• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai beras di Indonesia telah banyak dilakukan. Namun demikian, berikut disarikan beberapa temuan hasil penelitian yang terkait dengan konversi lahan sawah, ketersediaan dan akses pangan, serta impor dan tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini.

2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

Irawan (2005) melakukan penelitian mengenai dampak, pola pemanfaatan dan faktor determinan dari konversi lahan sawah. Temuan penting dari hasil penelitiannya, antara lain menyebutkan bahwa konversi lahan sawah terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian, yang persaingan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu: (a) keterbatasan sumber daya lahan; (b) pertumbuhan penduduk; dan (c) pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini juga mengidentifikasi konversi lahan sawah berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa, yang hasil penelitiannya menyebutkan bahwa konversi lahan sawah di luar Jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi daripada di Jawa (56 ribu hektar pertahun) selama tahun 2000 – 2002, sehingga total luas lahan sawah yang di- konversi seluas 187.72 ribu hektar per tahun (atau sebesar 2.42 persen dari luas sawah pada tahun 2002). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan di Jawa (74.96 persen), sedangkan di luar Jawa kon- versi lahan sawah tersebut sebagian besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43.59 persen) dan pembangunan perumahan (31.92 persen). Maraknya konversi lahan tersebut tidak terlepas dari pelaku konversi itu sendiri. Penelitian ini membedakan pelaku konversi lahan sawah menjadi dua kelompok, yaitu:

Kelompok pertama, konversi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) pemenuhan kebutuhan dan tempat tinggal; (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha; dan (c) kom- binasi keduanya. Kelompok kedua, konversi yang diawali dengan alih fungsi penguasaan lahan.

   

(2)

Selanjutnya, penelitian Chengli et al. (2003) mengenai alih fungsi penggunaan lahan pertanian pangan di China selama tahun 1961 – 1998, dapat dijadikan sebagai acuan komparasi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi secara nasional telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi di China. Selama periode tersebut luas total lahan pertanian berfluktuasi. Namun, sejak tahun 1976 luas lahan padi di China terus menurun, hingga tercatat seluas 31 juta hektar pada tahun 1998. Alih-fungsi penggunaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi (misal: urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (misal: pemilikan lahan dan kebijakan lahan nasional), dan ekologi (misal: perubahan iklim, degradasi lahan, dsb). Selain itu, alih-fungsi penggunaan lahan di China juga dipengaruhi adanya perubahan kebijakan dari kontrol pemerintah menjadi kontrol pasar, perdagangan dunia serta pasar domestik.

Hualou et al. (2007) menganalisis karakteristik, faktor pendorong dan kebijakan untuk menekan perubahan penggunaan lahan di Kunshan, Provinsi Jiangsu, China. Penelitian ini menggunakan peta remote sensing (RS) dan data sosial ekonomi. Berdasarkan peta remote sensing (RS) diketahui bahwa lahan sawah, lahan kering dan hutan mengalami penurunan masing-masing sebesar 8.2 persen, 29 persen dan 2.6 persen selama tahun 1987 – 1994; 4.1 persen, 7.6 persen dan 8 persen selama tahun 1994 – 2000. Sementara itu, dalam waktu yang ber- samaan selama tahun 1987 – 1994 terjadi peningkatan untuk penggunaan kolam sebesar 48 persen, perumahan di perkotaan sebesar 87.6 persen, perumahan di perdesaan sebesar 41.1 persen, dan konstruksi sebesar 511.8 persen. Sedangkan selama tahun 1994 – 2000 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 3.6, 28.1, 23.4 dan 47.1 persen. Fragmentasi di semua wilayah terjadi secara signi- fikan. Empat faktor pendorong dalam perubahan penggunaan lahan di Kunshan adalah industrialisasi, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan reformasi ekonomi China. Kebijakan yang disarankan adalah pembatasan pertumbuhan perkotaan dan kebijakan berbasis insentif.

Mani dan Pandey (2000) melakukan penelitian mengenai permintaan lahan dari pertanian ke non-pertanian di Meerut, Pradesh. Temuan dari studi ini me- nyatakan bahwa permintaan lahan sejatinya muncul akibat dua kebutuhan dasar, yaitu: (a) sebagai komoditas konsumsi untuk perumahan, pariwisata, dan

(3)

sebagainya; dan (b) sebagai faktor produksi bagi berbagai sektor seperti: per- tanian, industri, dan infrastruktur. Jika dilihat dari elastisitas harganya, permintaan lahan non-pertanian lebih elastis karena banyaknya alternatif penggunaan lahan, tingginya produktivitas, tingginya distribusi pendapatan di perkotaan, dan dekatnya hubungan dengan pasar modal. Sedangkan elastisitas harga permintaan lahan pertanian tidak elastis karena rendahnya produktivitas, kurangnya alternatif penggunaan lahan, identik dengan kemiskinan petani, serta sulitnya kegiatan usaha tani.

Berdasarkan beberapa temuan empiris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konversi lahan sawah terjadi sebagai akibat tingginya persaingan lahan untuk penggunaan sawah maupun non-sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah: faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan industrialisasi dan urbanisasi, daya beli petani, dan harga), sosial (seperti: pertambahan penduduk, pemilikan lahan, dan sebagainya), dan ekologi (seperti: perubahan iklim, degradasi lahan). Lahan sawah yang dikonversi biasa- nya dialokasikan penggunaannya untuk perumahan, ublic y, pembangunan sarana ublic, pariwisata, dan sebagainya.

2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan

Penelitian Sumaryanto et al. (2006) difokuskan terhadap dampak konversi lahan sawah terhadap ketahanan pangan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah terjadinya degradasi daya dukung ketahanan nasional. Disebutkan bahwa semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang dikonversi, maka semakin tinggi pula kerugian akibat hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5 – 12.5 ton per hektar per tahun. Selain itu, konversi lahan sawah juga menyebabkan menurunnya pendapatan petani dan buruh tani yang kemudian berakibat meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Dampak negatif lainnya dari konversi lahan sawah, antara lain: pemubaziran investasi disebabkan banyak sawah beririgasi yang dikonversi; rusaknya ekosistem sawah; terjadinya perubahan struktur kesempatan

   

(4)

kerja dan pendapatan komunitas setempat yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan budaya dari masyarakat agraris ke masyarakat urban.

Sudaryanto (2005) juga menitik-beratkan penelitiannya pada dampak konversi lahan sawah terhadap produksi pangan nasional. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa selama tahun 1981 – 1999 telah terjadi konversi lahan sawah yang menyebabkan kehilangan produksi padi sebesar 8.89 juta ton dengan rincian kehilangan produksi di Jawa sekitar 6.86 juta ton dan di luar Jawa 2.03 juta ton. Data produksi tahun 1981, 1990, dan 2001 menunjukkan bahwa berkurangnya luas lahan di Jawa belum menurunkan luas areal panen maupun produksi padi, bahkan luas panen mengalami peningkatan. Peningkatan luas areal panen di Jawa tersebut disebabkan oleh peningkatan intensitas tanam, sedangkan peningkatan produktivitas disebabkan oleh perbaikan penggunaan teknologi, khususnya penggunaan varietas unggul. Selain itu, konversi lahan sawah di Jawa dan tingkat nasional belum berdampak pada penurunan produksi padi, karena adanya pencetakan sawah baru yang relatif besar di luar Jawa. Namun demikian, pencetakan sawah baru ini membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan produktivitas yang optimal, sehingga konversi lahan pertanian mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan pelambatan kapasitas produksi pangan.

Penelitian Irawan (2005) menegaskan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan yang tidak dapat segera dipulihkan, disebabkan oleh 4 alasan, yaitu: (a) lahan sawah yang sudah terkonversi tidak akan bisa kembali menjadi sawah (sifat permanen); (b) pencetakan sawah baru mem- butuhkan waktu yang panjang, sekitar 10 tahun; (c) sumber daya yang bisa dijadi- kan sawah semakin terbatas; dan (d) peningkatan produktivitas usahatani padi juga sulit dilakukan akibat stagnasi inovasi teknologi. Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini dikarenakan konversi lahan bersifat: (a) permanen, artinya masalah pangan tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi; (b) kumulatif, dimana pengurangan luas lahan yang bersifat permanen menyebabkan masalah pangan yang disebabkan oleh konversi lahan selama periode tertentu akan bersifat kumulatif; dan (c) progresif, artinya sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas lahan yang dikonversi di

(5)

lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan ikutan yang terjadi di lokasi sekitarnya.

Ketersediaan pangan dalam kuantitas yang sesuai kebutuhan secara nasional harus diikuti dengan distribusi pangan yang merata menurut tempat dan waktu sehingga dapat diakses oleh konsumen setiap saat. Akses pangan dibedakan atas: (a) akses fisik, yang dipengaruhi oleh sistem distribusi pangan; dan (b) akses ekonomik, yang dipengaruhi oleh daya beli pangan rumah tangga. Sementara itu daya beli pangan setiap rumah tangga sangat tergantung kepada harga pangan dan pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa konversi lahan pertanian tidak hanya mengurangi aksesibilitas ekonomik para buruh tani secara langsung, namun juga menurunkan daya beli pangan kelompok masyarakat lainnya yang secara tidak langsung merupakan dampak dari konversi lahan sawah (Irawan, 2005). Sementara itu, indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi daya beli (standar hidup layak) adalah real per kapita GDP adjusted1. Hal ini berdasarkan indikator UNDP (United Nations Develop- ment Programme).

Selanjutnya, temuan Ruswandi et al. (2007) menyatakan bahwa konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan meningkatkan peluang terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasi dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan non-pertanian. Penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di daerah Bandung Utara, dengan menggunakan model Regresi Linier Berganda. Laju konversi lahan diketahui melalui interpretasi Citra Landsat tahun 1992 dan 2002.

Sedangkan untuk mengetahui pengaruh konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dianalisis dengan Regresi Logistik Binary.

Handewi & Erwidodo (1994) melakukan kajian permintaan pangan di Indonesia menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk men-

      

1 http://www.lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil.

Nuhfil Hanani AR (Guru besar pada Prodi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional; Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Jawa Timur)

   

(6)

duga elastisitas permintaan dan pendapatan rumah tangga. Kajian ini menyimpul- kan bahwa elastisitas permintaan terhadap berbagai kelompok pangan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Sedangkan Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa kenaikan per- mintaan beras domestik dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan jumlah pen- duduk dan pendapatan konsumen. Harga gabah/beras terhadap jumlah penawaran bersifat inelastis. Selama ini peningkatan harga gabah/beras tidak berpengaruh nyata terhadap upaya petani untuk meningkatkan produksi padi. Penyebabnya karena luas lahan sawah garapan petani relatif sempit dan usahatani padi bersifat musiman (Irawan, 2005).

Malian et al. (2004) melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mem- pengaruhi produksi, konsumsi dan harga beras, serta inflasi bahan makanan. Hasil analisa menyimpulkan bahwa: (1) produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya, impor beras, harga pupuk Urea, nilai tukar riil, dan harga beras di pasar domestik; (2) konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras di pasar domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan nilai tukar; (3) harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar riil, harga jagung pipilan di pasar domestik, dan harga dasar gabah; dan (4) indeks harga kelompok bahan makanan dipengaruhi oleh harga beras di pasar domestik, nilai tukar riil, excess demand beras, harga dasar gabah, harga beras dunia, dan total produksi padi.

Berdasarkan beberapa temuan empiris di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah berdampak terhadap penurunan kapasitas produksi nasional yang berakibat terhadap penurunan ketersediaan beras. Sementara itu, konversi lahan sawah juga menurunkan luas lahan milik dan luas lahan garapan yang akhirnya akan menurunkan pendapatan petani dan buruh tani. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan dan akses pangan, baik secara nasional maupun per kapita. Selain itu, konversi lahan sawah juga berdampak terhadap pemubaziran investasi, rusaknya ekosistem sawah, terjadinya perubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan, serta perubahan budaya dari masyarakat agraris ke masyarakat urban.

(7)

2.3 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Ketersediaan dan Akses Pangan

Heerink et al. (2007) melakukan penelitian mengenai dampak reformasi kebijakan terhadap produksi pertanian, penggunaan input, dan perubahan kualitas tanah di China. Analisis dilakukan dengan menggunakan ekonometrika berdasarkan data pasar domestik maupun dunia, untuk menjelaskan perubahan harga beras dan pupuk di Provinsi Jiangxi. Metode Two-Stage Least Squares (2- SLS) digunakan untuk melihat hubungan antara penggunaan input terhadap produktivitas padi. Implikasi kebijakan yang disarankan dari penelitian ini, antara lain menyebutkan bahwa kebijakan meningkatkan harga pupuk lebih realistis dibandingkan menurunkan harga beras. Meningkatkan harga pupuk dilakukan dengan mengurangi subsidi terhadap produsen pupuk dan menerapkan pajak ekspor pupuk. Sementara itu, upaya pemerintah mengantisispasi penurunan pendapatan petani melalui pemberian pendapatan langsung kepada petani, dan upaya ini terbukti meningkatkan kualitas tanah di Provinsi Jiangxi, China.

Sementara itu, Khan et al. (2009) melakukan penelitian mengenai pengelolaan air dan produksi tanaman dalam mendukung ketahanan pangan di China. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa China juga menempatkan program ketahanan pangan sebagai kebijakan pembangunan nasional. Hal ini terkait kebijakan antropologi dan sosial politik, yang meliputi: laju pertumbuhan populasi, urbanisasi dan industrialisasi, alih-fungsi penggunaan lahan dan kelangkaan air, pertumbuhan pendapatan dan transisi nutrisi pangan, serta gon- cangan pasar energi dan pangan dunia. Adanya goncangan dalam pasar energi dunia dapat mempengaruhi harga pangan dan biaya penawaran. Sementara itu, penelitian Chengli et al. (2003) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi produksi padi, pemerintah China melakukan berbagai upaya, antara lain: per- baikan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas hingga 2 – 3 kali lipat, optimalisasi lahan (inter-cropping, multi-cropping, agroforestry, no/or mini-mum tillage), dan peningkatan rasio peng-gunaan pupuk organik terhadap pupuk anorganik. China juga menerapkan kebijakan impor beras sebanyak 10 persen dari total kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam jangka pendek.

   

(8)

Penelitian Zhen et al., (2005) mengenai implementasi kebijakan yang meminimalisasi hilangnya lahan subur melalui investasi infrastuktur di China.

Pemerintah China mengadopsi teknologi penghemat air dan menyediakan dana yang besar untuk kebutuhan tersebut, termasuk memberi insentif bagi petani yang berhasil menggunakan air secara efisien. China juga mengembangkan wet/dry irrigation sebagai alternatif untuk menghasilkan beras lebih banyak dengan kadar air yang lebih sedikit. Temuan yang diperoleh adalah bahwa selama 100 tahun, China mampu memenuhi kebutuhan nitrogen bagi pertumbuhan padi dan gandum dari sumber organik. Pemerintah China mengganti penggunaan faktor produksi kimia yang merusak lingkungan dengan praktek budidaya tradisional, seperti:

rotasi tanaman, pupuk organik, predator biologi, serta daur ulang sampah dan residu usahatani. Selain itu, rekayasa genetika tanaman pangan juga dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan.

Irawan (2005) melakukan studi mengenai simulasi ketersediaan beras nasional dengan pendekatan sistem dinamis, untuk mengetahui akurasi dan validitas model. Data periode 1980 – 1995 digunakan untuk memprediksi keadaan tahun 1998 – 2000. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana tahun 1992 – 2002 sebesar 0.77 persen per tahun dan penerapan teknologi budidaya padi sawah tidak beranjak dari keadaan 1990 – 2000.

Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing sampai 0 persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama juga perlu upaya peningkatan produk- tivitas padi sebesar 2 – 2.5 persen per tahun sebagaimana pada swasembada beras tahun 1983 – 1985. Kebijakan perluasan areal lahan sawah baru di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah.

Selain beberapa instrumen kebijakan ekonomi sektor pertanian yang telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan harga (input maupun output) juga sering diimplementasikan pemerintah untuk melindungi petani. Salah satunya adalah kebijakan harga output yang dikenal dengan kebijakan Harga Dasar yang

(9)

bertujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga secara drastis pada saat panen raya (suplai melimpah). Kebijakan Harga Dasar ini ditetapkan oleh pemerintah dan telah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Dasar Pembelian Gabah (HDPG), Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Adapun yang dipakai sampai sekarang ini adalah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sekilas perubahan HDG menjadi HPP seolah tidak memiliki perbedaan mendasar. Namun sebenarnya ada perbedaan yang sangat mendasar dari perubahan nama tersebut (Simatupang, 2003). Perbedaan antara HDG dan HPP disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbedaan antara HDG dan HPP

Komponen HDG HPP

ƒ Pembentukan harga

ƒ Pemerintah melalui Bulog membeli kelebihan pasokan dalam jumlah besar sehingga petani mendapatkan harga minimal tidak dibawah HDG.

ƒ Pemerintah tidak menjamin bahwa harga gabah yang diterima petani selalu berada di atas HPP yang ditetapkan.

ƒ Penjaminan harga ƒ Pemerintah berkewajiban

& bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani.

ƒ Pemerintah tidak lagi berkewajiban &

bertanggung jawab untuk menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani.

ƒ Pemberlakuan harga

ƒ Berlaku di tingkat petani, sehingga Bulog

menanggung biaya angkut, transportasi, dll.

ƒ Berlaku di gudang Bulog.

Bulog tidak menanggung biaya angkut,

transportasi, dll, sehingga HPP yang ditetapkan pemerintah bukanlah HPP yang diterima petani, melainkan harga yang diterima pedagang rekanan Bulog.

Sumber: Simatupang (2003)

Berbeda dengan Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebenarnya adalah harga pembelian petani untuk mengisi stok Bulog

   

(10)

sebesar 8 – 10 persen dari total produksi nasional. Ini merupakan konsekuensi pasca-penandatanganan perjanjian pertanian WTO pada tahun 1995, sehingga terjadi liberalisasi perdagangan dengan indikator: a) pembebasan bea masuk impor beras sampai 0 persen; b) pencabutan status Bulog sebagai lembaga pe- nyangga; c) pencabutan subsidi input dan liberalisasi tataniaga pupuk tahun 1998.

Perjanjian WTO tersebut memberi dampak terutama pada perubahan fungsi Bulog dan perubahan HDG menjadi HPP.

2.4 Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan

Penelitian Kusumaningrum (2008) mengenai dampak kebijakan harga dasar pembelian pemerintah terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia menyimpulkan bahwa kombinasi kebijakan menaikkan harga dasar pembelian pemerintah sebesar 15 persen bersamaan dengan kebijakan lain (menaikkan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi dan irigasi masing-masing sebesar 5 persen, serta nilai tukar dan tarif impor 10 persen) menguntungkan produsen dengan penambahan surplus produsen, sedangkan konsumen dirugikan dengan kehilangan surplus konsumen. Kebijakan ini juga meningkatkan penerimaan pemerintah dari impor. Nilai net surplus tertinggi juga diperoleh dengan meng- implementasikan kombinasi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah bersamaan dengan kebijakan harga pupuk urea, luas areal intensifikasi, luas areal irigasi, tarif impor dan nilai tukar.

Penelitian Cahyono (2001) menyebutkan bahwa penetapan tarif impor akan membuat beras impor dan stok beras menurun, sedangkan harga gabah dan beras meningkat. Peningkatan impor secara besar-besaran akan meningkatkan net surplus yang dinikmati oleh konsumen, dan sebaliknya merugikan petani sebagai produsen. Peningkatan impor menekan harga beras sehingga pendapatan petani menurun. Sitepu (2002) menyimpulkan bahwa penetapan tarif impor yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang cukup penting untuk membatasi pasokan beras impor dengan tujuan untuk melindungi petani dari turunnya harga.

Lubis (2005) menambahkan bahwa besarnya jumlah impor beras dipengaruhi oleh harga beras di tingkat pedagang besar dan krisis moneter 1997.

Referensi

Dokumen terkait

kebutuhan biaya investasi yang tidak terlalu tinggi, usaha pengolahan limbah kulit kakao menjadi pektin menjadi reasonable untuk dilakukan oleh petani. Tingkat

Model Cooperative Tipe TGT Berbasis ATONG Bagi Siswa Sekolah Dasar untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada materi menjelaskan pengertian dan

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Reklame Dan Nilai Strategis

Website tidak sekedar menjual produk lurik tradisional, tetapi juga menampilkan proses pembuatan lurik yang rumit dan melalui proses yang panjang dengan pengerjaan

fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja,.. baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi / Tugas Akhir yang berjudul “ Korelasi Koefisien Permeabilitas dari Uji Constant Head dan Hasil Permeabiltas dari Uji

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi Sekolah Siaga Bencana (SSB) di SMPN 2 Cangkringan, 2) faktor pendukung dan penghambat, 3) resiliensi sekolah,

keyakinan diperoleh karena kepercayaan tentang kebenaran yang diletkan dalam suatu asersi yang memiliki bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar, sedangkan