• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA AKSI KEGIATAN (RAK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RENCANA AKSI KEGIATAN (RAK)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

1 DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOTIK

DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2020

RENCANA AKSI KEGIATAN (RAK)

2020 -2024

(2)

2 KATA PENGANTAR

Dengan Rasa Syukur atas Rahmat Allah Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Karunia-Nya sehingga Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2020-2024 ini dapat diselesaikan.

Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini bertujuan untuk Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dengan tujuan dan sasaran strategis, arah kebijakan dan strategi, target kinerja dan kegiatan.

Sebagai buku Rencana Aksi Kegiatan pertama untuk tahun RPJMN 2020-2024, kami merasakan buku ini masih memiliki banyak kekurangan karena dukungan data yang belum memadai terutama data-data yang digunakan sebagai bahan analisis situasi, prioritas program/

kegiatan, dan upaya rencana aksi. Selanjutnya kedepan akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik. Diharapkan program dan kegiatan dalam RAK tahun 2020-2024 dapat dijadikan dasar dan acuan dalam melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik. Bagi kepala subdit dan seksi dibawah Satuan Kerja, diharapkan RAK 2020-2024 dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun Rencana Kerja dan Sasaran Kerja Pegawai.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berproses bersama dan mendukung tersusunnya Rencana Aksi Kegiatan (RAK) 2020-2024 ini, semoga buku ini menjadi dokumen bersama dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotic dan bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, September 2020 Direktur P2PTVZ

Dr.drh. Didik Budijanto, M.Kes NIP 196204201989031004

(3)

3 DAFTAR ISI

BAB. I. Pendahuluan 4

A. Latar Belakang ………. 4

B. Kondisi Umum……….. 5

C. Sumber Daya Manusia………. 33

D. Tugas Pokok dan Fungsi………. 35

E. Potensi dan Permasalahan……… 36

BAB.II. Tujuan dan Saran 40 A. Tujuan……… 40

B. Sasaran……….. 41

BAB. III. Arah Kebijakan, Strategi dan Kerangka Regulasi 42 41A. Arah Kebiajakn dan Strategi……… 42

B. Kerangka Regulasi………. 49

BAB IV. Target Kinerja Kegiatan dan Kerangka Pendanaan 52 A. Target Kinerja……….. 52

B. Kegiatan dan Kerangka Pendanaan……….... 61

BAB.V. Pemantauan dan Penilaian Pelaporan 84 A. Pemantauan……… 84

B. Penilaian……….. 84

C Pelaporan……… 84

BAB VI. Penutup 85

Lampiran

(4)

4 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Periode tahun 2020-2024 merupakan tahapan terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sehingga merupakan periode pembangunan jangka menengah yang sangat penting dan strategis. RPJMN 2020-2024 akan memengaruhi pencapaian target pembangunan dalam RPJPN, di mana pendapatan perkapita Indonesia akan mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah atas (Upper-Middle Income Country) yang memiliki kondisi infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, pelayanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik.

Sejalan dengan Visi Presiden Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yaitu Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong - Royong, dimana peningkatan kualitas manusia Indonesia menjadi prioritas utama dengan dukungan pembangunan kesehatan yang terarah, terukur, merata dan berkeadilan. Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat tersebut, dibutuhkan program kesehatan yang bersifat preventif dan promotif salah satunya adalah Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Berbagai kegiatan dilakukan untuk mendukung pencegahan dan pengendalian penyakit, salah satunya kegiatan pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik.

Undang undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa Kementerian/Lembaga menyusun Rencana Strategi (Renstra).

Selanjutnya merujuk kepada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2020 tentang Rencana Strategik Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 bahwa tingkat Eselon I menjabarkan dalam Rencana Aksi Program (RAP) dan Eselon II atau satuan kerja menjabarkan Rencana Aksi Kegiatan (RAK).

(5)

5 B. Kondisi Umum

Berbagai masalah dan tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik telah berkembang semakin kompleks dan munculnya tantangan baru baik skala nasional, maupun global. Terlihat dengan adanya transisi epidemiologi, transisi demografi dan lingkungan, perubahan sosial budaya masyarakat, perubahan keadaan politik, ekonomi, keamanan, disparitas status kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, perubahan gaya hidup masyarakat serta keterbatasan, kesenjangan dan distribusi sumber daya manusia kesehatan.

1. Status Malaria di Indonesia

Peta persebaran endemisitas malaria per kabupaten/Kota dapat dilihat dalam gambar dibawah, terlihat bahwa kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT dan hanya 1 Provinsi diluar wilayah timur yang masih memiliki kabupaten endemis tinggi yaitu Provinsi Kalimantan Timur di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Gambar I.1. Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2019 Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota dan penduduk per wilayah endemisitas di Indonesia.

(6)

6 Tabel I.1. Jumlah Kab/Kota dan Penduduk Berdasarkan Endemisitas 2019

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa 77% penduduk Indonesia telah hidup di daerah bebas malaria dan sekitar 23% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria.

Sebanyak 89% kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai API<1 per 1000 penduduk dan 58%nya telah mencapai eliminasi malaria. Berikut rincian endemisitas kabupaten/kota per Provinsi Tahun 2019.

Tabel I.2. Endemisitas Malaria Per Provinsi 2019

No Provinsi Jumlah

Kab/

Kota

Kab Eliminasi Kab Endemis Rendah

Kab Endemis Sedang

Kab Endemis Tinggi

% Kab Eliminasi

1 DKI Jakarta 6 6 100%

2 Jawa Timur 38 38 100%

3 Bali 9 9 100%

4 Jawa Tengah 35 33 2 94%

5 Aceh 23 21 2 91%

6 Sumatera Barat 19 17 1 1 89%

7 Kep Bangka Belitung 7 6 1 86%

8 Jawa Barat 27 23 4 85%

9 Riau 12 10 2 83%

10 Sulawesi Selatan 24 20 4 83%

11 Sulawesi Barat 6 5 1 83%

12 DI Yogyakarta 5 4 1 80%

13 Banten 8 6 2 75%

14 Lampung 15 11 3 1 73%

15 Kalimantan Tengah 14 10 4 71%

16 Jambi 11 7 4 64%

17 Sumatera Utara 33 21 11 1 64%

18 Kalimantan Selatan 13 7 6 54%

19 Sulawesi Tenggara 17 9 7 1 53%

No Endemisitas Penduduk 2019 Kab/Kota 2019

# % # %

1 Eliminasi (Bebas Malaria) 208,160,937 77.7% 300 58%

2 Endemis Rendah (API < 1) 52,474,602 19.6% 160 31%

3 Endemis Sedang (API 1-5) 4,478,911 1.7% 31 6%

4 Endemis Tinggi (API > 5) 2,960,115 1.1% 23 4%

Total 268,074,565 100% 514 100%

(7)

7

No Provinsi Jumlah

Kab/

Kota

Kab Eliminasi Kab Endemis Rendah

Kab Endemis Sedang

Kab Endemis Tinggi

% Kab Eliminasi

20 Sumatera Selatan 17 8 9 47%

21 Kep Riau 7 3 3 1 43%

22 Sulawesi Utara 15 6 9 40%

23 Sulawesi Tengah 13 5 8 38%

24 Gorontalo 6 2 4 33%

25 Bengkulu 10 3 7 30%

26 Nusa Tenggara Barat 10 3 7 30%

27 Kalimantan Timur 10 3 5 1 1 30%

28 Kalimantan Barat 14 3 11 21%

29 Kalimantan Utara 5 1 4 20%

30 Maluku Utara 10 8 2 0%

31 Maluku 11 8 3 0%

32 Nusa Tenggara Timur 22 15 4 3 0%

33 Papua Barat 13 3 6 4 0%

34 Papua 29 4 10 15 0%

Total 514 300 160 31 23 58%

Berdasarkan tren kasus positif malaria dan API pada grafik dibawah terlihat penurunan kasus yang signifikan dari Tahun 2010-2014, namun cenderung stagnan dari Tahun 2014-2019.

Tren kasus yang cenderung stagnan tersebut terjadi karena tren kasus malaria di Provinsi Papua stagnan dan cenderung meningkat. Secara keseluruhan hampir terjadi penurunan kasus malaria di seluruh provinsi di Indonesia dari Tahun 2015-2019. Penurunan tersebut dapat dilihat pada grafik tren penurunan kasus di Provinsi Papua dan diluar Provinsi Papua.

Gambar I.2. Tren Kasus Positif dan API Tahun 2010-2018

Penurunan kasus malaria terlihat signifikan di luar Provinsi Papua, namun di Provinsi Papua kasus cenderung meningkat seperti terlihat pada grafik dibawah ini.

(8)

8 Gambar I. 3. Tren Kasus Malaria di Papua dan Di luar Papua 2014-2018

Kasus malaria Tahun 2019 di Indonesia sebanyak 250.644, kasus tertinggi yaitu di Provinsi Papua sebanyak 216.380 kasus, disusul dengan Provinsi NTT sebanyak 12.909 kasus dan Provinsi Papua Barat sebanyak 7.079 kasus.

Gambar I.4. Grafik Kasus Positif Malaria di Indonesia Tahun 2019

Malaria merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati atau ditangani dengan baik. Kasus kematian akibat malaria masih dilaporkan dari beberapa daerah di Indonesia.

Tren kematian akibat malaria terus menurun. Tahun 2019 dilaporkan terdapat 49 kasus kematian malaria.

Gambar I.5. Grafik Tren Kematian Malaria Tahun 2013-2019

- 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Papua Diluar papua

216,380 12,909 7,079 2,065 1,521 1,302 1,033 954 861 861 812 636 602 580 501 436 316 297 202 194 179 139 137 130 92 91 82 66 56 33 32 32 22 12

385

217

157 161

74

34 49

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

(9)

9 Kasus kematian malaria tahun 2019 dilaporkan dari 12 provinsi, kasus kematian tertinggi di Provinsi Papua sebanyak 26 kasus. Rincian kematian malaria per provinsi dapat di lihat pada gambar di bawah.

Gambar I.6. Kematian Malaria per Provinsi Tahun 2019

Malaria pada ibu hamil merupakan masalah Kesehatan masyarakat yang serius, kerena dapat menyebabkan berbagai masalah seperti anemia, bayi lahir prematur, Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan bahkan kematian Ibu dan Bayi. Risiko malaria pada ibu hamil dalam jangka panjang yaitu masalah pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak akibat lahir prematur dan BBLR.

Penelitian malaria dalam kehamilan di Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa infeksi pada Ibu hamil menyebabkan anemia berat pada Ibu dan penurunan berat lahir janin. Malaria pada bayi merupakan penyebab utama anemia berat dan bersama dengan kecacingan menjadi penyebab utama stunting di daerah endemis malaria. Berdasarkan data Tahun 2019 sebanyak 58% (92 dari 160) Kabupaten/Kota prioritas stunting merupakan daerah endemis malaria.

Gambar I.7. Diagram Persentasi Endemisitas Malaria di 160 Kabupaten/Kota Prioritas Stunting

26

5 4 3 3 2 1 1 1 1 1 1

Eliminasi 42%

Endemis Rendah 39%

Endemis Sedang 10%

Endemis … Endemis Tinggi II

1%

Endemis Tinggi III 2%

(10)

10 Pada Tahun 2019 dari seluruh kasus malaria di Indonesia, 39% terjadi pada anak usia di bawah 15 tahun (96.659 kasus) dan 14% atau sebanyak 36.293 kasus terjadi pada balita termasuk 3.858 kasus (2%) terjadi pada bayi. Kasus malaria pada ibu hamil Tahun 2019 yaitu sebanyak 1.769, kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi Papua. Proporsi kasus malaria pada Ibu Hamil dibandingkan seluruh kasus positif malaria yaitu 0.5%.

Gambar I.8. Grafik Kasus Malaria pada Ibu Hamil Tahun 2019

Kegiatan terpadu pengendalian malaria dengan pelayanan kesehatan ibu hamil dan balita bertujuan untuk melindungi ibu hamil dan bayi dari penularan malaria dan mendorong peningkatan cakupan layanan rutin ibu hamil serta memberikan kontribusi terhadap penurunan stunting melalui penurunan kejadian anemia pada ibu hamil dan balita yang disebabkan oleh malaria.

Kegiatan integrasi dilaksanakan melalui penapisan atau skrining malaria dan pemberian kelambu anti nyamuk terhadap ibu hamil yang dilaksanakan pada saat kunjungan pertama pelayanan masa kehamilan serta pemeriksaan sediaan darah malaria terhadap balita sakit.

Kegiatan integrasi diutamakan dilaksanakan di Kabupaten/Kota endemis tinggi dan dilaksanakan secara selektif di kabupaten endemis sedang, rendah dan eliminasi malaria.

Sebanyak 377.392 ibu hamil dan 44,158 balita sakit telah diskrining malaria pada Tahun 2019. Berikut persebaran data skrining malaria pada ibu hamil dan balita sakit per provinsi Tahun 2019. Data pada grafik menunjukkan bahwa skrining ibu hamil terbanyak dilaksanakan di Provinsi NTT yaitu sebanyak 71.855 ibu hamil dan skrining balita sakit terbanyak dari Provinsi Papua yaitu sebanyak 20.440 balita.

1,053 43 31 6 4 4 3 2 2 2 2 1 1 1 1 1

Positif Ibu Hamil

(11)

11 Gambar I.9. Jumlah Skrining Malaria pada Ibu Hamil dan Balita Sakit

Kebijakan skrining ibu hamil terutama dilaksanakan di kabupaten/kota endemis tinggi merupakan kebijakan baru yang disosialisasikan pada Tahun 2018. Berdasarkan tabel dibawah terlihat bahwa kasus malaria pada ibu hamil di daerah endemis tinggi persentasinya sebanyak 93% dari total nasional namun skrining Ibu hamil di kabupaten endemis tinggi hanya menyumbang 7% dari total skrining ibu hamil. Berdasarkan hal tersebut maka perlu upaya untuk meningkatkan kegiatan skrining malaria pada ibu hamil di daerah endemis tinggi malaria. Kegiatan skrining malaria pada ibu hamil dan balita sakit pada Tahun 2020 diharapkan tetap dilaksanakan di 28 kabupaten/kota endemis tinggi Tahun 2018.

Populasi Khusus adalah kelompok populasi yang memiliki resiko terinfeksi malaria lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi lainnya dan memerlukan strategi pencegahan dan pengendalian tersendiri. Beberapa pekerjaan seperti pekerja perambah hutan, pekerja di perkebunan, pekerja tambang illegal, nelayan, dan anggota militer/polisi, mereka memiliki risiko untuk terinfeksi malaria lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain disebabkan oleh karakteristik pekerjaannya.

Kelompok populasi khusus lainnya yang berisiko tinggi antara lain komunitas suku adat terpencil dan wisatawan. Sistem Informasi Malaria telah melaporkan bahwa dari 63 Kabupaten/Kota yang mengalami stagnansi penurunan kasus lebih dari 5 tahun, 19 kabupaten diantaranya memiliki populasi yang tinggal di hutan atau bekerja di daerah sulit terjangkau secara geografis oleh layanan kesehatan. Dukungan lintas sektor dan program diperlukan untuk menanggulangi malaria pada Populasi Khusus tersebut.

Upaya pengendalian nyamuk anopheles sebagai vektor utama malaria yaitu dengan penggunaan kelambu anti nyamuk. Distribusi kelambu utamanya difokuskan pada kabupaten endemisitas tinggi dan desa fokus pada kabupaten endemis sedang dan rendah. Kampanye kelambu berinsektida mengusung tema peremajaan dan pemasangan kelambu baru secara serentak yang telah dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.

71,835 51,583 30,096 21,984 17,559 17,147 15,945 14,632 14,051 12,475 10,271 9,656 9,609 9,261 8,947 8,881 8,703 7,731 5,716 4,870 4,317 4,163 3,729 3,624 3,579 3,184 1,265 1,143 1,045 369 22 - - -

10,811 343 64 20,440 387 99 2,247 316 61 47 127 24 1 2,893 5,758 2 4 78 6 4 1 6 9 1 - 411 1 - 8 8 - - 1 -

Skrining Bumil Skrining Balita Sakit

(12)

12 Distribusi kelambu masal untuk seluruh penduduk di daerah endemis tinggi dan diwilayah fokus di daerah endemis sedang berdasarkan kelompok tidur telah dilaksanakan pada Tahun 2014 dan 2017 serta akan kembali dilaksanakan pada Tahun 2020. Sebanyak 10,7 Juta kelambu telah didistribusikan melalui kampanye distribusi kelambu masal di Tahun 2014 dan 2017. Berdasarkan survei terakhir Tahun 2019 diketahui bahwa cakupan penggunaan kelambu masih rendah yaitu 60.5% sehingga diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan cakupan penggunaan kelambu.

2. Status Arbovirosis di Indonesia

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit Arbovirosis yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Kasus DBD yang pertama dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 58 kasus dan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR 41,3%). Dalam kurun waktu 50 tahun (1968 – 2017) angka kematian (CFR) DBD telah berhasil diturunkan menjadi di bawah 1%. Pada tahun 2017 CFR DBD Nasional sudah menurun menjadi 0,72%.

Dalam 10 tahun terakhir (2008 – 2017), Incidence Rate (IR) DBD berada pada kisaran 26,1 per 100.000 penduduk hingga 78,8 per 100.000 penduduk. Angka morbiditas DBD yang berfluktuatif ini juga berhubungan dengan pemahaman masyarakat terkait pencegahan DBD yang masih perlu ditingkatkan.

Upaya pencegahan dan pengendalian DBD mempunyai target penurunan jumlah kasus/IR dan angka kematian/CFR. Target nasional adalah IR DBD < 49 per 100.000 penduduk dan CFR<

1%. Di Indonesia ada 4 serotipe virus Dengue yang bersirkulasi, yaitu Den1, Den2, Den3, dan Den4. Data ini diperoleh dari hasil surveilans sentinel dengue di 6 rumah sakit yang tersebar di 6 provinsi: Sumatera Utara, Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTB, Sulawesi Utara, dan Maluku. Serotipe yang dominan di Indonesia adalah Den3 (50,08%), diikuti oleh Den1 (20,7%). Untuk situasi DBD pada tahun 2019 dilaporkan sebanyak 138.127 kasus dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 919 kematian (IR = 51,48 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,67 %). Saat ini (sampai dengan tanggal 19 Agustus 2020) 34 provinsi sudah terpapar DBD dan dari 514 Kab/Kota di seluruh Indonesia telah 470 Kab/Kota yang terjangkit penyakit DBD

(13)

13 Tabel. I.3 Trend Kasus, Kematian dan IR dan CFR DBD 5 tahun terakhir

NO Data Tahun

2015 2016 2017 2018 2019 2020

(sd Mg ke 34Th 2020) 1. Jumlah Penderita

DBD 129.650 204.171 68.407 65.602 138.127 81.382

2. IR DBD/ 100.000

pddk 50,75 78,85 26,10 24,73 51,48 30

3. Jumlah penderita

DBD yang meninggal 1.071 1.598 493 467 919 517

4. Case Fatality (CFR)

DBD 0,83 0,78 0,72 0,71 0,67 0,64

Gambar I.10 Situasi Kasus DBD Tahun 2020 (per 19 Agustus 2020) N Kasus 81.382

(14)

14 Gambar I.11. Situasi Kematian DBD Tahun 2020 (per 19 Agustus 2020)

Gambar I.12 Kasus DBD Tahun 2020 Per Provinsi (per 19 Agustus 2020)

Gambar I.13 Situasi Kasus Kematian DBD 2020 Per Provinsi (per 19 Agustus 2020) -

5,000 10,000 15,000

JABAR JATIM LAMPUNG N.T.B JATENG BANTEN SUMSEL J A M B I KALSEL BENGKULU SULUT SULTRA ACEH BABEL SULBAR PAPUA KALTARA

14,463 8,930 6,819 5,596 5,449 4,227 4,024 3,058 2,846 2,533 2,280 2,270 1,896 1,784 1,739 1,595 1,576 998 976 952 946 822 764 724 723 699 695 637 563 267 212 136 127 56

N Kasus 81.382

20 - 40 60 100 80 120 140

JABAR JATIM N.T.T. JATENG R I A U LAMPUNG BANTEN SULSEL B A L I KALTIM N.T.B J A M B I KALSEL SULUT SULTRA BENGKULU SULTENG GORONTALO MALUKU UTR KALTENG D.I YOGYA MALUKU KEPRI SUMSEL KALBAR SUMBAR SUMUT SULBAR BABEL KALTARA DKI JKT PAPUA ACEH PAPUA BARAT

121

58 58

4225 23 21 20 18 14 13 12 11 9 8 8 7 7 6 5 5 5 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 - - N Kematian 517

N Kematian 517

(15)

15 Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2020 sebanyak 81.382 kasus dengan jumlah kematian 517 orang (IR= 30 per 100.000 penduduk dan CFR= 0,64 %*update per tanggal 19 Agustus 2020). Angka kasus tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 14.463 dan kasus terendah di Provinsi Maluku sebanyak 56 kasus, sedangkan kematian retinggi di provinsis Jawa Barat sebanyak 121 kematian dan Tidak ada kematian di provinsi Papua barat.

Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit Chickungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara. Beberapa penyeba timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) demam chickungunya adalah:

a. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi

b. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan vektor nyamuk akibat sanitasi lingkungan yang kurang baik.

Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Sejak ditemukan pertama kali sampai dengan tahun 2019, telah 3 provinsi dan 1 kota serta 2 kabupaten di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan dan penyakit ini lebih sering terjadi di daerah sub urban seperti di pulau Jawa dan Kalimantan.

Japanese Encephalitis (JE) adalah infeksi virus JE dari genus Flavivirus yang menyerang susunan saraf pusat, menyebabkan radang otak dan dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup bahkan kematian. JE dikenal sebagai virus zoonotic emerging infectious diseases (VZEID) yang berpotensi menjadi episentrum dari suatu pandemi. Ditularkan melalui gigitan nyamuk terutama Culex tritaeniorhynchus dengan babi dan hewan besar lainnya serta burung yang hidup di rawa-rawa sebagai amplifying host.

JE pertama kali ditemukan pada sebuah wabah di Jepang pada tahun 1871 dan sejak itu menyebar ke negara-negara Asia. Saat ini melalui kegiatan Surveilans Sentinel, 8 Provinsi di Indonesia telah melaporkan insiden JE. Suatu study bahkan ada yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan Center of Origin dari virus JE yang menyebar di wilayah Asia. Di Indonesia virus JE pertama kali berhasil diisolasi oleh Van Pennen dan kawan-kawan dari nyamuk dan babi di daerah kapuk Jakarta Barat.

(16)

16 Tahun 1994-2004 Kemenkes mengadakan surosurvey di 14 provinsi di Indonesia. Tahun 2014 program Nasional pencegahan dan pengendalian JE dimulai di Indonesia bersamaan dengan dimulainya kegiatan Sistem Surveilans Sentinel JE. Pada tahun 2018 catch up campaign vaksinasi JE dilaksanakan di provinsi Bali untuk anak usia 9 bulan s/d < 15 tahun dengan cakupan 101,78% dan sejak itu diberlakukan sebagai vaksinasi program reguler untuk anak 10 bulan.

Sebagai kegiatan surveilans kasus JE, sejak tahun 2014 hingga saat ini kementerian kesehatan telah melaksanakan Surveilans Sentinel JE Berbasis Rumah Sakit di 11 Provinsi, 23 Kab/Kota dan 58 rumah sakit, provinsi tersebut, yaitu : Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, hampir seluruh wilayah di Indonesia kecuali provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, hasil pemeriksaan terhadap virus JE pada vektor dan hewan reservoir menunjukkan hasil positif. Melalui kegiatan Surveilans Sentinel JE tahun 2014 -2019 di 11 Provinsi, didapatkan hasil beberapa wilayah merupakan daerah endemis JE yang ditandai dengan munculnya kasus JE selama 3 tahun berturut-turut, yaitu di Provinsi Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan DI Yogyakarta Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Jawa Tengah merupakan wilayah sporadis sementara wilayah lain di Indonesia kecuali provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara

Gambar I.14. Kasus Tersangka Japanese Encephalitis (JE) tahun 2015 – 2019

0 10 20 30 40 50

Th 2015 Th 2016 Th 2017 Th 2018 Th 2019

40 43

6 6

10

Kasus Japanese Encephalitis (JE) Di Indonesia Tahun 2015 sd Tahun 2019

Sumber : Subdit Arbovirosis

(17)

17 Kasus tersangka JE tertinggi dilaporkan pada tahun 2015 sebanyak 40 dan tahun 2016 sebanyak 43. Pada Tahun 2017 sd 2019 terjadi penurunan kasus JE. Program JE belum menjadi Program Rutin di Indonesia. Data yang didapat berdasarkan dari hasil kegiatan Surveilans Sentinel JE. Surveilans berbasis laboratorium ini dilaksanakan di 11 provinsi yaitu Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi NTT, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi D I Yogjakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi NTB dan Provinsi Kepulauan Riau.

Tabel I.4 Tersangka JE tahun 2019 per Provinsi

Provinsi Positif IgM JE

Provinsi Bali 1

Provinsi Kalimantan Barat 9

Provinsi Sulawesi Utara 0

Provinsi Nusa Tenggara Timur 0

Provinsi DKI Jakarta 0

Provinsi Jawa Barat 0

Provinsi D I Yogjakarta 0

Provinsi Jawa Tengah 0

Provinsi Sumatera Utara 0

Provinsi Nusa Tenggara Barat 0

Provinsi Kepulauan Riau 0

Gambar I.15 Data Chikungunya di Indonesia pada Tahun 2015 – 2019

0 2,000 4,000 6,000

Th 2015 Th 2016 Th 2017 Th 2018 Th 2019

2,255

1,702

123 97

5,042

Kasus Chikungunya Di Indonesia Tahun 2015 sd Tahun 2019

Sumber : Subdit Arbovirosis

(18)

18 Kasus Demam Chikungunya mengalami penurunan kasus secara signifikan selama tahun 2017 – 2018. Pada tahun 2015 sebanyak 2.255 kasus dilaporkan. Tetapi mulai tahun 2016 – 2018 kasus demam Chikungunya mengalami penurunan yang sangat tajam dan pada tahun 2019 terjadi kenaikan kasus yang significant. Sebanyak 32 provinsi yang tersebar di 210 kab/kota melaporkan adanya kasus chikungunya Hal ini dikarenakan berjalannya sistem surveilans laporan kewaspadaan dini chikungunya. Sebanyak 5.042 kasus terlaporkan. Pada tahun 2019 terdapat 3 kabupaten dari 3 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Chikungunya yang dilaporkan melalui laporan W1 yaitu Kabupaten Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Pamekasan (Provinsi Jawa Timur), Kabupaten Kapuas (Provinsi Kalimantan Tengah). Hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya. Faktor penyebab meningkatnyanya kasus antara lain kondisi cuaca yang relative lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi dan periode musim hujan yang panjang. Kasus Chikungunya banyak yang tidak terlaporkan karena kurangnya pengenalan tanda dan gejala dari chikungunya itu sendiri.

Gambar I.16 Jumlah Kasus dan Kab/kota yang Terinfeksi Chikungunya di Indonesia Tahun 2001-2020

539 1,818 8,870

1,266 442 1,407 2,378 2,608 83,756

55,183

2,998 2,602 15,324

8,980

2,282 1,702 126 97 5,042

134

2 6

31

8 9 13

29 27

97 81

39 23

61 78

22 20

4 1

210

30 50 100 150 200 250

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Kasus

TAHUN

Kab/Kota terinfeksi chikungunya

(19)

19 Pada dekade 2001 sampai dengan 2020 jumlah kasus terbanyak terdapat pada tahun 2009 dimana terdapat sejumlah 83.756 kasus chikungunya.dan pada tahun 2019 terdapat 5042 kasus.

Saat ini terdapat 3 laboratorium pemeriksa JE di Indonesia, yaitu BBTKLPP Jakarta, BBTKLPP DI Yogyakarta dan BBTKLPP Surabaya. PBTDK Litbangkes sebagai Laboratorium Quality Control dari ke-3 BBTKLPP tersebut. PBDTK Litbangkes yang berlokasi di Jakarta merupakan jejaring laboratorium JE Regional WHO SEAR yang secara rutin mendapatkan review dari Laboratorium rujukan WHO SEAR di Bangalore, India.

3. Status Zoonosis di Indonesia

Rabies terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan sampai bulan Juli 2020, daerah tertular rabies adalah 26 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Saat ini hanya delapan (8) provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua dan Papua Barat. Penentuan suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan ditemukannya hasil positif pemeriksaan laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian Pertanian.

Pada Tahun 2019 terdapat 100.826 kasus Gigitan Hewan Pembawa Rabies (GHPR) dengan 105 kasus kematian karena Rabies.

Gambar I.17. Situasi Rabies Di Indonesia Tahun 2019

ACE H

SUM UT

SUM BARRIAUJAM

BI SUM

SEL BEN GKU LU

LAM PUN G

BAN TEN

JABA R

JATE NG DIY MAL

UKUBALI NTT NTB SUL UT

GOR ONT ALO

SULT ENG

SULT RA

SULS EL

SULB AR

KALS EL

KALT ENG

KALT IM

KALT ARA

KALB AR

MAL UT

GHPR 799 6830 3980 1982 993 1779 1573 1559 136 1563 254 56 1110 3737 1359 0 2919 639 3392 1009 6431 716 402 711 680 99 3952 306 VAR 555 5415 2353 1466 815 1611 1472 1507 110 944 89 0 835 1968 1181 0 1623 616 3250 1003 4559 675 346 486 584 58 3757 283

Lyssa 0 12 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 4 15 13 17 4 8 1 12 0 0 0 0 0 14 0

-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

(20)

20 Sejak Januari hingga akhir Juli 2020, dilaporkan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)sebanyak 24.745 kasus, yang diberi vaksin anti rabies sebanyak 14.263 kasus dengan jumlah kematian karena rabies sebanyak 12 kematian yang terdistribusi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Maluku. Kegiatan yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian karena kasus rabies adalah dengan melakukan tatalaksana kasus yaitu bila seseorang digigit Hewan Penular Rabies (HPR) harus segera dilakukan cuci luka dengan sabun/deterjen dan air mengalir selama 15 menit lalu beri antiseptik. Selain itu dilaksanakan pembuatan buku pedoman, penyediaan media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) berupa leaflet, poster, banner, komik elektronik, penayangan TV Spot, penyediaan Vaksin Anti Rabies dan Serum Anti Rabies sebagai buffer stock provinsi, penyediaan Refrigerator, melakukan pelatihan tatalaksana kasus GHPR, advokasi dalam rangka pengendalian rabies di daerah tertular baru, kerja sama lintas sektor (Tikor Rabies) dan lintas program. Kerjasama lintas sektor ini harus selalu dijalin untuk menurunkan kasus GHPR.

Upaya pengendalian rabies dilakukan dengan senantiasa melakukan koordinasi dengan pihak Kementan dalam hal ini dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat memerlukan koordinasi dengan Kemendagri melalui pemerintah daerah setempat dengan sasaran masyarakat risiko tinggi.

Pes merupakan salah satu penyakit yang jarang ditemukan namun dapat menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia. Provinsi yang pernah melaporkan terjadinya kasus pes pada manusia yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Barat. Pada keempat daerah fokus Pes ini dilakukan surveilans aktif dan pasif, yaitu pengamatan terhadap rodensia dan pinjal yang dilakukan secara rutin. Bila ditemukan kasus suspek segera diobati dan dilakukan pengamatan terhadap manusia & rodensia. Apabila di sekitar lokasi fokus pes terdapat gunung berapi yang aktif, maka dikeluarkan surat kewaspadaan terhadap Pes.

Dalam 3 tahun terakhir yang aktif melakukan pengamatan terhadap rodensia adalah provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2007 dilaporkan terdapat 82 kasus Pes pada manusia di Kabupaten Pasuruan, Jatim. Pada tahun tersebut kemudian dilaksanakan kegiatan surveilans rutin rodensia Pes di Provinsi Jabar, Jateng DIY dengan 1.214 spesimen yang diperiksa, ada 12 spesimen positif. Pada tahun 2011 Provinsi DI Yogyakarta melakukan survei Pes pada rodensia yang melibatkan kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngaglik, Ngemplak. Jumlah tikus yang ditangkap sebanyak 1.167 ekor dan yang diperiksa sebanyak 1.101 ekor.

(21)

21 Pelaksanaan Survei rodensia pada tahun 2014 dilakukan di Pasuruan Jatim dengan hasil penangkapan 626 ekor tikus (626 spesimen), 680 ekor pinjal (81 pool pinjal). Sehubungan dengan tidak tersedianya reagen Fraction 1 untuk pemeriksaan tersebut karena keterbatasan anggaran sehingga tidak ada hasil laboratoriumnya.

Direncanakan tahun 2016 untuk pembuatan Jukis Assesment Pes di empat provinsi (Jatim, Jateng, DIY, Jabar) selanjutnya akan dilakukan Assesment Pes di tahun 2017 di empat provinsi tersebut.

Penilaian eksternal juga telah dilakukan oleh WHO bersama CDC Fort Collins pada tanggal 7- 14 Januari 2019, dengan hasil bahwa saat ini Indonesia merupakan daerah Pes dengan risiko yang sangat rendah dan terlokalisir, namun tidak mengurangi kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB Pes melalui Sistim Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).

Antraks merupakan penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Mengingat penyakit ini berpotensi menimbulkan wabah maka penyakit ini menjadi salah satu program pengendalian penyakit yang menjadi perhatian Kementerian Kesehatan di Subdit Zoonosis.

Daerah endemis antraks pada hewan terdapat di Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT. Dalam 5 tahun terakhir (2009 – 2014) kasus antraks pada manusia ditemukan di Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan NTT. Adapun penularan pada manusia paling banyak disebabkan kontak dengan hewan mati akibat antraks yang mengakibatkan antraks tipe kulit yang dikenal dengan lesi Eschar. Kematian akibat antraks pada manusia biasanya disebabkan oleh penularan melalui saluran pencernaan yang menimbulkan akut abdomen, hematemesis dan melena.

Kasus antraks di Indonesia Tahun 2015 – 2019 sebanyak 171 kasus antraks, maka rata-rata kasus antraks selama 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 35 kasus antraks.

Kasus antraks di Tahun 2016 sebanyak 52 Kasus, Tahun 2017 sebanyak 63 kasus dan Tahun 2019 sebanyak 44 kasus ini lebih tinggi dari rata-rata kasus antraks selama 5 (lima) tahun terakhir. Hal ini disebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Gorontalo – Gorontalo, Kabupaten Pacitan - Jawa Timur dan Kabupaten Kulon Progo - DI Yogyakarta di Tahun 2016 dan Kabupaten Gunung Kidul – DI Yogyakarta di Tahun 2019 serta peningkatan kasus di Kabupaten Gorontalo - Gorontalo pada Tahun 2017.

Kegiatan yang dilakukan oleh Kemenkes dalam rangka pengendalian Antraks adalah penyusunan pedoman dan media penyuluhan, pelatihan, sosialisasi dan kegiatan surveilans rutin. Kegiatan dalam rangka kewaspadaan dini terutama dilakukan menjelang Idul Fitri dan

(22)

22 Idul Adha. Adanya kasus antraks baik pada hewan maupun pada manusia maka akan segera ditindaklanjuti upaya penanggulangan bersama dengan lintas sektor terkait. Kegiatan yang dilakukan adalah investigasi terpadu, tatalaksana kasus, penyuluhan, dan karantina wilayah.

Flu Burung merupakan penyakit yang mulai merebak di Indonesia sejak Juni 2005 sampai saat ini. Dalam upaya pengendalian Flu Burung diperlukan kerjasama lintas sektor yang baik antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan kementerian terkait lainnya, dimana saat ini sudah terjalin dengan baik. Penularan Flu Burung sampai saat ini masih berasal dari unggas ke manusia.

Sampai Juli 2020, kasus FB pada manusia ditemukan tersebar secara sporadik di 15 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Bengkulu dan NTB).

Tiga provinsi yang memiliki kasus terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.

Sejak Juni 2005 – Juli 2020 dilaporkan kasus konfirmasi sebanyak 200 dengan kematian 168 (Case Fatality Rate sebesar 84 %). Namun dalam 4 tahun terakhir ini (2017 – 2020) kasus FB pada manusia terlihat menurun. Kasus konfirmasi terakhir dilaporkan September 2017 di Kabupaten Klungkung – Bali sebanyak 1 kasus konfirmasi.

Kegiatan yang dilakukan sebagai upaya pengendalian flu burung antara lain: surveilans terintegrasi dalam bentuk Tim Gerak Cepat (TGC) antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian; penguatan koordinasi lintas program dan lintas sektor secara terintegrasi; sosialisasi pengendalian Flu Burungm diagnosa dini dan tatalaksana kasus lu Burung pada dokter puskesmas dan praktek swasta; pembuatan buku pedoman, leaflet, poster, banner sebagai media KIE; Model Harmonisasi Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza (H5N1 dan influenza lainnya) berbasis sentinel di Jakarta Timur; pertemuan para ahli Flu Burung untuk membahas perkembangan epidemiologi dan virologi FB pada manusia dan Avian Influenza (AI) pada hewan.

Dalam rangka pengendalian penyakit Flu Burung ini, Kementerian Kesehatan tetap harus terjalin bekerjasama yang baik dengan Kementerian Pertanian dan kementerian/lembaga terkait lainnya, salah satunya dengan pihak Kemendagri dalam menggali terus upaya pemberdayaan masyarakat

Leptospirosis adalah juga salah satu penyakit yang menjadi bagian tugas di Subdit Pengendalian Zoonosis. Leptospira merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia. Sumber infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung dengan urine hewan yang terinfeksi, adapun sumber penular

(23)

23 utama adalah tikus. Leptospirosis merupakan penyakit yang terlihat ringan namun bila terlambat penanganannya dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini biasanya akan meningkat pada musim banjir, namun di daerah persawahan penyakit ini juga dapat ditemukan.

Pada tahun 2015 - 2019 kasus Leptospirosis ditemukan di 9 (sembilan) propinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara dan Maluku dengan jumlah kasus leptospirosis yang dilaporkan sebanyak 3.989 kasus dengan 531 kematian (CFR 13,83%).

Tahun 2019 sebanyak 920 kasus dengan 122 orang meninggal yang dilaporkan berasal dari Propinsi 1) Banten 52 kasus, 19 orang meninggal, 2) DKI Jakarta 37 kasus, 0 orang meninggal, 3) Jawa Barat 32 kasus, 1 orang meninggal, 4) Jawa Tengah 458 Kasus, 67 orang Meninggal, 5) D.I. Yogyakarta 183 kasus, 8 orang meninggal, 6) Jawa Timur 147 Kasus, 23 orang meninggal, 7) Maluku 2 kasus, 1 orang meninggal, 8) Sulawesi Selatan 1 kasus, 0 orang meninggal, 9) Kalimantan Utara 8 kasus, 3 orang meninggal.

Gambar I. 18. Situasi Leptospirosis Di Indonesia Tahun 2019

Berdasarkan survey Leptospirosis pada rodent dari tahun 2018 diketahui bahwa terdapat 29 provinsi yang memberikan hasil positif Leptospirosis pada rodent, namun yang melaporkan kasus pada manusia baru 12 provinsi, diantaranya yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

(24)

24 Untuk menjaring kasus lebih banyak, kami telah mengembangkan Surveilans Sentinel Leptospirosis sejak Tahun 2017 di Kabupaten Tangerang dan Serang Provinsi Banten serta Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan serta Provinsi DKI Jakarta. Kemudian dilanjutkan di Kota Probolinggo Provinsi Jawa Timur.

Tahun 2021 akan diperluas pembenntukan Surveilans Sentinel Leptospirosis di Kabupaten Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah.

4. Status Filariasis dan Kecacingan di Indonesia

Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan melalui nyamuk. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu: Wucheria Bancrofti, Brugia Malayi dan Brugia Timori. Vektor penular di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Program eliminasi penyakit ini memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dengan menurunkan angka kecacatan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit tersebut.

Di dunia terdapat sekitar 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki Gajah di lebih dari 72 negara, 60% kasus berada di Asia Tenggara. Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak yang berisiko tinggi tertular penyakit kaki Gajah.

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan Global yang ditetapkan oleh WHO untuk mengeliminasi Filariasis. Upaya untuk memberantas Filariasis sebagai bagian dari eliminasi Filariasis global di Indonesia dilakukan melalui Dua pilar kegiatan yaitu:

1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis di daerah endemis sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis mandiri.

Berdasarkan hasil pemetaan daerah endemis di Indonesia diperoleh sebanyak 236 kabupaten/kota merupakan daerah endemis Filariasis sedangkan daerah non endemis sebanyak 278 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota se-Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian dari penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis sehingga berisiko tertular Filariasis.

(25)

25 Upaya percepatan eliminasi Filariasis ini dimulai dengan Pencanangan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) pada tanggal 1 Oktober 2015 oleh Menteri Kesehatan RI di Cibinong Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dilanjutkan pencanangan BELKAGA kedua tahun 2016 di Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah, BELKAGA ketiga di Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah, BELKAGA keempat di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat dan BELKAGA kelima di Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur. BELKAGA adalah bulan dimana setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah serentak minum obat pencegahan Filariasis. Dengan Pencanangan BELKAGA diharapkan seluruh kabupaten/kota endemis Filariasis melaksanakan POPM Filariasis.

Gambar I.20. Situasi Filariasis di Indonesia sd Bulan Juli 2020

Pada tahun 2019 dari 236 kabupaten/kota endemis Filariasis sebanyak 118 kabupaten/kota melaksanakan POPM Filariasis, dan sebanyak 118 kabupaten/kota berada pada tahap evaluasi penilaian Pre TAS, TAS 1, TAS 2, TAS 3 dan surveilans pasca POPM. Percepatan pencapaian eliminasi Filariasis masih menjadi tantangan saat ini, mengingat masih terdapat beberapa Kabupaten/Kota yang tidak berhasil mencapai cakupan pengobatan efektif serta ada yang gagal dalam evaluasi penilaian penularan Filariasis, sehingga memperpanjang putaran pengobatan Filariasis. Dalam rangka percepatan eliminasi filariasis, maka mulai tahun 2020 akan dilakukan pengobatan regimen IDA (Ivermectin, DEC, dan Albendazole) di beberapa Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria, yaitu Kabupaten Sumba Barat Daya, Kota Pekalongan dan Kabupaten Mamuju.

: POPM (Pemberian Obat Pencegahan Massal) : Pre-TAS (Transmission Assessment Survey) : TAS1 (Transmission Assessment Survey 1) : Tahap Surveilans Periode Stop POPM : Eliminasi (Lulus TAS 3)

(26)

26 Kecacatan seumur hidup yang disebabkan oleh Filariasis juga menimbulkan stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Di Indonesia berdasarkan hasil survei dan laporan daerah, hingga tahun 2019 terdapat 10.758 penderita kasus klinis kronis yang tersebar di 34 provinsi dengan penderita kasus kronis terbanyak yaitu Prov Papua, Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat. Angka ini terlihat menurun dari data tahun sebelumnya dikarenakan beberapa kasus meninggal dan adanya perubahan konfirmasi diagnosis kasus klinis kronis yang dilaporkan sebelumnya.

Upaya penemuan dan pelacakan kasus kronis Filariasis harus aktif dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih sehingga penderita dapat ditangani dan ditatalaksana dengan baik.

Gambar I.21. Persebaran Kasus Kronis Filariasis di Indonesia sd Tahun 2019 Schistosomiasis (bilharziasis) atau penyakit demam keong adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing schistosoma (serkaria), cacing ini hidup dalam pembuluh darah vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing Schistosoma yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah adalah Cacing Schistosoma japonicum. Cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterica superior serta cabang-cabangnya. Di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah dan hanya di dua kabupaten, yaitu di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi), Napu dan Bada (Kabupaten Poso). Terdapat 28 desa endemis Schistosomiasis di Kabupaten Sigi dan Poso dengan rincian sebanyak 5 desa endemis di Kabupaten Sigi (Desa Anca, Tomado, Olu, Puroo, dan Langko) serta sebanyak 23 desa endemis di Kab. Poso (Desa Banyusari, Sedoa, Kaduwoa, Alitupu, Tamadue, Mekarsari, Maholo,

583 183

187 15

7 28

7 166 102 64

3 3

116 81

23 735 402

3 262

2 10 1540 245

52 20

319 11

20 193 82 50

5

55

39 27

1089

3615

(27)

27 Winowanga, Dodolo, Torire, Watutau, Wuasa, Wanga, Siliwanga, Betue, Kalemango, Watumaeta, Kageroa, Tomehipi, Lengkeka, Tuare, Koloni, Leleo).

Pada Tahun 2017 telah di luncurkan Peta Jalan (Roadmap) Eliminasi Schistosomiasis tahun 2018 - 2025 oleh Bappenas, Kementerian Kesehatan dan lintas Kementerian terkait yang berisikan strategi, tahapan pelaksanaan, penetapan sasaran dan target capaian, pemetaan program dan kegiatan lintas sektor, serta mekanisme pemantauan evaluasi untuk mengukur capaian. Selanjutnya, roadmap ini diharapkan dapat memandu dan menjadi acuan arah perencanaan program, kegiatan, dan anggaran dan evaluasi tahunan dari seluruh pemangku kepentingan terkait di tingkat pusat dan di tingkat daerah dalam menghasilkan sinergi upaya pengentasan Schistosomiasis di Indonesia yang didanai dari berbagai sumber pembiayaan baik APBN, APBD, dana transfer daerah (DAK) maupun dana desa. Serta pada tahun 2018 telah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No 19 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong.

Kementerian Kesehatan melaksanakan upaya Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Schistosomiasis pada penduduk diatas usia 5 tahun dengan obat Praziquantel sebanyak satu kali setiap tahun. Serta penguatan pemberdayaan masyarakat bersama dengan Pemerintah Daerah dalam upaya intervensi pengendalian schistosomiasis pada lingkungan sebagai salah satu upaya dalam memutus rantai penularan. Selain hal tersebut juga dilaksanakan kegiatan surveilans pada manusia didesa endemis.

Gambar I.22. Grafik Jumlah Cakupan POPM Schistosomiasis tahun 2014-2019

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Diobati 192 6,720 5,319 2,206 19,553 19,222

- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000

Jumlah Penduduk

(Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)

(28)

28 Gambar I.23. Grafik Prevalensi Schistosomiasis Pada Manusia di Kab. Sigi dan Poso

Tahun 2019

Berdasarkan Laporan hasil pemeriksaan feses manusia yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat bahwa prevalensi schistosomiasis pada manuasia mengalami fluktuasi baik di kabupaten Sigi maupun di Kabupaten Poso sepanjang tahun 2014- 2019. Pada Tahun 2019 prevalensi schitosomiasis pada manusia di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso terlihat menurun dibandingkan tahun 2018, yaitu menjadi 0,11% dan 0,05%.

Berdasarkan Permenkes No. 19/2018 tentang Penyelenggaraan Eradikasi Demam Keong dan Roadmap Eradikasi Demam Keong, target dalam pengendalian Schistosomiasis di Indonesia adalah tercapainya eliminasi tahun 2020 dengan angka prevalensi pada pada manusia 0%, pada keong 0% dan pada hewan perantara juga 0%.

Kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Secara global diperkirakan 230 juta anak umur 0 – 4 tahun terinfeksi dengan cacing. Di Indonesia, sampai 2013 survei pada anak Sekolah Dasar menunjukkan angka 0-85,9% (survei di 175 kabupaten/kota) dengan rata-rata prevalensi 28,12%.

Kecacingan menggambarkan masalah kesehatan masyarakat khususnya di daerah tropis dimana kondisi sanitasi masih belum memadai. Ada tiga jenis cacing yang umumnya menginfeksi anak-anak, khususnya usia prasekolah dan memberikan dampak yaitu: Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Ancylostoma duodenale (cacing tambang) dan Trichiuris trichiura (cacing cambuk). Cacingan secara umum mengakibatkan kerugian langsung oleh

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Kab. Sigi 1.61 0.7 0.93 0.36 0.48 0.05

Kab. Poso 0.82 1.39 0.55 0.84 0.35 0.11

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

PERSENTASE (%)

(Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah)

Referensi

Dokumen terkait

ke tabel data pemakain Tombol tambah yang memasukan data alkes [ √ ] diterima [ ] ditolak Klik “Tambah” Pemakaian alat medis bertambah otomatis Pemakaian alat

Hubungannya dengan penelitian ini, penulis telah menemukan dua buah tulisan yang berkaitan dengan masalah utang pewaris, yaitu skripsi penelitian yang ditulis oleh

Sementara itu Prabowo &amp; Heriyanto (2013) mengatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang

berpengaruh terhadap stres kerja, sesuai dengan hipotesis 3 (H3) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh terhadap stres kerja. Hasil penelitian sesuai

Tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa upaya yang dilakukan untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya didanai dari pendapatan dalam negeri saja tetapi salah satunya

i- Perkataan bahasa Inggeris yang digunakan itu tidak i- Perkataan bahasa Inggeris yang digunakan itu tidak pernah dipinjam/diserap ke dalam bahasa Melayu.. pernah dipinjam/diserap

 Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon → kolon pengabsorpsi  Kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti