• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jalancagak. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jalancagak. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kecamatan Ciater adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 7.819,87 Ha. Batas administratif wilayah Kecamatan Ciater adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jalancagak  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat  Sebelah Timur berbasatasan dengan Kecamatan Kasomalang  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sagalaherang

Wilayah Kecamatan Ciater terdiri dari 7 desa yaitu Desa Ciater, Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari dan Desa Sanca dengan luas wilayah masing-masing adalah 1.094,250 Ha, 780,100 Ha, 832,400 Ha, 1.834,090 Ha, 954,000 Ha, 1.041 Ha dan 1.284,030 Ha. Suhu udara di Kecamatan Ciater sendiri berkisar antara 22°C sampai 32°C dengan jumlah curah hujan tahunan berfluktuasi rata-rata adalah 2.275 mm/tahun yang diiringi pola iklim basah sepanjang tahun dan kelembaban 60-70% (Monografi Kecamatan Ciater, 2004). Berdasarkan iklim tersebut daerah Ciater potensial untuk pengembangan sapi perah, mengingat kondisi klimatologis yang mendukung untuk pemeliharaan sapi perah FH di Indonesia yaitu tempat berketinggian 750-1.250 m dari permukaan laut dan bersuhu 18-30°C dengan kelembaban 55% (Firman, 2007). Selain menjadikan Ciater sebagai salah satu sentral sapi perah di Jawa Barat, hal tersebut menjadi daya tarik Ciater sebagai tempat pelaksanaan penelitian khususnya mengenai sapi perah.

(2)

Demo Research Silage Program adalah suatu program yang dilaksanakan oleh PT. Danone Dairy Indonesia dengan menunjuk Yayasan Sahabat Cipta sebagai pelaksananya. Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk menekan biaya ransum, meningkatkan kualitas pakan dengan cara melakukan inovasi teknologi pakan, dan meningkatkan produktivitas sapi perah dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas sapi perah meliputi produksi dan kualitas susu. Aspek ekonomis dihitung berdasarkan keuntungan kenaikan produksi susu yang dibandingkan tiap perlakuan. Pembuatan silase biomassa jagung dilakukan dalam tong plastik dengan tujuan untuk fleksibilitas dalam distribusi dan pemakaiannya. Jagung tiap perlakuan silase dilakukan dengan cara fermentasi selama minimal 21 hari dan didistribusikan kepada peternak untuk diberikan pada sapi-sapi yang terpilih dalam Demo Research Silage Program sehingga peternak akan mengetahui langsung terhadap setiap perubahan hasil Demo Research Silage Program ini.

Demo Research Silage Program dilaksanakan di peternakan rakyat Ciater. Proses pembuatan silase dilaksanakan di lokasi milik KPSBU di Ciater, Subang atau di Manoko, Lembang. Sumber bahan baku silase diambil dari petani setempat di Ciater, KPSBU, atau di petani di tempat lain. Harapan yang ingin dicapai dari Demo Research Silage Program itu sendiri diantaranya adalah memberikan informasi kepada peternak mengenai inovasi pakan sehingga motivasi peternak dalam menjalankan usahanya dapat bertambah seiring dengan berbagai kendala yang sering dihadapi yaitu kurang baiknya kualitas pakan dan ketersediaan pakan yang sedikit.

Pelaksanaan teknis Demo Research Silage Program bertempat di masing-masing kandang peternak. Hal tersebut menyebabkan peternak bisa mengetahui

(3)

hasil penelitian dan ikut terjun langsung ke dalam pelaksanaanya. Namun disisi lain, perbedaan daerah tiap peternak dengan iklim dan manajemen pemeliharaan yang berbeda menyebabkan hasil penelitian khususnya dalam aspek teknis berbeda pula.

Tabel 2. Lokasi Kandang Peternak Demo Research Silage Program

No. Nama Peternak Lokasi Kandang (Desa)

1. Anang Bin Ondi Panaruban

2. Tisnawati Panaruban

3. Dedi Mulyadi Panaruban

4. Ade Sapji Cigeureung

5. Carman Cigeureung

6. Rusman Cigeureung

7. Nandang Cigeureung

8. Mamat Sutialarang Cicadas

9. Ujang Rohendi Cicadas

10. Enos Supriatna Curug Rendeng

11. Yunan Bin Karmi Gunung Nutug

Bangunan kandang tiap peternak pada dasarnya adalah sama, menggunakan bangunan kandang dengan sistem kandang perah tradisional yakni bangunan atap kandang terbuat dari genteng dengan penopang kayu kemudian memakai alas dari semen dihampari karpet yang terbuat dari karet. Perbedaan bangunan kandang hanya dari bentuk tempat minum. Seluruh peternak yang mengikuti Demo Research Silage Program menggunakan tempat minum adlibitum kecuali Peternak Tisnawati. Bentuk tempat minum dari tiap peternak dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 3 dibawah ini.

(4)

Tabel 3. Bentuk Tempat Minum Tiap Peternak

No. Nama Peternak Bentuk Tempat Minum

1. Anang Bin Ondi Adlibitum

2. Tisnawati Tidak Adlibitum

3. Dedi Mulyadi Adlibitum

4. Ade Sapji Adlibitum

5. Carman Adlibitum

6. Rusman Adlibitum

7. Nandang Adlibitum

8. Mamat Sutialarang Adlibitum

9. Ujang Rohendi Adlibitum

10. Enos Supriatna Adlibitum

11. Yunan Bin Karmi Adlibitum

Berdasarkan Tabel 3 hanya Peternak Tisnawati yang tidak menggunakan tempat minum adlibitum. Hal tersebut disebabkan karena peternak Tisnawati tidak bersedia mendapatkan bantuan berupa perubahan tempat minum yang dilaksanakan oleh PT. Danone tahun 2007, sementara peternak lain yang terdapat dalam Tabel 3 bersedia untuk merubah tempat minum yang semula tidak adlibitum menjadi adlibitum.

Selanjutnya, pengggunaan pakan dari tiap peternak pada dasarnya adalah sama yaitu menggunakan rumput sebagai bahan pakan utama dan konsentrat sebagai bahan pakan penguat. Namun selain konsentrat, ada pula peternak yang menambahkan beberapa macam pakan lain sebagai pakan tambahan. Pakan tambahan yang digunakan tiap peternak berbeda-beda. Hal tersebut didasarkan

(5)

pada berbagai faktor. Pakan tambahan apa saja yang digunakan tiap peternak untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Pakan Tambahan yang Digunakan Peternak

No. Nama Peternak Pakan Tambahan

1. Anang Bin Ondi Ampas singkong

2. Tisnawati Ampas singkong

3. Dedi Mulyadi Ampas singkong

4. Ade Sapji Ampas tahu

5. Carman Ampas tahu, ampas singkong

6. Rusman Ampas tahu, ampas singkong

7. Nandang Ampas singkong

8. Mamat Sutialarang Dedak halus 9. Ujang Rohendi Kulit singkong 10. Enos Supriatna Ampas singkong

11. Yunan Bin Karmi Dedak halus, kulit singkong

Pakan tambahan yang digunakan peternak dalam usaha ternaknya selain rumput dan konsentrat adalah ampas singkong, ampas tahu, dedak dan kulit singkong. Ampas singkong yang dimaksud adalah limbah parutan singkong setelah diperas saripatinya masih dalam keadaan basah, peternak biasa menyebutnya “gabeng” dan didapatkan dengan cara membeli. Sementara ampas tahu yang dimaksud adalah limbah sisa dari pembuatan makanan olahan kedelai, yaitu tahu. Sama seperti ampas singkong, ampas tahu juga didapatkan peternak dengan cara membeli. Dedak yang digunakan Peternak Mamat dan Peternak Yunan adalah dedak halus yang didapat dari sistem barter dengan warga sekitar. Kemudian, kulit singkong yang dimaksud adalah limbah hasil pembuatan keripik singkong di daerah Ciater. Alasan tiap peternak menggunakan pakan tambahan disebabkan karena sapi yang hanya diberi pakan rumput dan konsentrat terkesan

(6)

tidak mencukupi, sehingga susu yang dihasilkan pun akan cenderung sedikit. Akibat daripada itu peternak menambahkan pakan lain selain rumput dan konsentrat seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Mengenai kepemilikan ternak, tiap peternak memiliki jumlah ternak yang berbeda. Rata-rata peternak memiliki lebih dari 2 ekor sapi laktasi, meskipun ada juga peternak yang tidak memiliki sapi laktasi. Lebih jelasnya mengenai jumlah kepemilikan ternak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skala Usaha Tiap Peternak

No Nama Peternak Skala Usaha (ekor) Jumlah

(ekor) Perah Kering Dara Anak Jantan

1. Anang Bin Ondi 1 2 - - - 3

2. Tisnawati 2 - 1 - - 3 3. Dedi Mulyadi 2 - 1 1 - 4 4. Ade Sapji 5 - 1 2 - 8 5. Carman 12 - 4 4 - 20 6. Rusman 3 2 - 1 - 6 7. Nandang 4 - - - - 4 8. Mamat Sutialarang 2 2 1 1 - 6 9. Ujang Rohendi 5 1 1 2 - 9 10. Enos Supriatna - 2 1 - - 3

11. Yunan Bin Karmi 5 1 1 1 - 8

Skala usaha peternakan sapi perah digambarkan oleh jumlah kepemilikan ternak sapi perah, disamping kriteria luas tanah, jumlah tenaga kerja, penerimaan, keuntungan dan hal-hal lain yang digunakan untuk mengukur suatu skala usaha. Beberapa penelitian menyebutkan terdapat kecenderungan bahwa banyaknya sapi perah yang dipelihara akan meningkatkan pendapatan yang diterima peternak, dengan asumsi bahwa semakin banyak sapi yang dipelihara akan semakin banyak produksi susu yang dijual. Suamba (1994) menyatakan bahwa jumlah kepemilikan

(7)

sapi perah berpengaruh nyata terhadap rataan produksi susu per ekor sapi betina produktif per hari.

Dengan usaha peternakan sapi perah yang masih merupakan usaha peternakan rakyat, maka didominasi peternak kecil atau “amatir” dengan kepemilikan 2-4 ekor sangat besar pengaruhnya, sedang peternak “professional” dengan rata-rata pemilikan 10 ekor atau lebih belum fenomenal (Lacto Media, 2001) dalam (Yunasaf, 2008). Peternak yang amatir ini selain tingkat kepemilikan sapi produktifnya rendah (1-2 ekor), juga pengetahuan dalam teknik beternaknya sangat minim. Demikian juga pandangan ekonominya dalam usaha peternakan sangat sedikit (Sjahir, 2003) dalam (Yunasaf, 2008).

Usaha peternakan sapi perah keluarga memberikan keuntungan jika jumlah sapi perah yang dipelihara minimal 6 ekor, walaupun tingkat efisiensi dapat dicapai dengan minimal pengusahannya 2 ekor dengan rata-rata produksi susu sebanyak 15 liter/hari. Persentase sapi laktasi merupakan faktor yang penting yang tak dapat diabaikan dalam tata laksana yang baik dalam suatu peternakan untuk menjamin pendapatan peternak. Peternakan sapi perah yang mempunyai sapi yang laktasi sebanyak > 60% adalah yang paling menguntungkan (Sudono, 1999). Berdasarkan Tabel 5. Ada 6 peternak yang memiliki sapi diatas 6 ekor adalah Peternak Ade, Carman, Rusman, Mamat, Ujang dan Yunan. Setelah dihitung persentase jumlah sapi laktasi dari jumlah kepemilikan 6 peternak tersebut, hanya Peternak Rusman yang memiliki sapi laktasi dibawah 60% dari total jumlah sapi kepemilikannya. Selain itu, ada 5 peternak yang tidak memberikan keuntungan pada usahanya disebabkan kepemilikan sapi dibawah 6 ekor, yakni Peternak Anang, Tisnawati, Dedi, Nandang dan Enos. Peternak Enos tidak memiliki sapi laktasi disebabkan pada bulan Oktober 2014, 2 ekor sapi laktasi miliknya mati

(8)

berurutan dalam selang waktu 3 minggu. Uraian mengenai skala kepemilikan sapi tiap peternak diatas menjadikan gambaran bahwa pendapatan sebagian besar peternak di Ciater masih tergolong menengah kebawah.

4.2 Identitas Informan 4.2.1 Usia

Usia peternak adalah lama peternak hidup hingga penelitian ini dilaksanakan. Berdasarkan komposisi penduduk, usia penduduk dikelompokan menjadi 3, yaitu usia < 15 tahun termasuk golongan usia belum produktif atau muda, umur 15-64 termasuk golongan usia produktif, dan usia > 64 termasuk usia tidak produktif atau tua (Badan Pusat Statistika, 2009). Pada golongan usia produktif biasanya seseorang lebih aktif dalam melakukan aktivitas seperti aktivitas bertani, beternak, jasa, dan buruh. Sejalan dengan pernyataan tersebut, jika dilihat pada Tabel 6. maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peternak yang mengikuti Demo Research Silage termasuk ke dalam golongan usia produktif. Usia dari tiap peternak dapat dilihat selengkpanya pada Tabel 6.

No Nama Peternak Usia (Tahun)

1 Anang Bin Ondi 62

2 Tisnawati 42 3 Dedi Mulyadi 30 4 Ade Sapji 49 5 Carman 55 6 Rusman 36 7 Nandang 41 8 Mamat Sutialarang 50 9 Ujang Rohendi 32 10 Enos Supriatna 61

11 Yunan Bin Karmi 35

(9)

Menurut pendapat Ibrahim dkk (2003) penggolongan adopter berdasarkan kecepatan adopsi dibagi menjadi 5 golongan, yaitu innovator (golongan perintis), biasanya didominasi oleh umur setengah baya dan jumlahnya sangat sedikit. Early adopter (golongan pengetrap dini), umunya berumur 25-40 tahun. Golongan ini dapat dijadikan mitra dalam menyebarkan inovasi teknologi pakan silase sehingga mempercepat proses adopsi inovasi. Early majority (golongan pengetrap awal), golongan ini pada umunya memiliki umur lebih dari 40 tahun dan berpengalaman. Golongan ini biasanya memperhitungkan dengan teliti keputusannya untuk menerima atau tidak sebuah inovasi. Late majority (golongan pengetrap akhir) dan laggard (golongan penolak) biasanya berumur lanjut, yaitu 60 tahun atau lebih.

Tabel 7. Persentase Usia Peternak Berdasarkan Golongan

No. Golongan Usia Jumlah orang Persentase %

1. Golongan Perintis 0 0

2. Golongan Pengetrap Dini 4 36,36

3. Golongan Pengetrap Awal 5 45,45

4. Golongan Pengetrap Akhir 0 0

5. Golongan Penolak 2 18,18

Jumlah 11 100

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada 81,81% peternak ada pada golongan pengetrap dini dan pengetrap awal. Dengan demikian peternak akan lebih memperhitungkan dengan teliti dalam menerima adopsi inovasi berupa teknologi pakan silase. Penolakan adopsi teknologi pakan silase kemungkinan bisa terjadi pada peternak golongan penolak dengan persentase 18,18%.

4.2.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan merupakan lama pendidikan yang ditempuh peternak pada bangku sekolah. Peternak dengan pendidikan yang relatif tinggi akan

(10)

cenderung terbuka menerima hal-hal baru dan berani mencoba hal tersebut. Tingkat pendidikan tiap peternak yang mengikuti Demo Research Silage dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Peternak

No Nama Peternak Tingkat Pendidikan Status

1. Anang Bin Ondi SD Tamat

2. Tisnawati SD Tamat

3. Dedi Mulyadi SMP Tamat

4. Ade Sapji SD Tamat

5. Carman SD Tamat

6. Rusman SD Tamat

7. Nandang SD Tamat

8. Mamat Sutialarang SD Tamat

9. Ujang Rohendi SMP Tamat

10. Enos Supriatna SD Tamat

11. Yunan Bin Karmi SMP Tamat

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan Tabel 8 informan memiliki tingkat pendidikan minimal SD dimana tingkat pendidikan tersebut merupakan syarat penunjang dalam memperlancar suatu pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik juga tingkat penyerapan pengetahuan saat pelaksanaan Demo Research Silage.

(11)

Peningkatan pendidikan akan menghasilkan peningkatan pendapatan di kemudian hari. Hal tersebut disebabkan oleh sumber daya manusia mampu meningkatkan kualitas hidup melalui suatu proses pendidikan, latihan dan pengembangan yang akan menjamin produktivitas kerja yang semakin meningkat (Tarigan, 2006).

Dengan tingkat pendidikan yang semakin baik maka peternak akan dipandang mudah untuk memahami tujuan dari pelaksanaan Demo Research Silage Program, berbeda halnya dengan peternak yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mereka akan dipandang kurang bisa untuk mengetahui kelebihan dan manfaat yang bisa didapat dengan mengikuti Demo Research Silage Program.

8 orang peternak yang hanya mengenyam pendidikan pada tingkat SD menunjukkan kesadaran peternak akan pentingnya pendidikan formal masih rendah. Hal itu mengindikasikan penyerapan adopsi teknologi mengenai silase kemungkinan tidak seluruhnya dapat diterima oleh peternak.

Sebagai upaya tambahan dalam memberikan pemahaman lebih kepada peternak, tim pelaksana Demo Research Silage Program melaksanakan kegiatan Penyuluhan. Kegiatan Penyuluhan tersebut dibarengi dengan cara penyampaian informasi yang baik dan mudah dimengeti oleh peternak. Selama Demo Research Silage dilaksanakan, pihak pelaksana melaksanakan kegiatan penyuluhan dengan interval 1 kali setiap 2 minggu program berjalan dengan tujuan seperti yang diutarakan sebelumnya.

4.2.3 Mata Pencaharian

Mata pencaharian dari tiap informan adalah seorang peternak sapi perah yang tergabung ke dalam beberapa kelompok, dimana beternak sapi perah adalah

(12)

pekerjaan pokok dari keseluruhan informan. Selain beternak sapi perah, ada beberapa informan mempunyai pekerjaan sampingan seperti berdagang, bertani, dsb.

Tabel 9. Mata Pencaharian Peternak

No Nama Peternak Mata Pencaharian Utama

Mata Pencaharian Sampingan

1. Anang Bin Ondi Peternak Buruh tani

2. Tisnawati Peternak -

3. Dedi Mulyadi Peternak -

4. Ade Sapji Peternak Buruh tani

5. Carman Peternak -

6. Rusman Peternak -

7. Nandang Peternak Pedagang

8. Mamat Sutialarang Peternak Buruh tani

9. Ujang Rohendi Peternak Pedagang

10. Enos Supriatna Peternak Buruh tani

11. Yunan Bin Karmi Peternak -

Berdasarkan Tabel 9 Ada 6 orang peternak yang memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan pokok mereka yaitu beternak sapi perah. Beberapa diantara peternak yang memiliki pekerjaan sampingan disebabkan karena usaha peternakan sapi perah miliknya masih tidak mencukupi untuk biaya kehidupan sehari-hari. Peternak Anang, Mamat dan Ujang hanya memiliki sapi perah laktasi kurang dari 60% total jumlah kepemilikan sapi mereka, bahkan Peternak Enos tidak memiliki sapi laktasi sama sekali. Banyaknya sapi laktasi berhubungan dengan produksi susu yang dihasilkan. Semakin banyak sapi laktasi, semakin banyak susu yang dihasilkan.

(13)

Jika dikaitkan dengan usia peternak pada bahasan sebelumnya, hubungan antara mata pencaharian peternak dengan usia ternyata tidak berpengaruh. Peternak Enos dan Anang dengan umur diatas 60 tahun masih memiliki mata pencaharian sampingan. Secara golongan usia, 2 orang peternak tersebut sudah hampir memasuki masa usia tidak produktif. Kemungkinan skala usaha dengan kepemilikan sapi yang sedikit menjadi faktor penyebab adanya mata pencaharian sampingan yang harus dikerjakan oleh kedua orang peternak tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa skala usaha, khususnya kepemilikan sapi laktasi berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan dan pendapatan yang diperoleh. Artinya 2 orang peternak tersebut, dan peternak lain yang memiliki mata pencaharian sampingan, kemungkinan tidak memperoleh pendapatan yang sesuai, sehingga tidak menjadikan usaha peternakan sapi perah sebagai tulang punggung pendapatannya.

4.2.4 Pengalaman Beternak

Berikut Tabel 10 merupakan lama pengalaman beternak dalam satuan tahun dari masing-masing peternak yang mengikuti Demo Research Silage Program.

Tabel 10. Pengalaman Beternak

No Nama Peternak Pengalaman beternak (Tahun)

1 Anang Bin Ondi 23

2 Tisnawati 14 3 Dedi Mulyadi 7 4 Ade Sapji 22 5 Carman 19 6 Rusman 9 7 Nandang 14 8 Mamat Sutialarang 7 9 Ujang Rohendi 7 10 Enos Supriatna 7

(14)

Pengalaman beternak menunjukkan lamanya seseorang dalam mengusahakan ternak. Pengalaman peternak tersebut dapat mempengaruhi keterampilan mereka dalam mengelola usaha ternak sapi perah, sehingga peternak yang mempunyai pengalaman lebih lama, relatif akan lebih mampu dalam mengelola usaha sapi perah dibandingkan dengan peternak yang memiliki pengalaman kurang.

Tabel 10 diatas menunjukkan bahwa seluruh peternak sudah menjalankan usaha ternaknya dalam jangka waktu yang cukup lama, diatas 7 tahun. Ada 5 peternak yang pengalaman beternaknya lebih dari 10 tahun yaitu Anang, Tisnawati, Ade, Carman dan Nandang. Jika dibandingkan dengan 6 peternak lainnya, 5 peternak tersebut dipandang akan lebih mampu dan lebih mudah untuk mengadopsi inovasi teknologi pakan berupa silase.

Lama beternak dengan kepemilikan ternak ternyata tidak berpengaruh. Peternak dengan lama beternak diatas 10 tahun, ternyata tidak menjadikan jumlah kepemilikan ternak mereka diatas peternak lainnya. Jika dilihat kembali Tabel 5. hanya peternak Carman yang memiliki jumlah kepemilikan ternak jauh diatas peternak lainnya yaitu 20 ekor. Sementara berdasarkan Tabel 10, yang memiliki pengalaman beternak diatas 10 tahun ada 5 orang, yaitu Peternak Anang, Tisnawati, Ade Sapji, Carman dan Nandang. Bahkan Peternak Anang dan Tisnawati memiliki kepemilikan ternak paling rendah, yaitu 3 ekor. Apabila hal tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai manajemen pemeliharaan, tentu tidak mungkin, karena peternak sudah berkecimpung di dunia sapi perah cenderung lama dibandingkan peternak lainnya. Kemungkinan tuntutan ekonomi yang menyebabkan hal tersebut. Peternak harus menjual ternaknya akibat kebutuhan yang banyak dan beragam, sementara pendapatan yang

(15)

dihasilkan dari usaha ternkanya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

4.3 Manfaat Finansial Penggunaan Ransum Berbasis Silase Biomasa Jagung Pada Peternakan Sapi Perah

Dalam suatu usaha ternak, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi perlu terus diupayakan, diantaranya dengan memperbaiki tatalaksana pemberian pakan baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga memberikan nilai tambah pada usaha ternak tersebut. Parameter nilai tambah tersebut dapat dilihat dari nilai net income change hasil analisis anggaran parsial.

Net income change menunjukkan selisih antara total keuntungan dan total kerugian yang diakibatkan oleh adanya perlakuan. Total keuntungan merupakan penjumlahan dari biaya yang dihemat dengan tambahan pola perlakuan pemberian berbagai tingkat silase biomassa jagung, sedangkan total kerugian merupakan penjumlahan dari tambahan biaya pemberian silase biomasa jagung.

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai net income change yang bervariasi dari tiap peternak. Hal tersebut disebabkan oleh selisih antara jumlah biaya dari penggunaan silase dan tanpa silase lebih besar dibandingkan dengan selisih antara pendapatan dengan penggunaan silase dan tanpa silase. Hal ini terlihat dari sisi produksi, seluruh peternak tidak mendapatkan kenaikan produksi susu sebagai akibat dari penggunaan silase berbasis biomasa jagung, kecuali Peternak Rusman. Disamping itu, biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan ransum berbasis silase biomasa jagung lebih kecil daripada biaya pakan yang sebelumnya digunakan oleh peternak. Selain itu faktor bulan laktasi yang berbeda pada tiap sapi perlakuan bisa menjadi faktor bervariasinya nilai net income change tersebut. Berikut merupakan hasil perhitungan net income change dari tiap peternak.

(16)

Tabel 11. Nilai Net Income Change Tiap Peternak No Nama

Peternak

Perlakuan Nilai net income change Kesimpulan 1. Anang R1 Rp 2.445,37/ ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 2. Nandang R1 Rp -12.561,08/ ekor/ hari Tidak memberikan

manfaat finansial 3. Enos R1 Rp 5.655,75/ ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 4. Tisnawati R2 Rp -10.800,50/ ekor/ hari Tidak memberikan

manfaat finansial 5. Ade R2, R3 Rp -12.226,96/ 2 ekor/ hari Tidak memberikan

manfaat finansial 6. Rusman R2, R3 Rp 30.661,30/ 2 ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 7. Yunan R2, R3 Rp 9.985,73/ 2 ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 8. Dedi R3 Rp 9.351,13/ ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 9. Carman R4 Rp 13.497,40/ ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial 10. Mamat R4 Rp -4.397,93/2 ekor/ hari Tidak memberikan

manfaat finansial 11. Ujang R4 Rp 10.974,49/ ekor/ hari Memberikan

manfaat finansial

Berdasarkan nilai net income change pada Tabel 11, didapat hasil yang bervariasi. Jika dilihat satu demi satu, tiap peternak memiliki komponen nilai perhitungan net income change yang berbeda (dapat dilihat selengkapnya pada bagian lampiran perhitungan nilai net income change). Secara keseluruhan, tidak ada peternak yang mendapatkan komponen tambahan pendapatan lebih besar dari komponen berkurangnya pendapatan. Meskipun demikian, terdapat hasil perhitungan nilai net income change yang positif. Hal tersebut jika dilihat dari hasil perhitungan, kemungkinan disebabkan karena adanya penghematan biaya

(17)

akibat penggunaan silase biomasa jagung pada tiap perlakuan dengan komposisi ransum yang berbeda.

Penurunan pendapatan yang dialami peternak pada tiap perlakuan mungkin disebabkan terjadi karena beberapa faktor. Jika dikaitkan dengan faktor pakan, produksi susu yang menurun adalah akibat dari penggunaan silase dalam ransum. Namun bila dipandang lebih jauh aspek teknisnya dan dikaitkan dengan faktor laktasi, penurunan produksi dan kualitas susu tersebut (dapat dilihat pada lampiran produksi dan kualitas susu dengan atau tidak menggunakan silase) kemungkinan diakibatkan karena sapi sudah melewati masa puncak laktasi. Masa laktasi adalah masa sapi itu sedang menghasilkan susu antara waktu beranak dengan masa kering. Produksi susu per hari mulai menurun setelah laktasi 2 bulan. Demikian pula kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, dan setelah 2-3 bulan masa laktasi maka kadar lemak susu mulai konstan dan naik sedikit (Sudono, 1999).

Pada peternak dengan perlakuan R1 dengan komposisi ransum 60% Silase-0 + 40% rumput + 0% konsentrat, tiap peternak mengalami penurunan pendapatan akibat penggunaan silase biomassa jagung. Namun, penurunan pendapatan tersebut diiringi dengan penurunan biaya yang dikeluarkan, sehingga tetap mendapatkan keuntungan, terkecuali peternak Nandang. Peternak Nandang mengalami penurunan pendapatan sebesar Rp 20.850,32/ekor/hari, sedangkan biaya yang dihemat adalah sebesar Rp 8.289,23/ekor/hari. Dengan demikian Peternak Nandang mengalami penurunan pendapatan yang lebih besar dan tidak sebanding dengan pengeluaran biaya, sehingga diduga itu menyebabkan net income change menjadi negatif. Peternak Nandang mendapatkan perolehan nilai

(18)

terendah diantara tiap peternak yang mendapat perlakuan R1, juga diantara 11 peternak yang mengikuti Demo Research Silage Program.

Perbedaan tiap peternak mengenai jumlah ekor sapi yang mendapat perlakuan didasarkan pada kepemilikan jumlah sapi laktasi ke-2 sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Ade, Rusman dan Yunan memiliki 2 ekor sapi perah laktasi ke-2 pada saat Demo Research Silage Program belum dilaksanakan, sehingga 2 ekor sapi milik mereka digunakan, dan itulah sebabnya 3 orang peternak tersebut mendapatkan 2 perlakuan yang berbeda. Sementara itu 8 peternak yang lain hanya memiliki 1 ekor sapi perah laktasi ke-2. Selain hal tersebut, keinginan peternak mengikuti Demo Research Silage Program merupakan faktor keikutsertaan 11 peternak tersebut diantara seluruh peternak di wilayah Ciater, Subang.

Pada peternak yang mendapat perlakuan R2 dengan komposisi ransum 60% Silase-1 + 10% rumput + 30% konsentrat atau R3 dengan komposisi ransum 60% Silase-2 + 20% rumput + 20% konsentrat atau yang mendapat 2 perlakuan R2 dan R3, peternak Rusman mendapatkan nilai net income change tertinggi sebesar Rp30.661,30/2ekor/hari atau senilai dengan Rp 15.330,65/ekor/hari. Hal tersebut disebabkan akibat pengurangan biaya pakan yang semula Rp 135.600/2 ekor/hari menjadi Rp 94.934,22/2ekor/hari, artinya ada penghematan biaya sebesar Rp 40.665,78/2 ekor/hari atau Rp 20.332,89/ekor/hari. Penghematan biaya tersebut adalah yang terbesar dibandingkan dengan peternak lain yang mendapat perlakuan R2 atau R3 atau R2 dan R3.

Pada perlakuan R4 dengan komposisi ransum 60% Silase-3 + 30% rumput + 10% konsentrat, hanya peternak Mamat yang mendapatkan nilai net income change negatif yaitu senilai Rp -4.397,93/2 ekor/hari atau senilai dengan besaran Rp -2.198,96/ekor/hari. Hal tersebut diakibatkan karena penurunan pendapatan

(19)

sebesar Rp 12.677,59/2 ekor/hari lebih tinggi dibandingkan dengan biaya dihemat sebesar Rp 8.279,66/ 2 ekor/hari.

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai net income change pada tiap peternak menunjukkan nilai terbesar pada peternak Rusman dengan nilai Rp30.661,30/2ekor/hari atau senilai dengan Rp 15.330,65/ ekor/ hari. Sedangkan nilai net income change terendah adalah pada peternak Nandang dengan nilai Rp-12.561,08/ekor/hari. Secara keseluruhan didapat 4 peternak yang memberikan nilai net income change negatif, dan sisanya yaitu 7 peternak memberikan nilai net income change positif. Keempat peternak yang mendapatkan nilai negatif adalah 1 peternak dengan perlakuan R1, 1 peternak dengan perlakuan R2, 1 peternak dengan perlakuan R2, R3, dan 1 peternak dengan perlakuan R4.

Secara garis besar, dilihat dari sudut pandang per perlakuan, R4 adalah perlakuan terbaik karena menghasilkan manfaat finansial diatas perlakuan lainnya. Peternak Rusman memang mendapatkan perlakuan R3 dengan nilai net income change tertinggi, namun nilai net income change dari 3 peternak lain yang mendapat perlakuan R3 masih dibawah dari yang mendapatkan perlakuan R4. Kemudian meskipun ada 1 orang peternak yang mendapatkan nilai net income change negatif, perlakuan R4 tetap menjadi perlakuan yang terbaik yang memberikan manfaat fnansial. Hal itu disebabkan karena nilai net income change negatif yang didapat peternak Mamat masih lebih besar dibandingkan dengan nilai net income change negatif yang didapat peternak Nandang pada perlakuan R1, peternak Tisnawati pada perlakuan R2, dan peternak Ade pada perlakuan R2 dan R3. Perlakuan R4 menjadi perlakuan yang direkomendasikan untuk penerapan di lapangan dengan komposisi ransum 60% S3 (70% cacahan jagung + 30% konsentrat) + 30% rumput + 10% konsentrat.

Referensi

Dokumen terkait

“ Ya Allah, berikanlah bagi kami dari rasa takut (kami) kepada-Mu sesuatu yang dapat menghalangi kami dari berbuat maksiat kepada-Mu, dan dari ketaatan

Adanya kesulitan pada para pemilik usaha penjualan pakaian(Butik) dalam menentukan lokasi yang tepat untuk mendirikan Butik yang sesuan dengan keinginan pemilik usaha dalam

Beberapa parameter uji yang diteliti pada analisis limbah cair industri rumah tangga perikanan dan penentuan bobot adsorben optimum adalah parameter warna secara

 Pada konsep temperatur yaitu pada termokopel ini menggunakan dua termokopel yang dimana memiliki temperatur yang berbeda maka akan terbentuk aliran energi yang

Selain sentimen global, pergerakan IHSG pada pekan ini akan dipengaruhi pertemuan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan..

masing baris yang paling minimum dan setelah dihasilkan tablo yang baru atau tereduksi, lanjutkan dengan mengurangi entri biaya setiap kolom dari tablo transportasi yang

Seperti yang dikemukakan Semi (1993): “berbicara atau bercakap memainkan peranan penting karena bahasa pada hakikatnya adalah bahasa lisan”. Dalam kehidupan sehari-hari

Untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi kecil, pemerintah melakukan upaya dengan memberikan kredit sebagai modal kerja dengan jumlah yang berbeda sesuai dengan