• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN. Agenda kegiatan 1. Melakukan profiling dan pemetaan peternakan babi di Desa Mertiguna, Kec. Sintang, Kab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN. Agenda kegiatan 1. Melakukan profiling dan pemetaan peternakan babi di Desa Mertiguna, Kec. Sintang, Kab"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN

Pelaksana : Dr. drh. Nuryani Zainuddin, M.Si Lokasi Kegiatan : Kab. Sintang dan Kab. Melawi

Kegiatan : Kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Penyakit pada babi di Prov Kalimantan Barat

Waktu Pelaksanaan : 21-22 Oktober 2021

Agenda kegiatan

1. Melakukan profiling dan pemetaan peternakan babi di Desa Mertiguna, Kec. Sintang, Kab Sintang.

2. Melakukan koordinasi dan diskusi dengan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalbar, BVet Banjarbaru dan Dinas Peternakan Kab Sintang di kantor Bupati Sintang.

3. Melakukan sosialisasi dan koordinasi bantuan logistik berupa obat-obatan, desinfektan, serum convalesen ASF, apd, spanduk, poster, leaflet yang diserahkan secara simbolis oleh Dirjen PKH dan disaksikan oleh anggota DPR Komisi 4 yang membidangi sektor pertanian

Tujuan kegiatan

1. Melakukan monitoring dan evaluasi kinerja pengendalian dan pencegahan kejadian PHM 2. Mengidentifikasi dan memetakan permasalahan dan kendala dalam pengendalian dan

pencegahan kejadian PHM

3. Melakukan pembinaan, pendampingan dan bimbingan teknis dalam pengendalian dan pencegahan kejadian PHM

4. Melakukan koleksi data dan informasi kasus dan mengidentifikasi temuan-temuan di lapangan terkait kejadian PHM

5. Melakukan advokasi kepada pemangku kepentingan terkait dan sosialisasi kepada masyarakat

Grafik

Hasil Kegiatan

Kronologi laporan awal kasus (index case) yang dapat diduga sebagai onset infeksi dengan ID kasus iSIKHNAS 27431055 jika mengikuti pola distribusi sebaran dari areal utara (sabah)

143 (97,28%) 4

(2,72%)

Kapuas Hulu Sintang

6 (4,08%)

96 (65,31%) 41

(27,89%) 4 (2,72%)

Putussibau Utara Seberuang

Semitau Sintang

(2)

menuju selatan beriepisentrum di desa Yagung, kec krayan kab nunukan kaltara pada tanggal 7 juni 2021. Kemudian terpetakan 10 titik lokasi sumber kasus dengan kejadian terakhir terkonfirmasi secara diagnosis definitif di desa punan gong sulok, kec malinau selatan, kab malinau kaltara pada tanggal 18 juni 2021. Sedangkan kejadian ASF di kaltim memberi pemahaman ekstrapolasi dan kesimpulan yang berbeda karena laporan awal kasus dengan ID kasus 27323781 berlokasi di desa maluang kec gunung tabur kab berau kaltim pada tanggal 22 mei 2021 artinya ± 14 hari lebih awal dari kejadian ASF di kaltara yang perlu dianalisis secara epidemiologi dan dinvestigasi lebih lanjut. Distribusi insidensi kasus meluas ke 5 desa 4 kecamatan dan 3 kabupaten di kaltim sampai dengan kasus terdiagnosis definitif pada tanggal 13 oktober di desa miau baru kec kombeng kab kutai timur kaltim. Perluasan kejadian berikutnya ke provinsi Kalbar dengan ID kasus 28462042 di lokasi desa merti guna kec sintang kab sintang Kalbar. Berdasar laporan sindrom prioritas iSIKHNAS proporsi tertinggi kejadian/kasus di kab hulu (97,28%).

Kasus ASF di kalbar telah terdistribusi di 2 kab 4 kec dan 9 desa.

Diskusi

Secara epidemiologi wabah ASF di Kalbar merupakan turunan dari insidensi ASF di pulau Kalimantan yang berawal di sabah (index case) kemudian meluas menuju ke wilayah selatan kaltara kaltim kalteng dan kalbar. Spesies tertular awal dari babi liar yang menular ke babi domestic. Kejadian penyakit ini telah mengakibatkan kematian pada babi liar dan ternak babi dalam skala puluhan ekor dalam tempo singkat. Menurut direktorat Kesehatan hewan (2020), hewan yang peka terhadap penyakit ASF adalah ternak babi dan babi liar (tidak terpengaruh pada umur dan jenis kelamin). Seluruh babi liar afrika rentan terhadap penyakit ini namun tidak menunjukan gejala klinis dan dianggap sebagai reservoir penyakit ini. Babi liar eropa (Sus scrofa) juga terbukti rentan terhadap penyakit ini dengan tingkat fatalitas yang sama dengan babi domestik. Selain itu babi lair di amerika selatan dan karibia juga mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap penyakit ini namun manusia tidak rentan terhadap penyakit ini. penyakit ASF sangat sulit untuk dikendalikan karena sifat virus ASF yang sangat tahan terhadap lingkungan.

Virus ASF dapat bertahan selama beberapa hari di dalam feses dapat bertahan beberapa bulan di

kendang yang terkontaminasi dapat bertahan sampai 18 bulan di dalam darah dapat bertahan

selama 140 hari di dalam produk olahan babi dan dapat bertahan di dalam karkas selama bertahun

tahun. Berdasar laporan dari dinas provinsi fungsi Kesehatan hewan diduga penularan melalui

pemberian pakan sisa (swill feeding) yang mengandung daging babi liar dari hutan sebagai kasus

awal kematian babi di pulau Kalimantan. Factor transmisi tidak langsung kemudian meluas

melalui penularan kontak langsung dalam populasi babi skala kecil milik peternakan rakyat

ditambah lagi dengan pola pemeliharaan babi masih dilepas (tidak dikandangkan). Dapat pula

penularan melalui perdagangan babi dan produk babi. Sedangkan penularan melalui vector caplak

belum ditemukan sampai saat ini. Virus ASF dapat menular secara langsung maupun tidak

langsung terutama melalui peralatan atau alat yang terkontaminasi. Melalui hewan hidup dan

produknya, kontak langsung dengan hewan yang membawa virus dan dapat ditularkan melalui

semen. Kemudian penularan bisa melalui kontak tidak langsung dengan sekresi dan ekskresi (feses

dan urine) babi terinfeksi atau produknya. Selain itu juga dapat menular melalui vector caplak,

pakan, kendaraan. Virus ASF memiliki 4 silkus penularan yaitu siklus silvatik pada celeng/babi

(3)

liar dan caplak, siklus caplak-babi pada caplak dan babi domestic, siklus pada babi domestic dan produk babi serta siklus domestic-silvatik, penularan dari daging babi domestic ke babi liar.

Informasi dan hasil pengamatan menunjukan kemungkinan siklus ASF yang bersirkulasi di Kalimantan adalah pola siklus silvatik dan domestic karena melibatkan babi liar, babi domestic dan produk babi. Kondisi peternakan babi yang hampir sebagian besar (85-95%) masih bersifat konvensional dengan keadaan biosekuriti yang minim menyebabkan upaya pencegahan dan lokalisasi penyakit menjadi menjadi jauh lebih berat dan kompleks. Hal ini mempertegas pentingnya pencegahan penyakit ini untuk tidak masuk ke wilayah Indonesia. Salah satu sifat virus ASF yang sulit dikendalikan adalah ketahanan virus ASF pada berbagai media seperti daging beku (sangat tinggi), daging babi chilled babi liar, babi domestic, lemak kulit (tinggi), daging babi asap, asin, terfermentasi, kering bumbu/tanpa bumbu, daging babi asin, dan kering, kendaraan pengangkut hewan terkontaminasi di bagian luar, pakan ternak, litter dan fomites (sedang). Virus ASF memiliki daya tahan tetap hidup dalam waktu lama dalam darah, kotoran dan jaringan terutama produk babi yang tidak dimasak atau kurang matang yang terinfeksi. Bahan/zat aktif yang dapat menginaktifasi virus ASF adalah kresol (kresol adalah senyawa organic yang merupakan methylphenol, NaOH 2%, formalin 1%, sodium carbonate 4% (anhidrat) dan 10% (kristal), iodofor, asam fosfor, deterjen non-ionik, pelarut lemak termasuk kloroform. Hasil monitoring profiling peternakan babi di kalbar menunjukan dominan cara dilepas sehingga babi dapat bermutasi dalam radius pendek dan Panjang. Hal ini mengakibatkan sangat berisiko/rentan tertular penyakit kususnya ASF. Kondisi ini diperparah dengan praktik pemberian pakan sisa (swill feed) mengandung produk babi terduga sakit/terinfeksi virus ASF tanpa memperhatikan kandungan nutrisi dengan komposisi seimbang dan berkualitas. Pola beternak seperti ini sangat berisiko tertular ASF karena virus ASF dapat masuk tumbuh berkembang dan keluar areal peternakan dengan bebas tanpa control yang cukup.

Sebagian besar (>90%) peternakan babi di Indonesia termasuk dalam kategori peternakan babi rakyat atau skala kecil dengan kisaran populasi rata-rata 10 ekor. Pada beberapa peternakan babi rakyat tersebut, ternak babi dilepasliarkan sehingga memiliki akses ke sumber pakan apa saja yang tersedia di lingkungan seperti sampah. Sebagian peternakan telah memiliki pagar atau kendang semipermanent namun sumber pakan masih mengandalkan sisa-sisa makanan (swill).

Kondisi ini meningkatkan risiko penularan ASF melalui kontak dengan babi dari luar dan sumber paka sisa (swill) dan menjadi tantangan untuk mengembangkan biosekuritinya. Tidak mudah merubah praktek ini, karena salah satu alas an utama peternak bertahan adalah murahnya beternak dengan cara ini. Selanjutnya dengan mengikuti tiga tahap analisis risiko yaitu identifikasi, penilaian dan manajemen risiko rnacana biosekuriti dapat dikembangkan bersama-sama oleh petugas dan peternak. Setelah ditentukan factor risiko yang relevan untuk peterankan tersebut maka manajemen risiko dapat dilakukan dengan menggunakan tiga prinsip dalam implementasi biosekuriti yaitu segregasi, pembersihan dan desinfeksi. Secara umum factor risiko untuk peternakan kecil meliputi akses dengan babi liar/diliarkan, lalu lintas ternak babi dari luar, peternak atau keluarga peternak, pengunjung/tamu dan pakan. Biosekuriti adalah suatu paket manajemen dan fisik yang didesain untuk mengurangi risiko masuk dan menyebarnya penyakit hewan pada suatu populasi hewan. Tindakan ini merupakan cara utama untuk mencegah penularan ASF.

Penerapan yang ketat dapat menurunkan risiko masuknya virus ASF.

(4)

Namun penerapan biosekuriti tidak hanya membutuhkan perbaikan infrastuktur secara fisik, seperti bangunan/pagar/fasilitas desinfeksi lainya, namun yang paling penting adalah perubahan pola pikir dan kebiasaan. Peruabhan pola piker ini harus diawali dengan cara memahami factor-faktor risiko penularan ASF dan yang unik di setiap wilayah atau peternakan.

Pada pedoman ini disajikan cara mengaplikasikan biosekuriti baik pada peternakan kecil, besar dan menengah secara efektif termasuk mengenai biosekuriti personal. Untuk dapat mengaplikasikan biosekuriti secara efektif dua hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah pemahaman petugas mengenai prinsip utama biosekuriti dan cara pengembangan biosekuriti dengan melibatkan peternak (partnership antara pemerintah dan peternak/pelaku usaha). Kata kunci berikutnya dalam sistem biosekuriti yang efektif dan sistematis adalah aspek keamananan hayati dari manusia yaitu biosekuriti personal. Biosekuriti dimaksud diperlukan oleh semua yang memiliki akses ke peternakan, terutama dokter hewan, karena harus dapat menunjukan contoh yang baik untuk diikuti oelh peternak atau personel lain. Biosekuriti personel dapat dilakukan antara lain dengan segregasi yaitu meninnggalkan barang-barang yang tidak berkaitan langsung dengan tugas pelayanan Kesehatan hewan pada kendaraan. Factor-faktor kritis terkait dengan sifat penyakit ASF adalah ASF tidak dapat dibedakan secara klinis dengan csf, lalu lintas hewan terinfeksi merupakan cara yang paling efektif dalam penyebaran penyakit, lalu lintas fomites terbukti dapat menyebarkan virus, virus ASF tidak dapat ditularkan dengan jarak jauh tanpa bantuan manusia, manifestasi ASF sangat bervariasi tergantung genotype virus yang menginfeksi.

Di Indonesia dan negara-negara asia dideteksi genotype II yang memiliki fatalitas kasus yang sangat tinggi. Vaksin dan obat tidak tersedia untuk penyakit ini. Virus ASF dapat bertahan sangat lama pada suhu ruang dan virus ini resisten terhadap beberapa desinfektan. Karena daya tahan virus yang sangat tinggi di lingkungan, restocking harus dilakukan setelah dipastikan virus sudah tidak ada dan harus dilakukan monitoring untuk mencegah potensi kemunculan virus kembali.

Pembersihan seluruh produk hewan dan bahan asal hewan (feses, darah dll) sangat esensial sebelum melakukan desinfeksi.status keberadaan vector biologis di Indonesia belum diketahui.

Factor-faktor kritis terkait dengan populasi rentan adalah hanya babi domestic dan babi hutan yang rentan terhadap ASF, populasi babi hutan dan babi domestic pada peternakan kecil tidak mudah untuk dipetakan lokasinya secara nasional. Peternak skala kecil sulit mengidentifikasi/melaporkan kasus/meminta bantuan tenaga Kesehatan hewan.

Keberhasilan pencegahan penyakit ASF sangat tergantung kepada kegiatan deteksi dini,

terutama sebelum penyakit menyebar luas. Program penyadaran masyarakat terhadap ASF serta

ancaman penyakit hewan ternak lain, termasuk peningkatan komunikasi antara petugas veteriner

dan peternak menjadi salah satu factor yang mempengaruhi keberhasilan deteksi dini terhadap

ASF. Factor lain yang menentukan adalah keahlian dan pengetahuan petugas lapangan tentang

penyakit ASF, keahlian petugas dalam pengambilan dan pengiriman sampel, kapasitas

laboratorium diagnostic terhadap ASF serta kapasitas sistem surveilans nasional. Pelaporan oleh

petugas lapang melalui iSIKHNAS menjadi factor kunci untuk tercapainya deteksi dini. Salah satu

factor yang sangat kritis untuk keberhasilan suatu program pemberantasan ASF adalah disposal

yang efektif dari semua bahan terkontaminasi

(5)

Kesimpulan

1. Tipologi peternakan babi masih bersifat konvensional dengan pola dilepas/liarkan

2. Dominan peternakan babi skala kecil dengan pendekatan dan proteksi biosekuriti yang minimum

3. Alur transmisi penyakit diduga dari babi liar yang telah tertular dari areal perbatasan 4. Tercatat 3 kabupaten terdampak kejadian kematian babi akibat ASF

5. Tingkat mortalitas tinggi dalam masa inkubasi singkat dan virulensi virus yang masif dan fatal menunjukan adanya wabah penyakit novel pada babi domestic

Rekomendasi

1. Perlu pemetaan dan profiling peternakan babi baik secara tipologi farm maupun skala usaha dan tingkat biosekuriti farm

2. Restrukturisasi zonasi usaha peternakan babi berbasis pendekatan biosekuriti dan skala populasi 3. Menyusun roadmap pengendalian ASF berdasar analisis risk dan pola biosekuriti yang

diterapkan

4. Melakukan pengendalian dan pembebasan ASF bertahap berbasis zona/kompartemen, pulau dan regional/wilayah administratif dengan batas epidemiologi

5. Mengingat sebagian masih ada populasi ternak babi yang berbatasan dan risk tinggi kontak dengan babi liar sebagai tahap/respon awal perlu infrastruktur dasar dan relokasi terbatas yang memastikan babi liar tidak bisa kontak dg babi domestik dan peningkatan pemahaman peternak tentang praktik prinsip biosekuriti termasuk risk factor penularan ASF

6. Perlu surveilan berbasis risk untuk memetakan dan mengidentifikasi areal tertular bebas dan

terancam yang memiliki pola intervensi/respon spesifik agar pengendalian dapat diterapkan

secara efektif dan mampu memitigasi risiko potensi bahaya yang muncul dari virus ASF ini

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling dimana sampel dari populasi dibagi kedalam dua kelompok yaitu (1) kelompok responden yang bergerak dalam

a) Kemampuan untuk menggunakan fitur dan aplikasi ponsel, kamera, video recorder dan player, perekam suara, pemutar musik, layanan multi-media, pengolah kata,

Penyelamatan jiwa manusia dari bahaya kebakaran di laut merupakan suatu pengetahuan praktis bagi pelaut sehubungan dengan cara bagaimana melakukan pencegahan dan pemadaman

Metode analisis statik ekivalen adalah suatu cara analisis statik tiga dimensi linier dengan meninjau beban-beban gempa statik ekivalen, sehubungan dengan sifat

[r]

Beberapa model yang dapat dirangkai pada trainer kit ini yaitu sistem direct online (DOL), starting forward-reverse, starting dua langkah dengan menggunakan tahanan, kontrol

Pada gambar 5.10 juga digambarkan data store yang digunakan dalam sistem untuk menyimpan data diantaranya : data store permintaan pengadaan bahan baku, data... store bahan baku,

(Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm.. Mereka diharuskan melakukan praktik berupa pengembangan tata kelola lembaga di beberapa lembaga pendidikan Islam. Berdasarkan uraian