• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau kira-kira spesies hewan adalah arthropoda. (Djakaria, Sungkar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau kira-kira spesies hewan adalah arthropoda. (Djakaria, Sungkar."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sediaan Entomologi

Entomologi adalah ilmu yang mempelajari tentang vektor, kelainan dan penyakit yang disebabkan oleh arthropoda. Delapan puluh lima persen atau kira-kira 600.000 spesies hewan adalah arthropoda. (Djakaria, Sungkar.

2008).

1. Pengertian sediaan

Pembuatan sediaan adalah tindakan atau proses pembuatan maupun penyiapan suatu menjadi media, spesimen patologi maupun anatomi yang siap dan diawetkan untuk penelitian dan pemeriksaan (W.A.New Dorland,2002 ).

Menurut Shofyatul Yumna Triyana pengertian sediaan adalah sampel spesimen yang diletakkan atau dioleskan dipermukaan gelas objek (object glass) atau slides, dengan atau tanpa pewarnaan, yang selanjutnya dapat diamati di bawah mikroskop. (Choyrot, 2009).

2. Macam-macam sediaan

Berdasarkan lama daya tahan, terdapat 3 jenis sediaan, yaitu:

sediaan sementara, sediaan semipermanen dan sedian permanen atau awetan. Jenis sediaan permanen parasitologi berdasarkan sampel yang digunakan dalam pembuatan sediaan permanen, juga dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:

5

(2)

a. Sediaan cacing

Sediaan cacing adalah sediaan yang sampelnya berupa telur cacing, maupun cacing dewasa yang didapat lewat muntahan atau feses.

b. Sediaan protozoa

Sediaan protozoa adalah sediaan yang menggunakan sampel berupa protozoa yang ditemukan dalam feses.

c. Sediaan entomologi

Sediaan entomologi adalah sediaan yang menggunakan sampel berupa kutu, insekta, dan lainnya.

d. Sediaan tropozoit

Sediaan tropozoit adalah sediaan yang menggunakan sampel darah yang dibuat apusan (darah tebal maupun darah tipis) untuk menemukan tropozoit, sizon, dan gametosit pada penyakit malaria.

(Pradiana, 2010).

3. Pembuatan sediaan permanen

Salah satu metode pembuatan sediaan permanen untuk langkah awal yaitu dengan pengambilan sampel yang dibutuhkan, kemudian memfiksirnya dengan larutan fiksasi yang sesuai. Berhubungan dengan tahap selanjutnya, organ atau organisme harus bebas dari air sehingga perlu dilakukan dehidrasi dengan alkohol secara bertingkat. Supaya nantinya organ atau organisme ini bisa diamati dengan baik, harus diusahakan agar organ atau organisme ini tembus cahaya, dan untuk ini biasanya digunakan xylol atau toluol. Dalam pembuatan sediaan

(3)

permenen bagian mounting juga tahap yang penting karena proses penutupan sampel ini akan membuat preparat dapat bertahan lama. Dan sediaan semacam ini dapat disimpan selama dua sampai lima tahun.(Pradina, 1986).

4. Macam-macam penyiapan spesimen

Menurut Davenport (1960) diacu dalam Gunarso (1989) penyiapan spesimen secara umum dilakukan dengan 4 cara, yaitu :

a. Penyiapan spesimen secara keseluruhan (whole mount);

b. Penyiapan spesimen dengan metode penyayatan (sectioning methods);

c. Penyiapan spesimen dengan metode remasan (teasing/squashing methods);

d. Penyiapan spesimen dengan metode ulasan (smear methods).

(ML Perceka, 2011)

Pembuatan sediaan permanen Pediculus humanus capitis ini menggunakan metode whole mount. Dalam pembuatan metode ini dipersiapkan sediaan yang terdiri atas keseluruhan organisme (baik hewan maupun tumbuhan) secara utuh. Melalui metode ini diupayakan agar mendapat bentuk aslinya dengan mempertahankan strukturnya.

Gambar yang dihasilkan oleh sediaan whole mount ini terlihat dalam wujud utuhnya seperti ketika organisme tersebut masih hidup sehingga pengamatan yang dapat dilakukan hanya terbatas terhadap morfologi secara umum saja.

(4)

Dalam pembuatan sediaan whole mount ini, yang menjadi pembatas adalah faktor ukuran, ketebalan, serta tingkat transparansi sediaan yang kita buat tersebut berkaitan dengan faktor pembesaran pengamatan melalui mikroskop nantinya.

Kelebihan metode ini adalah dapat mengamati seluruh bagian spesimen dengan jelas tiap bagian-bagiannya. Sedangkan kelemahannya adalah metode ini hanya bisa dilakukan pada spesimen dengan ukuran yang kecil saja tidak bisa spesimen yang besar.(Gunarso, 1989).

5. Teknik pembuatan sediaan permanen serangga a. Penipisan

Proses penipisan yaitu serangga dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% selama 10 jam yang bertujuan untuk untuk menipiskan lapisan eksoskeleton serangga.

b. Dehidrasi

Istilah dehidrasi disini, berarti penarikan molekul air dari dalam jaringan. Proses ini sangat penting terutama dalam pembuatan sediaan permanen..

c. Clearing

Clearing berasal dari kata clear yang berarti terang, jelas atau jernih.

Disebut clearing, karena bahan kimia yang digunakan berfungsi untuk dalam proses ini kebanyakan membuat jaringan menjadi jernih dan transparan. Pada pembuatan sediaan irisan jaringan dengan metode parafin, proses ini merupakan perantara antara proses dehidrasi dan

(5)

proses penanaman. Tetapi juga sangat penting untuk pembuatan sediaan-sediaan utuh (whole mount) (S. Handari Suntoro, 1983 ).

d. Mounting

Mounting merupakan perekatan jaringan pada kaca penutup dengan mempergunakan bahan perekat (adhesive). Proses mounting ini menggunakan mounting media. Mounting media merupakan zat yang mengisi antara sediaan dengan kaca penutup. Zat yang dapat digunakan sebagai mounting diantaranya gliserol dan balsam kanada, tetapi untuk preparat permanen digunakan balsam kanada.(ML Perceka, 2011).

6. Sumber kesalahan

Faktor kesalahan dalam pembuatan sediaan permanen ini adalah salah saat pengambilan sampel dalam pembuatan sediaan utuh Pediculus humanus capitis, pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil Pediculus humanus capitis dari rambut langsung menggunakan tangan, sehingga tubuh Pediculus humanus capitis akan rusak karena jepitan jari.

Kesalahan yang kedua yaitu melakukan pemeriksaan dengan teknik yang tidak tepat, proses mounting menjadi penting dalam pembuatan sediaan permanen karena jika tidak tepat dalam pemberian balsam kanada dan penutupan sediaan menggunakan kaca penutup, akan terjadi gelembung udara yang dapat mengganggu pemeriksaan. Eksoskeleton serangga antara yang muda dan yang tua memiliki ketebalan yang berbeda,

(6)

sehingga untuk pemeriksaan eksoskleton dalam pemilihan sampel harus memperhatikan ukuran badan serangga. (Depkes, 1995).

B. Pediculus humanus capitis 1. Morfologi

Pediculus humanus capitis dari genus Pediculus, famili Pediculidae, subordo Anoplura, kelas insekta dan filum arthropoda.

Bentuk Pediculus humanus capitis lonjong, pipih dorsoventral, berukuran 1,0 – 1,5 mm, berwarna putih kelabu. Kepala Pediculus humanus capitis berbentuk segitiga yang mempunyai sepasang mata sederhana di sebelah lateral, sepasang antena pendek yang terdiri dari 5 ruas dan mulut berbentuk tusuk hisap yang disebut probosis. Toraks tersusun dari kitin yang tiap ruasnya telah bersatu mempunyai sepasang kaki kuat yang terdiri dari 5 ruas dan berakhir sebagai satu sapit menyerupai kait yang berhadapan dengan tonjolan tibia untuk berpegangan erat pada rambut atau

Gb 1.1 Morfologi Pediculus humanus capitis

(7)

bulu. Dan abdomen yang terdiri dari 9 ruas, pada ruas terakhir pada betina mempunyai lubang kelamin di tengah bagian dorsal dan dua tonjolan genital di bagian lateral yang memegang rambut selama meletakkan telur.(Harold W, 1982).

Arthropoda memiliki dinding tubuh yang disebut eksoskeleton (kerangka luar), eksoskeleton tersusun atas tiga lapisan meliputi lapisan pelindung yang waterproof, epikutikula tempat disintesisnya protein dan prokutikula yang merupakan tempat disintesisnya kitin.(Mahagiani, 2008).

2. Eksoskeleton

Pediculus humanus capitis dari filum arthropoda yaitu mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), eksoskeleton adalah deposit pembungkus yang keras pada permukaan tubuh seekor hewan. Pada arthropoda eksoskeletonnya adalah kutikula, merupakan pembungkus tak hidup yang disekresikan oleh sel-sel epidermis. Eksoskeletonnya memliki sendi.

Kutikula disusun oleh kitin. Kutikula dikeraskan oleh senyawa organik yang mengikat silang protein eksoskeleton agar dapat memberi perlindungan. Eksoskeleton pada arthropoda secara periodik dilepaskan (ganti kulit) dan digantikan dengan pembungkus yang lebih besar sesuai pertumbuhan hewan tersebut.(Saefudin, 2012).

Telah diketahui sebelumnya bahwa 80% komponen eksoskeleton arthropoda tersusun atas senyawa kitin. Kitin merupakan komponen kedua terbesar di bumi setelah selulosa. Kitin (poli-N-asetil-glukosamin) adalah senyawa amino polisakarida berbentuk polimer gabungan. Kitin biasanya

(8)

banyak ditemukan dalam keadaan bergabung dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Kitin bersifat tidak larut dalam air atau pelarut organik biasa.(Damanik, Aryadi, 2011).

Degradasi kitin dapat secara biologis yaitu didegradasi oleh serangganya sendiri dengan pergantian kulit atau molting, dapat juga secara fermentasi dengan bantuan mikroba penghasil enzim kitinolitik yang dapat mendegradasi kitin dan dengan cara deproteinisasi, menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3, NaHCO3, KOH, Na2SO4, Na2S, Na3PO4 dan NaOH yang lebih banyak digunakan. Perlakuan dengan larutan basa kuat dengan berbagai variasi waktu perendaman. Jika kitin dibiarkan lama di dalam pelarut alkali, kitin hanya sebagian yang mengambang dan tidak larut.(Noviary, Hary, 2011).

Pertumbuhan arthropoda dipengaruhi hormon juvenile yang dikeluarkan oleh kelenjar korpora alata. Kadar hormon juvenile paling tinggi pada nimfa, selanjutnya akan berkurang sesuai dengan bertambahnya umur. Berkurangnya hormon juvenile merupakan petanda bagi kelenjar protorak untuk mengeluarkan hormon ekdison yang berfungsi untuk merangsang pengelupasan kulit atau eksoskeleton.

(Djakaria, Sungkar, 2008).

(9)

C. Kalium Hidroksida

KOH atau Kalium hidroksida adalah larutan tidak berwarna dan tidak berbau. Larutan ini termasuk dalam basa kuat, merupakan senyawa elektrolit kuat. Di dalam air senyawa ini menghasilkan ion OH‾ secara sempurna, yaitu seluruh molekul basa membentuk ion.(Sutresna, 2007).

Larutan basa kuat dapat digunakan dalam proses deproteinasi.

Deproteinasi adalah proses penghilangan kadar protein pada suatu bahan.

Ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino pada molekul protein akan diputus dalam proses ini dengan reaksi hidrolisis. Dalam proses hidrolisis ikatan peptida, protein akan dipecah menjadi molekul asam amino yang lebih sederhana. Kalium hidroksida dapat digunakan dalam proses penipisan eksoskeleton pada serangga, karena penyusun eksoskeleton serangga adalah kitin yang berikatan dengan protein. Dan dengan proses deproteinasi ini akan memecah ikatan peptida pada molekul protein tersebut.

Kitin memang tidak larut dalam air ataupun basa namun karena pecahnya ikatan peptida dalam protein ini akan membuat eksoskeleton serangga menipis.(Fatihiyah, 2008).

(10)

D. Kerangka Teori

E. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Ada hubungan kualitas sediaan permanen Pediculus humanus capitis dengan variasi waktu perendaman dalam KOH 10%.

Kualitas sediaan permanen Pediculus

humanus capitis Waktu perendaman

dalam KOH 10%

Kualitas Sediaan Permanen Pediculus

humanus capitis

Waktu Perendaman Dalam KOH 10%

Penipisan Eksoskeleton

Metode Pembuatan Sediaan Jenis Sampel

Referensi

Dokumen terkait

Form data rute berfungsi untuk penambahan rute selain itu juga form ini berguna untuk pengeeditan data rute yang dilalui dan penghapusan data rute pada Bali Prima Cirebon. Gambar

Dengan melihat adanya beberapa permasalahan di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian tentang “Analisis dan Perancangan Sistem Aplikasi Pengolahan Nilai Raport pada

Kecerdasaan spiritual yang akan menyelaraskan antara kecerdasaan intelektual dan kecerdasan emosional yang akan berpengaruh terhadap suatu perilaku etis karena kecerdasaan

Bagaimana pendapat saudara mengenai kesempatan menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan pekerjaan di perusahaan

Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah (LASTON BAWAH) adalah pada umumnya merupakan lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar jalan yang terdiri dari

Hasil tangkapan yang menjadi tujuan utama penangkapan oleh nelayan di Kabupaten Kupang adalah ikan kakap dan ikan kerapu dari ketiga alat tangkap tersebut berbeda dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan Jati Bali, pola pengaturannya tidak mengikuti sepenuhnya dari konsepsi arah orientasi ruang , perletakan bangunan

Secara mendalam, fokus penelitian ini memberikan gambaran bahwa permasalahan pokok yang perlu diteliti adalah : Bagaimanakah Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Melalui