• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN (Studi Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN (Studi Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN

PERKAWINAN

(Studi Pasal 26 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974) SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi kewajiban dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

JERY SUSANTO 211 06 030

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

2010

(2)
(3)

ERSEMBAHAN

Kepada, Yang tercinta, “Mae dan Pae” Ibu Jasmiah dan Bapak Sugiman, yang do’a dan

kasih-sayangnya selalu ada untukku. Keluargaku, Mas Hadi, Mbak Dar, Nduk Tifa & Una, yang membuat hidupku

terasa lebih hidup. Teman-temanku, Alm’ Mas Agung, Muh WP, Mudex, Ali Ndut, karena kalian

aku bisa bergelar “SHI”. Mu’im, Cetung, Elmans, Top-1, Toriq, Haris, Fajrun, Kass-bek, Jibrun, Iroel,

Cemplon, Miftah, Tiar, Bardolo, Gyarto, “gak ada loe gak rame” Yayank Nduth “Nok’Q”, atas dukungan dan perhatiannya. Mantan-mantanku, yang pernah buatku tersenyum dan menangis. Orang-orang di sekitar yang tak tersebut namanya, yang menyayangiku dan yang

membenciku, kalianlah motifasiku. Keluarga besar Ahs’06, Karya ini kupersembahkan.

(4)

Motto

Pekerjaan Bukanlah Sekedar Pekerjaan,

Pekerjaan Adalah Sebuah Jatidiri

Kejujuran, Totalitas dan Loyalitas

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jery Susanto

NIM : 21106030

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 30 Maret 2011 Penulis

JERY SUSANTO NIM: 21106030

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah azza wa jalla, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Rasulullah SAW. Dengan kerja keras dan usaha yang maksimal, akhirnya tulisan ini selesai tepat pada waktunya. Meskipun tulisan yang disusun masih jauh dari sempurna, penulis berharap tulisan ini dapat dijadikan sebuah pengetahuan bagi dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan hukum islam.

Tulisan ini dapat selesai berkat bantuan dan dukungan dari orang-orang disekitar penulis, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan berjuta terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Syari’ah

3. Bapak Ilyya Muhsin S.H.I., M.Si., selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah

4. Ibu Evi Ariyani SH., MH., selaku Dosen Pembimbing

5. Bapak Yusuf Khumaeni S.H.I., MH., sebagai Motifator dalam tulisan ini 6. Bapak-Ibu Dosen STAIN yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis

Semoga Allah melimpahkan balasan yang lebih baik kepada mereka, amien.

Salatiga, 30 Maret 2011 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….…… i

NOTA PEMBIMBING ………....…………... ii

LEMBAR PENGESAHAN ………...………..…..… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

MOTTO ……….……… v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………... vi

KATA PENGANTAR ………...………… vii

DAFTAR ISI ………..………….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………...…. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….………. 1 B. Fokus Penelitian ………...………... 7 C. Tujuan Penelitian ………. 8 D. Kegunaan Penelitian ………....………… 9 E. Penegasan Istilah ……….……….... 10 F. Metode Penelitian ……….………... 11 G. Sistematika Penulisan ……….……. 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Batalnya Perkawinan ………. 18

B. Pihak Yang Berwenang Membatalkan Perkawinan ……. 23

BAB III KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PASAL 26 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 A. Kedudukan dan Kewenangan Jaksa ………….………...…. 27 B. Jaksa Dalam Perkara Perdata dan Pembatalan Perkawinan 30

(8)

1. Jaksa Dalam Perkara Perdata …...……… 30 2. Kedudukan dan Kewenangan Jaksa …….…………. 32 C. Prosedur pembatalan perkawinan ……… 38 D. Akibat Hukum dari Pembatalan Perkawinan …………. 40 BAB IV ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN JAKSA DALAM

PEMBATALAN PERKAWINAN, PASAL 26 UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974

A. Analisis Terhadap Kewenangan Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan ………...……….… 42 B. Analisis Terhadap Peran dan Kedudukan Jaksa Dalam

Pembatalan Perkawinan ………. 50 C. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Pembatalan Perkawinan

……… 52 D. Efektifitas Jaksa Dalam Pembatalan Perkawinan

……… 53 BAB V PENUTUP E. Kesimpulan ... 55 F. Saran-Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(9)
(10)
(11)
(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan merupakan hal yang didambakan oleh setiap individu, dan salah satu jalan untuk mencapai suatu kebahagiaan ialah dengan jalan perkawinan. Hal ini tergambar dalam tujuan perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara suami dan isteri. Namun dari pada itu, kebahagiaan hanya akan tercapai apabila setiap orang mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, baik dari Agama maupun Negara.

Segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur secara terperinci oleh hukum Islam dan Negara. Suatu perkawinan adalah sah baik menurut agama maupun hukum negara bilamana dilakukan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya serta tidak melanggar larangan perkawinan. Apabila terjadi suatu perkawinan yang dilakukan melanggar larangan perkawinan atau tidak memenuhi syarat dan rukunnya, maka perkawinan tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.

Dalam ketentuan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang selanjutnya disingkat dengan UUP menyebutkan bahwa, perkawinan yang tidak sah menurut hukum Negara dan hukum Agama dapat dibatalkan melalui proses Pengadilan sebagaimana yang diatur dalam pasal 22–28 UUP dengan didukung oleh Peraturan Pemerintah Pasal 37–38 PP No. 9 tahun 1975. Dalam

(13)

hukum positif permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh para pihak yang berhak saja, yaitu UUP No. 1 tahun 1974 Pasal 23 :

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri 2. Suami atau isteri

3. Pejabat yang berwenang 4. Pejabat yang ditunjuk

Disebutkan pula dalam pasal 26 undang-undang yang sama yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri 2. Suami atau isteri dari yang melangsungkan perkawinan

3. Jaksa

Di antara pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, salah satunya ialah Jaksa. Lazimnya Jaksa lebih banyak berperan dalam hukum pidana (hukum publik), karena Jaksa berwenang menjaga berlakunya semua ketentuan perundang-undangan dan semua keputusan penguasa Negara, yang didorong dan dipimpin oleh kepentingan umum semata. Apabila kita mencermati UUP No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan beserta aturan pelaksanaan yaitu, PP No. 9 tahun 1975 yang didalamnya mengatur masalah batalnya perkawinan, yakni Pasal 23 UUP, dengan didukung oleh Pasal 38 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 tidak menyebutkan Jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan.

Jaksa sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan hanya terdapat dalam Pasal 26 ayat 1 UUP. Bunyi Pasal 26 ayat 1

(14)

UUP yang merupakan dasar hukum hak dan kekuasaan Jaksa untuk mengajukan pembatalan perkawinan, selengkapnya adalah:

“Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua (2) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, Jaksa dan suami atau isteri.” (UUP No. 1 Th. 1974, 2007:11)

Dikaitkan dengan realita yang ada dalam masyarakat, rasanya ketentuan tersebut perlu mendapat perhatian tersendiri, karena selama ini masyarakat mempunyai asumsi bahwa Jaksa hanya bertugas dan berwenang dalam hukum publik saja, seperti yang tercantum dalam UU Kejaksaan Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 pasal 30 ayat 1 yang berbunyi:

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(15)

Akan tetapi kenyataannya Jaksa juga mempunyai wewenang dalam bidang perkawinan yang notabene termasuk urusan pribadi, maka akan timbul pula suatu pertanyaan apakah Jaksa yang ada dalam ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUP adalah Jaksa dalam pengertian penuntut umum atau Jaksa dalam pengertian yang lain. Meskipun dalam pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 ayat 2 menyebutkan kewenangan Jaksa di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah. Namun tidak dijelaskan mengenai perkara perdata yang ditangani oleh Jaksa tersebut. Apalagi bila melihat pasal 140 KUHAP dan Intruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-011/J.A/II/1982 yang menyebutkan Jaksa Penuntut Umum harus menghentikan penuntutan dengan alasan perbuatan yang disangka bukan merupakan tindak pidana.

Apabila masalah wewenang Jaksa dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dihadapkan dengan keberadaan Pengadilan Agama di Indonesia, di mana Pengadilan Agama adalah pengadilan perdata bagi umat Islam Indonesia yang harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus, maka akan timbul suatu pertanyaan mengenai kemungkinan adanya Jaksa yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama. Karena selama ini masyarakat juga beranggapan bahwa tugas dan wewenang Jaksa hanya di lingkungan peradilan umum saja.

(16)

perundang-undangan Negara maupun yang bersumber dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak di muka Pengadilan Agama dan yang mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya yang bertujuan untuk mewujudkan hukum materiil Islam yang menjadi kekuasaan Pengadilan Agama, menjadi sumber hukum acara di Pengadilan Agama (Roihan, 1994:10). Pasal 54 UU No. 50 Tahun 2009 yang merupakan perubahan dari UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama berbunyi: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.

Berdasarkan Pasal di atas hukum acara peradilan agama secara garis besarnya bersumber kepada dua aturan, yaitu:

1. Yang terdapat dalam UU No. 50 Tahun 2009. 2. Yang berlaku di lingkungan peradilan umum

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa UUP dan PP No. 9 tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaannya merupakan salah satu peraturan perundang-undangan tentang acara perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan peradilan umum dan peradilan agama selain UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. (Roihan, 1994:20-21)

Jika demikian, maka hukum acara peradilan agama minimal harus memperhatikan UU No. 50 Tahun 2009, yaitu peraturan perundang-undangan

(17)

yang mengatur hukum acara di lingkungan peradilan (segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara di pengadilan) serta hukum Islam. Ketentuan mengenai wewenang Jaksa mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tidak diatur oleh UU Peradilan Agama, sedang UUP yang merupakan salah satu sumber hukum acara di lingkungan peradilan agama mengaturnya. Selain Pasal 26 ayat 1 UUP, Pasal 23 huruf c UUP terutama pada kata “Pejabat yang berwenang” harus memperluas makna kata tersebut dan masih perlu penafsiran lebih lanjut atas Pasal tersebut.

Keberadaan Peradilan Agama semakin mantap setelah umat Islam Indonesia mampu melahirkan Kompilasi Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. KHI (Kompilasi Hukum Islam) menjadi buku standard yang tunggal bagi Hakim-Hakim Agama di Indonesia. Karena sebelum lahirnya KHI hukum materiil Peradilan Agama di Indonesia masih bervariasi atau berserakan di dalam berbagai buku fiqh sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam KHI masalah batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 70-76, yang pada prinsipnya materi rumusan batalnya perkawinan yang diatur dalam KHI hampir sama dengan rumusan yang ada dalam UUP, hanya saja rumusan KHI lebih memperjelas pembedaan alasan pembatalan perkawinan. Mengenai pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam KHI Pasal 73. Persoalan wewenang Jaksa di dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan akan timbul kembali setelah mencermati Pasal

(18)

tersebut. Karena dalam Pasal tersebut tercantum kata “pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut UU”

Dari seluruh dasar hukum wewenang Jaksa dalam mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yang telah dipaparkan, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa kemungkinan Jaksa mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dapat saja terjadi di lingkungan peradilan umum maupun peradilan agama. Namun seperti yang telah dipaparkan di atas, harus ada penjelasan yang lebih mendalam mengenai kewenangan Jaksa serta prosedur yang dilakukan oleh Jaksa ketika membatalkan sebuah perkawinan.

Berdasarkan latar belakang inilah penyusun merasa tertarik untuk mengkaji dalam bentuk skripsi mengenai kedudukan Jaksa dalam pembatalan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat 1 UUP ditinjau dari hukum positif. Maksud mengenai kedudukan Jaksa di sini adalah dalam arti status, fungsi dan tugasnya dalam pembatalan perkawinan, sehingga dapat lebih jelas mengetahui peran/kedudukan jaksa dalam pembatalan perkawinan. B. Fokus Penelitian

Dari apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, yang menyebutkan adanya wewenang jaksa dalam pembatalan perkawinan seperti yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 UUP, maka muncul pertanyaan apakah jaksa memiliki kewenangan dalam pembatalan perkawinan? Padahal seperti yang banyak diketahui, jaksa lebih banyak berperan dalam hukum pidana (hukum publik) seperti yang tercantum dalam pasal 30 ayat 1 UU No. 16 tahun 2004, meskipun dalam ayat 2 berikutnya menyebutkan adanya

(19)

kewenangan jaksa dalam hukum perdata, namun kewenangan tersebut tidak dijelaskan secara detail. Apalagi bila dikaitkan dengan umat islam, yang pada dasarnya kewenangan pembatalan perkawinan hanya dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan selama ini masyarakat beranggapan bahwa tugas dan wewenang jaksa hanya di lingkungan peradilan umum.

Seandainya dimungkinkan adanya kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan dan juga keterlibatannya di lingkup Peradilan Agama, maka prosedur seperti apa yang dilakukan oleh jaksa dalam mengajukan perkara ke Pengadilan? Perlu diketahui juga, sejauh ini bagaimanakah peran/keterlibatan jaksa dalam pembatalan perkawinan? Perlukah adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan?

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dapat diperoleh jawaban yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang membutuhkan serta tidak adanya kerancuan dalam penafsiran undang-unda C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan, baik itu mengenai kedudukan maupun peran/keterlibatan jaksa pembatalan perkawinan.

(20)

D. Kegunaan Penelitian 1. Teoritis

Dengan penelitian ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan mengenai peran jaksa dalam pembatalan perkawinan, baik untuk masyarakat maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

2. Praktis

a. Bagi Masyarakat

1) Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui adanya kewenangan Jaksa dalam pembatalan perkawinan.

2) Dengan ini diharapkan masyarakat mendapatkan gambaran yang jelas tentang prosedur pembatalan perkawinan oleh Jaksa

b. Bagi Kejaksaan Negeri

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Kejaksaan Negeri dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta memaksimalkan perannya khususnya dalam pembatalan perkawinan. c. Bagi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi PN dan PA Salatiga dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian perkara-perkara yang sama.

d. Bagi STAIN Salatiga

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata pelaksanaan hukum di lembaga peradilan sehingga dapat menjadi

(21)

bahan pertimbangan bagi STAIN sebagai sebuah lembaga pendidikan dalam menentukan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

E. Penegasan Istilah

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang (Undang-Undang Kejaksaan RI. No. 16 Tahun 2004). Menurut KUHAP Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

Fasad dan batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal (M. Zein, 2004:21). Dalam kamus besar bahasa Indonesia batal diartikan menjadi 3 (tiga) makna yakni: tidak berlaku (tidak sah, sia-sia), tidak jadi dilangsungkan, tidak berhasil (gagal) (Depdikbud, 1995: 97).

Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa (UUP No.1 Tahun 1974 Pasal 1). Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuian untuk

(22)

mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3). Jadi dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah usaha membatalkan perkawinan yang telah sah antara suami isteri disebabkan suatu alasan yang dibenarkan oleh aturan perundang-undangan.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pustaka dengan metode deskriptif- kualitatif, yakni sebuah metode penelitian dimana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak nampak dari luar agar khalayak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi (Patton, :302). Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjad fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Ibrahim, 2006:302)

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan, karena penelitian didasarkan pada data-data kepustakaan dan dokumentasi yang pernah dilakukan serta data-data lapangan sebagai pendukung penelitian.

2. Kehadiran Peneliti

Di sini peneliti berperan sebagai instrument dan pengumpul data, dimana peneliti terjun langsung meneliti data kepustakaan serta terjun di lapangan untuk mendapatkan data yang diperlukan.

(23)

3. Lokasi Penelitian

Pada dasarnya penelitian yang dilakukan adalah kepustakaan dan lapangan. Maka penyusun melakukan penelitian di lokasi yang sekiranya dapat menunjang dalam pengumpulan data. Lokasi yang dijadikan objek penelitian antara lain kantor Kejaksaan, Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Salatiga.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan/ide, yakini mencakup undang-undang, buku, disertasi/tesis dll. Sumber data primer yang dipakai dalam penulisan ini adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Sedangkan sumber data sekunder adalah bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain rancangan undang-undang, hasil penelitian, putusan pengadilan dll (Soekanto & Namudji, 1985:13). Data-data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini antara lain Wawancara di kantor Kejaksaan, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri serta Buku Pedoman Teknis Admnistrasi dan Teknis Peradilan Agama, sebagai salah satu pedoman yang digunakan dalam hukum acara di pengadilan agama.

(24)

Sesuai dengan jenis penelitian, maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan 2 metode, yakni:

a. Pustaka/dokumentasi

Dalam melaksanakan metode dokumentasi, penulis mengkaji data-data atau dokumen-dokumen tertulis seperti buku-buku, artikel peraturan-peraturan, undang-undang, putusan pengadilan dan sebagainya.

b. Wawancara

Wawancara yang digunakan ialah wawancara terarah (directive interview), yaitu wawancara yang di dalamnya terdapat pengarahan atau struktur tertentu, yaitu : rencana pelaksanaan, mengatur daftar pertanyaan dan membatasi jawaban, memperhatikan karakteristik yang diwawancarai, membatasi aspek-aspek yang di periksa. Biasanya wawancara terarah mempergunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan (Soemitro, 1990:60).

Wawancara dilakukan terhadap Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, serta Jaksa dari Kejaksaan Negeri Salatiga, karena dari situlah dapat diketahui tentang peran jaksa dalam pembatalan perkawinan.

6. Analisis Data

Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, dokumentasi dan data yang diperoleh dari

(25)

pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam hal ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut:

a. Deduktif

Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas antar jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk dalam kelas/jenis itu. Dalam arti apa yang berlaku pada suatu yang bersifat umum berlaku juga pada sesuatu yang sejenis (Hadi, 1991:42).

b. Komparatif

Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisis perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu pengertian/kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara suatu faktor dengan faktor yang lain (Surachmad, 1978:135). Dalam penelitian ini akan membandingan mengenai peraturan perundang-undangan dengan kenyatan di lapangan.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Setelah terkumpulnya data-data yang telah diperoleh dari buku dan dokumen maupun data dari lapangan, maka peneliti melakukan pengecekan data yaitu dengan cara mengadakan perbandingan antara buku dengan buku, buku dengan wawancara atau sebaliknya maupun

(26)

wawancara dengan wawancara. Tujuannya ialah untuk mendapatkan kevalidan data dan meminimalkan resiko kekeliruan.

8. Tahap-Tahap Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan penulis mencari tema yang hendak diteliti dan mengumpulkan data-data berupa dokumen yang diperlukan untuk dipelajari. Kemudian mengembangkannya menjadi suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti. Dengan bermodalkan data yang ada maka dilanjutkan dengan observasi dan wawancara di lapangan yang bertujuan mensinkronkan data yang ada dengan fakta yang terjadi di lapangan. Setelah data dokumen dan data lapangan terkumpul maka dilanjutkan dengan penyusunan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menjadi sebuah karya tulis/skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses pembahasan dan pencapaian ide, maka penulis merangkai pembahasan dan sistematika dalam lima bab sebagai berikut:

Bab I berisi tentang latar belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berupa kajian pustaka, yaitu berisi berbagai literature yang memuat tema yang hampir sama. Bab III merupakan inti penelitian, membahas mengenai kedudukan Jaksa menurut Pasal 26 UUP No.1 Tahun1974, yang berisi data-data dokumen maupun undang-undang yang membahas kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan. Bab IV berisi

(27)

data yang diperoleh dari lapangan berupa wawancara maupun observasi, serta analisis mengenai prosedur dan peran jaksa dalam pembatalan perkawinan. Bab V adalah bagian terakhir yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas, saran-saran dan penutup.

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam berbagai hal termasuk bentuk dan pola interaksi (Hartomo, 1990:244). Dengan adanya interaksi bebeda tersebut menyebabkan adanya ketidaktahuan mengenai peraturan maupun berusaha untuk tidak mau tahu tentang kebenaran, sehingga mendorong terjadinya perubahan dalam sebuah komunitas sosial dalam masyarakat. Berikut ini faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan (Soekanto, 2002:309-312) :

1. Kontak dengan budaya lain

2. Sistem pendidikan formal yang maju

3. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan orang lain untuk maju 4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang

5. Sistem terbuka dalam lapisan masyarakat 6. Penduduk yang heterogen

7. Ketidakpuasan masyarakat tehadap bidang-bidang kehidupan tertentu 8. Orientasi ke masa depan

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya Faktor-faktor di atas yang setidaknya mempengaruhi terjadinya pelanggaran dalam perkawinan, sehingga menyebabkan perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dimintakan pembatalan.

(29)

Tinjauan tentang kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan antara lain sebagai berikut:

A Batalnya Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan tidak sah. Penjelasan tersebut dapat ditarik 2 kesimpulan:

1. Perkawinan yang dilakukan dianggap tidak sah.

2. Dengan sendirinya pekawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Dengan demikian pihak laki-laki dan perempuan yang dibatalkan perkawinanya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (UUP pasal 22). Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain (penjelasan pasal 22 UUP). Sehingga perkawinan yang berlangsung dapat saja diteruskan apabila hukum dari agamanya masing-masing tidak melarang adanya perkawinan yang terjadi dan tidak dibatalkan oleh keputusan pengadilan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan. Kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Rukun perkawinan adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum (Depag, 1984:34). Rukun perkawinan merupakan bagian dari hakekat

(30)

perkawinan, artinya bila salah satu rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi perkawinan. Rukun nikah yang harus dipenuhi antara lain:

1. Adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan 2. Persetujuan antara kedua mempelai

3. Wali nikah 4. Saksi

5. Ijab Kabul/akad nikah

Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Dan apabila salah satu dari syarat perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak sah (batal) demi hukum (Salim, 2002:70). UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya (Badri, 1985:70).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan ialah persyaratan yang ditentukan oleh Kompilasi Hukum Islam dan sekaligus diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, misalnya:

1. Tentang larangan perkawinan (UUP pasal 8)

2. Masih terikat dengan perkawinan orang lain (UUP pasal 9) 3. Pasangan yang ruju’/kembali setelah talak tiga (UUP pasal 10)

Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan 27 UUP bisa dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan, antara lain:

(31)

1. Perkawinan yang dilangsungkan di depan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang.

2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah. 3. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi.

4. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

5. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri (Supramono, 1998:35) Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Contoh: seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya (Harahap, 2003:77).

Akan tetapi sesuai dengan ayat 3 Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri (UUP pasal 27 ayat 3).

Sedangkan terjadi salah sangka mengenai diri suami dan istri yaitu, mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan

(32)

orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan.

Selain Undang-Undang Perkawinan pasal 26 dan 27 di atas, Kompilasi Hukum Islam pasal 70 menyebutkan pula bahwa perkawinan batal apabila: 1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i

2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya

3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya

4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu a. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri

d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan

(33)

5. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya

Disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 71 mengenai perkawinan yang dapat dibatalkan, apabila:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama

2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria yang mafqud

3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain 4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Berdasarkan kompilasi hukum islam pasal 72 disebutkan:

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih

(34)

tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya gugur.

Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi syarat dan atau rukun perkawinan, seperti yang termuat daiam UUP pasal 26 dan pasal 27 serta KHI pasal 70, pasal 71 dan pasal 72.

B Pihak Yang Berwenang Membatalkan Perkawinan

Hukum Acara Perdata menentukan bahwa seseorang/beberapa orang badan hukum sebagai yang berhak atau tidak untuk bertindak sebagai penggugat/pemohon untuk mengajukan gugatan/permohonan, mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan. Karena dengan berhak atau tidak berhaknya untuk bertindak sebagai penggugat/pemohon akan menentukan dapat diterima dan tidaknya suatu gugatan/permohonan. Seandainya, penggugat/pemohon sebagai yang berhak untuk mengajukan gugatan/permohonan, maka pemeriksaan akan memasuki pokok perkara (Sutanto, 1997:18-19).

Undang-Undang Perkawinan menentukan siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan seperti diatur dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27 sebagai berikut:

1. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri 2. Suami atau isteri

3. Pejabat yang berwenang 4. Pejabat yang ditunjuk

(35)

5. Jaksa

Pihak yang berwenang mengajukan pembatalan perkawinan juga termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 73, yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.

2. Suami atau istri.

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

4. Para pihak yang yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Disamping itu sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam pasal 24 salah satu dari kedua pihak dalam perkawinan yang masih terikat dapat juga mengajukan pembatalan ini dengan ketentuan bahwa isi pasal 3 ayat 2 dan 4 Undang-Undang Perkawinan diperhatikan.

Di lain pihak, para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri dapat memintakan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak salah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi (UUP pasal 26 ayat 1). Maksud dari ketentuan ini adalah oknum yang dapat memberi izin menjadi wali terhadap calon mempelai (Harahap, 1975:73). Akan tetapi di dalam Pasal ini tidak menentukan apa macamnya garis keturunan itu (patrilinealkah, matrilinealkah atau

(36)

bilateralkah) sehingga jika kepercayaan atau agama yang dianut tidak menentukannya maka masih berlaku garis keturunan menurut adat setempat (Hazairin, 1975:75).

Khusus dalam hubungan suami atau isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yang disebabkan karena keadaan-keadaan yang disebut dalam pasal 27 Undang-Undang Perkawinan yaitu, dalam perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.

Untuk selanjutnya pejabat yang berwenang yaitu hanya selama perkawinan belum diputuskan (Muktiarto, 1996:231-232), yaitu jika telah ada putusan pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang disebut Pasal 23 sub a dan b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh lagi mengajukan pembatalan (Harahap, 1975:75) dan pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus (Muktiarto, 1996:231-232).

Pembatalan dapat juga diajukan oleh kejaksaan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang

(37)

menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(38)

BAB III

KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PASAL 26 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

A Kedudukan dan Kewenangan Jaksa

Profesi jaksa sebagai salah satu penegak hukum sudah dikenal sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, khususnya pada masa kekuasaan kerajaan Majapahit dan kerajaan Mataram (Ilham, 1993:10). Kata jaksa berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kuno (Jawa Kami), yang dikenal dengan istilah Dhyaksa adyaksa, dan dharmadyaksa (Ilham, 1994:45). Adapun istilah dharmadhyaksa mempunyai 3 pengertian dalam melaksanakan tugasnya, yaitu:

1. Sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci (superintendent) 2. Sebagai pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (religie) 3. Sebagai ketua pengadilan (Ilham, 1994:46)

Pada intinya, jelas bahwa jaksa pada masa kerajaan Majapahit dan Mataram telah dikenal, mempunyai wewenang dan tugas dalam bidang keagamaan dan bidang peradilan. Sejalan dengan berputarnya roda sejarah, terminologi dhyaksa mengalami perubahan menjadi Jeksa dalam bahasa Jawa, dan jaksa dalam bahasa Sunda dan Indonesia (Efendi, 2005:58).

Pengertian mengenai Jaksa termuat dalam UU No. 16 tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu pasal 1 ayat 1-4, bahwa:

(39)

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang.

2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. 3. Penuntutan adalah tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara

ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.

4. Jabatan fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Walaupun dalam UU No. 16 tahun 2004 membedakan sebutan dan pengertian Jaksa dengan Penuntut Umum, namun keduanya tetap satu. Dalam artian suatu saat jaksa dapat menjadi penuntut dan melaksanakan penetapan Hakim (Harahap, 2003:365). Hanya saja perbedaan yang hakiki antara jaksa dengan penuntut umum adalah jika jaksa bertugas pada kegiatan penangangan perkara pada tahap penuntutan maka jaksa tersebut disebut dengan penuntut umum dan jika bertugas di luar penuntutan maka ia tetap disebut jaksa (Husein, 1991:222).

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI, mengatur tugas dan wewenang Jaksa, yang rinciannya sebagai berikut:

(40)

1. Pasal 30 ayat 1: Bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

Undang-undang

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Pasal 30 ayat 2: Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

3. Pasal 30 ayat 3: Dalam bidang Ketertiban dan Ketenteraman Umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum c. Pengamanan peredaran barang cetakan

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara

(41)

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.”

4. Pasal 32: Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

4. Pasal 33: Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya.

5. Pasal 34: Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Peran jaksa sebagai penuntut umum yang mewakili kepentingan umum bertindak untuk dan atas nama Negara dalam menangani perkara merupakan wujud penegakan ketertiban dan perlindungan terhadap kepentingan hukum seperti yang tertera dalam UU No. 5 Tahun 1991, UU No. 16 Tahun 2004, jo Kepres No. 55 Tahun 1991.

B Jaksa Dalam Perkara Perdata dan Pembatalan Perkawinan 1. Jaksa Dalam Perkara Perdata

Eksistensi kejaksaan di bidang perdata bukanlah hal yang baru, karena telah ada sejak zaman penjajahan India Belanda sampai setelah Indonesia merdeka, eksistensi kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan diatur dalam Undang-undang kejaksaan yaitu: Undang-undang No 15 tahun 1961, tentang ketentuan-ketentuan umum Kejaksaan RI Pasal 2 ayat 4, yang menyatakan bahwa kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan

(42)

tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara.

Setelah lahirnya Undang-undang No. 15 Tahun 1961, eksistensi kejaksaan di Bidang Perdata tetap diakui dan dipertahankan, terbukti dengan dimuatnya kembali ke dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1991 dan Undang-undang No. 16 tahun 2004 Pasal 30 ayat 2, dan diperkuat dengan Kepres No. 55 Tahun 1991, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI serta diberi tugas dan wewenang di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Saat ini dalam kejaksaan dikenal nama JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara), sebagai salah satu unit kerja dalam lingkungan kejaksaan. Tugas dan wewenang JAMDATUN secara garis besar dapat dibagi menjadi 5 kelompok (www.Peran Jaksa Pengacara V,di akses tanggal 8 agustus 2010), yaitu:

a. Penegakan Hukum ialah tindakan yang dilakukan oleh Kejaksaan di bidang Perdata dan TUN sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang undangan atau berdasarkan putusan pengadilan dalam rangka menyelamatkan kekayaan atau keuangan Negara serta melindungi hak-hak keperdataan masyarakat.

b. Bantuan Hukum adalah pemberian jasa hukum kepada instansi pemerintah atau lembaga Negara atau BUMN/BUMD atau Pejabat TUN untuk bertindak sebagai kuasa pihak dalam perkara perdata atau TUN, berdasarkan surat kuasa khusus.

(43)

c. Pelayanan Hukum adalah pemberian jasa hukum kepada masyarakat untuk penyelesaian masalah perdata maupun TUN, di luar proses peradilan.

d. Pertimbangan Hukum adalah pemberian jasa hukum kepada Instansi Pemerintah atau Lembaga Negara atau BUMN/BUMD atau Pejabat TUN di bidang perdata atau TUN yang disampaikan melalui forum koordinasi yang sudah ada atau melalui media lainnya di luar proses peradilan.

e. Tindakan Hukum lain adalah pemberian jasa hukum di bidang perdata atau TUN di luar penegakan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum dan pertimbangan hukum dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah.

2. Kedudukan dan Kewenangan Jaksa Dalam pembatalan Perkawinan

Pasal 26 ayat 1 menjelaskan bahwa akad nikah (perkawinan) yang telah dilangsungkan di depan pegawai pencatat nikah, dapat dibatalkan, karena dalam pelaksanaan akad nikah tersebut dilakukan oleh wali yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan yang berhak memintakan pembatalan pernikahan adalah dari pihak suami atau isteri, keluarga suami atau isteri dalam garis keturunan ke atas, serta jaksa (Erwin, 1978:71).

Jaksa, sebagaimana disebutkan dalam pasal 26 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, merupakan pihak yang berhak memintakan pembatalan perkawinan. Masalah pembatalan perkawinan termasuk salah

(44)

satu perkara perdata, maka jaksa berkedudukan sebagai pemohon/Penggugat (Erwin, 1978:11).

Perkara perdata dibedakan menjadi 2, yaitu perdata umum dan khusus. Perdata umum antara lain perjanjian, jual-beli, waris dll. Sedangkan perdata khusus hanya masalah perkawinan. Yang membedakan anatara keduanya adalah ketika perdata umum jaksa bertindak sebagai penasehat yang memberikan masukan kepada pihak yang berperkara dan tidak dapat mewakili di persidangan. Namun dalam perdata khusus, jaksa dapat mewakili di persidangan sebagai penggugat (Wawancara di Kejaksaan).

Wewenang Jaksa dalam masalah perkawinan mewakili kepentingan Undang-undang, yang berarti berfungsi sebagai kontrol atas berlalunya peraturan guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran diantara wewenang Jaksa dalam bidang perkawinan adalah:

a. Meminta kepada pengadilan untuk meniadakan niat untuk melangsungkan perkawinan.

b. Meminta kepada pengadilan untuk dibatalkanya perkawinan.

c. Meminta kepada pengadilan untuk diberlakukannya kuratil terhadap seseorang (Prakoso dan I Ketut Murtika, 1998: 30).

Dari ketiga wewenang Jaksa tersebut yang jelas-jelas disebutkan secara harfiah dan dicantumkannya Jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan permohonan tersebut serta mempunyai dasar hukum yang kuat hanyalah masalah pembatalan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26

(45)

ayat 1 Undang-undang Perkawinan. Namun ketentuan pasal tersebut tidak disertai dengan penjelasan yang terperinci (Wawancara di Kejaksaan).

Dijelaskan oleh Bapak Setyawan C.N., SH selaku Kasi Pidsus dan Ibu Sujiyati, SH selaku Kasi Datun, bahwa kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan menurut pasal 26 UUP secara normatif memang dibenarkan, namun secara praktek kedudukan jaksa tidak dapat disamakan dengan pihak lain yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Karena jaksa hanya dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan ketika ada pihak yang mengadukan (Wawancara di Kejaksaan). Sehingga kedudukan jaksa di sini dapat dikatakan sebagai kuasa hukum dari penggugat, meskipun pada hakikatnya apabila dilihat dari ketentuan pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, jaksa seharusnya berperan sebagai penggugat murni yang mengajukan pembatalan perkawinan secara langsung ke Pengadilan.

Bapak Setiyawan menjelaskan bahwa, jaksa dapat mengetahui masalah pelanggaran dalam perkawinan, bisa secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya, jaksa mengetahui sendiri, bahwa perkawinan tersebut terdapat pelanggaran. Sedang tidak langsung, artinya jaksa mengetahui hal tersebut berdasarkan keterangan dari orang lain, bisa dari pihak suami isteri ataupun dari pihak keluarga suami isteri, bahkan dari orang lain sekalipun. Keterangan tersebut, didasarkan atas bukti-bukti yang menyatakan bahwa perkawinan yang telah berlangsung tidak sah.

(46)

Keberlakuan aturan di atas berlaku di tingkat Kejaksaan Tinggi, hal ini berarti begitu jaksa mengetahui adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan dan penerapan hukum perkawinan, jaksa (Kejaksaan Tinggi) dapat langsung memproses perkara pembatalan perkawinan begitu mengetahui dan menerima permohonan pembatalan perkawinan. Kejaksaan tinggi di sini dalam menjalankan tugasnya tidak mendapatkan dan disertai Surat Kuasa dari pihak manapun juga. Sedangkan Kejaksaan negeri tidak memiliki kewenangan tersebut, padahal untuk penyelesaian pembatalan perkawinan diselesaikan ditingkat Kejaksaan Negeri.

Untuk memproses perkara pembatalan tersebut di Pengadilan, pihak Kejaksaan Tinggi memberikan kuasa sepenuhnya kepada Kejaksaan Negeri untuk diajukan dan menghadiri sidang-sidang di Pengadilan. Dengan kata lain, Kejaksaan Negeri baru dapat menjalankan tugasnya setelah mendapatkan kuasa dari kepala Kejaksaan Tinggi setempat, sementara Kejaksaan Tinggi setempat tidak mendapatkan pelimpahan dari pihak manapun. Keharusan adanya surat kuasa hanya diperlukan bagi Kejaksaan Negeri saja. Jaksa yang ditugaskan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan harus mengikuti hukum acara perdata yang berlaku, serta diharapkan benar-benar menguasai permasalahannya dengan mengumpulkan alat-alat bukti yang ada dan sah dan melakukan koordinasi serta konsultasi dengan instansi yang terkait agar berhasil dalam gugatan/permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan.

(47)

Pernyataan tersebut bertentangan dengan penjelasan ibu Sujiyati, SH yang mengatakan bahwa jaksa dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan ketika ada pihak dari KUA/KCS yang mengadukan dan disertai dengan SKK maupun pengaduan langsung dari pihak yang bersangkutan, baik dari istri, suami maupun dari pihak keluarga (Wawancara di Kejaksaaan Negeri Salatiga, tanggal 11 agustus 2010).

Penjelasan Ibu Sujiyati tersebut di benarkan oleh Ibu Dewi Kurnia Sari, SH. dan Bapak Abadi, SH selaku Panitera Pengadilan Negeri bahwa bukti adanya pelanggaran dalam perkawinan dapat diketahui berdasarkan laporan dari pihak manapun, akan tetapi akan lebih baik apabila informasi yang didapat langsung dari pihak yang menikahkan (KUA untuk umat muslim dan KCS untuk non muslim), karena dari sanalah data mengenai kebenaran kelengkapan persyaratan perkawinan serta adanya pelanggaran dalam perkawinan dapat diketahui, juga pengaduan langsung dari pihak yang menikah atau dari pihak keluarga. (Wawancara di Pengadilan Negeri).

Ibu Dewi Kurnia sebagai Hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan Ibu Dra. Hj. Erni Zurnilah selaku Hakim Pengadilan Agama tidak mengetahui adanya Kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan. Karena yang mereka pahami mengenai pejabat yang berwenang dalam pembatalan perkawinan adalah pegawai KUA dan KCS sebagai instansi yang berkaitan langsung dengan proses berlangsungnya perkawinan,

(48)

bukan jaksa. Alasan lainnya yaitu belum pernah adanya kasus pembatalan perkawinan yang diajukan oleh jaksa baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.

Sedangkan Ibu Dra. Hj. Erni Zurnilah menjelaskan mengenai kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan pasal 26 UUP, sesuai dengan yang dikutip dari “Buku Pedoman Teknik Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi 2009” tidak dapat digunakan ketika mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dan telah hidup serumah. Jaksa dan PPN hanya berwenang dalam pembatalan perkawinan ketika perkawinan yang dilaksanakan di bawah ancaman dan waktu pengajuan tidak lebih dari 6 bulan (Wawancara Di Pengadilan Agama).

Banyaknya perbedaan pendapat mengenai kewenangan jaksa maupun kedudukannya dalam pembatalan pekawinan, menyebabkan ketidakefektifan dari peran jaksa itu sendiri. Jaksa yang seharusnya mempunyai peran penting dalam pembatalan perkawinan, tidak berfungsi lagi ketika pihak-pihak yang seharusnya melibatkan jaksa dalam perkawinan (KUA, KCS, Pengadilan) tidak mengetahui adanya kewenangan jaksa tersebut. Apalagi pengawasan terhadap perkawinan yang berlangsung juga jarang atau hampir belum pernah dilakukan oleh jaksa. Padahal apabila hal itu dilakukan, pelanggaran dalam perkawinan dapat ditekan, sehingga tidak perlu adanya pembatalan perkawinan. Karena tiap pihak yang melangsungkan perkawinan akan lebih berhati-hati dalam memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

(49)

C Prosedur Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan (PP No. 9 Th. 1975 pasal 37). Prosedur yang harus dilaksanakan dalam pembatalan perkawinan yaitu sesuai dengan tata cara gugatan perceraian (PP No. 9 Th. 1975, pasal 38 ayat 2), dan yang dapat mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang tertulis dalam pasal 23-27 UUP yaitu:

 Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau isteri

 Suami atau isteri

 Pejabat yang berwenang

 Pejabat yang ditunjuk

 Jaksa

Namun keterlibatan jaksa dalam pembatalan perkawinan kurang ada kejelasan, karena tidak adanya peraturan yang mengatur secara khusus mengenai kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan. Selama ini juga belum pernah ada kasus pembatalan perkawinan yang diajukan oleh jaksa di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, sedangkan pengertian pejabat berwenang dalam pembatalan perkawinan yang dimaksud, dipahami oleh Hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri bukanlah jaksa melainkan Pegawai Pencatat Perkawinan (Wawancara di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri).

Prosedur pembatalan perkawinan adalah sesuai dengan tatacara gugatan perceraian. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai

(50)

dengan tata-cara yang diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975. Prosedur gugatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Gugatan diajukan oleh pihak-pihak yang berwenang ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri (pengguat).

2. Apabila tempat tinggal terguggat tidak jelas, maka gugatan diajukan ke pengadilan tempat tinngal penggugat.

3. Pemanggilan selambat-lambatnya 3 hari sebelum diadakannya sidang. 4. Bagi Pengadilan Negeri pemanggilan dilakukan oleh Juru Sita, sedangkan

bagi Pengadilan Agama dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.

5. Pemeriksaan gugatan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan.

6. Apabila tergugat berada di Luar Negeri, sidang pemeriksaan gugatan di tetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan.

7. Pada sidang pemeriksaan gugatan, tergugat dan penggugat datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

8. Pemeriksan gugatan dilakukan dalam Sidang tertutup. 9. Putusan mengenai gugatan diucapkan dalam Sidang terbuka.

10. Panitera pengadilan atau pejabat yang ditumjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memmpunyai kekuatan hukum tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa

(51)

bermaterai kepada Pegawai Pencatat di tempat pembatalan perkawinan terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan pembatalan perkawinan dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

D Akibat Hukum Dari Pembatalan Perkawinan

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan (Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Perkawinan). Dengan adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap, maka keadaan suami-isteri kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi perkawinan.

Keputusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan tersebut tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini pantas berdasarkan kemanusiaan dan kepentinagan anak-anak, yang berarti kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak pantas dibebankan kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Dengan demikian anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan memiliki status hukum yang jelas dan kedudukannya adalah resmi sebagai anak dari orang tua mereka. Oleh karena itu pembatalan perkawinan tidak menyebabkan hilangnya status anak.

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

(52)

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau isteri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

(53)

BAB IV

ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN,

PASAL 26 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

A. Analisis Terhadap Kewenangan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan Sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, perkawinan dapat dibatalkan apabila melanggar hukum perkawinan atau Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, mengenai pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 22 sampai 27. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 37 dan 38 serta Kompilasi Hukum Islam pasal 70 sampai 76 juga mengatur tentang pembatalan perkawinan. Dari pasal-pasal di atas, dapat kita ketahui bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

1. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

2. Adanya perkawinan padahal para pihak masih terikat dalam perkawinan yang sah (masih jadi suami atau isteri atau masih dalam masa iddah suami lain).

3. Perkawinan dilansungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang.

4. Perkawinan dengan wali yang tidak sah/tidak berhak. 5. Perkawinan yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi.

(54)

6. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum/dengan paksaan.

7. Perkawinan yang dilangsungkan karena terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

8. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan (pihak pria belum mencapai umur sembilan belas tahun dan atau pihak wanita belum mencapai umur enam belas tahun).

Batalnya perkawinan yang dimaksud di atas, tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Maksudnya apabila setelah melangsungkan perkawinan diketahui adanya suatu pelanggaran, maka perkawinan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh pengadilan melalui pengajuan pihak-pihak yang berwenang. Pengadilan yang berhak menerima perkara pembatalan perkawinan adalah Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami atau isteri (Undang-undang perkawinan pasal 25).

Pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh Pengadilan, atas permohonan dari pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu pihak suami atau isteri, keluarga dari suami atau isteri dalam garis keturunan lurus ke atas, pejabat yang berwenang, serta Jaksa.

Berkaitan dengan berhak atau tidaknya seseorang atau beberapa orang atau badan hukum, untuk mengajukan pembatalan suatu perkawinan, perlu kita ketahui terlebih dahulu peraturan yang mengatur mengenai persoalan

(55)

tersebut. Karena dengan tidak berhaknya untuk bertindak sebagai Penggugat/Pemohon akan menentukan dapat diterima dan ditolaknya suatu gugatan/permohonan. Seandainya seseorang/beberapa orang/badan hukum sebagai yang berhak untuk mengajukan, maka pemeriksaan akan memasuki pokok perkara, tetapi apabila seseorang tersebut bukan pihak yang berhak untuk mengajukan gugatan/permohonan maka akan dinyatakan tidak diterima dengan tidak dipedulikannya pokok perkara (Misbahudin, 1998:49).

Dalam Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan suami atau isteri. 2. Suami atau isteri.

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-Undang ini dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara lengsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus (Undang-undang perkawinan pasal 23).

Pejabat seperti tersebut dalam Pasal 23 di atas, adalah merupakan pejabat yang berhak/berwenang mengajukan pembatalan perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan. Namun dari bunyi Pasal 23 masih ada yang memerlukan penjelasan lebih lanjut yaitu pejabat yang berwenang dan pejabat yang ditunjuk tersebut dalam ayat 2 Pasal 16 undang-undang ini.

Dalam penjelasan Pasal 23 disebutkan cukup jelas, walaupun nyatanya belum jelas, dan menurut Pasal 16 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974, pejabat yang

(56)

ditunjuk tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, namun peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum ada.

Ketidakjelasan agak terkuak setelah terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Pasal yang menguak ketidakjelasan tersebut yaitu Pasal 73 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan “Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang.” Walaupun masih menjadi pertanyaan siapakah pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan itu? Apakah mereka itu pembantu PPN, PPH ataupun KASI, masih perlu penjelasan yang lebih jauh.

Selain Pasal 23 undang-undang No. 1 Tahun 1974, juga Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang tersebut mengatur tentang siapa-siapa yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan. Pasal 26 ayat 1 undang-undang tersebut menyebutkan “Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua (2) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.” Apabila kita bandingkan antara Pasal 23 dengan Pasal 26 ayat (1), maka yang tidak disebutkan dalam Pasal 23 yaitu Jaksa.

Dari pasal 26 di atas, dapat dipahami bahwa salah satu pejabat yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan perkawinan adalah Jaksa. Pertanyaannya kemudian, atas dasar apa Jaksa dimasukkan sebagai salah satu pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan? Selama ini

(57)

kenyataannya, jaksa di Pengadilan dikenal sebagai penuntut umum dalam perkara pidana. Dan jarang sekali – apalagi dalam kasus pembatalan perkawinan – Jaksa berperan.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, di mana eksistensi kejaksaan di bidang perdata tetap diakui dan diatur dalam Undang-undang Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat 2, UU No. 16 tahun 2004, yang selengkapnya adalah: “Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah.” Yang saat ini lebih dikenal dengan nama JAMDATUN (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara), yaitu sebagai salah satu unit kerja dalam lingkungan kejaksaan.

Juga dalam pasal 32 disebutkan, disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Dengan artian, kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan menurut pasal 26 ayat 1 Undang-undang Perkawinan bisa saja terjadi. Namun yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya penjelasan yang menyeluruh mengenai kewenangan jaksa dalam pembatalan perkawinan serta tidak berperannya jaksa secara langsung mengawasi jalannya perkawinan dan mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang melanggar ketentuan.

Berkaitan dengan tugas wewenang penegakan hukum, satuan kerja JAMDATUN mempunyai fungsi membatalkan suatu perkawinan yang

(58)

dilakukan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi (Undang-undang perkawinan pasal 26). Tujuan adanya peraturan tersebut di atas adalah, supaya penegakan hukum di bidang perkawinan yang dilakukan atas nama Pemerintah atau Negara, dalam rangka memelihara ketertiban umum guna menghindari terjadinya suatu pelanggaran dan terciptanya kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat benar-benar terwujud.

Peraturan pembatalan perkawinan di atas dapat diperkuat dengan aturan yang ada pada Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, sebagai argumentasi tambahan mengenai tujuan dicantumkannya Jaksa sebagai pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu mengenai sanksi hukuman benda bagi pihak mempelai dan pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan hukum perkawinan.

Dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa:

1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40, peraturan pemerintah ini, dihukum dengan hukuman dengan setinggi-tingginya Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa di dalam Pasal 65 ayat (1) huruf (b) dan (c) UU Perkawinan, pada pokoknya isteri kedua dalam perkawinan poligami tidak

Selanjutnya mengenai pertimbangan bahwa perkawinan antara warganegara yang berbeda agama tersebut menurut ketentuan hukum yang berlaku dalam pasal 2 ayat (1) di sebutkan

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, sebagai konsekuensi hukum dari Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan diatur pula pada Pasal 16 ayat (1) huruf e

Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak dengan itikad

Lebih lanjut terkait UU Perkawinan, ketentuan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan bersifat diskriminatif secara hukum, karena

Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwasannya tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, sahnya perkawinan menurut UUP adalah apabila

Lepas dari khilaf dan segala kekurangan, penulis merasa sangat bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Interpretasi Pasal 5 Ayat (2) Undang- Undang

1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.” KHI juga menenkankan aturan tentang keharusan pencatatan