• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV DATA DAN ANALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tugas Sarjana Teknik Material BAB IV DATA DAN ANALISA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

DATA DAN ANALISA

IV.1 Data dan Analisa Produk Alumnium Foam Utuh

IV.1.1 Variasi Temperatur Proses Terhadap Densitas Produk

Tabel IV. 1 Data densitas aluminium foam terhadap rasio pencampuran Tahap I : Variasi rasio pencampuran pada temperatur tetap sekitar 7500C

No W Aluminium (gr) W CaCO3 (gr) W Al-powder (gr) Rasio CaCO3: Al-powder Temp proses (0C) Densitas foam bulk (gr/cc) 1 157 4.7 0 10:0 750 2.41 2 186 5.58 0.56 10:1 763 1.16 3 187 5.61 1.68 10:3 750 0.83 4 181 5.43 2.72 10:5 753 1.04

Densitas Al Foam bulk terhadap rasio penambahan aluminium powder 0.6 1 1.4 1.8 2.2 2.6 0 1 2 3 4 5 6

Rasio penambahan Al powder per sepuluh berat CaCO3

D en si tas Al F o am b u lk (g r/ cc )

Gambar IV. 1 Grafik densitas aluminium foam terhadap rasio pencampuran

Hasil pengujian densitas untuk produk foam dengan variasi rasio foaming agent, yang diperlihatkan pada tabel IV.1 dan gambar IV.1, menunjukkan tingkat denstitas paling rendah dimiliki oleh produk dengan rasio CaCO3:aluminium powder = 10:3,. Terjadi

kecenderungan naiknya densitas pada penambahan rasio aluminium powder terhadap CaCO3 diatas 10:3, hal yang sama juga terjadi ketika rasionya dikurangi

(2)

Muhammad Fida Helmi 13703040 61 Analisa Pengaruh Rasio CaCO3 : Al powder Terhadap Densitas Produk Foam

Proses foaming pada pembuatan produk aluminium, didasarkan pada dekomposisi CaCO3 membentuk CaO dan CO2. Gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses

tersebut mempunyai tekanan yang cukup untuk menghasilkan gelembung, sampai akhirnya terbentuklah porositas pada produk. Tingkat keberhasilan foaming salah satunya terletak pada kemampuan foaming agent untuk terdispersi secara merata pada aluminium cair sehingga menghasilkan porositas secara homogen disetiap bagian produk.

Akan tetapi, CaCO3 memiliki keterbatasan untuk terbasahi oleh aluminium cair, atau

dengan kata lain memiliki wettabiliy yang rendah. Meskipun tingkat densitasnya mendekati aluminium, dikarenakan surface energy partikel CaCO3 sudah cukup stabil

(rendah), menjadikannya tidak mudah untuk terbasahi oleh aluminium cair. Untuk itu, diperlukan agen pendispersi (dispersant agent) berupa aluminium powder. Cara kerja aluminium powder adalah sebagai jembatan penghubung antara partikel CaCO3

dengan aluminium cair. Partikel aluminium powder mampu menempel dan mengelilingi partikel CaCO3 dengan baik, karena tingkat surface energy-nya terhadap

volume yang tinggi. Kemudian, perlindungan oleh lapisan serpih aluminium powder ini memberikan kesempatan pada partikel CaCO3 untuk terdispersi secara merata,

sebelum akhirnya mencair sepenuhnya pada aluminium cair.

Melalui analisis lebih lanjut, ternyata reaksi foaming agent tidak sepenuhnya didasarkan pada dekomposisi CaCO3(s) membentuk CaO(s) dan CO2(g) saja. Tetapi,

terdapat reaksi lain yang mengikutinya, yaitu reaksi antara CaCO3 dan aluminium

cair. Oleh karena itu, rasio pencampuran rasio foaming agent berpengaruh dalam menentukan kontak antara keduanya.

Pada foaming agent tanpa campuran aluminium powder (10:0), tidak terjadi proses

foaming. Hal ini dikarenakan CaCO3 tidak mampu terdispersi kedalam aluminium cair.

CaCO3 yang dituangkan kedalam aluminium cair hanya menggumpal diatas

permukaan.

Pada rasio CaCO3:Al powder = 10:1, jumlah serpih aluminium powder yang sedikit

tidak sepenuhnya mampu menempel pada partikel CaCO3. Sebagai akibatnya CaCO3

(3)

menempel pada aglomerat tersebut. Oleh karena itu, campuran foaming agent akan memiliki aglomerat yang lebih besar. Pada saat proses foaming, aglomerat tersebut akan menghasilkan gas CO2 yang lebih banyak sehingga membentuk gelembung

yang juga lebih besar. Tetapi, saat pencampuran, aglomerat tersebut tidak dapat terdispersi dengan baik kedalam aluminium cair sehingga terdapat densitas yang tinggi pada bagian bawah produk.

Penambahan rasio CaCO3:Aluminium powder = 10:3, menghasilkan produk

aluminium fomm yang paling optimal. Melalui rasio ini, foaming agent mampu menghasilkan porositas yang tersebar merata dan densitas yang paling rendah.

Pada penambahan rasio CaCO3:Aluminium powder = 10:5, partikel CaCO3 dapat

dikelilingi aluminium powder dengan lebih baik. Hal ini menjadikan dispersi lebih mudah dibanding pada rasio 10:1. Tetapi perlu dicermati, bahwa lapisan aluminium

powder disekitar aglomerat CaCO3 yang terlalu tertutup, ternyata tidak cukup baik

untuk proses foaming. Lapisan tersebut justru menjadi penghalang reaksi antara CaCO3 dengan aluminium cair. Reaksi yang kurang cepat menyebabkan campuran

foaming agent akan bergerak keatas sehingga tidak terjadi penumbuhan gelembung

yang terdistribusi merata. Hasilnya adalah densitas foaming yang tinggi dibagian bawah foam. Berikut ini perbandingan gambaran mikro foaming agent antara rasio 10:3 dan 10:5.

a) b)

Gambar IV. 2 a) foaming agent dengan rasio campuran CaCO3 : Aluminium powder = 10:3, b) foaming agent dengan rasio campuran = 10:5

Aluminium Powder CaCO3

(4)

Muhammad Fida Helmi 13703040 63 IV.1.2 Variasi Temperatur Proses Terhadap Densitas Produk

Tabel IV. 2 Data densitas aluminium foam terhadap temperatur Tahap II : Variasi temperatur pada rasio pencampuran tetap 10:3

No W Aluminium (gr) W CaCO3 (gr) W Al-powder (gr) Rasio CaCO3: Al-powder Temp pouring (0C) Densitas foam bulk (gr/cc) 5 181 5.43 1.63 10:3 795-800 1.59 3 187 5.61 1.68 10:3 750-760 0.83 6 175.5 5.27 1.58 10:3 700 0.90 7 225.27 6.76 2.07 10:3 655 1.25

Densitas Al Foam bulk terhadap temperatur proses

0 0.5 1 1.5 2 600 650 700 750 800 850

Temperatur tuang foaming agent (0C)

D en s it as A l F o a m b u lk ( g r/ cc)

Gambar IV. 3 Grafik densitas aluminium foam terhadap temperatur

Hasil pengujian, disajikan dalam tabel IV.2 dan gambar IV.3, memperlihatkan nilai densitas aluminium foam utuh terkecil didapatkan saat temperatur penuangan

foaming agent adalah 7550C. Terjadi kecenderungan naiknya densitas, yaitu ketika

temperatur penuangan dilakukan pada temperatur diatas 7550C. Pengamatan proses

foaming pada temperatur 8000C memperlihatkan pengembangan yang lebih tinggi

daripada pada temperatur 7550C, namun kemudian foam mengempes secara

signifikan.

Analisa Pengaruh Temperatur Terhadap Densitas Produk Foam

Proses keberhasilan foaming tergantung pada berbagai macam faktor, termasuk diantaranya adalah tingkat viskositas. Pada proses pembuatan aluminium foam, seperti halnya rute direct melting yang dilakukan oleh ALPORASTM, lazim

ditambahkan Ca ataupun MnO2 sebagai thickening agent untuk menambah tingkat

(5)

untuk mempertahankan bentuk gelembung agar tidak pecah dan rusak, dengan cara memberi pengaruh pada surface tension.

Pada penuangan foaming agent di temperatur 8000C, tingginya temperatur sangat

mempengaruhi rendahnya tingkat viskositas aluminium cair. Ketika terjadi kenaikan temperatur, maka aluminium cair akan mengembang dengan cepat. Hal ini, disebabkan tegangan permukaan (surface tension) untuk mempertahankan bentuk

spherical dan luas area gelembung terkecil, mampu dilebihi oleh tekanan yang

dihasilkan oleh dekomposisi foaming agent. Seiring dengan itu, tingkat viskositas tidak mampu lagi menahan tekanan sehingga terjadi pemecahan gelembung (cell

rupture). Pemecahan ini menyebabkan gas CO2 lepas keluar, diikuti oleh

memadatnya alumunium pada bagian atas produk. Selain gas CO2 yang dapat keluar

melalui permukaan atas foam, gas tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya penggabungan sel (cell coalescence) sehingga didapatkan pori yang lebih besar, dan cenderung memanjang.

Gambar IV. 4 Hasil uji TGA untuk dekomposisi CaCO3[10]

Menurut hasil uji TGA Thermogravity Analysis, yang pernah dilakukan oleh Universitas Cambridge, dekomposisi CaCO3 menjadi CaO dan gas CO2 di atmosfer

udara terjadi pada range temperatur antara 700-8500C [10]. Akan tetapi, temperatur

dekomposisi ternyata dapat menjadi lebih rendah, ketika CaCO3 bereaksi dengan

aluminium cair.

Pada proses pembuatan alumnium foam ini, CaCO3 secara termodinamika

terdekomposisi pada temperatur cair paduan aluminium. Hal ini terjadi karena adanya penurunan tekanan parsial CO2, akibat reaksi lain yang dibantu oleh kenaikan

(6)

Muhammad Fida Helmi 13703040 65 temperatur. Dari penjelasan ini, maka dapat dimengeri bahwa ketika temperatur penuangan foaming agent sekitar 8000C, maka CaCO

3 akan terdekomposisi secara

spontan, yang ditandai oleh pengembangan (foaming) yang cepat.

Kombinasi antara rendahnya tingkat viskositas dan cepatnya dekomposisi CaCO3,

menyebabkan pengembangan yang lebih cepat dan tinggi pada temperatur proses 8000C. Dari kombinasi itu pula, bentuk sel tidak dapat dipertahankan lagi setelah

proses foaming mencapai tingkat maksimum, sehingga yang terjadi adalah pengempesan foam.

Pada pembuatan sampel aluminium foam dengan temperatur 6500C dan 7000C juga

memperlihatkan adanya kecenderungan naiknya densitas. Rendahnya temperatur membuat viskositas terlalu tinggi. Hal ini pun berperan dalam mengurangi keseragaman distribusi foaming agent saat dimasukkan kedalam aluminium cair. Kemudian, saat temperatur 6500C diperkirakan telah terjadi dekomposisi gas yang

ditandai dengan pengembangan aluminium cair. Meskipun saja, diakibatkan tingkat viskositas yang terlalu tinggi, maka gelembung tidak mampu untuk membesar lebih lanjut.

Kesimpulan sementara, pengaruh temperatur berkaitan erat dengan hubungan terbalik antara tingkat viskositas dengan tingkat dekomposisi CaCO3. Dengan tingkat

viskositas yang tinggi dan diikuti oleh pembentukan gas yang rendah, maka densitas yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Maka, dari data yang tersaji, hasil optimal dimana densitas yang diperoleh paling rendah, didapatkan melalui proses foaming pada temperatur 7500C.

(7)

IV.2 Gambaran Hasil Proses Foaming

IV.2.1 Gambaran & Analisa Proses Foaming Pada Variasi Rasio Foaming Agent

10:0 10:1 10:3 10:5

T=7500C

Gambar IV. 5 Penampang melintang Aluminium foam pada variasi rasio foaming agent

Gambar IV.5 memperlihatkan perbandingan penampang melintang dari empat produk dengan temperatur proses yang sama (7500C), tetapi dengan rasio pencampuran

foaming agent yang berbeda. Hanya produk dengan rasio 10:3 yang mampu

mengembangkan foam secara baik sehingga mempunyai porositas pada bagian bawah produk. Tergambar secara jelas, terdapat bagian necking yang memisahkan bagian produk yang mempunyai porositas dan tidak. Pada bagian necking ini, fraksi porositas cukup kecil, dan mempunyai bentuk pori yang bulat sempurna namun berukuran kecil.

Prediksi awal untuk produk foam dengan rasio 10:5, menjelaskan bahwa saat pengadukan, foaming agent sempat terdispersi sampai ke bagian bawah aluminium cair. Hal ini dibuktikan dari jejak porositas berukuran kecil dan berbentuk irregular. Penjelasannya adalah karena granul foaming agent yang terbentuk cukup kecil, maka meskipun dapat terdispersi mencapai bagian bawah, tetapi tidak dapat menghasilkan gelembung yang cukup besar. Seiring dengan proses foaming, terdapat gradien

(8)

Muhammad Fida Helmi 13703040 67 tekanan dan temperatur yang lebih besar pada bagian bawah. Ini menyebabkan gelembung tersebut memampat dan bergerak ke atas.

Pada produk dengan rasio 10:1, partikel CaCO3 tidak terlapisi semua oleh aluminium

powder sehingga menyebabkan campuran foaming agent tidak dapat terdispersi

sampai kebagian bawah aluminium cair. Sedangkan tanpa penggunaan aluminium

powder pada campuran foaming agent, menyebabkan CaCO3 tidak dapat terdispersi

kedalam aluminium cair sehingga hanya menggumpal pada permukaan atas produk.

Pada produk dengan rasio 10:0, terlihat dengan jelas gumpalan CaCO3 yang tidak

mampu terdispersi kedalam aluminium cair. Hal ini membuktikan pentingnya penambahan aluminium powder sebagai agen pendispersi.

Pada temperatur proses 7550C, ketiga produk yang dihasilkan tidak memperlihatkan

adanya kerusakan sel yang terlalu berat. Kerusakan sel berupa lepasnya gas keluar yang diakibatkan cell rupture pada bagian atas, tidak terjadi secara signifkan. Porositas pada bagian atas juga menunjukkan bahwa, proses foaming dapat terjadi untuk mengekspansi aluminium cair menjadi foam. Pada ketiga gambaran penampang melintang diatas, ketiga produk cukup memperlihatkan keseragaman pori yang terbentuk.

(9)

IV.2.2 Gambaran dan Analisa Proses Foaming Pada Variasi Temperatur 6500C 7000C 7500C 8000C

Rasio = 10:3

Gambar IV. 6 Penampang melintang Aluminium foam pada variasi temperatur proses

Gambar IV.6 memperlihatkan penampang melintang dari produk foam berdasarkan pengaruh temperatur proses. Pada produk dengan temperatur 6500C dan 8000C,

tidak terdapat pori pada bagian bawah produk, karena viskositas yang terlalu tinggi menghambat terdispersinya foaming agent.

Pada temperatur 8000C, tidak terdapat porositas di bagian bawah foam. Pada kondisi

ini, viskositas yang terlalu tinggi justru menyebabkan pori yang telah terbentuk menjadi rusak dan memadat. Hal ini terjadi karena porositas yang telah terbentuk, bergerak keatas dengan mudah pada tingkat viskositas yang rendah. Pada kedua temperatur itu pun, distribusi pori sangatlah besar, terdapat kisaran (range) yang cukup jauh pada bagian atas, tengah dan bawah penampang produk.

Pada kedua produk 6500C dan 8000C, terjadi penumpukan aluminium padat dibagian

atas foam. Terdapat perbedaan yang mendasar dari karakteristik penumpukan diantara keduanya. Pada produk 8000C, terlihat bekas pori besar yang sebelumnya

pernah terbentuk dan kemudian pipih memadat. Hal ini mengindikasikan terjadinya kegagalan berupa pecahnya sel atas ataupun penggabungan sel, akibat viskositas yang terlalu rendah dan dekomposisi yang terlalu cepat.

(10)

Muhammad Fida Helmi 13703040 69 Sedangkan pada produk 6500C, memang terdapat bekas pori berukuran kecil yang

pernah terbentuk, namun berbentuk pipih terlipat. Pada bagian atas produk 6500C

pula ternyata masih banyak terlihat adanya foaming agent yang tidak bereaksi dengan indikasi bercak putih yang terdapat pada celah lipatan aluminium.

Gambaran yang berbeda terjadi pada produk dengan temperatur proses sebesar 7000C dan 7500C. Keduanya secara sekilas mempunyai pori yang tersebar cukup

merata pada setiap bagian produk, juga pada bagian bawah. Meskipun saja, pada produk dengan temperatur 7000C, porositas pada bagian bawah masih kurang

daripada pada produk dengan temperatur 7500C. Pada bagian atas, juga terdapat

pori, sehingga secara kuantitas, densitas kedua produk ini terbukti lebih rendah daripada produk lainnya.

(11)

IV.2.3 Pola Struktur Hasil Foaming

Selama tahapan holding dan cooling pada proses foaming, terdapat fenomena pengaturan struktur sel yang kemudian akan mempengaruhi gambaran penampang melintang produk. Pada tahapan ini, ekspansi proses foaming berada dalam keadaan

liquid state menuju solid state. Terdapat pula deformasi pada pori yang kemudian

akan menghasilkan pola struktur yang terlihat pada penampang melintang produk.

Pola struktur hasil foaming akan diwakili oleh produk dengan rasio 10:3 dan temperatur proses 7500C, yang memperlihatkan proses foaming terbaik.

Gambar IV. 7 Pola struktur hasil foaming; a)atas, b)samping, c)tengah, d)bawah Penampang melintang foam memperlihatkan struktur yang mewakili penyusunan gelembung untuk menjadi sel dalam sistem foam. Gelembung berawal dari gas yang dihasilkan oleh foaming agent yang sebelumnya terdispersi dalam keseluruhan aluminum cair. Aluminium cair kemudian akan mengalami pengembangan, yang

(12)

Muhammad Fida Helmi 13703040 71 merupakan fenomena pembesaran dan pergerakan gelembung. Proses foaming memiliki arah ke atas dan dari tengah kesamping.

Bagian bawah foam, diwakili oleh gambar D, memperlihatkan sel yang berbentuk bulat (spherical) dengan luas pori berbanding luas daerah yang relatif kecil. Dinding sel terlihat tebal jika dibandingkan dengan luas sel yang terbentuk. Pada bagian tengah foam, diwakili gambar C, sel berbentuk polyhedral atau tidak bulat sempurna. Bentuk polyhedral ini juga terlihat terdistorsi atau terelongasi sesuai arah foaming. Pada bagian ini, ukuran sel terlihat jauh lebih besar daripada yang terdapat di bagian bawah.

Sedangkan bagian samping foam yang menempel di dinding crucible (gambar B) menunjukkan perbedaan besar pori pada lapisan terluar dan lapisan yang lebih dalam. Lapisan terluar yang menempel pada crucible mempunyai sel polyhedral tetapi relatif lebih kecil daripada sel yang terletak lebih kedalam. Pada sel yang terletak lebih dalam ini, memiliki bentuk sel polyhedral yang lebih besar namun terlihat terelongasi sesuai arah pengembangan foam. Akibatnya, bentuk sel polyhedral mempunyai aspek rasio yang besar (rasio diameter maks/min) >>1. Seringkali, lapisan terluar ini cukup tipis, karena hanya memiliki satu lapisan sel saja.

Kemudian pada bagian atas foam yang digambarkan pada A, terlihat bentuk sel yang memipih tegak lurus dengan arah foam. Lapisan kedua dibawah sel yang memipih ini, lalu mempunyai bentuk polyhedral yang menyerupai bentuk tengah foam, akan tetapi ukurannya lebih kecil. Seringkali terlihat bentuk polyhedral lebih mendekati equiaksial (bulat sempurna).

Analisa Pola Struktur Hasil Foam a. Pemodelan Deformasi Sel Foam

Foam memiliki kekuatan luluh geser. Dibawah titik luluh ini, deformasi yang terjadi adalah elastis. Ketika tegangan melebihi titik luluh, maka foam akan terdeformasi secara plastis, dan shear rate akan bergantung pada tingkat viskositas[20]. Pada

gambar IV.8, diperlihatkan model sederhana dari proses deformasi sel foam. Ketika

surface tension seragam, maka terdapat tiga lapisan yang bertemu, sehingga sudut

yang dibentuk adalah 1200. Namun, ketika regangan gesernya mencapai nilai luluh,

(13)

merupakan akibat dari terdistorsinya sel, sehingga pada skala makro akan berbentuk polyhedral, seperti halnya terlihat pada bagian tengah produk foam.

Gambar IV. 8 Pemodelan deformasi sel [20]

Kekuatan luluh geser merupakan fungsi dari ukuran sel dan volume liquid yang mengelilingi sel. Meskipun, memang sulit untuk menentukan kekuatan luluh yang sebenarnya, terutama ketika batas sisi datar yang mengelilingi sel terlalu tebal, maka kita hanya dapat memperkirakan saja.

b. Struktur Sel Pada Bagian Dinding

Model deformasi sel pada bagian permukaan telah dijelaskan oleh Wenzel [20],

diperlihatkan pada gambar IV.9. Pada model ini, lapisan liquid padat (label A) menempel pada dinding crucible. Kemudian lapisan sel selanjutnya (label B) terletak dekat setelah lapisan A. Berdasarkan teori aliran viscous (viscous flow), kecepatan aliran pada bagian antarmuka dengan dinding crucible adalah nol. Asumsikan bahwa kekuatan geser pada lapisan padat ditentukan oleh aliran geser lapisan C dan bagian antarmuka yang tidak bergerak. Maka, pergeseran lapisan B memerlukan tegangan geser yang cukup.

Gambar IV. 9 Pemodelan deformasi dan slip pada bagian dinding[20]

Gelembung dapat bergerak dengan pergesaran sisi datar diatas lapisan liquid yang padat. Karenanya, dari sini akan terlihat adanya gradien kecepatan. Bedasarkan

(14)

Muhammad Fida Helmi 13703040 73 model Wenzel[20] ini, kecepatan lapisan B sangat bergantung pada ketebalan dinding

sel dan viskositas liquid. Misal ketika laju ekspansinya rendah, tarikan kisi sel yang berikatan dengan lapisan liquid padat akan mendapat deformasi elastis. Oleh karena itu, bentuknya menjadi polyhedral namun tidak sampai terelongasi. Sedangkan slip kisi sel disamping lapisan liquid padat adalah pergerakan viscous. Bentuk sel pada lapisan B ditentukan oleh tingkat viskositas lokal pada bagian kisi sel yang menempel pada lapisan liquid padat terluar.

c. Struktur Sel Pada Permukaan Atas

Gambar IV.10 memperlihatkan bagaimana permukaan baru muncul mengembang pada permukaan atas selama ekspansi proses berlangsung. Karena pengaruh tekanan, sel B tertekan sehingga menembus celah antara sel A dan C dengan mekanisme inter-cell sliding.

Mekanisme inter-cell sliding terjadi karena terdapat gradien tekanan sepanjang arah vertikal. Kemudian, karena pengaruh tekanan akibat dekompsosi foaming agent ini pula, sel-sel pada bagian atas permukaan akan mengalami tarikan kesamping. Hal ini menjadikan tekanan pada bagian bawah lebih besar daripada daerah diatasnya. Maka dari itu, tekanan sel B yang lebih besar daripada sel A dan C, memaksa sel B untuk mengisi celah tersebut.

(15)

IV.3 Data dan Analisa Sampel Kubus Produk Alumnium Foam IV.3.1 Densitas Produk Kubus Aluminium Foam

Tabel IV. 3 Data densitas spesimen aluminium kubus Densitas Aluminium Foam Kubus (30 X 30 X 30 mm2)

No Rasio CaCO3 : Al-powder Temp pouring (0C) Densitas kubus Aluminium foam (gr/cc) 2 10:3 750-760 0.416 5 10:3 700 0.401 6 10:3 655 0.406

Densitas Kubus Al Foam terhadap temperatur tuang foaming agent 0.35 0.375 0.4 0.425 0.45 625 650 675 700 725 750 775

Temperatur tuang foaming agent (0C) D e ns it a s k ubus A l F oa m (g r/ c c )

Gambar IV. 11 Grafik densitas spesimen aluminium kubus

Pada preparasi sampel uji ini, bentuk kubus berdimensi 30 X 30 X 30 mm3 diambil

dari bagian tengah produk aluminium foam utuh. Hasil yang didapatkan menunjukkan nilai densitas yang berdekatan, berbeda dengan densitas pada produk aluminium foam secara utuh. Hal ini, menunjukkan bahwa struktur sel pada bagian tengah produk tidak terlalu banyak berbeda dalam hal perbandingan area pori dan ketebalan selnya.

IV.3.2 Analisa Distribusi Morfologi Sel

Dari keenam produk yang dibuat berdasarkan parameter rasio foaming agent dan temperatur, berdasarkan distribusi dan struktur selnya, maka hanya 3 produk yang dapat dibuat sampel berbentuk kubus. Ketiga sampel kubus ini memiliki densitas yang relatif sama, akan tetapi distribusi morfologi sel yang berbeda.

(16)

Muhammad Fida Helmi 13703040 75 Gambar IV. 12 Morfologi sel spesimen kubus, a&d)7500C, b&e)7000C, c&f)6500C

Gambar IV.12, merupakan gambaran dua dimensi dari porositas yang terdapat pada ketiga produk alumnium foam. Dengan nilai densitas yang relatif sama, mengindikasikan rasio volume dinding sel dan volume kubus yang sama untuk ketiganya. Maka dari itu, pembedaan yang mungkin adalah dari jumlah pori yang terbentuk, diameter pori, luas pori tebal dinding sel, aspek rasio, dan arah sudut sel. Pada sisi yang sama, tampilan distribusi morfologi disajikan dalam 4 macam kriteria, sebagai berikut.

a. Distribusi Diameter Rata-Rata Porositas

Statistik dan histogram berikut memperlihatkan distribusi garis yang melewati titik

centroid dan menghubungkan antar sisi yang dimiliki oleh setiap porositas.

Diameter Rata-rata (mm) Status T=6500C T=7000C T=7500C Min 0.09 0.09 0.09 Max 7.71 8.47 5.98 Range 7.62 8.38 5.89 Mean 0.88 0.82 0.91 Std.Dev 1.01 1.08 0.90 Sum 429.28 406.68 513.18 Samples 486 494 562

(17)

Gambar IV. 13 Statistik dan histogram diameter rata-rata porositas

b. Distribusi Luas Area Porositas

Statistik dan histogram berikut menyajikan distribusi luas area porositas, dan persen jumlah luas porositas terhadap luas penampang kubus.

Luas Area Porositas (mm2) Status T=6500C T=7000C T=7500C Min 0.01 0.01 0.01 Max 40.49 55.68 21.32 Range 40.48 55.67 21.31 Mean 1.31 1.35 1.22 Std.Dev 3.58 4.55 2.72 Sum 637.60 667.99 687.63 Samples 486 494 562 total area 968.00 873.30 978.13 % area 65.87 76.49 70.30

(18)

Muhammad Fida Helmi 13703040 77 Gambar IV. 14 Statistik dan histogram luas area porositas

c. Distribusi Aspect Ratio Porositas

Statisik dan histogram berikut menyajikan distribusi rasio antara diameter max / diameter min porositas, nilainya selalu lebih besar dari 1.

Aspect Ratio Status T=6500C T=7000C T=7500C Min 1.02 1.02 1.00 Max 6.24 12.60 10.94 Range 5.22 11.58 9.94 Mean 1.91 2.08 1.91 Std.Dev 0.79 1.06 0.93 Sum 928.65 1026.86 1075.91 Samples 486 494 562

(19)

d. Distribusi Arah Sel

Statistik dan histogram berikut menyajikan distribusi sudut yang dibentuk diameter max porositas terhadap sumbu vertikal.

Arah Sel Terhadap Sumbu Vertikal Status T=6500C T=7000C T=7500C Min 0.05 0.00 0.20 Max 180.00 178.85 180.00 Range 179.95 178.85 179.80 Mean 91.46 91.59 95.48 Std.Dev 48.79 46.99 48.73 Samples 486 494 562

(20)

Muhammad Fida Helmi 13703040 79 IV.3.3 Analisa Cacat Produk

Kisaran distribusi morfologi sel atau porositas produk yang terlalu besar tidak hanya dipengaruhi oleh parameter temperatur atau rasio pencampuran foaming agent. Terdapat berbagai hal yang juga mempengaruhi, diantaranya cacat saat proses dilakukan, penjelasannya sebagai berikut:

Fenomena Penggabungan Sel

Gambar IV. 17 Mekanisme penggabungan sel karena pengaruh surface tension. [10]

Gambar IV.17 memperlihatkan mekanisme terjadinya penggabungan sel. Pertama kita melihat gambar a, dimana terdapat dua gelembung yang berdekatan. Akibat pengaruh surface tension, maka terjadi penipisan dinding sel. Surface tension menyebabkan berpindahnya atom-atom pada permukaan dinding sel menuju daerah pertemuan sel (plateau border). Hal ini terjadi karena efek surface tension mendorong agar interfacial energy antara fasa gas dan liquid mempunyai nilai terkecil dengan cara membulatkan bentuk gelembung (aspect ratio=1).

Ketika penipisan berlangsung secara kontinyu, maka terdapat batasan ketebalan kritis. Saat ketebalan kritis, yang dipengaruhi oleh viskositasnya, dilampaui oleh efek penipisan tadi, maka yang terjadi selanjutnya adalah pecahnya dinding sel. Terjadinya penyatuan dua gelembung, menyebabkan surface area yang terbentuk menjadi dua kali lipatnya. Maka, efek surface tension kembali bekerja dengan mendorong atom-atom yang berada pada dinding sel untuk bergerak kembali ke plateau border. Akibatnya, terjadi penggabungan dan pembulatan menjadi sebuah sel.

Pada proses foaming dengan menggunakan CaCO3, terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi penggabungan sel terjadi. Faktor utama tentunya keberadaan surface

tension dan tekanan yang dihasilkan oleh gas saat dekomposisi. Kedua faktor tadi

didukung oleh viskositas aluminium cair dan terbentuknya oksida pada dinding sel. Viskositas berpengaruh pada tingkat surface tension, sedangkan oksidasi selain

Gambar

Tabel IV. 1 Data densitas aluminium foam terhadap rasio pencampuran  Tahap I : Variasi rasio pencampuran pada temperatur tetap sekitar 750 0 C  No   W Aluminium  (gr)  W CaCO 3(gr)  W Al-powder (gr)  Rasio CaCO 3 : Al-powder  Temp proses (0 C)  Densitas fo
Gambar IV. 2 a) foaming agent dengan rasio campuran CaCO 3  : Aluminium powder = 10:3,  b) foaming agent dengan rasio campuran = 10:5
Tabel IV. 2 Data densitas aluminium foam terhadap temperatur  Tahap II : Variasi temperatur pada rasio pencampuran tetap 10:3  No   W Aluminium  (gr)  W CaCO 3(gr)  W Al-powder (gr)  Rasio CaCO 3 : Al-powder  Temp pouring (0C)  Densitas foam bulk (gr/cc)
Gambar IV. 4 Hasil uji TGA untuk dekomposisi CaCO 3 [10]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah Murid SMP Negeri dan Swasta yang Lulus UAN Menurut Distrik Number of State and Private Junior High School Pupils who Passed Exam by Distrik Tahun.. Ajaran 2014/2015*

Saat Pemotongan dan Pemungutan Objek Oleh Bendaharawan Pemotongan objek pajak PPh 21 dan PPh 23 di SMP dilakukan langsung oleh bendaharawan sekolah baik sebelum maupun sesudah

Core knowledge adalah pengetahuan operasional maupun strategic yang membantu proses dan pencapaian hasil (Debowski, 2007).. 2) Strategic core knowledge merupakan

Unit Usaha Desa/ Kelurahan Jumlah/unit Jumlah Kegiatan Jumlah pengurus dan Anggota. Kelompok Simpan Pinjam 11

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah pada penelitian ini adalah kerapatan pohon mangrove, diameter pohon, persentase tutupan mangrove, jumlah tegakan pohon

Member-checking dan prolonged observation sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan kredibilitas merupakan bagian dari proses AR dan menjadi kekuatan dalam penelitian AR

Pengusahaan obyek wisata budaya / Businesses of cultural tourism attraction 92322 92324 Maksimal / Maximum of 50% Tidak bertentangan dengan Perda / Not in conflict with the

Rencana Pembangunan Jangka panjang Daerah atau disingkat RPJP daerah Kabupaten Cirebon adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang