• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ekowisata adalah salah satu bentuk wisata minat khusus yang saat ini tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ekowisata adalah salah satu bentuk wisata minat khusus yang saat ini tengah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Ekowisata adalah salah satu bentuk wisata minat khusus yang saat ini tengah berkembang. Menurut Damanik dan Weber (2006: 38), ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan. Ekowisata muncul sebagai solusi atas kekhawatiran terhadap wisata konvensional yang cenderung mengejar keuntungan ekonomi dan mengabaikan aspek sosial serta kelestarian lingkungan (Fennell, 2008: 17).

Di Indonesia, ekowisata juga tengah menjadi tren berwisata. Banyak wisatawan yang mulai peduli terhadap kelestarian lingkungan sehingga mereka memilih ekowisata sebagai pilihan berwisata. Perubahan tren berwisata disikapi secara positif oleh para penggiat pariwisata. Pembangunan pariwisata mulai memperhatikan prinsip-prinsip ekowisata. Hal tersebut juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pekalongan dengan mencanangkan Kecamatan Petungkriyono sebagai kawasan ekowisata1. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara, berupa kawasan pegunungan yang menjadi bagian dari dataran tinggi Dieng. Kawasan ekowisata Petungkriyono memiliki kenampakan alam yang asri dan didukung oleh berbagai daya tarik yang menjadikan kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan. Pembangunan pariwisata berbasis ekowisata mulai dilakukan secara bertahap sehingga beberapa potensi wisata berhasil dibuka.

1 Disampaikan oleh Ikhlas Ananda Kepala Bidang Statistik dan Litbang Bappeda Kabupaten Pekalongan pada Januari 2015

(2)

Gambar 1. Gerbang Kawasan Ekowisata Petungkriyono

(Foto oleh Budiatiningsih, 31 Desember 2015)

Di Petungkriyono terdapat sebuah daya tarik wisata yang telah berhasil mendatangkan banyak wisatawan yaitu Curug Bajing. Pada saat musim kunjungan seperti pasca hari raya Idul Fitri, tercatat sebanyak 5.000 pengunjung dalam satu minggu. Sedangkan pada hari biasa, jumlah kunjungan mencapai 100 – 200 orang dalam satu hari2. Daya tarik ini terletak di perbatasan Desa Tlogopakis dan Desa Curug Muncar yang pengelolaannya masuk ke Desa Tlogopakis. Desa ini memiliki banyak potensi seperti pertanian dan peternakan yang dapat mendukung pengembangan pariwisata. Saat ini sektor pariwisata di Desa Tlogopakis berada pada proses pengembangan untuk mendukung Curug Bajing sebagai daya tarik utama. Desa Tlogopakis yang merupakan daya tarik pariwisata di kawasan ekowisata, sudah seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip ekowisata dalam

(3)

pengembangannya. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengembangan pariwisata Desa Tlogopakis ditinjau dari prinsip-prinsip ekowisata. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disusun strategi pengembangan Desa Tlogopakis sebagai sebuah daya tarik ekowisata.

1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah potensi Desa Tlogopakis ditinjau dari aspek dasar destinasi pariwisata 4A (attraction, amenity, acess, ancillary service)?

2. Bagaimanakah kondisi Desa Tlogopakis ditinjau dari prinsip-prinsip ekowisata?

3. Bagaimana saran pengembangan Desa Tlogopakis sebagai daya tarik ekowisata?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui potensi Desa Tlogopakis ditinjau dari aspek dasar destinasi wisata 4A (attraction, amenity, access, ancillary service).

2. Untuk mengetahui kondisi Desa Tlogopakis ditinjau dari prinsip-prinsip ekowisata.

3. Untuk membuat rencana pengembangan Desa Tlogopakis sebagai daya tarik ekowisata.

1.4. Kegunaan

1.4.1. Manfaat teoretis

Secara teoretis penelitian ini berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu pariwisata khususnya terkait pengembangan ekowisata. Selain itu

(4)

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengembangan destinasi ekowisata.

1.4.2. Manfaat praktis

Secara praktis penelitian ini berguna sebagai acuan oleh pihak terkait dalam melakukan perencanaan pengembangan Desa Tlogopakis sebagai daya tarik ekowisata.

1.5. Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait Pengembangan Ekowisata telah banyak dilakukan sebelumnya, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dea Eka Marshita (2014) yang berjudul ”Strategi Pengembangan Desa Wisata Pancoh sebagai Desa Ekowisata di Kabupaten Sleman”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi Desa Wisata Pancoh beserta strategi pengembangan yang sesuai untuk menjadikan Desa Wisata Pancoh sebagai Desa Wisata yang berbasis ekowisata. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode analisis yang digunakan adalah analisis SWOT disertai evaluasi berdasarkan IFAS

(Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (Eksternal Factor Analysis

Summary), sehingga dihasilkan sebuah strategi pengembangan yang

mempertimbangkan faktor internal dan eksternal Desa Wisata Pancoh.

Penelitian selanjutnya berupa skripsi yang ditulis oleh Priska Maria Reskitorukmi (2015) yang berjudul “Konsep Pengembangan Destinasi Ekowisata di Pantai Nglambor, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pengembangan Pantai Nglambor yang sesuai dengan prinsip ekowisata. Penelitian ini merupakan

(5)

penelitian kualitatif dengan metode penelitian analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini berupa konsep pengembangan Pantai Nglambor yang memenuhi prinsip ekowisata, yaitu prinsip konservasi, edukasi, ekonomi, dan partisipasi masyarakat.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Siti Rukiah (2013) dengan judul “Strategi Pengembangan Desa Wisata Brayut Menjadi Wisata Unggul Berbasis Ekowisata”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan Desa Wisata Brayut beserta kendala-kendala yang dihadapi. Hasil dari penelitian ini berupa arahan pengembangan Desa Wisata Brayut untuk menjadi desa wisata unggul yang berbasis ekowisata, yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.

Ketiga penelitian tersebut memiliki relevansi pada fokus penelitian, yaitu penyusunan strategi pengembangan destinasi ekowisata dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Perbedaan terletak pada lokasi penelitian, yaitu Desa Tlogopakis yang berlokasi di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. 1.6. Landasan Teori

1.6.1. Aspek Dasar Destinasi Wisata 4A (attraction, amenity, access, ancillary

service)

Berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2010 tentang Kepariwisataan, destinasi pariwisata merupakan sebuah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Suatu destinasi pariwisata yang baik

(6)

harus didukung empat komponen yang dikenal dengan istilah 4A yaitu attraction,

amenity, acces, dan ancillary service (Cooper, dkk., 1993: 103).

Attraction atau atraksi wisata adalah segala daya tarik yang dimiliki oleh suatu destinasi wisata. Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Jadi atraksi wisata merupakan keanekaragaman alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung.

Amenity atau amenitas merupakan segala fasilitas pendukung yang disediakan

untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi. Menurut (Cooper, dkk., 1998: 106), fasilitas utama yang dibutuhkan dalam sebuah destinasi wisata terdiri dari akomodasi, rumah makan, retailing, serta fasilitas dan layanan pendukung lainnya.

Access atau akses adalah segala kemudahan transportasi yang diberikan kepada wisatawan dalam menjangkau destinasi wisata. Adapun menurut Yoeti (2008: 16), aksesibilitas merupakan semua prasarana yang memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk datang berkunjung pada suatu DTW. Menurut Pusat Studi Pariwisata UGM (2012), komponen aksesibilitas meliputi jaringan jalan, moda transportasi atau angkutan, kepadatan jalan/lalu lintas, waktu tempuh, serta rambu-rambu penunjuk objek. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, diketahui bahwa akses merupakan kemudahan yang diberikan kepada wisatawan berkaitan

(7)

dengan transportasi, seperti kondisi jaringan jalan, moda transportasi atau angkutan, kepadatan jalan/lalu lintas, waktu tempuh, serta rambu-rambu penunjuk objek.

Ancillary service berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau lembaga

yang mengurus dan mengelola suatu destinasi wisata, meliputi pemasaran, pengembangan dan koordinasi. Menurut Damanik dan Weber (2006: 16), kelembagaan dapat diartikan baik sebagai kebijakan maupun kegiatan-kegiatan yang mendukung perkembangan pariwisata. Kebijakan mencakup politik pariwisata yang digagas oleh pemerintah, seperti kebijakan pemasaran, jaminan keamanan, pembebasan visa, dukungan terhadap event budaya, standarisasi produk dan jasa wisata, sertifikasi kompetensi sumber daya manusia, dan sebagainya. Selain itu, masyarakat juga menjadi bagian dari kelembagaan pariwisata. Hal itu tampak ketika mereka membentuk organisasi yang menangani kegiatan wisata, baik dalam penyediaan produk maupun informasi dan promosi. Jadi, ancillary service merupakan lembaga pengelola yang bertanggung jawab atas pemasaran, pengembangan, serta kontrol atas pelaksanaan kegiatan pariwisata.

1.6.2. Ekowisata

Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah, ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.

(8)

Tabel 1. Perbandingan Teori Ekowisata PERMENDAGRI Nomor

33 Tahun 2009 FENNEL (2008)

Konservasi

Kontribusi bagi Upaya Konservasi (Contribute to

Conservation)

Berbasis Alam (Interest in Nature)

Ekonomis

Memberikan keuntungan bagi penduduk

lokal/Keuntungan jangka panjang (Benefits local

people/long term benefits)

Edukatif Pembelajaran dan Penelitian (Education and study) Kearifan Lokal Etika/Pertanggungjawaban (Ethics/responsibility) Partisipasi Masyarakat Manajemen (Management)

Keberlanjutan (Sustainable)

Kesesuaian Jenis Ekowisata -

Kepuasan dan Pengalaman -

- Berdampak rendah/non-konsumtif (Low impact/non

consumptive)

- Bergantung pada taman dan Kawasan Lindung (Reliance on parks and protected areas) - Skala kecil (Small scale)

Berdasarkan perbandingan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 dan Fennel (2008), maka diperoleh 10 variabel pengembangan ekowisata.

1. Berbasis Alam dan Konservasi

Menurut Larmaan dan Durst (1993) dalam Fennel (2008: 20), pariwisata berbasis alam merupakan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam. Adapun menurut Mill (1990: 22), setiap kawasan mempunyai kombinasi keunikan sumber alam yang beragam. Ciri terpenting bagi

(9)

pariwisata adalah keatraktifan yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu, ragam pemandangan alam, dan sejumlah ciri rekreasional yang dimungkinkan oleh sumber-sumber itu. Pada dasarnya, kegiatan ekowisata dilaksanakan di alam dengan memanfaatkan berbagai potensi alam yang tersedia.

Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembangunan Ekowisata di Daerah, upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Maka konservasi dalam hal ini diartikan sebagai upaya atau kegiatan melindungi, mengawetkan, serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana.

2. Ekonomis

Menurut Mubyarto (1993) dalam Yoeti (2008: 212), pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi yang mampu mengentaskan kemisikinan pada suatu daerah. Damanik dan Weber (2006: 42) menambahkan bahwa kegiatan ekowisata dapat memberikan keuntungan ekonomis yang tidak hanya mendukung kegiatan konservasi tetapi juga membantu pengembangan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Maka ekonomis dalam hal ini diartikan sebagai kondisi kegiatan ekowisata yang dapat memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

(10)

3. Edukatif

Menurut TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006: 40), kegiatan ekowisata seharusnya dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata harus bersifat edukatif. Dalam penelitian ini edukatif diartikan sebagai kondisi kegiatan pariwisata yang mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. 4. Kearifan Lokal

Pengembangan ekowisata hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan etika, adat istiadat, dan kearifan lokal yang hidup di masyarakat setempat. Menurut Gobyah (2003) dalam Hamka (2013: 1), kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau

ajeg3 dalam suatu daerah. Hal tersebut biasanya berupa tradisi sosial di masyarakat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat sebagai sebuah keharusan dalam hidup bermasyarakat.

5. Manajemen (Partisipasi Masyarakat)

Menurut Davis (1962) dalam Rizqina (2010: 15), partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam sebuah kelompok tertentu yang mendorongnya untuk ikut berkontibusi dalam mencapai tujuan kelompok serta ikut bertanggung jawab terhadapnya. Sedangkan menurut Conyers

(11)

(1991) dalam Rizqina (2010: 17), partisipasi masyarakat adalah keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pembangunan. Notoatmodjo (2007) dalam Sianturi (2015) menambahkan bahwa di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontribusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat berbentuk daya (tenaga) dan ide (pemikiran).

Adapun menurut Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 3 tentang Pedoman Pembangunan Ekowisata di Daerah, partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekowisata didefinisikan sebagai peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan masyarakat sekitar kawasan. Secara ringkas, partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan masyarakat yang dapat diukur melalui peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata.

6. Kesesuaian Jenis Ekowisata

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 2, jenis ekowisata yang terdapat di Indonesia meliputi ekowisata bahari, ekowisata hutan, ekowisata pegunungan, dan/atau ekowisata karst.

7. Kepuasan dan Pengalaman

Salah satu tujuan wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata adalah untuk memperoleh kepuasan batin. Kepuasan batin hanya bisa dicapai ketika mereka memperoleh produk wisata yang berkualitas, termasuk salah satu di

(12)

dalamnya adalah pelayanan. Menurut Mill (1990: 259), keramahtamahan dalam sebuah destinasi wisata merupakan hal yang sangat penting. Pelayanan yang ramah dari penyedia jasa dapat membuat wisatawan merasa nyaman. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata hendaknya memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung.

8. Ketergantungan pada Taman dan Kawasan Lindung

Kegiatan ekowisata biasanya dilaksanakan di sebuah taman atau kawasan lindung. Menurut Damanik dan Weber (2006: 40), ekowisata merupakan kegiatan berbasis alam. Kegiatan wisata dilaksanakan di alam seperti kawasan pegunungan, hutan raya dan taman nasional, perkebunan, dan laut. Sedangkan menurut Form (2004) dalam Damanik dan Weber (2006: 38), ekowisata diartikan sebagai kegiatan perjalanan wisata alam. Berdasarkan dua pendapat ahli tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan ekowisata dapat dilaksanakan di berbagai kawasan yang berupa alam, tidak harus berupa taman maupun kawasan lindung.

9. Berdampak rendah/non-konsumtif

Menurut Yoeti (2008: 195), penyelenggaraan pariwisata dilakukan secara sederhana, yang menonjol adalah memelihara keaslian lingkungan tanpa merusak alam, fauna dan flora, memelihara keaslian seni budaya tradisional masyarakat sekitar, dan terciptanya ketenangan, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam di sekitarnya. Oleh karena itu, maka pelaksanaan kegiatan pariwisata seharusnya sesuai dengan

(13)

keseharian, yaitu tidak dilakukan penambahan-penambahan yang mengkonsumsi banyak energi dan menghasilkan banyak limbah.

10. Skala kecil

Pembatasan kunjungan wisatawan dilakukan untuk menekan angka konsumsi yang memakan banyak energi, menekan jumlah limbah yang dihasilkan, dan optimalisasi upaya edukasi, serta ketercapaian upaya konservasi. Menurut Lincango and Wallace (1995) dalam Malek-Zadeh (2006: 121), penentuan tolak ukur kemampuan sebuah destinasi ekowisata disesuaikan dengan manajemen tempat wisata tersebut. Perbedaan karakteristik kawasan wisata tidak dapat disamakan dengan menggunakan sebuah ukuran angka baku. Berdasarkan pendapat tersebut, pembatasan kunjungan wisata didasarkan pada tingkat kemampuan manajemen dalam menjalankan kegiatan pariwisata.

1.7.Metode Penelitian

1.7.1. Teknik Pengambilan Data 1.7.1.1.Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan membaca buku dan undang-undang untuk memperoleh teori yang sesuai dengan topik penelitian, yaitu teori komponen dasar pariwisata dan prinsip pengembangan ekowisata. Studi pustaka juga dilakukan dengan menggunakan materi dari website dan penelitian ilmiah sebagai bahan penyusunan gambaran umum lokasi penelitian dan tinjauan pustaka.

(14)

1.7.1.2.Observasi

Observasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Utama dan Mahadewi, 2012: 52).

Observasi dilakukan dengan mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan kondisi fisik atraksi wisata, amenitas, dan aksesibilitas di kawasan wisata. Selain itu observasi juga dilakukan melalui pengamatan terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Desa Tlogopakis.

1.7.1.3.Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan. Tanpa wawancara penelitian akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden (Utama dan Mahadewi, 2012: 64).

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi pariwisata di Desa Tlogopakis, baik mengenai ketersediaan atraksi wisata, fasilitas pendukung, manajemen pengelolaan, maupun proses perkembangan pariwisata.

Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari ketua dan perwakilan anggota Pokdarwis Desa Tlogopakis, pelaku usaha di kawasan wisata Desa Tlogopakis, masyarakat Desa Tlogopakis meliputi pemuda, petani dan warga Dukuh Sipetung, serta wisatawan.

(15)

Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif yang dilakukan dengan membandingkan teori dengan fakta yang ditemukan di lapangan.

Pada tahapan pertama, peneliti melakukan pengelompokkan data temuan di lapangan, selanjutnya dilakukan interpretasi data ke dalam 4 aspek dasar destinasi wisata yaitu atraksi wisata, amenitas, aksesibilitas, dan ancillary service. Selanjutnya temuan potensi tersebut dianalisis menggunakan prinsip ekowisata, sehingga menghasilkan deskripsi mengenai kondisi pariwisata Desa Tlogopakis ditinjau dari prinsip ekowisata. Berdasarkan pertimbangan tersebut disusun sebuah rencana pengembangan yang diwujudkan ke dalam 4 aspek destinasi wisata (4A).

1.8. Sistematika Penulisan

Pada BAB I dipaparkan mengenai latar belakang pemilihan topik, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan, tinjauan pustaka, landasan teori, serta metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

Pada BAB II dipaparkan mengenai gambaran umum lokasi penelitian, yaitu Desa Tlogopakis di Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan.

Pada BAB III dipaparkan mengenai potensi Desa Tlogopakis berdasarkan aspek dasar pariwisata yaitu attraction, amenity, acces, dan ancillary service. Pada BAB IV dibahas mengenai analisis Desa Tlogopakis berdasarkan prinsip-prinsip ekowisata. Dalam bab ini akan dipaparkan pula strategi pengembangan Desa Tlogopakis sebagai daya tarik ekowisata.

Gambar

Gambar 1. Gerbang Kawasan Ekowisata Petungkriyono
Tabel 1. Perbandingan Teori Ekowisata  PERMENDAGRI Nomor

Referensi

Dokumen terkait

Arti kata dari “ Pengembangan Desa Kemuning sebagai Objek Wisata Minat Khusus Industri Teh ” adalah:.. Perancangan : Pe·ran·cang·an/ n proses, cara,

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain dengan konsep wisata pedesaan (rural tourism). Tujuan khusus dari penelitian

Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis yaitu membahas pengembangan objek wisata berbasis ekowisata, strategi yang digunakan menggunakan analisis SWOT, dan dampak

pengunjung wisata untuk menjaga kebersihan dan pelestarian alam, serta kondisi sosial, politik, ekonomi yang belum stabil; (3) prinsip ekowisata menjadi landasan

Tujuan pengembangan pariwisata kesehatan berbasis biofarmaka antara lain adalah untuk (1) meningkatkan peran masyarakat lokal sebagai pelaku atau subjek dalam

Diterbitkan oleh: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas PGRI Banyuwangi. Pengembangan Program Desa Wisata dan Ekowisata Berbasis

Dalam dua tahun terakhir, desa wisata kampung kelembak telah memulai, desa wisata kampung kelembak telah melaksanakan berbagai pengembangan kawasan ekowisata berbasis masyarakat dengan