• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konferensi Nasional Komunikasi dan Konferensi Internasional KNK-KI ISKI 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konferensi Nasional Komunikasi dan Konferensi Internasional KNK-KI ISKI 2019"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Konferensi Nasional Komunikasi dan

Konferensi Internasional KNK-KI ISKI 2019

PEMAHAMAN LITERASI MEDIA DALAM MENANGKAL HOAX PADA

KALANGAN MAHASISWA DI BANDA ACEH

Hamdani M. Syam1, Febri Nurrahmi 2

1

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

2

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Email: [email protected] Email: [email protected]

Abstract

The rise of hoax fake news on social media. In terms of demographics, social media users are dominated by students. As active users of social media, students are vulnerable to becoming hoaxes spreaders. Therefore, media literacy is very important to anticipate the spread of hoaxes on social media. With media literacy, the user becomes more critical of the content he receives so it does not necessarily trust and spread the content. This study aims to analyze the level of media literacy among students in Banda Aceh. This study uses a media literacy framework proposed by Chen, Wu, and Wang (2011) developed by Lin, Li, Deng, and Lee (2013). This model consists of two directions of continuum namely critical-functional and consuming-prosuming, which form four indicators of media literacy, namely functional consuming, critical consuming, functional prosuming, and critical prosuming. This research uses a combination of quantitative and qualitative methods. Quantitative data collection technique is a survey technique by distributing questionnaires to 500 students as active users of Universitas Syiah Kuala and Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. While the qualitative data collection technique is Focus Group Discussion (FGD), which is carried out on four groups of students consisting of 7 informants for each group and one expert group consisting of 5 key informants who have expertise in the field of media literacy in an effort to ward off hoaxes. The results found that the Functional Consuming indicator was found to be in the unfavorable category. Critical Consuming indicator is found in the good category. Then, the Functional Prosuming indicator is in the unfavorable category, and finally the Critical Prosuming indicator is found to be in the unfavorable category. Thus it can be concluded that students' understanding of media literacy in counteracting hoaxes can be said to be in the less good category. There are still many students who like to post hoax news and even they find it difficult to distinguish between hoax news and not on social media. Therefore, this research suggests that the government should increase socialization on media literacy with various forms of communication such as public service advertisements on television, billboards, banners and learning as compulsory subjects in tertiary institutions, because so far media literacy courses have only existed in Communication Studies Program.

(2)

Abstrak (dalam bahasa Indonesia)

Maraknya penyebaran berita palsu hoax di media sosial. Dilihat dari segi demografi, pengguna sosial media didominasi oleh mahasiswa. Sebagai pengguna aktif media sosial, mahasiswa rentan menjadi pelaku penyebar hoax. Oleh karena itu, literasi media sangat penting untuk mengantisipasi penyebaran hoax di media sosial. Dengan adanya literasi media, pengguna menjadi lebih kritis terhadap konten yang ia terima sehingga tidak serta-merta percaya dan menyebarkan konten tersebut. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat literasi media di kalangan mahasiswa di Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir literasi media yang dikemukakan oleh Chen, Wu, and Wang (2011) yang dikembangkan oleh Lin, Li, Deng, and Lee (2013). Model ini terdiri dari dua arah continuum yaitu critical-functional dan consuming-prosuming yang membentuk empat indikator literasi media yaitu functional consuming, critical consuming, functional prosuming, dan critical prosuming. Penelitian ini menggunakan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data kuantitatif adalah teknik survei dengan membagikan kuesioner kepada 500 orang mahasiswa sebagai pengguna aktif dari Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Sedangkan teknik pengumpulan data kualitatif adalah Focus Group Discussion (FGD), yang dilaksanakan pada empat kelompok mahasiswa yang terdiri 7 informan untuk masing-masing kelompok dan satu kelompok ahli yang terdiri dari 5 informan kunci yang memiliki keahlian di bidang literasi media dalam upaya menangkal hoax. Hasil penelitian didapatkan bahwa indikator Functional Consuming didapatkan berada pada kategori kurang baik. Indikator Critical Consuming didapatkan berada pada kategori baik. Kemudian, indikator

Functional Prosuming berada pada kategori kurang baik, dan terakhir adalah indikator Critical Prosuming didapatkan berada pada kategori kurang baik. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa

pemahaman mahasiswa tentang literasi media dalam menangkal hoax bisa dikatakan berada pada kategori kurang bagus. Masih banyak mahasiswa yang suka memposting berita hoax dan bahkan mereka sulit membedakan antara berita hoax atau bukan di media sosial. Maka dengan demikian, penelitian ini menyarankan bahwa agar pemerintah agar memperbanyak sosialisasi mengenai literasi media dengan berbagai bentuk komunikasi seperti iklan layanan masyarakat di televisi, baliho, spanduk dan pembelajaran sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi, karena selama ini mata kuliah literasi media hanya ada pada Program Studi Ilmu Komunikasi.

Kara Kunci : Literasi Media, Hoax, Mahasiswa, Banda Aceh,

Pendahuluan

Dewasa ini, perkembangan internet semakin pesat, tak terkecuali di Indonesia. Penetrasi internet di Indonesia relatif sangat cepat dibandingkan negara lainnya. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2014 adalah 88,1 juta pengguna dan terus meningkat menjadi 110,2 juta pada 2015 dan 132.7 juta

pada 2016 hingga mencapai jumlah 143,26 juta pengguna pada Desember 2017 (apjii, 2017). Hal ini berarti lebih dari 50% total populasi Indonesia.

(3)

Gambar 1. Grafik Pengguna Internet di Indonesia (apjii, 2017)

Besarnya jumlah pengguna internet tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara ke-5 pengguna internet terbesar di dunia pada tahun 2017 (Statista, 2018). Dari sejumlah situs internet, sosial media adalah situs yang paling popular di kalangan pengguna internet. Youtube dan Facebook adalah situs yang paling banyak dikunjungi pengguna internet setelah google (Alexa, 2018). Statista (2018) juga mencatat Youtube, Facebook, WhatsApp dan Instagram sebagai situs jejaring sosial paling populer di Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna Facebook keempat terbesar di dunia dengan jumlah 130 juta akun Facebook (Septania, 2018).

Dilihat dari demografi, pengguna sosial media didominasi oleh kelompok usia 18-29 tahun. Kelompok usia ini adalah mahasiswa. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Anderson (2001) yang menyebutkan bahwa mayoritas pengguna aktif Facebook adalah mahasiswa. Sebagai pengguna aktif, mahasiswa turut serta dalam produsen, konsumen sekaligus distributor konten di media sosial. Hal ini terkait dengan karakteristik konten oleh pengguna (user generated content) yang dimiliki oleh media sosial (Nasrullah, 2015). Karakteristik ini juga didukung dengan adanya fitur share di media sosial yang

memudahkan penyebaran konten (Nasrullah, 2015).

Kondisi ini berkaitan dengan maraknya penyebaran berita palsu (fake news) atau dikenal juga dengan istilah hoax di media sosial. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada tahun 2017, media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) merupakan saluran yang paling banyak digunakan dalam menyebarkan hoax yakni sebesar 92,40% (Mastel, 2017). Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai pengguna aktif media sosial rentan menjadi pelaku penyebar hoax.

Penyebaran hoax di media sosial sudah sangat memprihatinkan. Maraknya penyebaran hoax di media sosial dianggap dalam kategori darurat hoax (Media Indonesia, 2017). Hoax sangat berbahaya karena bisa menimbulkan keresahan, menyebarkan kebencian, meng-ancam persatuan dan kesatuan bangsa serta merusak stabilitas nasional. Hal ini yang mendorong pemerintah membentuk Badan Siber Nasional dan bekerja sama dengan Dewan Pers dan Facebok di samping pemblokiran situs untuk menangkal hoax (Siswoko, 2017).

Juditha (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya” menyebutkan bahwa literasi media adalah salah satu pendekatan penting untuk mengantisipasi penyebaran hoax di media sosial. Literasi media diartikan sebagai kemampuan untuk mengakses, memahami dan

(4)

mengevaluasi secara kritis konten media dan menciptakan pesan dalam berbagai bentuk (Livingstone, 2004). Literasi media penting untuk menangkal dampak negatif penggunaan media sosial ini termasuk penyebaran hoax. Dengan adanya literasi media, pengguna menjadi lebih kritis terhadap konten yang ia terima sehingga tidak serta-merta percaya dan menyebarkan konten tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan tingkat literasi media di kalangan mahasiswa di Banda Aceh. Penelitian ini secara khusus berusaha menggali sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi tingkat literasi media. Pada akhirnya, penelitian bertujuan untuk pengembangan model program literasi media untuk menangkal hoax khususnya di universitas.

2. Tinajuan Pustaka

Di tengah perkembangan internet yang semakin pesat, sangat sulit menghalangi remaja untuk mengakses internet. Oleh karena itu, membentengi mereka dari dampak negatif akses internet adalah solusi yang paling mungkin dilakukan yaitu dengan literasi media. Literasi media diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan membuat pesan dalam berbagai konteks (Livingstone, 2004). Penelitian tentang literasi media internet telah banyak dilakukan

sebelumnya, baik di luar negri (Chen, Li, Lin, Lee, & Ye, 2014) maupun di Indonesia (Purba, 2015; Adiarsi, 2015; Kurniawati & Baroroh, 2016; Muttaqin, 2016; Fitryarini, 2016; Hariyanto, 2017; Atmi, Satibi, & Cahyani, 2018).

Penelitian Fitryarini (2016) terhadap sembilan mahasiswa Pogram Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Mulawarman menemukan bahwa kesembilan informan masih memiliki kemampuan literasi yang terbatas, dalam arti mereka memiliki kemampuan yang cukup baik dalam mengakses media massa konvensional dan media baru, namun belum memiliki kemampuan analisa kritis terhadap konten. Penelitian Fitryarini (2016) ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan tidak mengacu pada framework literasi media yang baku. Ia hanya mengembangkan pertanyaan wawancara berdasarkan definisi literasi media oleh Livingstone (2004).

Penelitian literasi media yang dilakukan oleh Muttaqin (2016) pada remaja di Kabupaten Lamongan, Kurniawati dan Baroroh (2016) pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dan Purba (2015) pada mahasiswa FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan, menggunakan Individual Competence

Frame-work dari European Commision (2009) dengan

metode penelitian kuantitatif untuk mengukur literasi media. Framework ini terdiri dari kompetensi personal yaitu kemampuan dalam menggunakan media (uses/technical skills) dan

(5)

menganalisis konten media (critical understanding) dan kompetensi sosial yaitu

kemampuan untuk berkomunikasi serta memproduksi konten media (communicative

abilities) European Commision (2009). Berdasarkan framework tersebut, kemampuan literasi media seseorang akan dikelompokkan dalam tiga kategori (European Commision, 2009):

1. Basic, kemampuan seseorang dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi serta memperoduksi konten media sangat terbatas.

2. Medium, kemampuan seseorang dalam mengakses media cukup tinggi, kemampuan menganalisa dan mengevaluasi konten media cukup baik, serta aktif dalam menciptakan konten dan berpartisipasi secara sosial.

3. Advanced, kemmapuan mengoperasikan media sangat tinggi, kemampuan menganalisis dan mengevaluasi konten secara mendalam, serta berkomunikasi secara aktif.

Namun framework ini tidak hanya mengukur literasi media internet saja tapi mengukur literasi media massa secara umum. Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian Muttaqin (2016) dan Purba (2015), Kurniawati dan Baroroh (2016) menggunakan memo-difikasi Individual Competence Frame-work untuk mengukur literasi media digital saja.

Hasil penelitian Kurniawati dan Baroroh (2016) pada 304 orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu menemukan bahwa kemampuan literasi media digital pada kategori

basic. Meskipun memiliki kemampuan yang

cukup baik dalam mengakses media digital, kemampuan menganalisis, mengevaluasi, serta memproduksi konten media masih terbatas.

Penelitian-penelitian sebelumnya sebe-narnya tidak menggunakan framework literasi media baru/internet. Hal ini disebkan karena penelitian-penelitian tersebut meng-gunakan definisi dan framework literasi media berdasarkan European Commission (2009). Padahal konsep literasi media menurut European Commission (2009) bukan konsep yang secara eksklusif untuk media internet tapi untuk semua jenis media massa.

Definisi literasi media baru adalah sebagai berikut:

The set of abilities and skills where aural, visual, and digital literacy overlap. These include the ability to understand the power of images and sounds, to recognize and use that power, to manipulate and transform digital media, to distribute them pervasively and to easily adapt them to new form

(New Media Consortium, 2005 dalam Jefkins, 2009)

Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir literasi media baru yang dikemukakan oleh Chen, Wu, and Wang (2011) yang dikembangkan oleh (Lin, Li, Deng, and Lee (2013). Model ini terdiri dari dua arah

(6)

continuum yaitu critical-functional dan

consuming-prosuming yang membentuk empat

quadran literasi media baru yaitu functional

consuming, critical consuming, functional prosuming, dan critical prosuming.

Gambar 2. New Media Literacy Framework (Lin, Li, Deng, & Lee, 2013)

Menurut Lin, Li, Deng, and Lee (2013), empat kuadran ini mengandung Sembilan indikator sebagai berikut:

1. Functional Consuming

Kemampuan untuk mengakses konten media (consuming skills) dan memahami makna tekstual dari konten tersebut (understanding).

2. Critical Consuming

Kemampuan untuk menafsirkan konten media dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.

Critical consuming meliputi tiga indikator yaitu analisis (melakukan analisis tekstual dari konten media yang diterimanya), sintesis (membandingkan

informasi dengan informasi serupa dari sumber yang lain), dan evaluasi (mengkritisi konten media).

3. Functional Prosuming

Kemampuan untuk mengo-perasikan software untuk memproduksi konten media (prosuming skill),

menyebarkan konten (distribution), dan menduplikasi konten media

(pro-duction).

4. Critical Prosuming

Kemampuan yang membutuhkan interpretasi kontekstual akan konten media. Hal ini diukur dengan kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis (participation).

Model ini digunakan pada penelitian Chen, Li, Lin, Lee, dan Ye (2014) untuk mengukur literasi media pada siswa di Singapura, Hariyanto (2017) untuk mengukur literasi media siswa SMP dan SMA di Surabaya, dan penelitian Atmi, Satibi, dan Cahyani (2018) untuk mengukur literasi media pada siswa di Sidoarjo. Namun ketiga penelitian terdahulu ini mengukur literasi media sosial pada siswa SMP atau SMA. Sedangkan penelitian ini menggunakan kerangka berpikir literasi media baru yang memfokuskan pada konten hoax di media sosial dengan mahasiswa sebagai subjek penelitian.

(7)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kombinasi dua pendekatan penelitian tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai literasi media. Selain itu, untuk mendapatkan output penelitian yang signifikan dalam mengembangkan model literasi media ke depannya. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang tidak hanya menggambarkan fenomena yakni literasi media di kalangan mahasiswa namun juga menginvestigasi sejumlah faktor yang berkontribusi pada tingkat literasi media seseorang.

Teknik pengumpulan data kuantitatif pada penelitian ini adalah teknik survei. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran holistik tentang literasi media di kalangan mahasiswa Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Pemilihan kedua universitas ini dikarenakan kedua universitas ini merupakan universitas terbesar di Aceh sehingga mahasiswanya dianggap cukup representatif untuk mewakili seluruh mahasiswa di Provinsi Aceh.

Survei akan dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 500 orang mahasiswa di Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Teknik pengisian kuesioner adalah

self-administered questionnaire dimana responden mengisi sendiri kuesionernya. Kuesioner menggunakan likert scale dengan 4 pilihan jawaban yaitu sangat tidak setuju, tidak

setuju, setuju, dan sangat setuju. Opsi empat jawaban ini dipilih untuk menghilangkan tendensi responden untuk memilih jawaban tengah.

Reponden dipilih menggunakan teknik

convenient sampling yaitu teknik pemilihan

responden secara tidak acak. Kriteria responden adalah sebagai berikut:

1. Responden adalah mahasiswa S-1 di Universitas Syiah Kuala/ UIN Ar-Raniry,

2. Responden memiliki akun media sosial yang masih aktif.

Sedangkan teknik pengumpulan data kualitatif pada penelitian ini adalah Focus

Group Discussion (FGD). Penggunaan teknik

FGD ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih mendetail tentang literasi media khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat literasi media seseorang. FGD akan dilaksanakan pada empat kelompok mahasiswa, satu kelompok mahasiswa dan satu kelompok mahasiswi Universitas Syiah Kuala dan satu kelompok mahasiswa dan satu kelompok mahasiswi UIN-Ar-Raniry. Pemisahan kelompok berdasarkan gender bertujuan untuk meminimalisir tekanan psikologis pada informan karena adanya perbedaan gender dalam kelompok FGD.

Satu kelompok FGD terdiri dari tujuh orang mahasiswa yang dipilih dengan teknik purposif dengan tetap memperhatikan prinsip

(8)

keberagaman. Informan dalam satu kelompok FGD akan terdiri dari latar belakang SMA dan fakultas atau program studi (jurusan) yang beragam. Satu kelompok FGD akan dipandu oleh satu orang moderator.

Selain FGD kelompok mahasiswa, akan dilakukan juga FGD kelompok ahli yang terdiri dari 5 informan kunci yang memiliki keahlian di bidang literasi media dan upaya menangkal hoax. Informan kunci akan berasal dari kalangan akademisi, praktisi dan Dinas Komunikasi dan Informasi. Pemilihan informan akan dilakukan secara purposif sehingga data yang dihasilkan dari FGD kelompok ahli ini mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan model literasi media di Aceh khususnya.

Data kuesioner akan diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 22.0. Uji statistik yang digunakan adalah uji deskriptif sehingga akan tampak skor untuk masing-masing indikator literasi media. Sementara hasil FGD akan dibuat dalam transkrip dan dianalisis serta diuji keabsahan data dengan menggunakan teknik trianggulasi yaitu mencocokkan data dari hasil informan yang satu dengan informan yang lain dalam kelompok FGD. Di mana apabila didapatkan tingkat kesesuaian data antara satu informan dengan informan yang lain, maka data itu dianggap sah dan bisa digunakan sebagai hasil penelitian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Hasil Melalui Data Kuesioner

Hasil penelitian yang disampaikan di sini adalah data yang didapatkan melalui kuesioner yang dibagikan kepada mahasiswa 500 mahasiswa yang terdiri mahasiswa dari Universitas Syiah Kuala sebanyak 250 orang dan mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry sebanyak 250 orang. Untuk mendapatkan data kuantitatif melalui uji statistik dengan menggunakan SPSS versi 22.0. Sehingga dengan uji statistik tersebut akan mendapatkan skor untuk empat indikator yang diteliti dalam penelitian ini yaitu Fungsional

Consuming, Critical Consuming, Functional Prosuming dan Critical Promusing. Adapun

pada masing-masing indikator tersebut dijelaskan pada penjelasan berikut ini.

a. Functional Consuming

Pada indikator Functional Consuming akan mendapatkan hasil penelitian mengenai kemampuan responden untuk mengakses konten media (consuming skills) dan memahami makna tekstual dari konten tersebut

(understanding). Hasil analisis SPSS didapatkan hasil sebagaimana disebutkan pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Functional Consuming No. Pernyataan Mean Std.

Deviation N

(9)

1.

Saya mengakses lebih dari 2 media sosial dalam sehari.

3.18 .728 500

2.

Saya bisa mencari informasi yang saya butuhkan di media sosial. 3.36 .611 500 3. Saya bisa menggunakan semua fitur di Facebook. 2.47 .792 500 4. Saya bisa menggunakan semua fitur Twitter 2.34 .817 500 5. Saya bisa menggunakan semua fitur Instagram. 3.12 .685 500 6. Saya mudah paham isi postingan di media sosial. 3.06 .592 500 7. Saya memerlukan waktu untuk memahami postingan di media sosial. 2.34 .691 500 8. Seringkali saya tidak paham maksud postingan yang saya lihat di media sosial. 2.58 .741 500 9. Saya mengerti makna emoticon. 3.03 .634 500 Rata-Rata 2.83 .699 500

Berdasarkan tabel 1 di atas, nilai mean tertinggi adalah kategori pernyataan mengenai responden bisa mencari informasi yang dibutuhkan di media sosial. Nilai yang didapat adalah 3.36, di atas nilai setuju. Bermakna bahwa hampir rata-rata responden setuju bahwa media sosial seperti facebook, youtube dan

instagram dapat memberikan manfaat untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Kemudian responden rata-rata setuju terkait mengakses lebih 2 media sosial dalam sehari. Kategori ini didapatkan nilai mean adalah 3.18. Seterusnya responden mengatakan hampir semua fitur yang ada di media sosial bisa digunakan. Nilai mean yang didapat untuk Instagram adalah 3.12, Facebook adalah 2.47 dan Twitter adalah 2.34. Dari nilai ini dapat dikatakan bahwa hampir rata-rata responden dapat menggunakan fitur yang ada di media sosial Instagram daripada media sosial Facebook dan Twitter. Mengenai makna

emoticon yang ada di media sosial. Responden

rata-rata bersetuju dengan nilai mean adalah 3.03. Bermakna bahwa rata-rata responden mengetahui makna emoticon yang ada di media sosial.

Dari tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai indikator Functional Consuming yaitu kemampuan responden untuk

mengakses konten media dan memahami makna tekstual dari konten tersebut, nilai rata-rata yang didapat adalah 2.83 dengan kategori nilai di atas kurang setuju. Namun nilai itu hampir mendekati kepada setuju. Nilai standar deviasi dalam rata-rata adalah .699. Nilai standar deviasi tersebut termasuk tinggi. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa jawaban antara satu informan dengan informan yang lain beragam dan ada terjadi perbedaan jawaban yang jauh antara satu informan dengan

(10)

informan yang lain. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tidak semua responden mempunyai kemampuan untuk mengakses media sosial terutama Facebook dan Twitter. Kemudian mengenai tingkat kemampuan responden untuk memahami makna tekstual dari konten media sosial mendapat nilai yang rendah, bermakna bahwa masih banyak juga responden sering juga tidak paham maksud postingan yang ada di media sosial dan responden juga masih memerlukan waktu untuk memahami postingan di media sosial.

b. Critical Consuming

Pada indikator Critical Consuming akan mendapatkan hasil penelitian mengenai kemampuan responden untuk menafsirkan konten media sosial. Dalam Critical Consuming meliputi tiga indicator. Pertama, kemampuan analisis yaitu kemampuan responden dalam analisis tekstual dari konten media yang diterimanya. Kedua, kemampuan sintesis yaitu kemampuan responden untuk membandingkan informasi dengan informasi serupa dari sumber yang lain. Ketiga, kemampuan evaluasi yaitu kemampuan responden untuk mengkritisi konten media. Hasil analisis SPSS didapatkan untuk indikator Critical Consuming dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Critical Consuming No. Pernyataan Mean Std.

Deviation N 1. Setiap mendapatkan informasi di media sosial, saya mengecek kebenaran informasi tersebut. 3.20 .606 500 2. Saya membaca suatu informasi dari berbagai sumber. 3.23 .545 500 3. Saya mempercayai informasi di media sosial yang sesuai dengan pendapat saya. 2.37 .658 500 4. Saya tidak mudah mempercayai informasi yang beredar di media sosial. 3.15 .615 500 5. Saya sering curiga kalau informasi yang saya dapatkan di media sosial adalah hoax. 3.08 .572 500 6. Saya bingung membedakan informasi benar dan hoax di media sosial. 2.17 .787 500 7. Saya menilai suatu informasi hoax setelah saya membaca dari berbagai sumber. 3.24 .572 500 8. Saya membaca informasi tidak dari satu sumber saja. 3.32 .592 500 9. Saya suka menganalisis lebih jauh informasi yang 3.11 .645 500

(11)

saya terima dari media sosial. 10. Meskipun mendapat informasi yang sama, setiap orang bisa mendapatkan pemahaman yang berbeda. 3.40 .553 500 11. Ada kepentingan di balik pesan yang disebarkan oleh media. 3.26 .553 500 Rata-Rata 3.05 .609 500

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa indikator Critical Consuming dari 11 kategori yang ditanyakan kepada responden didapatkan bahwa ada 9 kategori didapatkan bahwa responden bersetuju pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kemudian ada 2 kategori yang kurang bersetuju. Nilai mean tertinggi yang didapat untuk indikator ini adalah mengenai kategori meskipun mendapat informasi yang sama, setiap responden bisa mendapatkan pemahaman yang berbeda. Nilai yang didapat adalah 3.40. Kemudian kategori rendah atau tergolong kurang setuju adalah kategori bingung membedakan informasi benar dan hoax di media sosial, dengan nilai mean yang didapat adalah 2.17.

Namun secara nilai rata-rata yang didapatkan untuk indikator Critical Consuming adalah 3.05 dan nilai standar deviasi adalah .609. Dari nilai rata-rata dan nilai standar deviasi yang didapatkan tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden

bersetuju terkait kemampuan responden untuk menafsirkan konten media sosial. Bermakna responden hampir rata-rata sudah mempunyai kemampuan dalam analisis tekstual dari konten media yang diterimanya. Responden juga hampir rata-rata mempunyai kemampuan untuk membandingkan informasi dengan informasi serupa dari sumber yang lain dan juga kemampuan untuk mengkritisi konten media.

c. Functional Prosuming

Pada indikator Functional Prosuming, mendapatkan hasil penelitian mengenai kemampuan responden untuk mengoperasikan software untuk memproduksi konten media

(prosuming skill), menyebarkan konten

(distribution), dan menduplikasi konten media (production). Untuk mengetahui hasil penelitian

indikator Functional Prosuming dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Functional Prosuming No. Pernyataan Mean Std.

Deviation N 1. Saya bisa membuat akun media sosial 3.33 .611 500 2. Saya bisa mengedit foto atau gambar 3.22 .644 500

3. Saya bisa mengedit video 2.84 .782 500

4. Saya bisa membuat meme

(12)

5. Saya bisa membuat video 2.90 .739 500 6. Saya suka memposting foto/ gambar 2.87 .778 500 7. Saya suka memposting perasaan saya 2.15 .809 500 8. Saya suka memposting kegiatan yang saya lakukan 2.50 .764 500 9. Saya suka memposting ide/gagasan saya tentang sesuatu 2.87 .736 500 Rata-Rata 2.79 .743 500

Berdasarkan tabel 3 di atas nilai mean tertinggi didapatkan pada kategori pernyataan mengenai bisa membuat akun media sosial. Nilai mean yang didapatkan adalah 3.33. Dari nilai dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden bersetuju bahwa mereka bisa membuat akun media sosial. Kemudian nilai tertinggi untuk kategori lain adalah kategori bisa mengedit foto atau gambar. Nilai mean yang didapatkan adalah 3.22. Bermakna hampir rata-rata responden bisa mengedit foto atau gambar di media sosial. Nilai mean terendah adalah kategori suka memposting perasaan di media sosial. Nilai mean yang didapatkan adalah 2.15. Bermakna bahwa responden kurang setuju terkait kategori suka memposting perasaan media sosial. Namun nilai standar deviasi untuk kategori ini didapatkan nilai yang sangat tinggi. Maka dari nilai standar deviasi tersebut dapat dikatakan bahwa ada perbedaan

pendapat yang signifikan antara responden yang satu dengan responden yang lain mengenai kategori suka memposting perasaan di media sosial. Ada juga sebagian mereka yang bersetuju bahwa mereka suka memposting perasaan di media sosial.

Secara umum, nilai rata-rata yang didapatkan untuk indikator Functional Prosuming adalah 2.79 dan nilai standar deviasi

adalah .743. Kalau dilihat dari nilai rata-rata meannya bisa dikatakan bahwa responden berada pada kategori antara setuju dan kurang setuju. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan nilai standar deviasi yang tinggi. Dari nilai itu dapat dikatakan bahwa responden berada antara setuju dan kurang setuju mengenai kemampuan responden untuk mengoperasikan software untuk memproduksi konten media (prosuming

skill), menyebarkan konten (distribution), dan

menduplikasi konten media (production).

d. Critical Prosuming

Pada indikator Critical Prosuming akan mendapatkan gambaran tentang kemampuan responden yang membutuhkan interpretasi kontekstual akan konten media. Untuk melihat kemampuan tersebut bisa diukur dengan kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis (participation) pada media sosial.

Berdasarkan tabel 4 di bawah ini, nilai mean tertinggi adalah 3.02 didapatkan pada

(13)

kategori membuat postingan mengenai informasi yang dianggap sebagai hoax di media sosial. Kemudian nilai standar deviasi adalah tinggi yaitu .741. Maka dapat dikatakan bahwa responden terjadi perbedaan pendapat yang tinggi untuk kategori ini. Walaupun secara nilai mean bisa dikatakan bahwa responden bersetuju dengan kategori membuat postingan mengenai informasi yang dianggap sebagai hoax di media sosial. Tapi ada juga responden yang tidak suka juga membuat postingan mengenai informasi yang dianggap sebagai hoax di media sosial.

Kemudian apabila responden ditanyakan dengan kategori pertanyaan bahwa mereka membalas komentar di postingannya, maka nilai mean didapat adalah 2.89 dan nilai standar deviasi .693. Seterusnya terkait kategori responden tidak suka memberikan komentar pada postingan yang tidak disukai, maka nilai mean didapat adalah 2.13 dan standar deviasi adalah .871. Untuk kedua kategori ini jawaban rata-rata responden bisa dikatakan antara setuju dan kurang setuju. Hal tersebut tergambarkan dengan nilai standar deviasi yang tinggi. Pendapat responden antara satu responden dengan responden yang lain ada perbedaan yang jauh sehingga bisa dikatakan ada di antara responden yang sangat setuju untuk membalas dipostingannya. Hal tersebut juga bisa dilihat dari nilai kategori responden tidak suka memberikan komentar pada postingan yang saya tidak suka. Nilai meannya bisa

di-kategorikan rendah dan nilai standar deviasi yang sangat tinggi.

Secara umum, untuk indikator Critical

Prosuming yaitu untuk mengetahui tentang

kemampuan responden yang membutuhkan interpretasi kontekstual akan konten media dan kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis (participation) pada media sosial, nilai rata-rata yang didapatkan adalah 2.43 dengan nilai rata-rata standar deviasi adalah tinggi yaitu .751. Perbedaan pendapat antara responden yang sangat jauh, sehingga ada responden yang sangat setuju, setuju, kurang setuju dan sangat tidak setuju. Namun secara rata-rata bisa dikatakan di atas nilai kurang setuju dan di bawah nilai setuju.

Tabel 4. Critical Prosuming No. Pernyataan Mean Std.

Deviation N 1. Saya membuat postingan mengenai informasi yang saya anggap sebagai hoax di media sosial. 3.02 .741 500 2. Saya memberikan komentar kritis pada postingan yang saya anggap sebagai hoax 2.44 .838 500 3. Saya membalas komentar di postingan saya. 2.89 .693 500 4. Saya suka memberikan respon berupa like pada postingan

(14)

teman saya. 5. Saya suka memberikan emoticon pada postingan teman saya. 2.20 .699 500 6.

Saya tidak suka memberikan komentar pada postingan yang saya tidak suka.

2.13 .871 500

7.

Saya tidak suka menyebarluaskan informasi yang saya peroleh di media sosial. 2.69 .781 500 8. Saya hanya menyebarluaskan informasi yang saya sukai. 2.05 .692 500 9.

Saya tidak yakin apa informasi yang saya sebarkan hoax atau bukan.

2.58 .837 500

Rata-Rata 2.43 .751 500

2. Hasil Melalui Focus Group Discussion

Hasil penelitian yang disampaikan di sini adalah hasil penelitian yang didapat melalui teknik Focus Group Discussion (FGD) terhadap 4 kelompok mahasiswa yang terdiri 2 kelompok mahasiswa Universitas Syiah Kuala dan 2 kelompok mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang masing-masing dibagikan 1 kelompok laki-laki dan 1 kelompok perempuan. Ditambahkan 1 kelompok lagi dari kelompok Informan Ahli sebagai data pendukung. Data yang didapatkan melalui teknik FGD ditranskrip dalam bentuk tulisan dan kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik trianggulasi. Teknik ini untuk melihat

tingkat kesesuaian data yang diberikan oleh masing-masing informan dari FGD pada masing-masing kelompok. Data yang di-gunakan sebagai hasil penelitian adalah data yang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi antara informan yang satu dengan informan yang lain. Kemudian data tersebut digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian terhadap indikator-indikator penelitian ini yaitu

Fung-sional Consuming, Critical Consuming, Func-tional Prosuming dan Critical Promusing.

Adapun hasil penelitian masing-masing indikator tersebut yang didapatkan melalui data FGD dijelaskan pada uraian berikut ini.

a.Fungsional Consuming

Rata-rata informan mengatakan bahwa mereka lebih dari 2 media sosial yang dimiliki. Media sosial yang sering mereka gunakan dalam sehari adalah Instagram, Facebook, Youtube dan Twitter. Ada sebagian informan bahwa media sosial Instagram lebih pada media untuk promosi saja baik barang atau promosi diri sendiri melalui foto-foto. Menurut sebagian informan tersebut, tidak banyak informasi seperti berita bisa didapatkan melalui media sosial Instagram. Rata-rata informan mengatakan bahwa mereka tidak bisa atau semacam gelisah kalau handphone tidak kuota (pulsa). Mereka akan akan terus berusaha, untuk secepat mungkin untuk mengisi ulang atau mencari tempat-tempat yang ada sinyal

(15)

internet, agar informasi yang ada di media sosial bisa terus mereka nikmati.

Kemudian sebagian informan, mengatakan mereka agak jarang menggunakan Facebook karena dianggap sebagai media

lebay, banyak digunakan oleh anak-anak alay,

anak-anak SMP dan SMA dan ibu rumah tangga yang sering menggunakan. Berita yang ada pun banyak berita yang tidak penting. Mereka mengatakan bahwa berita hoax dan berita negatif banyak didapatkan di Facebook. Menurut mereka, pengguna Facebook mempunyai standarisasi tentang literasi media yang kurang. Kemudian dari Facebook bisa dishare ke media sosial lain terutama Whatsapp, sehingga dengan demikian bisa tersebar luas secara cepat. Informan merasa untuk menggunakan Facebook bukan zamannya lagi, karena sering mereka pakai ketika masih berada di bangku sekolah, sehingga informan lebih percaya informasi dari Twitter.

Mengenai tingkat memahami postingan di media sosial, rata-rata informan mengatakan bahwa mereka memerlukan waktu untuk memahami dan mengetahui tingkat kebenaran informasi di media sosial. Biasanya ketika mereka mendapatkan informasi di media sosial ingin mengecek untuk kebenaran informasi tersebut, maka mereka perlu membandingkan informasi itu dari media-media lain. Tapi ada dari mereka yang membandingkan informasi dari media sosial lain, tapi ada juga yang coba

mengecek dari media mainstream seperti media surat kabar dan televisi.

Terkait makna emoticon, rata-rata informan mengatakan bahwa tidak semua

emoticon di media sosial dapat diketahui

maknanya. Kalau emoticon yang biasa digunakan oleh pengguna media sosial seperti lambang menangis, ketawa, senyum, sedih tentu itu tahu maknanya. Tapi terkadang, emoticon antara satu orang dengan orang lain mempunyai makna yang berbeda seperti lambang high five ada juga yang memaknai untuk meminta maaf.

b. Critical Consuming

Apabila mendapatkan informasi yang ada hubungan dengan mereka, misalnya informasi mengenai lowongan pekerjaan dan beasiswa, maka rata-rata informan akan mengecek informasi terkait kebenarannya. Namun apabila tidak ada hubungan dengan dirinya, maka akan membiarkan informasi itu. Maka untuk mengetahui informasi itu benar atau salah, informan mengatakan akan membaca dari sumber-sumber yang lain. Namun menurut pendapat informan, masih banyak orang termasuk mahasiswa yang masih mempercayai bahkan ada yang menelan mentah-mentah segala informasi yang disampaikan oleh media sosial. Apalagi kalau informasi ada hubungannya dengan dirinya, misalnya ketika pemilu kemarin antara kelompok 01 dan 02. Kalau mereka 01 atau 02, semua informasi yang disampaikan untuk

(16)

menjelekkan kelompok lain dan meng-untungkan kelompoknya masyarakat akan mempercayainya walaupun informasi itu kadangkala hoax. Begitu juga, apabila seseorang ‘ngefans’ dengan seseorang, maka ia akan mempercayai informasi yang disampaikan itu, kadangkala ada informasi yang disampaikan itu adalah hoax.

Kebanyakan informan mengatakan bahwa pada masa sekarang ini sulit sekali membedakan informan hoax atau bukan di media sosial, terutama media sosial Facebook. Misalnya, ketika Pilpres kemarin agak sulit membedakan mana informasi yang benar atau yang hoax, sehingga bagi yang fanatik dengan calon presiden tertentu, dengan cara apapun mereka akan terus mempertahankan pen-dapatnya walaupun kadang yang disampaikan hoax. Mereka agak binggung menilai berita hoax atau bukan terkait informasi yang ada hubungan dengan politik seperti ketika Pilpres kemarin.

Terkait sering curiga mengenai infor-masi yang didapatkan di media sosial adalah hoax. Menurut informan, kecurigaan sering muncul ketika Pilpres kemarin, tapi yang lain tidak terlalu curiga. Namun dengan berita-berita yang viral di media sosial, rata-rata informan mengatakan bisa mengkroscek dengan berita-berita lain baik di media sosial maupun di media lainnya.

Walaupun setiap mahasiswa menda-patkan informasi yang sama pada media sosial

masing-masing, namun seringkali di antara mereka yang mendapatkan pemahaman yang berbeda. Bahkan mereka selalu berdebat dengan temannya, karena masing-masing mereka mendapatkan pemahaman yang berbeda. Kebanyakan informan juga berpendapat bahwa ada sesuatu kepentingan dibalik pesan yang disebarkan di media sosial. Mereka mengatakan sebagian orang yang suka menciptakan informasi bohong karena suka membuat mas-yarakat gaduh untuk membicarakan informasi yang disampaikan itu, ataupun ada kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik pada Pilpres kemarin.

c. Functional Prosuming

Rata-rata informan bisa membuat akun di media sosial. Menurut informan, ada juga masyarakat yang suka membuat akun samaran. Biasa akun demikian kebanyakan digunakan untuk menyampaikan berita hoax. Informan rata-rata bisa mengedit foto atau gambar, membuat dan mengedit vedio, bisa membuat meme, dan suka juga memposting gambar-gambar. Ada juga di antara informan yang suka mengedit foto, seperti sebuah dalam melaksanakan apa atau seakan-akan sedang berada di mana. Kemudian itu disebarkan tujuannya supaya orang tahu seakan-akan di berada di mana dan sedang melakukan apa. Padahal kadang itu hoax.

Untuk memposting foto atau gambar sosial tidak ada perbedaan jenis kelamin. Dulu

(17)

orang mengira perempuan yang suka memposting foto. Tapi sekarang antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan lagi, kedua-duanya suka memposting sesuatu di media sosial. Namun apabila ditanyakan mengenai suka memposting perasaan di media sosial, sebagian informan mengatakan mereka suka memposting foto atau gambar tertentu. Tapi sangat tergantung kondisi dan kegiatan apa yang dilakukan. Tapi kalau kegiatan itu jarang atau baru itu dilakukan kecenderungan untuk memposting lebih kuat. Kalau memposting lagi sedang kuliah itu biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali pada awal-awal masuk universitas. Apabila dibandingkan antara jenis kelamin yang suka memposting perasaan, menurut sebagian informan bahwa perempuan sering menggunakan media sosial untuk meluahkan perasaannya. Kalau laki-laki sangat jarang sekali, bahkan menurut informan laki-laki mereka sering diejek oleh temannya kalau suka memposting perasaan di media sosial. Ada juga sebagian informan yang suka memposting ide atau gagasan tentang sesuatu yang dibicarakan di media sosial atau memberikan pendapat menurut perspektif masing-masing. Media sosial menurut sebagian informan bisa digunakan sebagai media untuk

membrandingkan diri. Kadang ketika diamati di

media sosial ada orang-orang yang suka memposting media sosial. Padahal informasi tersebut tidak penting menurut orang lain.

d. Critical Promusing

Kadang-kadang ada informan yang mencoba-coba untuk membuat postingan terhadap informasi yang sudah diketahui adalah hoax. Para informan kadang hanya untuk

‘iseng’ saja, tapi begitu disebarkan di media

sosial, begitu cepat berkembang dan tersebarkan secara luas, sehingga keadaan demikian yang membuat masyarakat terdorong untuk membuat lagi. Menurut informan, masyarakat umumnya tidak terlalu kritis menilai sebuah informasi di media sosial, karena kebanyakan masyarakat agak sulit membedakan antara informasi hoax atau bukan di media sosial.

Informan mengakui, ada teman-teman dan masyarakat juga yang suka menyebarkan hoax di media sosial, kadang awalnya sifatnya main-main kemudian setelah mengetahui ada respon masyarakat terhadap informasi itu sehingga membuat orang tersebut merasa suka untuk membuat lagi hal yang sama. Terkait informan akan memberikan komentar kritis pada postingan yang dianggap sebagai hoax adalah sangat bergantung berita tersebut. Menurut informan, apabila informasi itu ada hubungannya dengan dirinya, maka mereka akan mengkritisi informasi tersebut. Informan mencontohkan informasi yang tersebar di media sosial mengenai tiket pesawat gratis, dikarenakan informasi itu dibutuhkan dan ada kedekatan dengan informan, maka akan mencari informasi itu akan kebenaran dengan

(18)

membaca dari sumber-sumber lain, termasuk menanyakan sama teman yang bekerja di bandara. Tapi apabila informasi itu tidak dibutuhkan atau tidak ada hubungannya dengan diri informan biasanya informasi akan dibiarkan informasi tersebut, walaupun informan itu mengetahui bahwa informasi tersebut adalah hoax.

Kemudian mengenai informan membalas komentar postingannya, menurut informan adalah membalas karena untuk menghargai komentar yang diberikan, apalagi komentar yang sifatnya memuji atau pendukung postingan yang dibuat di media sosial. Terkait yang berkomentar negatif atau tidak sependapat dengan postingan yang dibuat, maka biasanya para informan akan membiarkannya dan terkadang sempat berdebat juga. Terkait suka merespon berupa like pada postingan di media sosial adalah kebanyakan informan didorong oleh mereka sering men-like postingan yang informan lakukan. Rata-rata informan mengatakan bahwa men-like itu dilakukan pada orang-orang yang sudah dikenal oleh informan sendiri. Makna like yang kebanyakan informan pahami bahwa untuk memberikan maksud bahwa orang tersebut sudah membaca dengan informasi yang dipostingkan di media sosial. Kadang banyak juga ketika informasi musibah yang disampaikan oleh informan, banyak juga orang memberikan tanda like pada informasi tersebut. Menurut informan, tanda like yang diberikan

tersebut tidak bermaksud memberikan arti bahwa dia suka dengan musibah yang sedang menimpanya. Tapi sebagai pemberitahuan bahwa dia sudah membaca dan sudah mengetahui dengan informasi yang dikirimkan tersebut.

Menurut informan, ketika sebuah informasi didapatkan di media sosial, untuk memastikan bahwa informasi benar atau tidak. Maka mereka akan mencari tahu terlebih dahulu kebenaran informasi tersebut dari sumber-sumber yang lain. Kalau sudah jelas kebenarannya baru di-share ke orang lain.

3. Rekomendasi Untuk Menangkal Hoax

Sebagian informan FGD mengetahui mengenai literasi media, namun ada juga sebagian kecil informan pada awalnya belum memahami mengenai apa itu literasi media. Namun ketika diskusi lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa program literasi media sangat penting, dan perlu dilakukan oleh pe merintah secara terus menerus supaya menyadarkan masyarakat mengenai informasi-informasi yang ada di media sosial. Masyarkat harus tahu menggunakan media sosial secara cerdas, dan masyarakat harus tahu mengenai efek informasi hoax di media sosial.

Para informan FGD, mereka tidak setuju dengan pemerintah membatasi penggunaan media sosial. Kalau membatasi, berarti pemerintah sudah membatasi masyarakat untuk mendapatkan informasi, termasuk bisa

(19)

meng-hancurkan sumber ekonomi masyarakat, karena sekarang banyak menggunakan media sosial untuk mempromosikan dan melakukan penjualan melalui media sosial. Para informan mengatakan bahwa pemerintah lebih menggalakkan sosialisasi mengenai literasi media agar masyarakat lebih cerdas dalam penggunaan media sosial. Kemudian pemerintah menjalankan sanksi yang tegas bagi mereka menyebarkan informasi bohong dan fitnah atau hoax. Masyarakat harus sadar mengenai bahaya informasi hoax tersebut.

Menurut informan, program pemerintah masih sangat minim mengenai literasi media. Kalaupun ada hanya menyentuh masyarakat diperkotaan saja, itupun masih dikategorikan masih kurang. Sementara untuk masyarakat di gampong-gampong masih belum tersentuh, termasuk sekolah-sekolah yang ada di gampong-gampong. Padahal masyarakat di gampong-gampong pun mereka juga pengguna aktif media sosial baik dari anak muda hingga orang dewasa. Bahkan menurut informan, orang tua sebagai perlu bimbingan bahkan mereka belum banyak yang mengetahui literasi media. Padahal orang tua mempunyai tanggung jawab untuk membimbing anak-anaknya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

1. Indikator Functional Consuming yaitu kemampuan mahasiswa dalam mengakses konten media (consuming skills) dan memahami makna tekstual dari konten tersebut (understanding), maka dapat disimpulkan bahwa berada pada pada kategori di atas kurang baik. Rata-rata mahasiswa mempunyai dan menggunakan lebih dari dua media sosial dalam sehari. Media sosial dapat memberikan kebutuhan informasi buat diri mahasiswa, sehingga mahasiswa merasa harus setiap hari menggunakan media sosial. Media sosial yang sering digunakan oleh mahasiswa adalah Instagram, Twitter, Facebook dan Youtube. Semua fitur yang ada di media sosial itu terutama Instagram hampir dapat digunakan dengan baik oleh mahasiswa. Namun makna emoticon yang ada media sosial tidak semua mengerti maknanya, hanya makna tertentu saja yang sering digunakan seperti lambang senyum, sedih, dan minta maaf. Sementara makna emoticon yang lain banyak yang tidak mengetahui maknanya.

2. Indikator Critical Consuming yaitu untuk melihat kemampuan mahasiswa untuk menafsirkan konten media sosial. Maka hasil penelitian untuk indikator ini dapat disimpulkan bahwa berada pada kategori baik. Mahasiswa rata-rata tidak mudah mempercayai informasi di media sosial. Ketika mendapatkan informasi dan untuk

(20)

memastikan informasi tersebut hoax atau bukan, maka mahasiswa harus mengecek dari sumber lain terutama mengecek pada media mainstream. Namun begitu, tingkat pemahaman antara mahasiswa dalam mencerna informasi di media sosial berbeda. Mereka sering berdebat dan mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami informasi yang didapatkan di media sosial. Kemudian, mahasiswa mempercayai bahwa informasi yang disebarkan di media sosial dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu bagi si pembuat konten tersebut.

3. Indikator Functional Prosuming yaitu

kemampuan mahasiswa untuk

mengoperasikan software untuk memproduksi konten media (prosuming

skill), menyebarkan konten (distribution),

dan menduplikasi konten media

(production). Hasil penelitian untuk indikator ini dapat disimpulkan bahwa berada kategori kurang baik. Kemampuan mengoperasikan konten di media sosial didapatkan bahwa hampir rata-rata mahasiswa bisa mengoperasikannya seperti mengedit foto, membuat dan mengedit vedio.

4. Indikator Critical Prosuming yaitu kemampuan mahasiswa membutuhkan interpretasi kontekstual akan konten media sosial. Indikator ini diukur dari partisipasi mahasiswa secara aktif dan kritis

(participation) pada media sosial. Dari hasil

penelitian yang didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa berada pada kategori kurang baik. Bermakna mahasiswa masih belum berpartisipasi secara aktif dan kritis di media sosial. Mahasiswa umumnya, tidak terlalu kritis menilai sebuah informasi di media sosial, karena kebanyakan mahasiswa agak sulit membedakan antara informasi hoax dan bukan di media sosial.

Dengan memperhatikan hasil penelitian mengenai literasi media pada mahasiswa dalam menangkal hoax, maka dapat dikatakan bahwa pemahaman mahasiswa terkait literasi media adalah kurang baik. Ada sebagian mahasiswa amat kurang sekali terlibat dalam program literasi media baik yang diadakan oleh pemerintah maupun pembelajaran di kampus. Di lingkungan hidupnya, seperti di daerah tempat tinggalnya, tidak ada informasi-informasi dan sosialisasi mengenai literasi media. Sehingga ada sebagian mahasiswa yang masih belum bisa memastikan antara informasi hoax atau bukan di media sosial. Biasanya pembelajaran yang didapatkan dari hasil pembicaraan dengan teman-temannya. Apalagi informasi yang tersebar di media sosial tersebut ada kepentingan dengan dirinya. Maka kecenderungan untuk mempercayai kebenaran informasi tersebut lebih kuat, walaupun padahal informasi tersebut adalah hoax, seperti terjadi pada ketika pesta demokrasi kemarin antara 01 dan 02. Masih ada sebagian mahasiswa yang suka ‘iseng’ dan main-main dengan berita hoax.

(21)

Suka melihat orang lain gaduh. Ia merasa senang apabila melihat orang terpengaruh dengan informasi hoax yang dibuatnya.

Daftar Pustaka

Adiarsi, G. R., Stellarosa, Y., & Silaban, M. W. (2015). Literasi Media Internet di Kalangan Mahasiswa. Humaniora, 6(4), 470-482.

APJII. (2017). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Retrieved July 25, 2018, from https://web.kominfo.go.id /sites/default/files/Laporan%20Survei% 20APJII 2017_v1.3.pdf.

Atmi, R.T., Satibi, I. F., & Cahyani, I. R. (2018). Media Literacy Skills and Social Media: A Portray of Teenangers in Urban Area. International Journal of

Engineering & Technology, 7(3.7),

236-239.

Chen, D-T., Li, J-Y., Lin, T-B., Lee, L., & Y, X. (2014). New Media Literacy of School Students in Singapore. NIE

Research Brief Series, 14-003.

Fitryarini, I. (2016) Literasi Media Pada Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman. Jurnal Komunikasi, 8(1), 51-67.

Hariyanto, Y. P. (2017). Literasi media di kalangan remaja kota dalam penggunaan media sosial. Libri-Net, 6(3), 1-13.

Juditha, C. (2018). Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya.

Jurnal Pekommas, 3(1), 31-44.

Kurniawati, J., & Baroroh, S. (2016).Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Jurnal Komunikator, 8(2), 51-66.

Livingstone, S. (2004). What is media literacy?

Intermedia, 32(3), 18-20.

Mastel. (2017). Infografi Hasil Survei Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional. Retrieved from https://mastel.id /infografis-hasil-survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/.

Media Indonesia. (2017). Indonesia Darurat Hoax. Retrieved from http://media indonesia.com/read/detail/86658-indo nesia-darurat-hoax.

Muttaqin, M. Z. (2016). Kemampuan Literasi Media (Media Literacy) di Kalangan Remaja Rural di Kabupaten Lamongan.

(22)

Nasrullah, R. (2015). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosio teknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama.

Purba, R. (2015). Tingkat Literasi Media Pada Mahasiswa (Studi Deskriptif Pengukuran Tingkat Literasi Media Berbasis Individual Competence Framework Pada Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi USU).

Flow, 2(9), 1-10.

Siswoko, K. H. (2017). Kebijakan Pemerintah Menakal Penyebaran Berita Palsu atau ‘Hoax’. Jurnal Ilmu Sosial, Humaniora,

dan Seni, 1(1), 13-19.

Statista. (2018). Countries with the highest number of internet users as of December 2017 (in millions). Retrieved from https://www.statista.com/statistics/2629 66/ number-of-internet-users-in-selected -countries/.

Statista. (2018). Penetration of leading social networks in Indonesia as of 3rd quarter 2017. Retrieved from https://www. statista.com/statistics/284437/indonesia-social-network-penetration/.

(23)

Gambar

Gambar  2.  New  Media  Literacy  Framework  (Lin, Li, Deng, & Lee, 2013)
Tabel 2. Critical Consuming  No.  Pernyataan  Mean  Std.
Tabel 3 Functional Prosuming  No.  Pernyataan  Mean  Std.
Tabel 4. Critical Prosuming  No.  Pernyataan  Mean  Std.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu bagian dari struktur organisasi BPK Perwakilan Jawa Timur adalah sekretariat perwakilan yang membawahi beberapa subbagian, diantaranya adalah Subbagian

Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana yang sudah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa Service Quality (Pre-Flight, In-Flight dan Post-Flight) secara parsial

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan nikmat yang tidak mungkin dapat kita hitung salah satunya yaitu nikmat kesempatan

 Kecamatan Gunung Meriah.. Keterpaduan Strategi Pengembangan Kabupaten Deli Serdang V. Kawasan rawan gerakan tanah menengah, yaitu : daerah yang mempunyai potensi Menengah untuk

a) Tanpa menggunakan bantuan buku atau catatan, mahasiswa dapat menyebutkan dua faktor yang mempengaruhi massa jenis suatu benda dengan benar. b) Tanpa menggunakan

apapun dari pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, maka akan batal atau. batal demi hukum karena secara serta merta ada syarat-syarat yang

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahu- lu yang dilakukan oleh Farook et al.(2009), bahwa variabel DEPOSIT (PPDK) dalam penelitiannya berpengaruh

Hasil penelitian peneliti sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puschner, Puschner mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara kualitas hidup dengan kepatuhan