oleh
‘dedengkot’ sekutu yaitu Amerika Serikat (AS). Demi melancarkan upaya
penaklukannya, SCAP pun mengubah konstitusi Jepang yang lama yaitu
Konstitusi Meiji menjadi Konstitusi 1947.
Konstitusi ini menjadi tenar sekaligus krusial bagi masa depan
pertahanan Jepang karena mengandung Pasal 9. Pasal ini mengatakan bahwa
Jepang tidak diperkenankan lagi memiliki angkatan bersenjata, anggaran
pertahanannya dibatasi menjadi satu persen dari Gross Domestic Product
(GDP) dan Jepang diharuskan bergabung dalam sebuah aliansi militer
dengan AS. Dengan kata lain Jepang takkan lagi menjadi negara yang
berkekuatan militer ataupun menjadi ancaman militer bagi negara-negara
tetangganya.
Angkatan bersenjata Jepang dirombak total menjadi Self-Defense
Forces (SDF) atau Pasukan Bela Diri yang kekuatannya hanya setara
dengan polisi dan berfungsi sebagai penjaga ketertiban. Kesemua aspek
tersebut menyebabkan Jepang menjadi sangat bergantung pada AS. Begitu
2
peran militer Jepang juga terlihat dalam keamanan regional maupun
internasional, kecuali karena di-backing oleh AS.
Namun lewat aliansi militer tersebut, Jepang akhirnya bisa berperan di
dunia internasional meski hanya sebatas tentara perdamaian yang bergerak
di bawah PBB maupun semacam ‘tentara kedua’ bagi AS. Setidaknya
melalui sebuah joint statement antara Jepang dan AS, SDF dapat
memainkan peranan yang lebih menonjol secara regional dan global seperti
melalui partisipasi dalam pengembangan misil pertahanan, operasi
keamanan laut, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya. Upaya ini
diharapkan akan menjadi penopang pertahanan Jepang dan mulai
meningkatkan reputasi Jepang sebagai anggota masyarakat internasional
yang bertanggung jawab, mengingat sebelum kalah di Perang Dunia II,
militer Jepang menginvasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik secara
brutal.
Seiring dengan perkembangan kerangka aliansi Jepang-AS tersebut,
Jepang pun makin merasa bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian
dan stabilitas di Asia sekaligus merespon tekanan internasional bagi Jepang
agar lebih menjadi ‘normal nation’ atau bangsa yang normal,
pemimpin-pemimpin Jepang pun mulai mempertimbangkan bahwa ‘kepentingan
nasional mereka mungkin sesekali harus berada diarahkan jauh dari rumah
dan tabu untuk mengirim tentara Jepang ke luar negeri sebenarnya bisa
3
meyakinkan publik Jepang yang skeptis terhadap kebutuhan strategis Jepang
itu agar SDF memperoleh mandat yang luas demi menjaga keamanan
unilateral Jepang, termasuk terkait dengan kredibilitas aliansi mereka
dengan AS dan agenda diplomatik mereka sendiri1.
Sebagai langkah awal, pada tanggal 9 Desember 2004, Jepang
mengumumkan bahwa mereka mengadopsi garis pedoman kebijakan
pertahanan baru, yang secara resmi disebut National Defense Program
Outline dan mulai berlaku pada bulan April 2005. Ini adalah revisi kedua
sejak kompilasi pertamanya yang dirilis pada tahun 1976 dan akan
menggantikan pedoman tahun 1995 yang sebelumnya digunakan. Dalam
pedoman yang memetakan kebijakan pertahanan Jepang untuk 10 tahun ke
depan, NDPO 2004 memiliki garis besar di antaranya:
1). Persepsi baru tentang ancaman. Hal ini menekankan pada kemunculan
ancaman baru dalam situasi beragam seperti terorisme internasional,
serangan misil balistik, perang gerilya, invasi terhadap pulau-pulau
kecil nan terpencil, pengiriman kapal mata-mata dan bencana alam
besar, dan lain-lain, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Namun yang
paling mengejutkan adalah untuk pertama kalinya Tokyo
terang-terangan menyebut DPRK (Democratic People’s Republic of Korea)
alias Korea Utara dan China sebagai ancaman utama mereka.
1
Lihat Nicholas Szechenyi. A Turning Point for Japan’s Self-Defense Forces. 2006, dalam
4
Padahal dalam outline sebelumnya (1995), Jepang menghindari
menunjuk negara tertentu secara spesifik. Guideline baru tersebut
dilaporkan menggambarkan gerakan militer Korea Utara sebagai
“sebuah faktor yang tidak stabil namun signifikan dalam keamanan
regional dan sebuah masalah yang serius dalam upaya non-proliferasi.
Sedangkan terkait dengan China, dokumen tersebut menekankan
bahwa “China yang memiliki pengaruh signifikan dalam keamanan
regional terus meningkatkan kapabilitas misil dan nuklirnya serta
melakukan modernisasi terhadap angkatan laut dan udaranya” dan
“negara tersebut juga mencoba untuk memperluas jangkauan dan
aktivitas kelautannya sehingga perhatian harus diberikan pada
perkembangan tersebut.”
2). Jangkauan dan kodrat baru dari tanggung jawab pertahanan Jepang.
Guideline baru tersebut menetapkan dua misi utama pertahanan
Jepang yaitu membela tanah air dan melakukan aktivitas yang
kooperatif bagi perdamaian internasional. Pesan yang dibawa
guideline tersebut secara eksplisit kembali menjelaskan secara sekilas
bahwa fokus kebijakan pertahanan Jepang telah meluas dari
self-defense menjadi salah satu aktor yang berperan memelihara keamanan
internasional. Perwujudannya, outline tersebut menekankan Jepang
akan mengambil peran aktif dalam aktivitas peacekeeping atau
5
Guideline baru ini juga menekankan keinginan Jepang
memperkuat aliansinya dengan AS sebagai pilar terpenting dalam
upaya pertahanan mereka. Bahkan guideline ini pun mendeklarasikan
“aliansi dengan AS sangat diperlukan oleh Jepang”.
3). Modernisasi angkatan bersenjata Jepang. Guideline baru
mengindikasikan bahwa SDF akan mengubah namanya dengan istilah
yang lebih berbau tentara profesional sebagaimana yang ada di negara
normal. Ini artinya pembatasan misi dan struktur SDF bisa jadi akan
diubah sepenuhnya. Namun meski statusnya tak seformal tentara
profesional, setiap personel SDF tetap diberi pelatihan tentang
berbagai teknologi persenjataan yang mutakhir, termasuk senjata
biologis dan kimia. Singkatnya, SDF akan menjadi angkatan
bersenjata paling maju sekaligus paling efisien di dunia.
Guideline itu pun kemudian dituangkan dalam Buku Putih Pertahanan
Jepang2. Namun terkait kebijakan transformasi pertahanan Biro Pertahanan
Jepang, yang menjadi sorotan adalah Buku Putih Pertahanan Jepang tahun
2006. Buku ini merangkum ada empat isu utama keamanan internasional
bagi Jepang yaitu (i) terorisme internasional, (ii) penyebaran senjata
2
Buku Putih Pertahanan Jepang atau lebih dikenal dengan sebutan Defense of Japan (Annual
White Paper) dirancang untuk memperoleh pemahaman tentang masyarakat Jepang dan
negara-negara di luar Jepang yang relevan atau menjadi tren utama dan isu penting bagi pertahanan Jepang.
6
pemusnah massal, (iii) situasi di Irak, dan (iv) konflik regional3, sebagai
respon kondisi keamanan internasional yang semakin tidak menentu.
Buku Putih Pertahanan tersebut juga ikut mendorong SDF agar dapat
memenuhi harapan untuk memperluas peran militer yang lebih dari Jepang
guna menjaga keamanan internasional dan regional. Hal ini sebenarnya
sudah dilakukan Jepang sejak tahun 1980-an melalui modernisasi dan
peningkatan kapasitas dan perluasan peranan SDF4 yang tercantum dalam Mid-Term Defense Estimate for FY 1986-1990. Kebijakan tersebut
mengerucut melalui keikutsertaan Jepang dalam Operasi Penjaga
Perdamaian PBB (Peacekeeping Operation). Dari situ, sejak bulan Agustus
1994, Tim Penasihat Pertahanan (Advisory Group of Defence) yang
dibentuk oleh Perdana Menteri Morihiro Hosokawa (1993-1994)
3
Lihat, Alman Helvas Ali, Transformasi Badan Pertahanan Jepang, dalam <www.sinarharapan.co.id/berita/0701/08/opi01.html>, diakses 28 Januari 2010.
Secara lengkap, Buku Putih Pertahanan Jepang 2006 menyatakan isu-isu internasional yang penting bagi pertahanan Jepang adalah (1) terorisme internasional meliputi (i) fenomena terorisme pasca serangan 9/11, (ii) perlawanan terhadap terorisme di dalam maupun di sekitar Afghanistan, dan (iii) serangan terorisme di penjuru dunia; (2) penyebaran dan pengembangan
senjata pemusnah massal meliputi (i) senjata nuklir, (ii) senjata kimia dan biologi, (iii) misil
balistik (ballistic missiles), (iv) resiko penyebaran dan pengembangan senjata pemusnah massal, (v) kecurigaan terhadap pengembangan senjata nuklir Iran; (3) situasi di Irak meliputi (i) situasi keamanan pasca berdirinya pemerintahan transisi Irak, (ii) ketentuan keamanan bagi angkatan bersenjata Irak dan angkatan bersenjata multinasional, (iii) situasi keamanan di wilayah Al Muthanna, dimana Self-Defense Forces ditempatkan, (iv) kemajuan proses politik Irak, dan (iv) upaya komunitas internasional dalam proses rekonstruksi Irak; serta (4) konflik regional yang
kompleks dan bervariasi. Lihat juga, Defense of Japan 2006, Chapter 1 Security Environment Surrounding Japan, Section 1. Issues in International Community, dalam
<http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/pdf/2006/1-1-2-1.pdf> dan <http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/pdf/2006/1-1-2-2.pdf>, diakses 24 Maret 2010
4
Lihat Ministry of Defense, dalam
<http://www.globalsecurity.org/military/world/japan/jda.htm>, diakses 24 Maret 2010
Sejak Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979 dan pembangunan kekuatan militer di Soviet Timur, apalagi setelah munculnya konflik perebutan Kepulauan Kuril, Jepang meningkatkan kapasitas militernya, terutama pada pertahanan udara dan persenjataan submarine.
7
mempublikasikan Laporan Higuchi (Higuchi Report) yang berisi tentang
tiga kebijakan mendasar SDF, yaitu:
1). Memajukan kerjasama keamanan multilateral pada skala regional dan
global.
2). Meningkatkan fungsi perjanjian keamanan antara Jepang dan AS.
3). Membangun kapabilitas pertahanan yang efisien dan dapat diandalkan
berdasarkan upaya memperkuat kapabilitas informasi dan manajemen
krisis5.
Lebih jauh, pemerintah Jepang berinisiatif untuk memperluas
kebijakan pertahanan nasionalnya menjadi lebih defensif dan independen
dengan transformasi Biro Pertahanan Jepang (Japan Defense Agency)
menjadi Kementerian Pertahanan. Transformasi tersebut dikatakan sebagai
momentum penting dalam perkembangan pertahanan Jepang. Dari situlah
nantinya muncul berbagai kebijakan terkait perluasan peran dan kontribusi
Jepang dalam stabilisasi kondisi keamanan nasional, regional, maupun
internasional.
Aktor yang berhasil merealisasikan perluasan kebijakan pertahanan
nasional Jepang tersebut adalah Perdana Menteri Shinzo Abe. Sejak
sebelum menduduki jabatan perdana menteri menggantikan Junichiro
Koizumi (2001-2006), Abe telah menyerukan perluasan peran keamanan
5
Lihat subbab How to Address the New Regional Security Environment?, bab The International
Environment and Japan’s Hard Power, dalam Reinhard Drifte, Japan’s Foreign Policy for the 21st
Century. From Economic Superpower to What Power?, (New York: St Martin Press Inc, 1998),
8
Jepang dalam isu keamanan global seperti pencanangan hukum tetap yang
mengatur pengerahan SDF ke luar negeri karena peran militer Jepang di
kancah internasional dianggap masih belum signifikan6.
Upaya untuk mendirikan Kementerian Pertahanan Jepang itu
sebenarnya telah lama dilakukan namun selalu gagal mengingat masa lalu
Jepang7 dan demi menjaga hubungan dengan negara-negara tetangga yang
mengaku masih trauma dengan masa lalu Jepang. Namun pada akhirnya
transformasi tersebut disepakati oleh para anggota Diet (parlemen Jepang)
sebagai bentuk tanggung jawab keamanan internasional. Transformasi Biro
Pertahanan Jepang berhasil terwujud pada tanggal 9 Januari 2007 atau
tepatnya 53 tahun setelah Biro Pertahanan Jepang berdiri di tahun 1954.
Sebagai cikal bakal Kementerian Pertahanan, biro ini sebelumnya berada di
bawah Kementerian Dalam Negeri meski kepala bironya bertanggung jawab
langsung kepada Perdana Menteri.
Dengan perubahan status ini secara otomatis Kementerian Pertahanan
Jepang yang baru diberikan otoritas penuh dan independen untuk
menentukan anggaran dan kebijakan terkait keamanan dan pertahanan
6
Lihat Tobias Harris, Shinzo Abe and the Koizumi Revolution, 30 September 2006, dalam <http://www.henryjacksonsociety.org/stories.asp?id=120>, diakses 28 Januari 2010
7
Pada masa Perang Dunia II Jepang dikenal sebagai imperial power yang menggunakan kekuatan militernya untuk menginvasi berbagai negara. Jepang dikenal sebagai negara penjajah yang sangat kejam, bahkan setelah Perang Dunia II berakhir gerakan anti-Jepang masih marak di beberapa negara. Sebagian besar korban kekejaman Jepang berada di kawasan Asia Pasifik, terutama negara tetangga Jepang sendiri seperti China, Korea Selatan, Korea Utara, dan Asia Tenggara. Permasalahan seperti kompensasi perang baik secara finansial maupun mental, jugun
ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang), maupun kunjungan PM Junichiro Koizumi ke Kuil
Yasukuni, tempat para jenderal penjahat perang Jepang dimakamkan, selalu menjadi kontroversi bagi Jepang dan negara-negara yang pernah terlibat dengannya.
9
Jepang. Kapasitas itu ditunjang dengan posisi Jepang sebagai salah satu
raksasa ekonomi dunia, sehingga Jepang mampu meningkatkan anggaran
pertahanannya disesuaikan dengan kondisi keamanan yang ada.
Lagipula meski hanya memiliki ‘Pasukan Bela Diri’, namun
sebenarnya Jepang adalah salah satu negara dengan anggaran pertahanan
terbesar di dunia yaitu hampir mendekati 50 miliar dolar AS per tahunnya.
Sebagai perbandingan tabel di bawah ini menunjukkan 10 peringkat teratas
anggaran pertahanan negara-negara di seluruh dunia8.
Tabel 1. Negara-negara dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia
Rank Nama Negara Total Anggaran
1 Amerika Serikat $ 689,591,000,000 2 China $ 129,272,000,000 3 Rusia $ 64,000,000,000 4 Perancis $ 58,244,000,000 5 Inggris $ 57,875,170,000 6 Jepang $ 54,529,000,000 7 Saudi Arabia $ 46,219,000,000 8 India $ 44,282,000,000 9 Jerman $ 43,478,000,000 10 Italia $ 31,946,000,000 Sumber: www.globalfirepower.com 8
Lihat Military Defense Spending and Budgets by Country, dalam
10
Hal ini dipertegas pernyataan Menteri Pertahanan Jepang Shigeru
Ishiba saat berkunjung ke Singapura dalam rangka pertemuan ASEAN
Regional Forum (ARF)9 di tahun 2008. Ishiba menyatakan Jepang sebagai salah satu major power (kekuatan utama) dunia, keberadaannya bertujuan
untuk mengurangi berbagai friksi dan konfrontasi serta mengedepankan
kolaborasi di antara negara-negara yang berkonflik di dunia. Hal itu
terangkum dalam tiga tanggung jawab utama yang harus diemban Jepang
sebagai major power, yaitu:
1). Meningkatkan kepercayaan diri di antara major powers dengan
memajukan kerjasama pertahanan pada berbagai level dan
meningkatkan transparansi angkatan bersenjata.
2). Mengadakan kerjasama untuk mengatasi tantangan keamanan global.
Khusus negara pemilik kekuatan nuklir, mereka harus mengambil
inisiatif untuk melakukan pelucutan kekuatan nuklir dan
non-proliferasi.
9
ARF atau ASEAN Regional Forum merupakan forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai wahana dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, sehingga bisa dikatakan bahwa ASEAN merupakan penggerak utama ARF. ARF adalah satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat (major powers) di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lainnya seperti AS, China, Jepang, Rusia, dan Uni Eropa. Pesertanya berjumlah 27 negara yang terdiri atas 10 negara anggota ASEAN, 10 negara Mitra Wacana ASEAN, dan beberapa negara lainnya di kawasan Asia Pasifik. ARF menyepakati bahwa konsep keamanan menyeluruh (comprehensive security) tak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan tradisional tetapi juga terkait dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan isu lainnya seperti isu keamanan non-tradisional. Kinerjanya dilengkapi oleh aktivitas Track 2 yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah dalam lingkup ARF.
Lihat ASEAN Regional Forum (ARF) dalam
<http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=RegionalCooperation&IDP=5&P=Regio nal&I=Id>, diakses 30 Maret 2010
11
3). Berkontribusi membangun kapasitas regional untuk menanggulangi
berbagai situasi, salah satunya melalui ARF dan kerangka kerjasama
multinasional lain, termasuk mendukung proses capacity-building
bagi setiap negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut10.
Tanggung jawab tersebut memang akan terlaksana dengan lebih
mantap melalui kebijakan berupa peningkatan status atau transformasi Biro
Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan Jepang. Tidak dapat
dipungkiri hal ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kanal untuk
meningkatkan bargaining position Jepang di kawasan Asia Timur. Hanya
saja setelah Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri, belum banyak
yang memahami bagaimana postur pertahanan Negeri Matahari Terbit itu
kini, apakah eksistensi kementerian itu dapat meningkatkan posisi tawar
Jepang dalam konstelasi keamanan regional maupun global, atau hanya
sekadar sebagai lembaga yang bersifat formalitas saja.
10
Lihat Defense Minister Mr. Shigeru Ishiba speech at the 7th IISS Shangri-La Dialogue, Singapore, "The Future of East Asian Security", 31 Mei 2008, dalam
12 1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka penelitian skripsi ini
akan merumuskan permasalahan yaitu setelah transformasi Biro Pertahanan
Jepang tercapai dengan terbentuknya Kementerian Pertahanan, lalu
bagaimana postur pertahanan nasional Jepang pasca perubahan status tersebut?
1.3. KERANGKA KONSEPTUAL
Untuk menjelaskan perubahan sejumlah aspek yang terjadi pada
perubahan status Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan,
maka penulis menggunakan dua konsep, yaitu Organizational Process
Model dalam Decision Making Process serta Neoralisme.
Organizational process model dalam decision making process
Berbeda dengan ’rational actor model’, aktor dalam proses
pembuatan keputusan bukan lagi negara melainkan organisasi yang
menduduki fungsi eksekutif suatu pemerintahan, serta bukan
berbentuk unit kesatuan atau monolitik. Pembuatan kebijakannya
didasarkan pada SOP (standard operating procedures), termasuk
dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapi. Mengapa SOP?
Pasalnya organisasi-organisasi ini beranggapan dari waktu ke waktu,
mereka akan menghadapi situasi yang sama, sehingga ketika mereka
13
masalah yang terjadi berulang kali itu, maka mereka pun
merangkumnya menjadi SOP.
Itulah mengapa, alih-alih memformulasikan respons yang
spesifik pada situasi baru, organizational process model berargumen
bahwa pembuat kebijakan (decision-makers) bertindak berdasarkan
bagaimana mereka menyikapi situasi atau masalah baru dengan pola
yang telah mereka pelajari dari situasi yang sebelumnya pernah
terjadi.
Kelebihan SOP adalah efisiensi dalam pengambilan keputusan,
termasuk menghemat waktu karena organisasi senantiasa dihadapkan
pada beberapa masalah sekaligus, serta mengurangi ketidakpastian
ketika mereka dihadapkan pada situasi yang kompleks karena SOP
biasanya berisi kebijakan yang bersifat jangka pendek. Setidaknya bila
ada SOP maka kinerja organisasi akan jauh lebih efektif ketimbang
jika setiap masalah yang datang disikapi satu-persatu11.
Kelemahannya, SOP tentu tidak memberikan solusi bagi adanya
situasi atau masalah baru. Malahan setiap organisasi hanya bisa
memilih SOP mana yang harus mereka pakai untuk mengatasi
masalah baru tersebut. Akibatnya solusi yang diajukan organisasi
cenderung kurang tepat atau semacam dipaksakan. Kelemahan
lainnya, organisasi yang hanya mengandalkan SOP mempunyai
11
Lihat Kevin Dougherty, The Organizational Process Model dalam Military Decision-Making
Processes: Case Studies Involving the Preparation, Commitment, Application and Withdrawal of Force,
14
prioritas, persepsi dan isu yang parokial (sempit), bahkan kerapkali
mereka dihadapkan pada masalah saat mengimplementasikan
kebijakan tersebut karena SOP itu sendiri. Belum lagi kalaupun
organisasi terpaksa harus menangani masalah baru, mereka cenderung
menanggapinya dengan lamban. Organisasi semacam ini juga lambat
dalam mempelajari kesalahan. Bahkan mereka baru mau belajar bila
dihadapkan pada dua situasi saja; 1). Ketika situasi yang mereka
hadapi mengalami kegagalan; dan 2). Kekurangan ataupun kelebihan
anggaran.
Neorealisme
Dasar daripada teori neorealisme sebenarnya sama dengan
realisme, namun penganut neorealisme mengesampingkan level
analisis individu dan negara. Neorealisme justru menegaskan bahwa
sistem globallah yang dapat menjelaskan alasan di balik tindakan yang
diambil suatu negara. Dan seperti halnya realisme, neorealisme juga
percaya bahwa anarki atau tidak adanya institusi sentral di atas negara
merupakan hal penting demi mempertahankan properti struktur itu
sendiri12.
12
Lihat Charles W. Kegley Jr; Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trend and Transformation. 2001. (Boston: Bedford/St Martin’s), hal. 35-38
15
Negara tetap menjadi aktor utama, bertindak dengan memegang
teguh prinsip ’self-help’13 dan memastikan mereka bisa survive atau
bertahan hidup. Tapi yang dibedakan neorealis bukanlah masalah
yang dihadapi suatu negara, melainkan kapabilitas mereka untuk
menanganinya. Kapabilitas itu nantinya menentukan posisi negara
bersangkutan dalam sistem global dan distribusi kapabilitas
menunjukkan struktur dari sistem itu sendiri yang membentuk
bagaimana unit-unit di dalamnya berinteraksi antara satu sama lain.
Power atau kekuasaan juga menjadi konsep sentral dari
neorealisme, namun bukan sebagai bagian dari nature mereka
melainkan menjadi sarana bagi negara untuk bertahan hidup. Pencetus
neorealisme, Kenneth N. Waltz dalam bukunya Theory of
International Politics (1979) menerangkan ”sarana itu sendiri terbagi
ke dalam dua kategori: upaya internal (peningkatan kapabilitas
ekonomi, penambahan kekuatan militer, atau mengembangkan strategi
yang lebih baik) dan upaya eksternal (memperkuat dan memperbesar
aliansinya atau melemahkan musuh)”.
Akan tetapi karena insting untuk bertahan hidup dari
masing-masing negara itulah, maka neorealisme menegaskan nantinya
balance of power atau perimbangan kekuasaan akan terbentuk secara
otomatis, terlepas dari apakah satu atau beberapa negara sengaja
13
Di dalam buku World Politics: Trend and Transformation dipaparkan bahwa self-help pada dasarnya adalah konsep dalam realism yang menunjukkan bahwa dalam situasi internasional yang anarki, setiap aktor harus bisa bergantung pada dirinya sendiri.
16
menciptakan atau mempertahankan perimbangan, atau satu dan
beberapa negara lain bertujuan untuk melakukan dominasi secara
universal. Selain itu, kendati neorealis mengakui bila tujuan negara
seringkali harus berubah-ubah karena perubahan pola politik
domestik, pemimpin, ideologi atau hal lainnya, namun itu tetap takkan
berpengaruh terhadap proses yang dilakukan negara untuk mengejar
perimbangan kekuasaan dengan power yang mereka miliki karena
yang menjadi acuan mereka hanyalah sistem global yang ada.
”In its stress on the structure of the international system, that is,
the state of anarchy among sovereign states, (neo)realism attaches little or no importance of what is going on inside states –what kind of regimes are in power, what kind of ideologies prevail, what kind of leadership is provided. According to (neo)realists, the foreign policies of all states are basically driven by the same systemic factors –they are like so many billiard balls, obeying the same laws of political geometry and physics.” (Owen Harries, 1995, Realism in a New Era,
Quadrant 39/April, p.13).
Teori neorealisme juga membantu menjelaskan mengapa
prospek kerjasama internasional begitu kecil dan mengapa banyak
negara yang cenderung curiga antara satu sama lain serta saling
berkompetisi. Struktur anarkis dari sistem yang ada di sekitar
17
berkaitan dengan posisi relatif mereka dalam distribusi kekuasaan.
Dalam bukunya, Waltz menegaskan ketika dihadapkan pada
kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan negara lain, meski
demi keuntungan bersama, negara yang merasa insecure pasti akan
bertanya-tanya bagaimana keuntungan itu akan dibagi; apakah kedua
negara akan diuntungkan atau siapakah yang akan memperoleh
keuntungan lebih. Jadi misalkan keuntungannya sudah dibagi menjadi
2 banding 1, maka negara yang insecure tadi akan menggunakan
perolehannya yang tidak sebanding itu untuk sengaja membuat
kebijakan yang dapat menghancurkan negara lainnya.
Bahkan Waltz menduga meski keduanya memiliki prospek
keuntungan yang sama besarnya bukan berarti kerjasama akan
berlangsung lama karena satu sama lain takut membayangkan
bagaimana pihak lainnya akan memanfaatkan penambahan kapabilitas
mereka itu. Kalaupun mereka terpaksa melakukan kerjasama dengan
negara lain, itu bukanlah didasari oleh adanya potensi negara yang
diajak kerjasama, melainkan lebih dikarenakan sikap insecurity
mereka terhadap kondisi sistem internasional yang anarkis. Kata
Waltz, insecurity, setidaknya pada ketidakpastian tentang niat dan aksi
yang akan dilakukan negara lain di masa depan, begitu juga dengan
ketakutan mereka bila harus bergantung pada negara lain tentu
18 1.4. HIPOTESIS
Mengacu pada Buku Putih Pertahanan Jepang tahun 2006, Jepang
dihadapkan pada beberapa persoalan keamanan regional dan internasional.
Dibarengi dengan perspektif personal dari Perdana Menteri Shinzo Abe
yang nasionalis kemudian muncul inisiatif bagi Jepang untuk kembali
menjadi ‘normal nation’14 tanpa dibayangi oleh pasifisme sebagai refleksi
dari Pasal 9 Konstitusi 1947 lagi maka Jepang memutuskan perlunya suatu
tindakan nyata dalam meningkatkan posisi tawar Jepang di kancah
keamanan nasional, regional, maupun internasional.
Tindakan yang dimaksud adalah adanya remiliterisasi dan perubahan
status Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian Pertahanan yang
berotoritas penuh terhadap kebijakan-kebijakan pertahanan Jepang. Upaya
transformasi Biro Pertahanan Jepang merupakan momentum awal Jepang
dalam menegakkan kedaulatan bangsa Jepang melalui konsep ‘normal
nation’ sekaligus menjadi aktor keamanan internasional yang bertanggung
jawab.
14 PM Yasuhiro Nakasone merespons adanya pembatasan kekuatan militer dan anggaran
pertahanan Jepang oleh Pasal 9 Konstitusi 1947 dengan menggagas konsep ‘normal nation’. Hal ini ditujukan untuk menormalisasi imej Jepang sebagai negara yang unik berkat pembatasan Konstitusi 1947. Nakasone berharap dengan upayanya tersebut, Jepang mampu mencapai keseimbangan tujuan di bidang ekonomi dan politik serta mendudukkan posisi Jepang setara dengan negara-negara lainnya dalam sistem internasional melalui peranan politik dan penyebaran pengaruh kekuatan ekonomi Jepang. Inisiatif tersebut secara khusus bertujuan untuk memperkuat hubungan Jepang dengan Amerika Serikat dalam kerangka yang lebih seimbang (tidak ada dominasi salah satu negara). Lihat S. Javed Maswood, Japanese Defence. The Search for
Political Power, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1990), hal. 3-9.
Sejak PM Yasuhiro Nakasone memerintah, pemerintah AS pun mulai mengevaluasi kembali pentingnya posisi Jepang dalam kebijakan global atau sistem internasional. Lihat juga, Japan’s Place in the World, dalam Shibusawa Masahide, Japan and the Asian Pacific Region. Profile of Change, (London: Routledge, 1984), hal 168
19
Namun tampaknya aspek yang paling kentara perubahannya seiring
dengan peningkatan status Biro Pertahanan Jepang menjadi kementerian
adalah aspek struktural dan anggaran pertahanan. Aspek struktural merujuk
pada perubahan struktur organisasi dan proses pembuatan keputusan dari
Biro Pertahanan Jepang ketika ditingkatkan statusnya menjadi kementerian.
Di samping itu peningkatan status ini memberikan wewenang bagi
departemen yang bersangkutan untuk mengurus anggarannya sendiri. Ini
artinya masing-masing aspek tampak mengalami perubahan yang signifikan.
Bahkan bisa jadi dengan adanya perubahan ini maka peranan militer Jepang,
baik secara nasional, regional maupun internasional bisa lebih diakui,
kendati revisi konstitusi masih belum bisa dicapai sepenuhnya.
1.5. METODE PENELITIAN
Berdasarkan identifikasi tingkat analisa yang dikembangkan R.F.
Hopkins dan R.W. Mansbach15, unit analisa yang digunakan dalam tulisan
ini adalah unit analisa kelompok, sedangkan unit eksplanasinya adalah unit
eksplanasi kelompok pula sehingga merupakan analisa korelasionis. Unit
analisa dalam tulisan ini adalah Jepang, sedangkan unit eksplanasinya
adalah postur atau kondisi pertahanan Jepang pasca transformasi Biro
Pertahanan Jepang dalam kurun waktu tahun 2004-2010.
15
Lihat Hopkins & Mansbach dalam Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin
20
Sebagai metode penelitian, beberapa langkah yang diambil adalah
dengan melakukan konseptualisasi kemudian melakukan generalisasi.
Konseptualisasi merupakan proses penyederhanaan fenomena dengan
mengklasifikasikan dan mengkategorisasikannya16. Data-data yang
diperoleh melalui media dikategorisasikan dalam konsep-konsep yang telah
dibahas dalam landasan konseptual. Setelah kategorisasi dilakukan, analisis
difokuskan pada relasi antara konsep-konsep, apakah itu kondisional,
kausalitas, atau tidak berhubungan sama sekali. Sedangkan generalisasi
merupakan pernyataan tentang hubungan antara dua konsep atau lebih.
Sebagai contoh, data-data yang diperoleh berkaitan dengan kebijakan
peningkatan status Biro Pertahanan Jepang menjadi Kementerian
Pertahanan Jepang akan dikategorisasikan untuk kemudian ditarik
generalisasi. Pengumpulan data-data dimaksudkan untuk menguatkan
argumen yang dibangun.
Penelitian skripsi yang akan dilakukan menggunakan sumber data
sekunder berupa data kualitatif dengan mengumpulkan sejumlah literatur
atau studi pustaka, jurnal, artikel-artikel terkait, baik dari media cetak
maupun sumber online. Pengumpulan data ini ditujukan untuk mengetahui
data berbagai aspek yang mendukung terkait kebijakan transformasi status
Biro Pertahanan Jepang dan relevansinya dengan perkembangan pertahanan
Jepang pasca implementasi kebijakan tersebut.
16
21 1.6. SISTEMATIKA PENELITIAN
Skripsi berjudul Postur Pertahanan Jepang Pasca Pembentukan
Kementerian Pertahanan (2007-2013) ini akan dibagi menjadi 4 (empat)
bab.
Bab pertama berisi pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan mengenai
latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual mengenai
proses pembuatan keputusan (decision-making process) dan teori
neorealisme yang sekiranya dapat menjelaskan perubahan postur pertahanan
Jepang pasca pembentukan Kementerian Pertahanan. Dilanjutkan dengan
hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan membahas proses transformasi Biro Pertahanan
Jepang hingga berhasil ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian
Pertahanan. Lalu membahas perubahan postur pasca pembentukan
Kementerian Pertahanan, terutama aspek-aspek penting di bidang
pertahanan yaitu kondisi struktural dan anggaran, serta paparan tentang
perbandingan antara kinerja Biro Pertahanan Jepang dengan setelah menjadi
kementerian.
Bab ketiga akan berisikan tentang analisis perubahan beberapa aspek
yang berkaitan dengan postur pertahanan Jepang pasca pembentukan
Kementerian Pertahanan, termasuk menelaah faktor-faktor yang
22
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya. Pada bab terakhir ini akan diuraikan secara singkat jawaban
dari rumusan masalah yang sudah dibahas dalam bab-bab sebelumnya,
utamanya terkait kondisi postur pertahanan Jepang pasca pembentukan
Kementerian Pertahanan, serta proyeksi tentang postur keamanan Jepang di
masa yang akan datang, terutama setelah adanya Kementerian Pertahanan.