6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Perancangan
Landa (2013), menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Graphic Design Solutions” bahwa Desain Grafis merupakan proses berkomunikasi secara visual yang bertujuan untuk menyampaikan suatu informasi dan memberikan pengaruh yang baik. Dalam desain grafis, baik secara pesan maupun informasi yang disampaikan akan diubah secara kreatif ke dalam bentuk visual (hlm. 2).
2.1.1. Elemen Desain
Landa (2010), menyatakan proses untuk mendapatkan desain yang baik diperlukannya informasi dasar terhadap elemen desain (hlm. 16). Dengan memahami dan menerapkan elemen dasar, maka akan menciptakan desain yang mudah dipahami dan informasi yang tersampaikan. Berikut merupakan elemen desain yang disampaikan oleh Landa:
a. Garis
Kumpulan beberapan titik yang ditemukan sehingga terciptanya sebuah pandangan terhadap garis, yang merupakan struktur penting dalam mendesain (hlm.16).
7
Gambar 2.1. Garis (Landa, 2010) b. Bentuk
Bentuk merupakan sebuah permukaan datar yang terbentuk dari dua sisi permukaan dan dilalui oleh garis panjang yang menjadi pembatas ruang (hlm.17).
Gambar 2.2. Bentuk Dasar (Landa, 2010) c. Gambar / Bidang
Gambar atau bidang adalah bentuk dari dua permukaan bidang dimana adanya dua dimensi ruang positif dan negatif yang terbentuk (hlm. 18).
8
Gambar 2.3. Contoh Figure / Ground (https://geometryarchitecture.wordpress.com/, 2017) d. Warna
Warna menjadi salah satu elemen desain yang mudah dilihat, karena adanya pantulan cahaya yang masuk dan menghasilkan suatu warna yang terlihat. Dalam elemen warna dibagi menjadi hue, value dan saturation (hlm. 19-20).
Gambar 2.4. Hue Color (https://color-wheel-artist.com/hue/, n.d.)
Samara (2007), Hue merupakan salah satu elemen warna yang memiliki identitas dasar warna primer yaitu merah, ungu, kuning tua, biru dan hijau. Saturation merupakan elemen warna yang kurang terlihat dan perlu adanya peningkatan kontras, sehingga membentuk warna dasar menjadi kuat dan bewarna.
9
Gambar 2.5. Saturation
(https://111426studio.wordpress.com/2015/11/30/the-role-of-colour-in-character-and-scene-design/, 2015)
Value merupakan tingkat kecerahan dalam warna. Pada elemen warna tingkat suatu kecerahan menghasilkan tingkatan warna terbagi secara terang dan gelap.
Gambar 2.6. Value
(https://111426studio.wordpress.com/2015/11/30/the-role-of-colour-in-character-and-scene-design/, 2015)
e. Tekstur
Tekstur merupakan bentuk yang dapat dirasakan maupun diraba. Secara visual, tekstur memiliki dua jenis yaitu tekstur secara nyata yang merupakan tekstur mudah untuk dirasakan maupun dilihat. Sedangkan untuk jenis visual tekstur yaitu visual dibentuk dengan bentuk tekstur yang diterapkan ke media lain untuk menciptakan sebuah ilusi (hlm. 23).
10
Gambar 2.7. Tekstur (Landa, 2010)
2.1.2. Prinsip Desain
Selain elemen desain, dibutuhkan prinsip desain dalam merancang sebuah desain agar dapat diterapkan dengan benar. Berikut merupakan prinsip desain menurut Lauer dan Pentak (2007) dalam bukunya yang berjudul Design Basics:
a. Kesatuan
Kesatuan memiliki tujuan sebagai penyatu dari berbagai elemen desain yang ada dan memberikan visual dan keharmonisan pada desain. Kesatuan memiliki berbagai bentuk jenis, yaitu kesatuan secara proximity, repetition dan continuation.
1. Proximity
Kesatuan yang dilakukan secara pendekatan, sehingga elemen yang ada akan melakukan pendekatan dengan elemen lainnya dan menghasilkan hubungan (hlm. 34).
11
Gambar 2.8. Proximity (Lauer dan Pentak, 2007) 2. Repetition
Kesatuan dengan cara pengulangan pada suatu elemen baik dalam bentuk, warna, dan sudut sehingga menghasilkan desain yang memiliki pengulangan (hlm. 36).
Gambar 2.9. Repetition
(https://www.invisionapp.com/design-defined/unity-principle-design/, n.d.) 3. Continuation
Kesatuan dengan cara kelanjutan yang akan melakukan penggabungan antara satu elemen dengan elemen lainnya untuk mendapatkan pendekatan dari berbagi bentuk elemen (hlm. 38).
12
Gambar 2.10. Continuation (Lauer dan Pentak, 2007) b. Tekanan
Penerapan tekanan ke dalam sebuah visual membutuhkan suatu titik fokus yang berada di tengah dan menjadikannya titik pusat dalam sebuah elemen karya desain (hlm. 56).
Gambar 2.11. Contoh Penekanan
(https://www.tes.com/lessons/z36PX_HxnO62PQ/newspaper-magazine-portrait-collage, n.d.)
c. Ukuran dan Proporsi
Ukuran dan proporsi memiliki pengertian yang sama dan mengarah kepada ukuran yang dikategorikan menjadi ukuran besar atau kecil, dan akan diterapkan kedalam objek yang sesuai dengan fungsinya (hlm. 72).
13
Gambar 2.12. Contoh Ukuran dan Proporsi
(https://www.sophia.org/tutorials/design-in-art-scale-and-proportion, n.d.)
d. Keseimbangan
Diperlukannya prinsip keseimbangan yang merata dalam penempatan suatu karya visual baik secara vertikal maupun secara horizontal, sehingga akan tercipta suatu keseimbangan. Keseimbangan terbagi menjadi keseimbangan simetris, asimetris dan radial.
Keseimbangan simetris memiliki bentuk yang sama dan dilakukan pengulangan dengan arah secara vertikal dengan posisi seperti cermin. Sehingga menghasilkan desain yang seimbang dengan bentuk sederhana.
Gambar 2.13. Contoh Keseimbangan Simetris
(https://www.smashingmagazine.com/2015/06/design-principles-compositional-balance-symmetry-asymmetry/, 2015)
Keseimbangan asimetris memiliki penempatan benda serta bentuk yang berbeda, tetapi menampilkan kesan keseimbangan baik secara vertikal, horizontal atau bentuk lainnya.
14
Gambar 2.14. Contoh Keseimbangan Asimetris
(https://www.smashingmagazine.com/2015/06/design-principles-compositional-balance-symmetry-asymmetry/, 2015)
Keseimbangan radial memiliki elemen berbentuk lingkaran dan memiliki titik pusat yang sama, yang membuat keseimbangan radial memiliki fokus yang terletak di pusat elemen.
Gambar 2.15. Contoh Keseimbangan Radial
(https://www.smashingmagazine.com/2015/06/design-principles-compositional-balance-symmetry-asymmetry/, 2015)
e. Irama
Irama menjadi dasar dalam pengulangan atau dikenal sebagai repetisi. Dalam mendesain penggunaan repetisi yang diterapkan pada suatu karya menjadikan elemen visual menarik dan unik (hlm. 114).
Gambar 2.16. Contoh Irama (https://hhsartdesignprinciples6.weebly.com/)
15 2.2. Environmental Graphic Design
Berkembangnya suatu pergerakan lingkungan secara luas, membutuhkan berbagai media informasi yang bertujuan untuk dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat agar dapat memahami informasi yang ingin disampaikan. Menurut Calori (2015), desain grafis lingkungan merupakan salah satu ilmu komunikasi grafis dalam lingkup ruangan.
2.3. Signage
Calori (2015), Signage dan wayfinding menjadi salah satu bagian dalam ilmu environmental graphic design yang dapat mengorientasi audience dalam bernavigasi disuatu tempat. Signage dan wayfinding merupakan kesatuan tanda baik secara informasi dan visual yang dapat mempersatukan lokasi. Perancangan signage yang baik dapat bermanfaat untuk memperkuat identitas suatu tempat.
Calori (2015), menyatakan fungsi utama yang dimiliki oleh signage adalah membantu pengunjung untuk menemukan arah tanpa harus bertanya kepada orang disekitar lingkungan tersebut. Dengan adanya keberadaan signage yang tepat dapat memberikan arah yang tepat kepada pengunjung (hlm. 6-7).
2.3.1. Kategori Signage
Menurut Gibson (2009), kategori signage terbagi menjadi empat jenis yang sesuai dengan fungsinya, yaitu (hlm. 46):
16 1. Identification Signs
Tanda penunjuk arah yang memberikan informasi mengenai nama dan tujuan suatu tempat maupun lokasi dan dapat membantu audience untuk mengetahui keberadaan pada suatu tempat.
Gambar 2.17. Contoh Identification Signs (Gibson, 2009)
2. Directional Signs
Directional signs merupakan tanda penunjuk arah untuk memberikan informasi yang dapat mengarahkan audience untuk mencapai suatu tempat yang akan dituju. Signage dengan jenis direksional terdapat penggunaan huruf untuk nama suatu tujuan, simbol dan panah yang dapat memberikan arah.
Gambar 2.18. Contoh Directional Signs (https://connectingsigns.com/tag/directional-signs/, 2020)
17 3. Orientation Signs
Tanda yang berfungsi untuk memberikan informasi mengenai gambaran denah suatu lingkungan maupun berbagai fasilitas yang dimiliki. Perancangan dalam orientasi sign harus dikoordinasikan dengan perancangan sign identitas lainnya yang berada di area tersebut, sehingga dapat mempermudah alur pergerakan pengunjung untuk menemukan dan mencari arah.
Gambar 2.19. Contoh Orientation Signs (https://uphietkamilah.com/kebun-raya-purwodadi/, 2018)
4. Regulatory Signs
Tanda yang memberikan informasi mengenai regulasi dan larangan yang berlaku di suatu tempat. Contoh tanda regulasi dapat berupa larangan untuk merokok atau larangan yang lebih kompleks dan seusai dengan aturan yang berlaku.
Gambar 2.20. Contoh Regulatory Signs (https://segd.org/national-mall-signage-and-wayfinding)
18 2.3.2. Symbol dan Arrow
Penggunaan berbagai tanda yang terdapat pada signage dapat mengkomunikasikan audience untuk mendapatkan sejumlah informasi. Tanda dalam signage lebih mudah dipahami dan memiliki peran untuk dapat mewakili suatu tempat. Menurut Calori (2015), simbol dalam signage dapat menggantikan posisi tulisan yang berfungsi untuk mengkomunikasikan suatu pesan. Penggunaan simbol bermanfaat untuk menghemat penggunaan ruang pada signage dan dapat memberikan informasi yang lebih jelas dan singkat (hal. 143).
Gambar 2.21. Contoh Simbol (Calori & Eynden, 2015)
Selain simbol penggunaan tanda panah selau digunakan pada signage karena sederhana dan mudah untuk dipahami. Calori & Eynden (2015) menyatakan, Tanda panah digunakan pada signage untuk menunjukan sebuah arah. Seperti contoh, jika arah yang ditunjuk adalah lurus maka panah yang akan digunakan adalah tanda panah lurus (hal. 144).
19
Gambar 2.22. Contoh Tanda Panah (Calori & Eynden, 2015) 2.3.3. Elemen Signage
2.3.3.1. Layout
Menurut Ambrose & Haris (2007), layout atau tata letak memiliki peran sebagai prinsip dasar dalam mendesain untuk menciptakan keseimbangan harmonis yang dapat diterapkan ke dalam berbagai media (hlm. 6).
Tata letak memiliki peran penting dalam tampilan signage. Penggunaan layout dapat mengekspresikan berbagai visual dan informasi dari suatu sign. Ukuran dan proporsi dari suatu pesan dan berbagai tanda dan simbol pada suatu signage memberikan pengaruh utama dalam jarak pandang audience terhadap signage. Menurut Calori & Eynden (2015), terdapat dua jenis layout yang proporsional:
• Side by Side Positioning, merupakan posisi layout dimana simbol dan arah panah diletakkan sejajar dengan tulisan.
Gambar 2.23. Posisi Side by Side (Calori & Eynden, 2015)
20
• Stacked Positioning, posisi layout dimana simbol dan arah panah diletakkan di atas tulisan.
Gambar 2.24. Posisi Stacked (Calori & Eynden, 2015)
Proporsi layout pada signage diperlukan untuk dapat menyesuaikan penyampaian suatu informasi. Penggunaan proporsi layout dapat disesuaikan dengan kondisi secara horizontal maupun secara vertikal dan dapat diterapkan ke dalam pemasangan signage pada bagian atas plafon, bagian dasar lantai atau tanah dan pada bagian tengah.
• Proporsi Penempatan Horizontal, penerapan elemen desain dalam signage dapat diatur dalam rata kiri, kanan dan tengah.
• Proporsi Penempatan Vertikal, penerapan elemen desain dapat diatur pada bagian atas, bawah dan tengah dari bentuk signage.
Gambar 2.25. Contoh Proporsi Layout Pada Signage (Calori & Eynden, 2015)
21 2.3.3.2. Tipografi Pada Signage
Menurut Calori & Eynden (2015), tipografi merupakan pokok utama yang ada dalam sebuah signage. Sebagian besar informasi dari suatu sign disampaikan dalam bentuk tulisan. Pemilihan dalam jenis tulisan sangat mempengaruhi dalam penyampaian suatu informasi dan keberhasilan sebuah signage. Menurut Ambrose & Harris (2011), ada dua jenis dasar tipografi, yaitu jenis sans serif dan serif. Jenis huruf serif merupakan jenis huruf yang memiliki garis silang kecil (hook) pada ujung huruf. Sedangkan jenis huruf sans serif merupakan jenis huruf yang tidak memiliki hook di ujung goresan huruf. Jenis tipografi serif atau dikenal sebagai tipografi yang terlihat tradisional pada umumnya sering digunakan karena lebih mudah dibaca, sedangkan jenis tipografi sans serif terlihat modern dikarenakan tidak adanya kait-kait diujung huruf.
Karakteristik dalam tipografi memiliki berbagai rangkaian yang perlu diperhatikan dan memiliki istilah sebutan yang berbeda. Menurut Ambrose & Harris (2011), berikut beberapa istilah anatomi pada typeface:
Gambar 2.26. Anatomi Type (Calori & Eynden, 2015)
22
• X-height, merupakan pengertian dari tinggi suatu huruf yang diukur dari garis dasar baris ke garis tengah. Biasanya jarak tersebut ditentukan dari tinggi x pada huruf kecil (hlm.45).
Gambar 2.27. X-height (Ambrose & Harris, 2011)
• Kerning, merupakan istilah adanya penambahan maupun pengurangan jarak pada ruang antar huruf untuk memberikan kenyamanan pengaturan membaca. Penggabungan huruf yang tidak diatur akan memberikan ketidaknyamanan bagi mata, maka dari itu penggunaan kerning dapat membantu tipografi terlihat nyaman untuk dibaca (hlm. 47).
Gambar 2.28. Kerning (Ambrose & Harris, 2011)
• Wordspacing, merupakan istilah dari pengaturan jarak antara huruf maupun jarak antara kata. Jarak antar kata bisa menjadi ‘dibuka’, yaitu memberikan pengaturan jarak yang lebih luas, tetapi jika jarak antar kata terlalu luas dan jauh maka kata-kata tersebut akan terlihat terputus (hlm. 47).
23
• Leading, merupakan istilah dari jarak antar baris teks dengan baris teks lainnya, buka jarak antar karakter huruf tersebut (hlm. 47).
Gambar 2.29. Leading (Ambrose & Harris, 2011)
• Baseline, istilah dari garis imajiner yang terbentuk dari susunan kata maupun huruf yang tersusun dalam satu baris (hlm. 47).
Gambar 2.30. Baseline (Ambrose & Harris, 2011)
• Uppercase & Lowercase, pengertian istilah uppercase merupakan huruf kapital atau huruf besar, sedangkan pengertian istilah dari lowercase adalah huruf kecil. Penggabungan antara penerapan upper & lower dapat digunakan secara bersama atau maupun secara terpisah yang dapat disesuaikan dengan pesan yang ingin disampaikan (hlm. 48).
Gambar 2.31. Uppercase & Lowercase (Ambrose & Harris, 2011)
24
Berikut merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk penerapan typeface pada signage, dengan salah satunya menggunakan typeface yang sudah tersedia.
a. Terdapat berbagai tipografi yang ada sudah jelas dan terbukti dapat mudah untuk dibaca.
b. Perancangan suatu signage merupakan bagian desain yang perlu untuk memperhatikan konsistensi ke dalam perancangannya, salah satunya penerapan penggunaan tipografi yang dapat mempertahankan konsistensi identitas signage.
c. Dalam penerapan tipografi pada sign dapat menjadi hal yang kompleks. Terutama jika merancang typefaces secara khusus dapat memakan proses waktu yang lama dan dapat memungkinkan typefaces tersebut tidak efektif dalam penerapan papan sign.
Kemudian tahapan selanjutnya terdapat pemilihan typefaces, terdapat 4 jenis pemilihan typefaces.
1. Formal Suitability
Jenis huruf yang dapat sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu untuk dapat menciptakan kesatuan. Terdapat dua jenis huruf yang digunakan dalam signage yaitu serif dan sans serif, keduanya memiliki ciri yang berbeda. Serif merupakan tipe huruf yang memiliki bentuk serif pada bagian ujung stroke suatu huruf, sedangkan sans serif
25
merupakan tipe huruf yang tidak memiliki bentuk serif pada bagian ujung stroke huruf (hlm. 129-130).
Gambar 2.32. Typefaces Serif dan Sans Serif (Calori & Eynden, 2015)
2. Stylistic Longevity
Tipografi yang memiliki berbagai jenis huruf yang dapat disesuaikan dengan berbagai faktor. Pemilihan jenis huruf menjadi hal yang penting dan dapat disesuaikan dalam penggunaan signage (hlm. 132-133).
Gambar 2.33. Contoh Tipografi Stylistic Longevity (Calori & Eynden, 2015)
26 3. Legibility
Keterbacaan pada suatu tulisan menjadi faktor penting dan berpengaruh dalam pemilihan huruf. Berikut beberapa kriteria dari keterbacaan tipografi, yaitu jelas dan mudah dibaca, memiliki x-heigt yang besar dan memiliki karakter ukuran yang sedang dan tidak terlalu lebar (hlm. 133).
Gambar 2.34. Karakterisitik Legibillity Dalam Tipografi (Calori & Eynden, 2015)
4. ADA/SAD Guidelines
Berdasarkan American with Disabilities, pemilihan tipografi harus disesuaikan dengan kebutuhan warga Amerika yang memiliki keterbatasan fisik. Hal tersebut juga diterapkan di Indonesia, dengan melakukan pemilihan tipografi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan (hlm. 134).
27
Gambar 2.35. Contoh Tipografi ADA/SAD Guidelines (Calori & Eynden, 2015)
2.3.3.3. Hirarki Pada Signage
Dalam signage tidak semua informasi yang terdapat dari sebuah sign memiliki ketingkatan yang sama. Menurut Calori (2015), beberapa pesan utama dalam sebuah lokasi memiliki hierarki yang lebih tinggi. Terdapat dua alasan dasar penggunaan hierarki dalam sebuah signage, yaitu dapat meningkatkan tingkat keberhasilan komunikasi dalam menyampaikan suatu informasi dan menghemat pemakaian ruang dalam sebuah sign.
Hirarki informasi pada suatu signage dibedakan menjadi informasi secara primer, sekunder maupun tersier yang disesuaikan dengan kepentingan informasi. Informasi primer akan diutamakan dan ditampilkan lebih besar pada urutan paling atas dibandingkan dengan informasi sekunder maupun tersier. Tujuan dari hierarki pada suatu signage meningkatkan efektivitas untuk menyampaikan sejumlah informasi yang dapat menghemat pemakaian ruang pada panel sign. Signage yang tepat
28
dan efektif dapat menempatkan elemen informasi utama lebih dahulu kemudian diikuti dengan informasi sekunder lainnya (hlm. 98-100).
2.3.3.4. Warna Pada Signage
Warna memberikan elemen penting dalam signage. Menurut Calori (2015), peran warna dalam signage dapat memberikan suatu tanda pada sign. Peranan warna pada signage yaitu, memberikan identitas sign pada suatu tempat dan penggunaan warna pada sign dapat membedakan suatu lokasi satu dengan lainnya (hlm. 157).
Shein (2012), menjelaskan penerapan warna ke dalam suatu bidang desain sangat penting untuk dipertimbangkan, terutama penerapan warna dalam bidang yang memiliki pencahayaan ruang baik secara indoor maupun outdoor (hlm. 10).
Terdapat beberapa komposisi warna yang dapat diterapkan dalam berbagai media desain.
1. Warm and Cool Colors
Warna hangat memiliki dominasi warna dasar secara kemerahan dan memberikan efek aktif, sedangkan warna dingin memiliki dominasi warna dasar kebiruan yang memberikan efek tenang (hlm. 95).
29
Gambar 2.36. Denver Zoo Signage
(https://www.studiotectonic.com/projects/toyota-elephant-passage/, n.d.)
2. Bright Colors
Warna cerah memberikan kesan yang tepat dan dapat menarik perhatian bagi audience yang melihatnya. Namun penggunaan warna cerah yang terlalu banyak dapat mengurangi informasi yang dapat diterima oleh audience (hlm. 98).
Gambar 2.37. Contoh Penerapan Bright Colors Pada Signage (https://aestheticsofjoy.com/2012/07/29/color-around-every-corner/, 2012)
30 3. Pale Colors
Warna yang memiliki persentase yang cukup tinggi pada warna putih, dan dikenal sebagai warna pastel. Penggunaan warna pastel memiliki keterkaitan dengan budaya tertentu dan memberikan kesan feminim dan kekanakan (hlm. 99).
Gambar 2.38. Contoh Penerapan Pale Colors Pada Sign (https://kamastudio.ru/page/Perm_Perinatal_Center/, 2012)
4. Light Colors
Warna terang memiliki kesan yang tepat untuk dapat digunakan sebagai warna pada latar belakang suatu objek (hlm. 96).
Gambar 2.39. University of Pensylvenia (Calori & Eynden, 2015)
31 5. Dark Colors
Penggunaan warna gelap yang didominasi dengan warna hitam dapat memberikan kesan pada suasana hati dan memberikan efek dramatis (hlm. 97).
Gambar 2.40. Seattle Nordic Museum
(https://www.creativereview.co.uk/seattles-nordic-museum-rebrands-to-reflect-contemporary-culture/, 2018)
6. Hot Colors
Warna panas didominasi dengan warna hangat dan cerah seperti merah dan oranye. Penggunaan warna panas pada suatu objek dapat memberikan suatu pernyataan penting yang dapat berupa perhatian dan larangan (hlm. 100).
Gambar 2.41. ADA Signs
32 7. Cold Colors
Warna dingin didominasi dengan warna biru. Penggunaan warna dingin sangat tepat untuk memberikan sebuah informasi yang memberikan kesan keyakinan (hlm. 101).
Gambar 2.42. Knox Grammar School Sign
(http://www.danthonia.com.au/school-signs/school-wayfinding-signs/knox-grammar-school-sign-system.html, n.d.)
8. Neutrals
Warna netral terdiri dari warna coklat dan abu-abu. Penggunaan warna netral dapat memberikan penekanan pada suatu objek (hlm. 102).
Gambar 2.43. Branksome Hall Campus Wayfinding
(http://www.mjma.ca/Portfolio/Signage-Wayfinding/Branksome-Hall-Campus-Wayfinding, n.d.)
33 2.3.4. Grid
Panduan dasar dalam menentukan posisi elemen, penggunaan grid sanagatlah diperlukan. Grid memiliki berbagai komponen yang dapat digunakan untuk penempatan tata ruang dalam mendesain. Menurut Kimmelman (2008) dalam Tondreau (2009), grid berfungsi untuk mengatur tata letak ruang antar informasi yang dapat mempermudah audiens.
Menurut Katz (2012), grid berfungsi dalam desain informasi karena menciptakan struktur dan organisasi pada informasi. Terdapat 2 jenis pedoman terhadap rectangular grid yang umum digunakan, yaitu orientasi vertikal atau dikenal dengan sebutan kerangka interval dan orientasi horizontal. Kerangka pada grid merupakan struktur yang tetap dengan jarak yang sudah sesuai. Pada grid interval memungkingkan struktur pengukuran dipisahkan oleh spasi atau balok pengukur antara konten tipografi dengan konten grafis lainnya. Namun berbeda jika menerapkan orientasi hanglines horizontal antara konten tipografi dengan konten grafis memiliki perbedan ruang antara paragraf. Menurut Tondreau (2009), terdapat lima jenis dasar grid yang diterapkan dalam mendesain:
1. Single Column Grid
Single colomn grid merupakan sistem dasar dalam suatu grid, dimana grid tersebut digunakan untuk penggunaan kalimat dengan kerangka yang sederhana (hlm. 11).
34
Gambar 2.44. Single Colomn Grid (Tondreau, 2009)
2. Two Colomn Grid
Penerapan dua kolom grid diterapkan ke dalam tulisan yang Panjang dan diatur dengan ukuran yang sama atau ukuran yang tidak sama dengan proporsi yang ideal (hlm. 11).
Gambar 2.45. Two Colomn Grid (Tondreau, 2009)
3. Multicolomn Grid
Penggunaan grid beberapa kolom merupakan struktur grid yang fleksibel dan berguna pada majalah dan website (hlm. 11).
35
Gambar 2.46. Multicolomn Grid (Tondreau, 2009)
4. Modular Grid
Struktur grid yang menggabungkan kolom secara vertikal dan horizontal sehingga membentuk struktur grid kecil dan terlihat sempit. Penerapan modular grid dapat berupa informasi yang rumit seperti dalam koran, kalender dan grafik (hlm. 11).
Gambar 2.47. Modular Grid (Tondreau, 2009) 5. Hierarchical Grid
Penerapan grid dengan melakukan pembagian kolom secara horizontal dan menghasilkan pembagian pada halaman menjadi beberapa bagian (hlm. 11).
36
Gambar 2.48. Hierarchical Grid (Tondreau, 2009)
2.3.5. Jenis Pemasangan Signage
Menurut Calori & Eynden (2015), terdapat beberapa kategori dasar dalam pemasangan signage:
1. Freestanding atau Ground-mounted
Bentuk pemasangan sign yang terletak di dasar permukaan horizontal, contohnya seperti di lantai maupun tanah. Berbagai bentuk variasi pemasangan freestanding atau ground-mounted yaitu:
a. Pylon atau Monolith, pemasangan seluruh sign yang terletak di dasar bawah permukaan.
b. Lollipop sign, merupakan pemasangan sign pada satu kaki tiang yang terletak di dasar permukaan tanah atau lantai.
c. Multiple Posted, pemasangan sign pada dua kaki tiang yang terletak di tanah atau lantai (hlm. 195-196).
37
Gambar 2.49. Freestanding or Ground-Mounted Sign (Calori & Eynden, 2015)
2. Suspended atau Ceiling-hung
Pemasangan sign yang terpasang pada bagian atas plafon secara horizontal. Berbagai variasi pemasangan Suspended atau ceiling-hung:
a. Suspended Monolith, pemasangan seluruh sign yang tergantung di atas plafon.
b. Suspended Pendant, pemasangan sign pada satu kaki tiang yang tergantung di atas plafon.
c. Suspended Multiple-posted, pemasangan sign pada dua kaki tiang yang tergantung di atas plafon (hlm. 196).
Gambar 2.50. Suspended or Ceiling-Hung Sign (Calori & Eynden, 2015)
38 3. Projecting atau Flag-mounted
Bentuk pemasangan sign pada dinding yang tegak lurus dengan permukaan secara horizontal. Variasi dari bentuk pemasangan projecting atau flag-mounted adalah:
a. Projecting Monolith, pemasangan seluruh sign yang terletak pada dinding permukaan secara vertikal.
b. Projecting Lollipop, pemasangan sign pada satu kaki tiang yang terletak pada dinding permukaan secara vertikal.
c. Projecting Multiple-posted, pemasangan sign pada dua kaki tiang yang terletak pada dinding permukaan secara vertikal (hlm. 196).
Gambar 2.51. Projecting or Flag-Mounted Sign (Calori & Eynden, 2015)
4. Flush atau Flat Wall-mounted
Bentuk pemasangan bagian belakang sign yang sejajar dengan bagian permukaan vertikal dinding. Variasi dari bentuk flush atau flat wall-mounted adalah wall plaque, yaitu pemasangan bagian belakang sign pada dinding (hlm. 196).
39
Gambar 2.52. Flush or Flat Wall-Mounted Sign (Calori & Eynden, 2015)
2.3.6. Lokasi Pemasangan Signage
Keberadaan pemasangan suatu sign perlu diperhatikan saat melakukan perancangan signage yang dapat memberikan efektivitas dalam penyampaian informasi. Menurut Calori (2015), lokasi signage dapat ditentukan dari hasil analisis pergerakan alur rute pengunjung dan decision point. Seorang Desainer dapat meninjau gambar denah lokasi dengan dapat menandai titik sirkulasi alur pengunjung. Setelah memahami sirkulasi alur pengunjung, desainer dapat menentukan jenis signage yang dapat diletakkan di area tersebut.
Penggunaan penerapan warna dapat diterapkan ke dalam kode jenis signage yang berbeda, seperti penerapan warna merah untuk jenis directional sign dan penerapan warna biru untuk jenis identification sign (hlm. 103). Terdapat beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan untuk dapat menentukan lokasi pemasangan suatu signage. Menurut Calori, berikut merupakan tindakan yag perlu dipertimbangkan untuk meletakkan signage.
1. Menempatkan signage pada posisi tegak lurus dari arah penglihatan pengunjung, penempatan signage yang sejajar dengan arah penglihatan
40
pengunjung dapat mempermudah penglihatan informasi pada signage secara fokus dimana pengunjung tidak perlu memutar balikkan kepala. 2. Penempatan jenis directional sign dapat diletakkan pada decision point
dan pada jalur jalan yang panjang sehingga dapat meyakinkan audiens bahwa berada di arah tujuan yang benar.
Gambar 2.53. Penempatan Directional Sign Pada Decision Point (Calori & Eynden, 2015)
3. Penggunaan directional sign pada rambu transportasi yang berhubungan dengan waktu tempuh kendaraan perlu dipertinjaukan, agar audiens dapat memiliki waktu yang cukup untuk bertindak dalam mengambil keputusan.
Gambar 2.54. Peninjauan Directional Sign Memberikan Waktu Mengambil Keputusan
41
4. Menempatkan jenis identification sign di depan ruangan maupun lokasi yang dapat mengkonfirmasi pengunjung terhadap lokasi tujuan yang dituju.
2.3.7. Tinggi Jarak Pemasangan Signage
Dalam perancangan signage, adanya berbagai faktor yang perlu diperhatikan supaya keberadaan signage dapat berfungsi. Seperti pengaturan peletakan tinggi signage dengan jarak pandang mata audiens. Jarak pemasangan signage sangat berpengaruh terhadap visibilitas audiens. Menurut Calori (2015), terdapat dua jenis penempatan zona pemasangan signage yang disesuaikan denga jarak pandang, yaitu overhead zone dan eye-level zone.
Pada zona pemasangan overhead zone pada signage biasanya mengandung informasi secara primary maupun secara secondary. Konten informasi maupun tanda-tanda yang menyampaikan lebih rinci akan diletakkan pada susunan hierarki terendah dan setara dengan posisi eye-level. Pada pemasangan zona overhead, informasi penting pada papan sign akan diletakkan ditempat yang lebih tinggi agar tidak mudah terhalang di area lingkungan tersebut. Penerapan zona pemasangan eye-level biasanya diterapkan untuk konten informasi yang lebih detail untuk mempermudah keterbacaan yang sepadan dengan mata (hlm. 204).
42
Gambar 2.55. Zona Pemasangan Eye-Level & Overhead (Calori & Eynden, 2015)
Tinggi pada area zona pemasangan eye-level sekisar 91 cm – 183 cm dari atas permukaan tanah. Sedangkan ukuran tinggi pada area zona pemasangan overhead sekisar 183 cm – 244 cm. Pada area ketinggian pemasangan signage perlu diperhatikan dalam menyusun informasi pada panel sign dengan efektif, seperti penyampaian informasi yang terlalu detail jika diletakkan dibawah zona eye-level maka audiens akan membacanya dengan membungkukkan badan. Sama halnya jika informasi yang terlalu detail diletakkan pada zona overhead maka audiens akan kesulitan untuk membaca informasi pada panel sign tersebut yang perlu mengangkat lehernya untuk membaca. Konsep penerapan informasi mengenai area-area suatu lingkungan secara exterior baik bagi para pejalan kaki maupun saat berkendara akan ditempatkan pada zona eye-level sedangkan untuk tanda panah yang dapat memberi arah akan diletakkan pada zona overhead untuk menghindari tanda terhalang.
43
Gambar 2.56. Pemasangan Signage Pada Kendaraan Sudut 60° Secara Horizontal (Calori & Eynden, 2015)
Selain mengenai tinggi area pemasangan signage, faktor terpenting lainnya dalam pemasangan sebuah papan sign adalah keterbatasan terhadap sudut penglihatan. Terutama pada kondisi manusia yang tidak dapat melihat dengan sudut 360 derajat secara horizontal terutama saat berkendara, namun walaupun ingin melihatnya dengan memutar kepala jika sangat penting untuk diperhatikan. Maka dari itu menurut Calori (2015), pemasangan signage harus diletakkan pada posisi yang sejajar dengan penglihatan audiens. Secara horizontal sudut penglihatan akan meluas sekitar 20° – 30° atau dapat sekitar 40° – 60° dari garis tengah secara vertikal saat pandangan mata melihat ke arah depan.
Gambar 2.57. Pemasangan Signage Sudut 10° Secara Vertikal (Calori & Eynden, 2015)
44
Kemudian secara vertikal sudut penglihatan akan meluas sekitar 10° - 15° dari garis tengah secara horizontal saat pandangan mata melihat secara lurus ke depan. Semakin jauh jarak pemasangan signage dari tangkapan penglihatan mata maka objek akan menggaburkan informasi yang berada di sekitarnya saat sudah berada di bawah garis tengah horizontal. Namun hal tersebut akan berbeda jika audiens berada pada area maupun jarak yang sangat dekat dengan area pemasangan signage.
2.3.8. Material Signage
Menurut Gibson (2009) dalam bukunya yang berjudul The Wayfinding Handbook, terdapat beberapa material dasar yang umumnya digunakan dalam pembuatan signage (hlm. 114):
1. Metal
Metal menjadi salah satu material yang umum digunakan dalam pembuatan signage, karena bersifat lentur dan memiliki daya tahan lama untuk pembentukan rangka struktur. Signage yang menggunakan bahan metal memiliki ciri-ciri warna silver hingga kekuningan. Jenis material metal meliputi alumunium, stainless steel, perunggu dan kuningan.
2. Kaca
Penggunaan material kaca sangat umum digunakan untuk pembuatan signage dalam ruangan maupun di luar ruangan. Material kaca memiliki tingkat transparansi yang baik dan dapat memberikan bentuk dimensional. Jenis
45
material kaca yaitu tempered, laminated, fritted, borosilicate, float dan low-emissivity.
3. Kayu
Material kayu sering digunakan sebagai bahan pembuatan signage, namun material kayu memiliki kekurangan yaitu memiliki daya tahan yang tidak lama dan mudah berubah menjadi lebih gelap seiring perjalanan waktu, baik diletakkan di dalam maupun luar ruangan. Jenis kayu yang dapat digunakan adalah mahoni, pinus, cedar, oak, poplar dan cherry.
4. Batu
Material batu dapat digunakan sebagai dasar awal dalam pembuatan sign, dan menciptakan keseimbangan dan konsistensi pada lingkungan. Jenis material batu yang biasanya digunakan meliputi marbel, granit, batu pasir, gamping dan batu tulis.
5. Banner
Material banner dapat terbentuk dari campuran serat kain, plastik dan bahan nongrid lainnya. Penggunaan material banner dapat diterapkan dengan cara digital printing, sablon maupun dengan cara ditempel. Jenis banner yang dapat dipakai adalah vinyl, dacron, nylon, poplin dan tyvek.
6. Plastik
Material plastik termasuk ke dalam kategori bahan sintetis dan menjadi komponen material utama bagi modular signage. Jenis material plastik meliputi photopolymer, lexan, sintra, cast resin dan akrilik.
46
Kategori material composite mengandung dua komponen yang bersifat kimiawi. Material composite dapat digunakan sebagai lapisan pada bagian permukaan sign dan dapat diwarnai. Jenis composite yaitu fiberglass, alucobond dan phenolic resin laminates.
2.4. Museum
Pengertian museum menurut Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia No.19 tahun 1995 pasal 1 ayat 1 museum adalah lembaga sebagai tempat penyimpanan, merawat, mengamankan dan memanfaatkan benda fisik hasil kebudayaan alam, manusia dan lingkungan.
Sedangkan menurut International Council of Museum melalui buku Museum Basics Ambrose & Paine (2006), museum merupakan sebuah lembaga yang terbuka untuk melayani masyarakat dan umum. Yang berfungsi untuk memperoleh, merawat, mengumpulkan dan menampilkan kepada masyarakat untuk keperluan sebagai media pembelajaran, pendidikan dan hiburan. Museum menjadi sarana untuk dapat mendokumentasikan berbagai kegiatan, peristiwa pengalaman dan berbagai koleksi dari benda-benda yang memiliki nilai sejarah.
Indonesia memiliki berbagai koleksi benda dan berbagai peristiwa yang memiliki nilai sejarah tinggi dan tersimpan di museum. Beraneka ragam jenis museum dapat ditemui di seluruh daerah di Indonesia. Berikut merupakan jenis museum yang dikategorikan menurut International Council of Museum (ICOM):
1. Museum Seni
47 3. Museum Nasional
4. Museum Ilmu Alam
5. Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) 6. Museum Khusus
2.5. Cagar Budaya
Cagar Budaya menurut UU No.11 tahun 2010 Pasal 1 memiliki pengertian sebagai warisan budaya yang dapat berupa bangunan, benda, Kawasan baik di darat maupun di air dan struktur cagar budaya yang harus dilestarikan karena memiliki nilai yang penting baik dalam ilmu pengetahuan, budaya, sejarah, Pendidikan dan agama.
Bangunan cagar budaya merupakan sebuah susunan yang terbentuk dari benda alam maupun benda buatan manusia yang memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan pada ruang berdinding maupun tidak berdinding dan memiliki atap. Cagar budaya dapat berupa benda, bangunan, struktur, kawasan dan situs yang dikelola oleh pemerintahan dan perlu untuk dilestarikan. Tujuan dengan melakukan pelestarian pada cagar budaya menurut UU No.11 tahun 2010 Pasal 3, yaitu:
1. Melestarikan warisan budaya milik negara dan umat manusia 2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya 3. Memperkuat kepribadian suatu bangsa
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
5. Mempromosikan warisan budaya milik negara kepada masyarakat internasional
48
Suatu bangunan cagar budaya dapat melakukan pembenahan dan penambahan bangunan lainnya dengan ketentuan, bangunan baru tidak boleh menonjol dengan bangunan lama, baik dalam bentuk penampilan hingga penggunaan material. Menurut BPCB Klaimantan Timur (2017) melalui website Kemdikbud Kebudayaan, perbaikan pada bangunan cagar budaya harus memiliki pengertian dimana bangunan akan tetap bertahan dan semaksimal mungkin dapat menggunakan bahan bangunan asli. Pemilihan bahan dapat disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki bangunan cagar budaya.