40
EFEKTIFITAS DIET IKAN GABUS TERHADAP PENINGKATAN ALBUMIN ANAK PADA PERAWATAN PASCA PULANG PENDERITA NEFROTIK
SINDROM DI RSUD DR. R. SOEDJATI PURWODADI
Oleh;
Fatchulloh1, Meity Mulya Susanti2)
1). Staf Pengajar STIKES An Nur Purwodadi Prodi Ners 2). Staf Pengajar STIKES An Nur Purwodadi Prodi Ners
ABSTRAK
Latar Belakang: Beberapa orang memanfaatkan ikan gabus sebagai salah satu alternatif bahan makanan sumber albumin bagi penderita hipoalbuminemia Indonesia dilaporkan terdapat 6 kasus Sindrome Nefrotik per 100.000 anak per tahun. Penelitian awal yang pernah dilakukan peneliti pada 1 pasien, terjadi penurunan signifikan terhadap penurunan kadar albumin pada penderita NS.
Tujuan: Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrom di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi
Methode: Jenis penelitian adalah Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen yaitu eksperimen yang memiliki perlakuan (treatments). Jumlah populasi adalah penderita berusia 7 tahun sampai 14 tahun yang pulang dari bangsal anak di RSUD Dr R. Soedjati Purwodadi dengan hipoalbuminemia karena sindrom nefrotik. Jumlah sampel 10 orang diambil secara purposive sampel dan populasi yang sedemikian rupa sehingga sampel yang dipilih mempunyai sifat yang sesuai dengan sifat populasi adalah
Hasil: Dari penelitian diperoleh hasil efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang cukup bermakna pada kelompok perlakuan dengan nilai paired t test p=0,004 < 0,05
Kesimpulan: Diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang cukup efektif.
41 PENDAHULUAN
Sindroma Nefrotik (SN) adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab (UKK Nefrologi IDAI, 2005). Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia (Chesney, 2009). Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun laporan dari luar negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 14 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak (Pardede, 2002). Angka kejadian SN di Amerika diperkirakan 2 – 7 kasus baru per 100.000 anak berusia dibawah 14 tahun per tahun (Roth dkk, 2002). Menurut Raja Syeh angka kejadian kasus sindroma nefrotik di Asia tercatat 2 kasus setiap 10.000 penduduk (Republika, 2005).
Indonesia dilaporkan terdapat 6 kasus SN per 100.000 anak per tahun (Wirya, 2006). Gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39,7% tipe kelainan minimal dari 401 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
Untuk kejadian di Jawa Tengah sendiri mencapai 4 kasus di tahun 2006 (Israr, 2008). Menurut catatan RSUP Dr. Kariadi Semarang yang merupakan rumah sakit pusat dan merupakan rumah sakit rujukan di kota Semarang dan Jawa Tengah selama tahun 2009 sampai dengan 2010 terdapat 21 anak yang menderita sindroma nefrotik yang dirawat di ruang anak rumah sakit tersebut dan pulang dengan perbaikan.
Kabupaten Grobogan didapatkan data pada tahun 2006 – 2009 berturut-turut 6, 9, 11, 14 kasus baru per tahun (Data Dinkes Grobogan). Dan rata rata mendapatkan perawat di Rumah Sakit Dr R. Soedjati Purwodadi. Jumlah pasien dengan diagnosa nefrotik sindrome di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi di tahun 2010 oleh catatan medis rata- rata perbulan ada 3 pasien, namun ada yang dalam satu bulan terdapat 7 pasien dengan nefrotik sindrome yang rata - rata berada di rawat di bangsal Anak.
Peneliti melakukan survey pendahuluan, bahwa petugas hanya sekedar menghimbau dan menyarankan untuk melakukan diit ikan gabus untuk pasien NS dan mempersilahkan mau dilaksanakan silahkan dan tidak dilaksakan juga tidak apa, karena para petugas merasa belum yakin dengan efektifitas diit ini,
42 dikarenakan belum adanya penelitian tentang hal ini di RSUD Dr R. Soedjati Purwodadi.
Penelitian awal yang pernah dilakukan peneliti pada 1 pasien, terjadi penurunan signifikan terhadap penurunan kadar albumin pada penderita NS. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin mengkaji lebih lanjut mengenai “efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak, pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrom di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi.”
Tujuan umum penelitian, mengetahui efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrom di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi, tujuan khususpenelitian antara lain: Mendiskripsikan kadar albumin anak pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrome sebelum diberlakukan diit ikan gabus di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi, mendiskripsikan kadar albumin anak pada perawatan pasca pulang penderita nefrotik sindrom sesudah diberlakukan diit ikan gabus RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi, mengetahui perbedaan efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang yang diperlakukan diit ikan gabus maupun yang tidak diperlakukan diit ikan gabus pada
penderita nefrotik sindrom di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen. Desain penelitian ini dengan desain comparatif yaitu dengan desain pretest-posttest. Populasi dari penelitian ini adalah pasien yang anak yang menderita nefrotik sindrome yang pulang dari ruang perawatan anak di ruang Anggrek, Bougenvile, Cempaka dan Teratai di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi. Pada 3 bulan terakhir jumlah pasien anak menderita nefrotik sindrome yang pulang dari RSUD Dr R. Soedjati Purwodadi pada bulan juli 6 orang, bulan agustus 7 orang dan bulan september ada 5 orang. Teknik sampel menggunakan purposive sampel. Dalam penelitian ini sampelnya adalah penderita berusia 7 tahun sampai 14 tahun yang pulang dari bangsal anak di RSUD Dr R. Soedjati Purwodadi dengan hipoalbuminemia karena sindrom nefrotik. Sampel untuk kelompok kontrol sebanyak 5 orang, kelompok perlakuan sebanyak 5 orang. Proses pengamatan pada ke - dua sampel dilakukan selama 1 bulan dirumah. Penelitian ini dilakukan di rumah pasien nefrotik syndrome yang telah pulang dari RSUD Dr R Soedjati Purwodadi. Pengumpulan data dengan pemeriksaan fisik berupa KU (keadaan umum) dan
43 TTV (tanda tanda vital). Analisis data menggunakan paired t test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5.1 Distribusi Usia Responden
Umur f % 7 tahun – ≤ 10 tahun 11 tahun – ≤ 14 tahun 6 4 60 % 40 % Jumlah 10 100 %
Penelitian ini menunjukkan responden yang paling banyak menderita SN adalah usia 7 tahun sampai dengan 10 tahun yaitu 6 responden (60 %). Menurut Kliegman (2003), 85% dari kasus sindrom nefrotik terjadi pada anak, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 7 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. Dimana pada anak usia ini kondisi fisik anak masih lemah sehingga lebih rentan mengalami penyakit.
SN yang terjadi pada anak anak sejak dini adalah SN jenis kongenital. Pertama kali dilaporkan di Finlandia sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir prematur (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari BB).
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Ayah
Usia f % 16-21 thn 22-27 thn 28-33 thn 34-39 thn 1 5 3 1 10 % 50 % 30 % 10 % T o t a l 10 100 %
Tabel 5.3 Karakteristik Usia Ibu
Usia f % 16-21 thn 22-27 thn 28-33 thn 3 5 2 30 % 50 % 20 % T o t a l 10 100 %
Tingkat usia ibu terbanyak adalah usia 22-27 tahun sebanyak 5 responden (50%) Dimana pada usia ini masih para ibu muda dan baru pertama kali mengasuh, merawat seorang anak sehingga dari segi pengalaman, peran perawatan, kesiapan diri dan pengambilan keputusan masih kurang. Penelitian oleh Aday dan Eichhorn (1972), Diosy (1956) dan Rayner (1970), dijelaskan tentang peran ibu, yakni ibu menentukan gejala-gejala dan memutuskan pencarian sumber-sumber yang penting
Tabel 5.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin f % Laki laki Wanita 6 4 60 % 40 % T o t a l 10 100 %
44 Hasil penelitian diketahui bahwa 60 % responden laki laki, sementara 30 % adalah wanita. Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) (Kliegman, 2003) Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2 : 1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1 : 1. Belum ada teori yang pasti tentang kenapa jumlah laki- laki lebih banyak mengalami SN dari pada perempuan
Tabel 5.6 Distribusi Responden Dengan Karakteristik Jumlah Anak.
Jumlah anak f % 1 2 3 Jumlah 4 4 2 10 40 % 40 % 20 % 100 %
Orang tua dari anak yang menderita SN dengan satu anak dan dua anak sebanyak 4 responden (40 %) dan 3 anak sebanyak 2 responden (20 %). Program pemerintah tentang program keluarga berencana dengan dua anak lebih baik, memungkinkan kondisi SN terjadi di posisi anak pertama atau kedua meskipun tidak selalu demikian. Belum ada data yang menjelaskan tentang urutan anak yang pasti yang terkena nefrotik syndrome
Tabel 5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ayah
Pendidikan Ayah f % SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah 1 4 3 2 48 10 % 40 % 30 % 20 % 100 %
Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan Ibu f % SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah 3 4 1 2 10 30 % 40 % 10 % 20 % 100 %
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ayah f % Petani Wiraswasta PNS Jumlah 4 4 2 10 40 % 40 % 20 % 100 %
Sebagian besar jenis pekerjaan ayah responden adalah petani dan wirasawata masing-masing 4 responden ( 40 %), hanya 2 responden yang PNS. Hal ini menunjukkan gambaran kecil tentang mayoritas penduduk Indonesia yang petani dan sedikit yang PNS.
45 Tabel 5.10 Distribusi Responden
Berdasarkan Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ibu f % Tidak Bekerja (Ibu
Rumah Tangga) Petani Wiraswasta PNS Jumlah 4 1 3 2 10 40 10 30 20 100,0
Mayoritas ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga yang bertugas merawat anggota keluarga dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Tabel 5.11 Cross Tab Jenis Kelamin Dengan Peningkatan Albumin Responden
Jenis Kelamin Peningkatan_albumin ( g/dl ) Total -0.2 0 0.2 0.4 0.8 1.1 1.2 Laki laki 0 1 0 0 1 3 0 0 1 0 1 2 0 6 4 Perempuan 1 Total 1 1 1 3 1 1 2 10
Tabel 5.12 Cross Tab Umur Responden Dengan Peningkatan Albumin Responden
Umur Peningkatan_albumin ( g/dl ) -0.2 0 0.2 0.4 0.8 1.1 1.2 Total 7-10 thn 1 0 1 1 0 1 2 1 0 1 0 1 1 6 11-14 thn 0 4 Total 1 1 1 3 1 1 1 10
Tabel 5.13. Pemberian Ikan Gabus Pada Kelompok Perlakuan
Status pemberian Ikan gabus Frekuensi Persentase (%) Di Konsumsi Tidak Dikonsusi Jumlah 5 0 5 100 % 0 % 100 %
46
Tabel 5.14 Rata-Rata Jumlah Albumin Sebelum Pulang Dari RSUD Dr R. Soedjati Purwodadi.
Kelompok Rata-rata Albumin sebelum pulang Jumlah Sampel Perlakuan Kontrol 2,24 2,4 5 5
Tabel 5.15 Rata-Rata Jumlah Albumin Pada Kelompok Perlakuan Dan Kelompok Kontrol.
Kelompok Rata-rata
Albumin Pemeriksaan I
Rata-rata
Albumin Pemeriksaan II Jumlah Sampel Perlakuan Kontrol 2,58 2,34 3.18 2.56 5 5
Tabel 5.16 Jumlah Peningkatan Albumin Pada Kelompok Perlakuan Dan Kelompok Kontrol.
Kelompok Rata rata perubaan Albumin Pemeriksaan I
Rata rata Perubahan Albumin Pemeriksaan II Jumlah Sampel Perlakuan Kontrol 0.34 -0.06 0.94 0.16 5 5
Tabel 5.17 Jumlah Peningkatan Albumin Pada Kelompok Perlakuan Dan Kelompok Kontrol
Perubahan Kelompok perlakuan Kelompok Kontrol
Tetap 0 1 orang
Meningkat 5 orang 3 orang
Turun 0 1 orang
Tabel 5.18 Hasil uji paired T Test perubahan Albumin
Paired T test Kelompok kontrol Kelompok Perlakuan t df Signifikansi 1,372 4 0,242 6,119 4 0,004
47 Adanya hubungan bermakna pada uji
paired t test di kelompok perlakuan dengan p value /signifikansi = 0,004 (p =0,004 < 0,05). Dengan t hitung 6,119 dan
t tabel 2,75, t hit ( 6,119) > t tab (2,75). Cukup bermakna pada kelompok perlakuan dengan nilai paired t test
p=0,004 < 0,05. Pada kelompok kontrol
tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan nilai p=0.242 > 0,05. Diit ikan gabus meningkatkan kadar albumin lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol
PEMBAHASAN
1. Pemberian Ikan Gabus.
Dari penelitian di peroleh hasil bahwa seluruh resonden pada kelompok perlakuan/ intervensi (100%) mengkonsumsi ikan gabus yang di berikan sesuai dengan proporsi (0,25 x BB x kebutuhan protein dalam gr / 0,16) perhari selama 1 bulan berturut turut.
2. Jumlah albumin sebelum pulang dari RSUD Dr. R Soedjati Purwodadi.
Jumlah rata rata albumin responden pada kelompok perlakuan sebelum pulang sejumlah 2,24 g/dl dan pada kelompok kontrol 2,4 g/dl, dengan kenaikan albumin rata rata 0,94 g/dl pada kelompok perlakuan dan 0,16 g/dl pada kelompok konrol. Pemeriksaan sebelum pulang dilakukan pada pasien sebelum
meninggalkan Rumah Sakit pada saat dinyatakan dokter boleh pulang ke rumah dengan KU dan TTV nya baik. Jumlah albumin masing masing kelompok pada saat sebelum pulang hampir sama, dengan perbedaan di kelompok kontrol ( lebih 0,2 g/dl ).
3. Jumlah albumin pada pemeriksaan I dan ke II setelah pulang dari RSUD Dr. R Soedjati Purwodadi.
Jumlah rata rata Albumin responden pada pemeriksaan I kelompok perlakuan 2,58 g/dl dan pemeriksan ke II 3,18 g/dl. Jumlah rata rata Albumin responden pada pemeriksaan I kelompok kontrol 2,34 g/dl dan pemeriksan ke II 2,56 g/dl.
Dari hasil penelitian didapatkan adanya peningkatan jumlah albumin bermakna pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol, dengan nilai rata - rata perubahan sebesar 0,94 g/dl dikelompok perlakuan, di banding kelompok kontrol sebesar 0,16 g/dl.
Terdapat 5 (100 %) responden yang mengalami peningkatan jumlah albumin pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol terdapat 3 responden yang meningkat dan 1 reponden yang tetap serta 1 responden yang turun.
Sedangkan pada pengamatan minggu sebelumnya kenaikan tersebut belum begitu nampak. Masukan protein dari diet dapat menstimulisi sintesis
48 albumin dan komponen protein dalam diet tersebut memegang peranan penting terhadap pengaturan atau regulasi protein tubuh. Sekali albumin dikeluarkan dari hati ke plasma maka memiliki half life sekitar 21 hari (Stryer, 2006).
Dari data cross tab usia responden, responden usia 7-10 tahun rata rata mengalami peningkatan albumin, responden usia 11-14 tahun terdapat 1 responden yang mengalami penurunan albumin 0,2 g/dl. Ini terjadi karena anak anak masih punya potensi untuk tumbuh dan berkembang.
4. Univariat Test
Kadar protein total pada uji paired t
test masing - masing kelompok pada
kelompok kontrol nilai t yaitu 1,372; df = 4 ; dan nilai signifikansi p = 0,242, pada pemeriksaan kelompok perlakuan nilai t yaitu 6,119 : df = 4 ; dan nilai signifikansi
p = 0,004. Adanya pengaruh bermakna
pada uji paired t test di kelompok perlakuan dengan p value /signifikansi =
0,004 (p =0,004 < 0,05). Dengan t hitung
6,119 dan t tabel 2,75, t hit (6,119) > t tab (2,75) dan belum ada hubungan bermakna pada kelompok kontrol (p=0,242 > 0,05).
Hal ini menunjukkan adanya pengaruh bermakna pada kelompok perlakuan atau kelompok yang diberlakukan diit ikan gabus. Sehingga
adanya efektitas diit ikan gabus terhadap peningkatan albumin responden.
Ikan gabus memiliki PER 2,81 lebih baik dibandingkan dengan PER Casein, sehingga dapat dikatakan protein dalam ikan gabus memiliki nilai guna protein yang cukup baik. Perbedaan pada kinetik absorpsi asam amino dan pada kadar asam amino di vena porta setelah makan akan mempengaruhi sintesa albumin karena mempengaruhi pasokan asam amino ke hepar
Adanya suplementasi protein dalam diet akan berpengaruh positif terhadap laju sintesa albtrmin. Pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diberikan diet dengan jumlah protein yang sama yaitu protein seimbang tidak dengan protein rendah atau tinggi .
Diketahui bahwa Albumin merupakan komponen utama yang membentuk 50 % protein dalam plasma dengan fungsi yang sangat beragam dan merupakan protein yang sangat ekstensif dipelajari sebagai nuritional markers (petanda nutrisi) (Kosnadi,2003).
Berdasarkan hasil penelitian, kenaikan bermakna kadar albumin pada kelompok perlakuan disebabkan digestibilitas yeng baik dan lebih tinggi kandungan asam amino esensial pada ikan gabus. Ketersedian hayati ikan gabus yang cukup berlimpah dengan harga yang relatif murah menjadikan diit ikan gabus
49 salah satu pilihan yang sangat patut untuk diperhitungkan dalam penatalaksanaan hipoalbuminemia baik dalam kasus sindroma nefrotik khususnya maupun pada kasus kasus hipoalbuminemia lain pada umumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kadar albumin anak pada perawatan sebelum pulang dari Rumah Sakit penderita nefrotik sindrome sebelum diberlakukan diit ikan gabus di RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi yaitu pada kelompok kontrol 2,4 g/dl dan 2,24 g/dl pada kelompok pemberlakuan. 2. Kadar albumin anak pada perawatan
pasca pulang penderita nefrotik sindrom sesudah diberlakukan diit ikan gabus RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi yaitu pada kelompok kontrol 2,56 g/dl dan 3,18 g/dl pada kelompok perlakuan.
3. Efektifitas diet ikan gabus terhadap peningkatan albumin anak pada perawatan pasca pulang cukup bermakna pada kelompok perlakuan dengan nilai paired t test, t hitung 6,119 dan t tabel 2,75, t hit ( 6,119) > t tab (2,75) p=0,004 < 0,05. Pada kelompok kontrol tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan nilai
p=0.242 > 0,05. Diit ikan gabus
meningkatkan kadar albumin lebih
tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol
REFERENSI
Anonim. 2007. Petunjuk Praktikum Biokimia Untuk PSIK. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lab. Biokimia
FK UGM.
Adam, Jhon MF. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI.
Asdie, Ahmad H. 2004. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I . Jakarta.
Balai Penerbit FKUI.
Bawazier, Lucky Aziza. 2006.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6 : Proteinuria. Jakarta. Balai Pustaka
FKUI.
Pratiwi, Andi Dyah. 2007. Epidemiologi
DM dan Isu Muktahirnya,diakses 5
Agustus 2011
(http://ridwanamiruddin.wordpress.c om/2007/12/10/)
Guyton AC, Hall JE. 1996. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Edisi IX,
Penerjemah: Setiawan I, Tengadi LMAKA, Santoso A, Jakarta: EGC Hidayat, A Aziz Alimul. 2006.
Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta. Salemba Medika.
Kliegman. 2003, Idiopatic Nephrotic
Syndrom Nelson Textbook of
Pediatrics. Jakarta. EGC.
Kosnadi,L. 2003. Pedoman pelayanan
medic anak. Semarang. IKA FK
Undip RSUP Dr Kariadi.
Noer MS, 2007. Sindrom Nefrotik,
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya.
50 Priyana A. 2007. Patologi klinik. Jakarta.
Penerbit Universitas Trisakti.
Stryer L. 2006. Biokimia, Edisi IV,
Penerjemah: Sadikin dkk (Tim Penerjemah Bagian Biokimia FKUI).
Jakarta. EGC
Wila Wirya IGN. 2006. Proteinuria. Buku
Ajar Nefrologi Anak. Edisi Ke-2.
Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Nursalam. (2002). Manajemen
Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta :
Salemba Medika
Sastroasmoro, S. (2002). Dasar-dasar
Metodologi Klinis, Edisi kedua.
Jakarta: Bina Rupa Aksara
Sastrohadiwiryo,S, (2002), Evaluasi
Penerapan Teknik Aseptik Pada
Perawatan Luka Post Trumatik di
IRNA PKU Muhammadiyah,
Yogyakarta.UGM Press
Setyorini (2009). Manajemen Sumber
Daya Manusia dalam Keperawatan.
Jakarta:Makalah disampaikan pada Seminar Keperawatan
Siagian, S.P. (1992). Manajemen Sumber
Daya Manusia. Edisi I. Cetakan XIII.
Jakarta : Bumi Aksara
Suharsimi Arikunto. (2002), Prosedur
Penelitian.Jakarta. PT Rineka Cipta
Cook, T. D., & Campbell, D. T. (1979).
Quasi Experimentation: Design & Analysis Issues for Field Settings.