• Tidak ada hasil yang ditemukan

Directory UMM :Data Elmu:doc:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Directory UMM :Data Elmu:doc:"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kenapa Proyek TPST Bojong (Harus)

Ditolak?

Lembar Fakta

Data dan Fakta Pelanggaran Hukum dan Tindak Pidana dalam Kasus Proyek TPST Bojong - Bogor[1]

1. Pendahuluan 2. Aspek Hukum

3. Aspek Lingkungan Hidup (a) Pencemaran Tanah (b) Pencemaran Air (c) Pencemaran Udara

(d) Rusaknya Sistem Transportasi 4. Aspek Teknologi

(a) Penetapan teknologi tidak konsisten dan tidak berperspektif Lingkungan Hidup

(b) Kapasitas mesin tidak sebanding dengan jumlah sampah yang masuk

(c) Uji coba gagal

5. Aspek Sosial dan Ekonomi

(a) Warga Bojong dan sekitarnya penggiat pertanian bukan pemulung

(b) Harga tanah turun drastis 6. Proyek Pemicu Konflik

Epilog: Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup Jenis Sampah

Alternatif Pengelolaan Sampah

Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)

Produksi Bersih dan Prinsip 4R

1. Pendahuluan

(2)

Pemkab Bogor telah mengorbankan ribuan warga dan sumber sumber penghidupan warga Bojong khususnya, dan kawasan Bogor Timur pada umumnya. Aspirasi warga Bojong dan sekitarnya yang menolak keberadaan proyek seolah tidak ada artinya di telinga para pejabat Pemkab Bogor maupun

Pemerintah Provinsi Pemprov DKI Jakarta.

Gunungan sampah sebesar 8.000 m3 (2.000 ton) dari 26,320 m3 perhari jumlah seluruh sampah dari Jakarta ini rencananya akan dibuang TPST Bojong. Kawasan seluas 20 hektar area yang merupakan tanah adat tersebut akan dialokasikan sebagai Tempat Pembuangan Sampah (TPA/TPST) seluas 70%, dan fasilitas pendukung 30%.

Pengalaman di kawasan Bantar Gebang Bekasi menyebutkan, akibat dijadikan kawasan tersebut sebagai TPA, warga sekitar menuai derita yang tiada berujung. Dampak, seperti Penyakit ISPA, Gastritis, Mialgia, Anemia, Infeksi kulit, Kulit alergi, Asma, Rheumatik, Hipertensi, dan lain-lain merupakan hasil penelitian di Bantar Gebang selama kawasaan tersebut dijadikan TPA.[2]

Penolakan datang sejak digulirkan oleh pemkab Bogor Bojong sebagai TPST antara lain desa Desa Bojong, Cipeucang, Situsari, Singasari, Sukamaju, Cikahuripan, dan Desa Mampir. Nyaris semua kegiatan penolakan terhadap pihak-pihak berwenang tidak ditanggapi secara positif, justru sebaliknya warga dianggap menghambat pembangunan sehingga warga diintimidasi, dan dikriminalisasi oleh aparat kepolisian. 2. Aspek Hukum

Dasar Hukum yang dipergunakan untuk melegalkan proyek TPA/TPST ini adalah Surat Keputusan (SK) Bupati

Kabupaten Bogor Nomor: 591/31/Kpts/Huk/2001 tentang Pemberian Izin lokasi untuk Pembangunan Tempat

Pembuangan Sampah Akhir (TPA) seluas ± 20 Hektar, terletak di desa Bojong, Kecamatan Cileungsi, atas nama PT. Wira Gulfindo Sarana. Serta SK Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor Nomor: 41 Tahun 2002 tentang Persetujuan Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan PT Wira Gulfindo Sarana Tentang Pembangunan dan Pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Bojong Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Setelah diteliti ternyata SK tersebut bertentangan dengan:

(3)

Tahun 2008 dan Perda No. 17 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor. Karena dalam Perda tersebut tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut sebagai TPA. Yang ada justru sebaliknya kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan

Pengembangan Permukiman perkotaan. Kalaupun ada, kawasan yang diperuntukkan sebagai lokasi TPA adalah desa Nambo Kecamatan Cileungsi dan kawasan tersebut khusus untuk lokasi TPA sampah dari

Kabupaten Bogor.

2. Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan hidup dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan hidup. Dalam

pembuatan AMDAL sangat tidak sesuai dengan prinsif dan nilai yang terkandung dalam Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Semestinya, sesuai dengan prosedur yang berlaku, sebelum adanya kegiatan proyek perlu ada kajian KA ANDAL (Kerangka Acuan Analisa Dampak

Lingkungan). Dan hal yang paling mendasar dalam proses ini adalah: pertama, kegiatan sosialisasi (public hearing) dan membuat kesepakatan dengan warga yang berpotensi terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, pihak pemrakarsa harus secara transparan menjelasakan dampak-dampak negatif dan positif apabila kegiatan proyek nantinya berjalan. Ketiga, dalam pembuatan AMDAL tersebut harus mencakup tiga hal; (i) aspek ekonomi, (ii) aspek lingkungan hidup, dan (iii) aspek teknis. Dalam proses ini, pihak pemrakarsa dan konsultan hanya

mengutamakan aspek ekonomi dan keuntungan bagi pemrakarsa saja tanpa memperhitungkan ekonomi masyarakat Bojong dan sekitarnya.

3. Undang-Undang Nomor 42 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terutama pasal 5 (ayat 2) yang menyatakan “Setiap orang berkewajiban mentaati Tata Ruang yang telah ditetapkan”. Dengan keluarnya SK No. 591/31/Kpts/Huk/2001, telah dengan sengaja Pemkab Bogor melakukan pelangggaran hukum. 4. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

(4)

tertembak peluru tajam serta 35 orang ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Bogor.

5. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-11-1991-03 tentang Tata Cara Pemilihan Tenpat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di mana dalam poin persyaratan disebutkan bahwa dalam penentuan TPA tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan yang telah ada.

6. Dalam Surat Keputusan Bupati Bogor tentang

pemberian izin lokasi untuk TPA sampah hanya seluas +/- 20 Ha, akan tetapi dalam kenyataan pihak PT. WGS menggunakan lahan lokasi seluas 35 Ha. 7. Diduga keluarnya SK Pimpinan DPRD Kabupaten

Bogor No.: 41 tahun 2002 tertanggal 08 November 2002 Tentang persetujuan kerjasama antara Pemkab Bogor dengan PT Wira Guna Sejahtera bermasalah (belakangan diketahui setelah dicek di sekretariat DPRD Bogor, SK tersebut tidak pernah dibahas, ini juga berasal dari keterangan anggota DPRD

Kabupaten Bogor). 3. Aspek Lingkungan Hidup

Bahwa ditinjau dari aspek lingkungan hidup, lokasi proyek sangat tidak layak. Secara geografis, lokasi TPST Bojong :

1. Sebelah Utara lokasi TPA hanya dipisahkan oleh jalan desa dan pemukiman warga juga terdapat situ (danau) dengan luas kurang lebih 100 ha, dimana dalam Perda No. 17 tahun 2000 diperuntukkan sebagai kawasan pariwisata.

2. Sebelah Selatan lokasi proyek berbatasan langsung dengan sungai Cikarang, merupakan sumber air bagi 7 desa di saat musim kemarau.

3. Sebelah Barat lokasi proyek merupakan sawah, merupakan mata pencaharian warga terutama warga Desa Bojong, Singasari, Situsari dan Sukamaju. 4. Sebelah Timur lokasi terdapat Situ (danau).

5. Dan lokasi TPA juga berada persis di tengah-tengah desa, setidaknya ada 7 desa yang sangat dekat dengan lokasi, antara lain desa Bojong, Situsari, Cipeucang, Singasari, Sukamaju, Cikahuripan dan desa Mampir. Dengan tetap memaksakan kehendak untuk

menjadikan TPA, berarti telah terjadi pelanggaran undang-undang No. 23 tahun 1997 pasal 5 ayat (1) yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

(5)

Cara Pemilihan Tempat Sampah minimal berjarak 300 meter dari lokasi TPA.

Perlu diketahui, dalam studi yang pernah dilakukan di TPA Bantar Gebang, beberapa kerusakan lingkungan yang hingga kini tidak bisa ditanggulangi akibat sebuah kawasan ekologi dijadikan TPA antara lain:

(a) Pencemaran Tanah

Dengan asumsi volume sampah yang tidak terolah sebanyak 600 ton per hari, maka diperkirakan dalam 1 (satu) bulan tumpukan sampah yang tidak terolah bisa mencapai 18.000 ton. Dan sampah tersebut akan menggunung seperti apa yang pernah terjadi di Bantar Gebang. Otomotis sampah akan mempengaruhi kualitas dan kuatitas lingkungan sekitar. Di mana diameter dampaknya bisa mencapai 0 sampai 10 km dari lokasi.

Kegiatan penimbunan sampah akan berdampak terhadap kualitas tanah (fisik dan kimia) yang berada di lokasi TPST dan sekitarnya. Tanah yang semula bersih dari sampah akan menjadi tanah yang bercampur dengan limbah/sampah, baik organik maupun anorganik baik sampah rumah tangga maupun limbah industri dan rumah sakit. Tidak ada solusi yang konkrit dalam pengelolaannya, maka potensi

pencemaran tanah secara fisik akan berlangsung dalam kurun waktu sangat lama.

Akibat dijadikan Bojong sebagai keranjang sampah, seluruh kawasan dekat lokasi TPA dan lahan yang dilalui oleh truk-truk sampah ke lokasi TPA tidak ada harganya. Warga semakin frustasi karena hanya tanah yang menjadi penopang perekonomian satu-satunya warisan paling berharga dari nenek moyang mereka. Bukan kultur warga Bojong dan sekitarnya menjadi pekerja informal apalagi sebagai pemulung.

(b) Pencemaran Air

Air tanah sebagai kebutuhan utama untuk pemenuhan

kebutuhan bagi masyarakat Jonggol dan sekitarnya terancam keberadaannya. Pengalaman Bantar Gebang menyebutkan, bahwa sampah apapun dapat diterima, sampah pasar dan sampah rumah tangga, limbah industri dan bahkan limbah rumah sakit pun akan masuk ke TPA. Hal ini akan

(6)

Hasil penelitian Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa pencemaran di Bantar Gebang pada bulan September 1999 menyebutkan 40% derajat keasaman air telah diambang batas, 95% ditemukan bakteri ecoli di air tanah (bakteri yang bisa menyumbat saluran pernafasan).

(c) Pencemaran Udara

Kegiatan penimbunan sampah menimbulkan bau tidak sedap, baik pada lokasi TPST maupun daerah sekitarnya dan jalur yang dilewati. Dampak bau bukan bersifat sementara, malainkan selama TPST masih berfungsi, maka bau tidak sedap akan terjadi selam kegiatan berlangsung. Radius bau sampah dari lokasi TPST berjarak antara 0 – 10 km, maka Desa yang paling besar menerima dampaknya adalah Desa Bojong, Cipeucang, Situsari, Singasari, Sukamaju, Singajaya, dan desa Mampir. Baik desa yang dilewati jalur transportasi pengakutan sampah maupun desa yang berada disekeliling lokasi proyek. Secara nyata kegiatn proyek akan berdampak terhadap kualitas udara khususnya bau dan meningkatnya kadar SO2 dan NH2 di udara secara permanen selama kegiatan proyek berlangsung. Secara otomatis, dengan tercemarnya udara maka kesehatan lingkungan penduduk di sekitar TPST akan terganggu, terutama penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).

Dalam temuan Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk sekitar Bantar Gebang positif menderita TBC. menurut sumber yang sama juga 99% mengalami infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), 6% penduduk mengalami tukak tulang.

Tidak dapat dihindari bahwa terjadinya kebakaran sampah akibat gas methan maupun sengaja akan berpengaruh pada perubahan iklim (climate change), dimana hasil-hasil pembakaran tersebut menyebabkan perubahan temperatur planet bumi semakin panas. Gas-gas yang menimbulkan efek rumah kaca, menyebabkan kerusakan lapisan ozon di

antaranya carbon dioxide, methan, dan clofluorocarbons (CFC). Kegiatan pembakaran sampah semakin melengkapi proses pemanasan global di samping emisi kendaraan bermotor (timbal, Pb), pembakaran bahan bakar minyak generator yang ada di lokasi proyek.

(d) Rusaknya Sistem Transportasi

Pada saat kegiatan konstruksi maupun operasi akan

(7)

disepanjang jalur yang dilalui oleh armada pengangkutan sampah.

Proses pengakutan sampah dari wilayah DKI Jakarta dengan volume sampah 2.000 ton atau 8.000 m3 per hari akan

membutuhkan intensitas lalu kendaran ke lokasi sangat tinggi. Dengan asumsi 1 truk rata-rata mengakut 15 m3, maka dalam satu hari membutuhkan sebanyak 533 truk. Dampak yang akan timbul antara lain : antrean panjang truk sampah yang bau dan adanya ceceran sampah dan air daru truk-truk tersebut. Badan ruas jalan semakin sempit dan akan cepat rusak akibat intesitas lalu lintas kendaraan yang melebihi kapasitas. Dengan demikian karena kondisi lingkungan sudah tidak nyaman mengakibatkan warga yang mempunyai usaha dan tinggal disepanjang jalan akan terkena berbagai penyakit, usaha warteg, dan pedagang makanan, akan mengalami kesulitan (bangkrut).

4. Aspek Teknologi

Bahwa dalam pelaksaan teknis, pemilahan antara sampah organik dan an-organik tidak dilakukan dari rumah-rumah atau TPS-TPS akan tetapi dibebankan kepada TPA Bojong. Siapa yang akan melakukan pemilahan tersebut?

Menggunakan metode manual berarti membutuhkan pekerja, apakah mampu pekerja bekerja selama 24 jam tanpa henti berkubang dengan sampah. Dengan terbengkalainya proses pemilahan maka semakin memperlambat proses dan sistem pengelolaan.

(a) Penetapan teknologi tidak konsisten dan tidak berperspektif Lingkungan Hidup

Kami menilai pihak pemrakarsa tidak konsisten, dari informasi yang kami terima tidak jelas teknologi apa yang akan dipakai. Dari awalnya disampaikan akan menggunakan

steknologi sanitary landfild berubah menjadi ballpress dan terakhir incenerator. Kalau mereka menyebut bahwa TPA ini ramah lingkungan tentu tidak akan pernah menggunakan teknologi incenerator. Karena incenerator telah ditolak oleh negara penemunya seperti Jepang, Eropa, Amerika, dan Filipina telah menutup 500 teknologi incenerator ukuran besar dan kecil karena menyebabkan penyakin kanker.

(b) Kapasitas mesin tidak sebanding dengan jumlah sampah yang masuk

Dalam penggunaan teknologi balapress, pihak PT. WGS tidak menghitung secara proporsinal. PT. WGS Hanya

(8)

900 ton per hari. Dengan asumsi 25% sampah anorganik, maka sampah organik yang harus diolah 75% atau kurang lebih 1.500 ton per hari. Dengan demikian masih tersisa 600 ton sampah per hari tidak terolah. Akan terjadi penumpukan yang cukup signifikan dalam setiap harinya. Belum

diperhitungkan juga sejauh mana kemampuan sumber daya manusia, kapasitas mesin yang tidak memadai, belum juga diperhitungkan ketika terjadi kerusakan mesin, padamnya listrik, dan sebagainya.

Pada sisi kemampuan pengelolaan sampah sebayak 2000 ton perhari juga tidak proporsinal dalam memepertimbangkan luas lahan. Izin operasional yang diberikan oleh pemda Bogor kurang lebih seluas 20 ha. 30% lahan untuk pengelolaan dan fasilitas lain, dan 70% lahan digunakan sebagai TPA atau 14 ha = 140.000 m3.

Dalam keterangan yang disosialisasikan kepada warga tinggi gundukan sampah setinggi 5 m. Kalau dikalkulasikan jumlah total sampah adalah 5 m x 140.000 m3 = 700.000 m3.

Sementara itu, volume sampah yang masuk ke TPA Bojong per hari 2.000 ton atau 8.000 m3. Diasumsikan sebayak 75%

sampah organik (bisa diurai) = 6.000 m3 per hari. Maka

700.000 m3 : 6.000 m3 per hari = 117 hari

Dengan asumsi di atas, ketika izin operasi lokasi 20 ha dan volume sampah 2.000 ton per hari, maka secara teori TPA Bojong hanya akan bertahan 117 hari atau kurang lebih 4 bulan. Sedangkan izin operasi sampai 5 tahun. Tentunya hal ini patut dipertanyakan, atau ada rencana lain dimana publik tidak boleh tahu?

(c) Uji coba gagal

Sosialisasi yang pernah diterima warga kawasan tersebut akan dijadikan pabrik keramik, akan tetapi kenyataan di lapangan TPST. Bahwa dalam Uji coba dilakukan tanggal 20-01-2003, sekitar pukul 11.00 WIB. Pihak TPST mengadakan uji coba Sistem Pengolahan Sampah (ball press), disaksikan oleh 20 warga desa Bojong terdiri dari 10 pria dan 10 perempuan. Menurut kesaksian warga, sistem Pengolahan Sampah (ball press) tidak sesuai dengan apa yang telah disosialisasikan oleh pihak TPST (seperti yang pernah disampaikan Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta lewat surat kepada WALHI Jakarta tertanggal 13 Januari 2004).

1. Sampah yang dikirim ke TPST menggunakan truk terbuka sehingga air sampah tercecer di sepanjang jalan menimbulkan bau .

(9)

keluar dari prosedur, beberapa di antaranya ialah: a. Tidak adanya pemilahan sampah, sampah langsung

dimasukan ke dalam corong untuk di bala press. Dalam proses bala press, tali (gulungan) pemintal terputus–putus sehingga sampah tidak dapat di ball press.

b. Air lindi dibiarkan tergenang di lantai, tidak ditampung dalam bak penampung.

c. Sampah yang akan di bala press (1 ball press) memakan waktu ± 1 jam.

PT. Wira Guna Sejahtera/Wira Gulfindo (WGS), Pemprov DKI Jakarta, Pemkab Bogor telah melakukan kebohongan publik, dan dengan fakta tersebut, kalau proyek TPST Bojong tetap dilanjutkan maka kebohongan dan manipulasi besar-besaran semakin tidak dapat dihindari dan sekali lagi warga Bogor Timur akan dirugikan.

5. Aspek Sosial dan Ekonomi

(a) Warga Bojong dan sekitarnya penggiat pertanian bukan pemulung

Sejak adanya TPST Bojong, telah sering terjadi konflik kepentingan sesama warga. Tetapi yang sangat merisaukan adalah kelompok masyarakat pendatang (Pemulung dari Banntar Gebang sangat mungkin akan eksedus ke Bojong). Perlu diketahui, warga Bojong bukan pekerja informal, mereka pekerja formal seperti petani, peternak, pedagang, pegawai negeri dan pegawai swasta. Tidak mungkin warga mau bergelut dengan sampah dan merubah cara hidup menjadi pemulung seperti yang terjadi di Bantar Gebang. Dengan datangnya pihak luar, tidak menutup kemungkinan warga lokal akan keberatan katena beda budaya, tradisi, dan perilaku dalam berkehidupan.

Sosialisasi yang disampaikan pemrakarsa kepada warga akan menjanjikan lapangan pekerjaan. Warga yang mana? Warga setempat tidak butuh lowongan kerja apalagi pekerja informal. Justru dengan dijadikan lokasi tersebut sebagai TPA akan ada komunitas baru yang datang (pemulung Bantar Gebang, dan lain-lain) secara besar-besaran. Hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan antara pendatang dan warga setempat. (b) Harga tanah turun drastis

(10)

tercemar oleh air lindi. Dengan tercemarnya ekosistem yang ada, secara otomatis, kegiatan perekonomian akan mati secara sistematis.

6. Proyek Pemicu Konflik

Sejak awal keberadaan proyek telah ditolak oleh warga dari 7 (tujuh) Desa. Penentangan warga Bojong dan sekitarnya telah terjadi sejak pertama kali adanya kendaraan proyek yang masuk ke desa Bojong pada awal 2003. Kendaraan truk pengangkut bahan untuk pelebaran jalan dan peralatan TPST. Penolakan baik bersifat fisik maupun lobi telah dilakukan, unjuk rasa ke berbagai instansi pemerintah dan lembaga negara terkait telah juga dilakukan. Namun, tetap saja pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi Jakarta serta pihak PT Wira Guna Sejahtera (PT WGS) memaksakan kehendak dan mengabaikan protes sosial dari warga. Dalam catatan WALHI, sepanjang tahun 2003-2005, sedikitnya telah terjadi 6 kali benturan sosial terbuka antara warga Bojong dan sekitarnya dengan aparat keamanan dan karyawan perusahaan. Kejadian ini tentu saja membawa korban jiwa dan kerugian materi yang tidak sedikit dari kedua belah pihak.

Epilog: Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup Pengelolaan Persampahan Menuju Indonesia Bebas Sampah (Zero Waste)

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas

manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat

berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak

menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.

Jenis Sampah

(11)

organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sapah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi

(membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dan lain-lain. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.

Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan

sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misalnya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.

Alternatif Pengelolaan Sampah

Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan.

Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam

(12)

produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat

mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem

pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu

mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.

Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.

Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah

(13)

pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya.

Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar

memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang

bermasalah.

Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan

pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu

menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.

Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)

Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.

Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah secara teknis, tidak rumit, dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.

(14)

selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.

Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi

kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia. Produksi Bersih dan Prinsip 4R

Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis.

Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian, misalnya, dengan menerapkan Prinsip 4R, yaitu:

1. Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. 2. Re-use (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah

barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah. 3. Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin,

barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.

4. Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami. [selesai]

(15)

WALHI, April 2005.

[2] Pembahasan menarik tentang studi mengenai Buruknya Manajeman Pengelolaan Sampah di Indonesia dapat dilihat pada tulisan Bagong Suyoto, “ Malapetaka Sampah: Kasus TPA Bantar Gebang, TPA/IPLT Sumur Batu, TPST Bojong”, Penerbit YAPPIKA, PIDUS, dan AKA Printing, Jakarta, 2004.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Erwin Usman

Pjs. Manajer Pendidikan, Pengkaderan, dan Penguatan Organisasi Rakyat

Email Erwin Usman

Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363 Mobile:

Fax: +62-(0)21-794 1673

Tanggal Buat: 22 Jul 2005 | Tanggal Update: 26 Jul 2005

Cetak hlm ini Email ke teman Kembali ke atas

Kerahasiaan | Pusat informasi | Penghargaan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Friends of the Earth Indonesia

Jl. Tegal Parang Utara No. 14 Jakarta 12790, INDONESIA

Tlp : +62(0)21-791 93 363 | Fax : +62(0)21-794 1673 | E-mail : info@walhi.or.id

Untuk keanggotaan atau donasi, hub Iwan - Div. Penggalangan Sumber Daya WALHI di nomor telp di atas | E-mail :

fund@walhi.or.id

Referensi

Dokumen terkait

31.1/3.Kt/0021/2017, telah melakukan Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) Dokumen Kualifikasi untuk Paket Pekerjaan Pengawasan.. Pembangunan Gedung Kuliah Terpadu STAIN

[r]

Sumber obat Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral yang aktif dalam

Penelitian ini menggunakan tiga buah instrumen yang berasal dari kajian teoritis dan instrumen tersebut telah diadakan uji cobakan untuk mengetahui

Kualitas Kimia dan Fisik Telur Ayam Lohmann Brown Akibat Pemberian Minyak Ikan Lemuru (Sardinella Longiceps). MAHFUDZ).. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Combined with their overall lower protein retention efficiency on the high protein and free choice dietary regimens (Table5), suggesting that protein requirements

Dalam penelitian kualitatif analisis data merupakan proses kegiatan yang. sangat

dan melakukan perumusan terhadap masalah pada penelitian tersebut sebagai dasar penentuan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian. Setelah tujuan dari penelitian