• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS

“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal

Kontroversial Dalam RKUHP”

Yogyakarta, 7 Desember 2019 Kerjasama antara

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(3)
(4)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS

“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal

Kontroversial Dalam RKUHP”

Yogyakarta, 7 Desember 2019 Kerjasama antara

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Penerbit:

(5)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS

“ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal

Kontroversial Dalam RKUHP”

Yogyakarta, 7 Desember 2019 Kerjasama antara

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Panitia Pelaksana:

Ketua Pelaksana : Syarif Nurhidayat, S.H., M.H. Wakil Ketua : Laras Astuti, S.H., M.H. Sekretaris : Ayu Izza Elvanny, S.H., M.H. Bendahara : Lutfiana Dewi, S.E.

Jannah Gita Seroja, S.Pd. Acara : Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H.

Ari Wibowo, S.H.I., S.H., M.H. Afiyatun, S.H.

Sekretariat : Desi Wulandari, S. Sos. Wiwid Widarti, S.E.l.

Humas & Publikasi : Dendy Prasetyo Nugroho, S.H., M.H. Irwan Hafidz, S.H. Amalia Taufiq Dinda Riskanita, S.H., M.H. Juniar Cahayuningtyas, S.H. Steering Committee : Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum.

Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H.

Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. Hanafi Amrani, S.H., M.H., LLM., Ph.D.

Dr. Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H. M. Abdul Kholiq, S.H., M.Hum. Syarif Nurhidayat, S.H., M.H.

(6)

Reviewer:

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D.

Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H.

Editor : Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H.

No. ISBN : 978-623-91860-4-3

Penerbit:

Kerjasama Panitia Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan FH UII Press.

Alamat Redaksi:

Jl. Tamansiswa 158 Yogyakarta PO BOX. 1133 Phone: 379178 e-mail: penerbitan.fh@uii.ac.id

Cetakan Pertama, Desember 2019 x + 280 hlm

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

(7)
(8)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamuálaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbilálamin, atas berkat dan rahmat Allah SWT., kegiatan Seminar Nasional tentang Arah Politik Hukum Pidana Nasional telah berhasil dilaksanakan dengan baik pada hari Sabtu, 7 Desember 2019. Kegiatan ini merupakan kerjasama antar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Pada acara tersebut, panitia menghadirkan Prof. Barda Nawawi Arief, yang mengetahui secara persis politik hukum pengembangan hukum pidana nasional Indonesia. Oleh karenanya, panitian memohon beliau untuk menyampaikan Keynote Speech. Selain Prof. Barda, Panitia menghadirkan 8 pemateri yang expert untuk menyampaikan empat topik besar yang merupakan turunan dari topik utama seminar.

Peserta seminar terdiri atas akademisi, peneliti, mahasiswa, perwakilan organisasi masyarakat hingga masyarakat umum. Selain sebagai peserta reguler, panitia memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyumbangkkan hasil pemikiran tertulisnya dalam wadah call papers yang nantikan akan dibukukan bersama dengan materi para pemateri dalam Prosiding Seminar ber-ISBN. Tercatat ada 9 penulis paper yang berpartisipasi.

Prosiding hasil seminar ini diharapkan menjadi pijakan awal bagi siapapun yang hendak mendalami kajian terkait RKUHP. Selain itu diharapkan menjadi bagian ikhtiar penambahan referensi dalam kajian kebijakan pidana terkait perwujudan hukum pidana nasional Indonesia.

Semoga ikhtiar kita bersama tercatat menjadi bagian amal kebaikan dan mendapat balasan kebaikan lebih di sisi Allah SWT. Amin.

Wassalamuálaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 7 Desember 2019 Ketua Penyelenggara Syarif Nurhidayat, SH., MH.

(9)
(10)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ~ i Identitas Buku ~ iv Kata Pengantar ~ vii Daftar Isi ~ ix

BAB I

: POLITIK HUKUM PENYUSUNAN RANCANGAN

KUHP NASIONAL

A. Politik Hukum Penyusunan Rancangan KUHP Nasional ~ 1 Prof. Barda Nawari Arief, SH.

B. Kendala Praktik Hukum Sebagai Akibat Perubahan Sistem Hukum Pidana (Telaah Kritis Terhadap R-KUHP) ~ 5

Deni Setya Bagus Yuherawan & Umi Rozah

C. The Living Law dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Nasional ~ 17

Cahya Wulandari

D. Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil Dalam RKUHP Terhadap Penerapan Asas Ne Bis In Indem ~ 37

Syarif Nurhidayat

BAB II

: KEBIJAKAN

KRIMINALISASI

DELIK

PENGANCAMAN PADA KEKUASAAN UMUM

DAN KETERTIBAN UMUM

A. Kebijakan Kriminalisasi Delik Pengancaman Pada Kekuasaan Umum dan Ketertiban Umum ~53

Dr. Mudzakkir, SH., M.H.

B. Dekolonialisasi atau Rekolonialisasi; Aspek Hak Asasi Manusia dan Dekriminalisasi Terhadap Keberadaan Pengaturan Delik Pengancaman Terhadap Kekuasaan dan Ketertiban Umum ~ 95

(11)

Daftar Isi

x

C. Pasal Penghinaan Presiden: Reinkarnasi Regulasi Inkonstitusional ~ 107

Josua Satria Collins, S.H. & Maria I. Tarigan, S.H.

BAB III

: KEBIJAKAN

KRIMINALISASI

DELIK-DELIK

KESUSILAAN

A. Perkembangan Delik Kesusilaan Dalam RKUHP dan Kontroversinya ~ 123

Dr. Yeni Widowaty, SH., M.Hum.

B. Perspektif Hukum Pidana Islam Tentang Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan Dalam RKUHP ~ 131 M. Abdul Kholiq, SH., M.Hum.

C. Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Perluasan Delik Kesusilaan dalam RKUHP ~ 159

Dr. Umi Enggarsasi, S.H., M.H. & Nur Khalimatus Sa’diyah, S.H., M.H.

D. Kebijakan Kriminalisasi Delik Perzinahan Melalui Living Law Sebagai Suatu Pendekatan Menggunakan Kearifan Lokal ~ 171 Dr. Joice Soraya, S.H., M.Hum.

BAB IV

: DISKURSUS

KEBIJAKAN

ADOPSI

HUKUM

PIDANA KHUSUS

A. Diskursus Kebijakan Adopsi Hukum Pidana Khusus ke Dalam Kodifikasi Hukum Pidana Nasional ~ 183

Hanafi Amrani, SH., M.H., LLM., Ph.D.

B. Diskursus Kebijakan Adopsi Hukum Pidana Khusus ~ 197 Dr. Trisno Raharjo, SH., M.H.

C. Konsekuensi Pidana Khusus dalam RKUHP Pada Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana ~ 211

Prof. Rusli Muhammad, SH., M.H.

BAB V

: SISTEM PERUMUSAN SANKSI PIDANA DALAM

RKUHP

A. Merumuskan Sanksi Pidana Dalam RUU KUHP ~ 221 Harkristuti Harkrisnowo

B. Perkembangan Sanksi Pidana Pokok dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan KUHP September 2019 ~ 247

Maria Ulfah, S.H., M.Hum

C. Sanksi Tindakan sebagai Complement Sentence dalam RKUHP Nasional: Analisis Kritis dari Konsep Double Track System ~ 271 Efendik Kurniawan, S.H.

(12)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 37

IMPLIKASI PENGAKUAN LEGALITAS MATERIIL

DALAM RKUHP TERHADAP PENERAPAN ASAS

NE BIS IN INDEM

Syarif Nurhidayat Institusi: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia syarif.enha@gmail.com

Abstrak

Asas legalitas merupakan asas paling fundamental dalam sistem hukum pidana. Asas tersebut menyatakan tidak ada perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana sebelum diatur sebelumnya oleh undang-undang sebagai tindak pidana. Kata undang-undang yang merupakan terjemahan dari “wet” dalam bahasa Belanda atau “lege” dalam bahasa Latin, menunjukkan konsekuensi bahwa hukum pidana harus bersifat tertulis dan resmi ditetapkan melalui mekanisme penetapan institusi yang berwenang. Pada perkembangannya, pada rumusan RKUHP, disebutkan bahwa ada pengakuan Negara atas keberadaan hukum pidana yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada pergeseran, Indonesia kini mengakui secara jelas legalitas materiil melalui RKUHP. Pengakuan ini berimplikasi pada penerapan asas ne bis in idem, dimana orang tidak dapat dituntut untuk kasus yang sama yang telah berkeputusan tetap. Dengan demikian, perlu dikaji terlebih dahulu tentang hukum yang mana yang akan diakui sebagai hukum tidak tertulis sehingga bersifat pasti. Selanjutnya, bagaimana hierarki hukum yang tidak tertulis dengan hukum pidana yang tertulis dan kemudian implikasinya pada penerapan konsep ne bis in idem dalam sistem penegakan hukum pidana.

Kata-kata Kunci: Legalitas; hukum adat; ne bis in idem, RKUHP

A. Pendahuluan

Asas legalitas merupakan asas yang paling fundamental dalam hukum pidana. Asas tersebut dapat diketemukan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar ketentuan pidana

(13)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

38

menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”.1 Asas ini memiliki

sejarah kemunculan yang panjang. Kehadirannya merupakan anti tesis dari keberadaan hukum yang berada di bawah kepentingan kekuasaan yang sewenang-wenang. Asas legalitas hadir membawa semangat perlawanan terhadap kekuasaan yang absolut, jaminan atas kepastian hukum dan pencegahan dari timbulnya kejahatan.2

Asas legalitas memiliki tiga makna utama sejak mula kelahirannya.3

Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Ketiga makna tersebut mengindikasikan asas legalitas ini bersifat formil dan kaku. Undang-undang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bermakna undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang berisi rumusan delik dan ancaman pidana.4 Soema di Pradja

menyatakan bahwa asas legalitas ini memang dibentuk dalam rangka usaha mencapai hukum pidana, dimana hukum dan undang-undang dapat bersatu.5

Legalitas yang dimaksud dalam KUHP adalah legalitas Formil.

Pada kenyataannya, Indonesia tidak pernah menerapkan asas legalitas secara kaku atau formil ansich dalam hukum pidana posisitifnya. Hal ini tampak dari pengakuan adanya hukum adat, hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak tertulis. Pengakuan ini muncul dalam UUDS tahun 1950, disusul dengan UU No. 1 Drt. Tahun 1951, UU No. 14 tahun 1970 Jo UU No. 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sekarang sudah diatur dalam UU no. 48 tahun 2009, terakhir yang paling kentara dalam RKUHP.6

Pada Pasal 1 ayat (1) RKUHP7 disebutkan, “Tiada seorang pun dapat

dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kata perundang-undangan bermakna bukan saja bermakna undang-undang saja, namun juga meliputi peraturan lainnya yang secara meteriil mengandung rumusan delik dan sanksi pidana, seperti

1 Eddy O.S. Hiariej. 2013, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Yogyakarta,

Penerbit Erlangga. Hlm. 19-24.

2 Asas legalitas dibuat oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach, seorang Jerman yang menuliskan dalam

bukunya, Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Ibid, hlm. 7-8.

3 Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hlm.

27-28.

4 Andi Hamzah. 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika. hlm. 169. 5 Achmad Soema di Pradja. 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung: Alumni. Hlm. 59.

6 Lidya Suryani Widayati, “Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan dalam RUU

KUHP”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum UII, No. 3 Vol. 20 Juli 2013. Hlm. 363.

(14)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 39

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lainnya.8 Pada

ayat (2) disebutkan bahwa penegakan hukum pidana tidak diperbolehkan menggunakan analogi. Sementara, pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

Pengaturan asas legalitas demikian, mengandung banyak tafsir dan pandangan. Misalnya Eddy menyatakan bahwa pengaturan Pasal 1 ayat (2) yang melarang penerapan hukum pidana secara analogi mengalami contradiction interminis dengan ketentuan Pasal 2 yang menyatakan orang dapat dipidana meski tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lebih jauh Eddy juga mengemukakan bahwa secara implisit, hukum pidana Indonesia telah mengakui ajaran sifat melawan hukum pidana materiil dalam fungsi yang positif. Hakim tetap dapat menjatuhkan pidana apabila suatu perbuatan dianggap tercela, meski belum dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.9 Sekilas tampak ada

inkonsistensi penerapan asas legalitas dalam RKUHP.10

Para penyusun RKUHP tentu bukannya tidak memperhatikan hal ini. Penjelasan umum maupun per-pasal menyiratkan bahwa yang terjadi bukanlah inkonsistensi namun langkah Negara untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, mengingat pada kenyataannya di beberapa daerah di Indonesia masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana.

Alasan-alasan perluasan asas legalitas dalam RKUHP secara konprehensif disampaikan oleh Barda Nawawi Arief, antara lain:11

1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951;

2. Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1 Tahun 1963, butir IV dan butir VIII. Kedua butir tersebut menyatakan dengan tegas bahwa pembaharuan hukum pidana tidak menutup berlakunya hukum pidana adat yang sesuai dengan martabat bangsa, serta menempatkan hukum adat dan agama dijalinkan di dalam KUHP;

8 Andi Hamzah. 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 42-43.

9 Eddy O.S. Hiariej. 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, Hlm.

70-71

10 Alfons Zakaria, Inkonsistensi Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana 2005, Risalah HUKUM, Fakultas HUkum Mulawarman, Desember 2006, Vil. 02, No. 2. Hlm: 140.

11 Barda Nawawi Arief. 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

(15)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

40

3. Undang-undang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan alasan hukum tidak jelas, juga terkait dengan kewajiban hakim untuk mencantukan dasar pertimbangan bukan hanya memuat pasal-pasal tertentu namun juga sumber hukum tidak tertulis.

Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia seperti ini sudah diprediksikan oleh Otje Salman Soemadiningrat yang menyatakan bahwa keberadaan hukum ada pada masa yang akan datang akan lebih diarahkan kepada perspektif kesatuan dan persatuan, tidak bertentangan dengan norma dasar dan tidak memiliki dampak pertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Arah pembangunan hukum di Indonesia adalah menuju pada hukum tertulis dengan dilandasi pemikiran-pemikiran Pancasila dan UUD 1945.12

Di luar kontraversial legalitas materiil, melalui RKUHP Negara telah memilih sikap untuk mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pengakuan ini, membawa konsekuensi yang tidak sederhana karena memiliki implikasi yang besar pada sistem penegakan hukum pidana. Paling tidak ada tiga aspek yang harus diurai lebih jauh, pertama, tentang kriteria dan batasan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kedua, bagaimana hierarki hukum yang hidup dalam masyarakat jika disandingkan dengan peraturan tertulis. Ketiga, implikasi pada penerapan asas ne bis in idem dalam penegakan hukum pidana.

Pembahasan

Makna dan Kriteria Hukum yang Hidup dalam Masyarakat

Pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tentu mengundang pertanyaan mendasar, hukum yang mana yang kemudian akan diakui dan diterapkan? Pertanyaan ini dijawab dalam bunyi Pasal 2 ayat (2). “Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.” Penjelasan Pasal 2 ayat (1) RKUHP menyebut dengan tegas bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia. Bentuknya bisa hukum tidak tertulis yang masih mengikat masyarakat daerah tertentu, seperti hukum pidana adat.13 Sementara

pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) disebutkan penjelasan tentang hukum yang hidup

12 Otje Salman Soemadiningrat. 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, Alumni.

Hlm. 216

(16)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 41

dalam masyarakat dapat diterapkan atau dapat diberlakukan sepanjang sesuai dengan nilai-nilai tertentu yakni:

1. Pancasila;

2. Hak asasi manusia, dan,

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Penjelasan di atas, secara ekplisit tidak membatasi makna hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum pidana adat dengan batasan tertentu. Artinya, dimungkinkan hukum kebiasaan dalam masyarakat tertentu untuk diterapkan. Sementara jika merujuk pada dasar keberadaan asas legalitas materiil ini, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951, ada penjelasan teknis tambahan, bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diterapkan dengan syarat tidak ada tindak pidana padanannya dalam KUHP, jika ada padanan atau yang sebanding, maka digunakan KUHP.14

Keterangan di atas telah memberikan batasan hukum yang hidup dalam masyarakat yang dapat diterapkan, namun tidak menjelaskan secara spesifik karakter hukum pidana yang hidup dalam masyarat yang dimaksud. Masyarakat mana yang dimaksud, pada tingkatan apa, apakah desa, kecamatan, kabupaten atau propinsi. Apakah aturan dimaksud bisa juga bermakna aturan baru yang disepakati dalam masyarakat atau yang sudah lama eksis? Sejauh mana jangkauan subjeknya, sejauh mana hukum tersebut mengikat subjek hukum yang ada?15

Masih banyak pertanyaan subtantif yang tidak dijelaskan oleh perumus RKUHP mengenai apa itu hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Komariah dengan tegas, membatasi maksud dari hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat. Dan itupun dengan batasan bahwa tidak ada padanan delik yang diatur dalam KUHP.16 Pembatasan makna hukum yang hidup

dalam masyarakat sebagai hukum pidana adat akan sedikit mengurai ketidak jelasan yang ada. Hal ini karena hukum pidana adat adalah bagian dari hukum adat yang sudah memiliki batasan makna tersendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Otje Salman, bahwa Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat, yakni kaidah-kaidah social yang dibuat dan dipertahankan oleh para

14 Pasal 5 ayat (3) sub b, UU Darurat Republik Indonesia No. 1 tahun 1951 tentang Tindak-tindakan

Sementara untuk Menyeleggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

15 Alfons Zakaria, Inkonsistensi Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana 2005, Risalah HUKUM, Fakultas HUkum Mulawarman, Desember 2006, Vil. 02, No. 2. Hlm: 139

16 Komariah Emong Sapardjaja. 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Alumni. Hlm. 211

(17)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

42

fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) dan berlaku serta dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat Indonesia.17

Membatasi hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum adat kiranya memiliki dasar berpikir yang jelas. Bahwa salah satu dasar pemberlakuan asas legalitas materiil ini adalah karena kenyataan bahwa dalam masyarakat Indonesia masih banyak daerah tertentu yang masih memiliki hukum adatnya yang mengikat sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum RKUHP. Sehingga jika dimaknai hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa batasan, jelas sangat bertentangan dengan asas legalitas yang menjamin kepastian hukum. Namun ketika yang dimaksud adalah hukum adat, maka jelas bahwa hanya hukum yang sudah eksis dalam masyarakat dan masih mengikatlah yang bisa diterapkan sebagai hukum positif, sementara eksistensi hukum adat dapat dirujuk dan dikaji secara akademis sehingga sifat ketidakpastiannya bisa diminimalisir.

Eksistensi masyarakat hukum adat dalam system hukum Indonesia sudah kuat. Paling tidak ada 16 undang-undang yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat di luar UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi.18 Pada

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, diatur pada Pasal 97 ayat (2). Kriteria masyarakat hukum adat yang diakui antara lain:

1. Memiliki wilayah dan paling tidak memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:

2. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; 3. pranata pemerintahan adat;

4. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau 5. perangkat norma hukum adat.

Dengan pemaknaan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat, maka keberadaannya semakin konkret. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah mengidentifikasi keberadaan hukum adat itu sendiri. Hukum adat mana yang masih eksis agar dapat ditegakkan sebagai bagian dari hukum positif Indonesia dalam konteks hukum pidana. Hal ini dapat dilakukan dengan kajian empiris mengenai keberadaan masyarakat hukum adat yang mestinya dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah dan kemudian ditetapkan sebagai hukum adat

17 Dengan demikian hukum adat memiliki lima unsur: (1) adat; (2) Penegakan oleh Fungsionaris

Hukum; (3) Sanksi Adat; (4) Tidak Tertulis; (5) Mengandung Unsur Agama. Lihat, Otje Salman Soemadiningrat. 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, Alumni. Hlm. 14-18.

18 Lihat Kurnia Warman, Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat,

dalam http://procurement-notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284, diakses pada tanggal 10 Nopember, 2015 pukul 22.30 WIB.

(18)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 43

yang masih berlaku ketika memenuhi kriteria di atas. Hal ini sudah diupayakan regulasinya misalnya dalam Pasal 96 UU Desa.19

Kedudukan dan Hierarki Hukum Pidana yang Hidup dalam Masyarakat

Rumusan Pasal 2 RKUHP menyiratkan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum positif yang dapat dijadikan oleh hakim sebagai dasar penuntutan. Sebagaimana pembahasan di atas, makna hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum pidana adat, dengan mekanisme penegakan yang sifatnya terbatas. Dengan melihat penjelasan tersebut, maka konstruksi kedudukan hukum pidana adat adalah sebagai hukum pidana khusus.

Bambang Poernomo mengemukakan bahwa hukum pidana khusus memiliki ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang berada di luar hukum kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi, dan azas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum hukum pidana yang mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan konvensional. Perluasan dan penyimpangan hukum ini meliputi bidang hukum material dan formal. Misalnya, yang menyangkut objek hukum, subjek pembuat delik, perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, pemidanaan, alat pembuktian, beban pembuktian, pemeriksaan perkara, proses beracara, dan ketentuan lainnya.20

Secara konseptual, sebagaimana disampaikan Bambang Poernomo di atas, hukum pidana adat dapat ditempatkan kedudukannya sebagai hukum pidana khusus. Namun tidak secara sepenuhnya, ada pembatasan lebih pada penerapannya. Pada hukum adat tidak serta merta dapat diterapkan asas lex specialis derogate legi generali, karena harus memenuhi batasan kriteria dan batasan perkara yang hendak ditangani.

Pengakuan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat dan Implikasinya Pada Penerapan Ne Bis in Idem dalam Penegakan Hukum Pidana

Asas ne bis in idem bermakna bahwa setiap orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputus oleh hakim. Asas ini merupakan asas mendasar dalam penegakan hukum hukum untuk memastikan adanya kepastian hukum bagi terdakwa.21

Asas ne bis in idem ini, diatur dalam Pasal 76 KUHP,

19 Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan

penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.

20 Bambang Poernomo. 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana,

Jakarta: Bina Aksara, Hlm. 10-11

21 Gress Gustia Adrian Pah, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi

Berbadan Hukum dan Bukan Berbadan Hukum, Jurnal Advokasi, Vol. 7, tahun 2017, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Hlm. 186

(19)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

44

“(1) kecuali dalam hal putusan Hakim masih mungkin diulangi (herziening), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh Hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian Hakim Indones, termasuk juga Hakim Pengadilan Swapraja dan Adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

(2) jika putusan yang menjadi tetap berasal dari Hakim lain, maka terhadap oranng itu dan karena perbuatan pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

Ke-1. putusan berupa pembebasan dari tudukan atau pelepasan dari tuntutan hukum;

Ke-2. putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.”22

Berdasarkan norma di atas, dapat dipahami bahwa seseorang tidak lagi dapat kenakan proses penegakan hukum, atau dalam kata lain, negara tidak lagi berwenang mengadili bahkan negara dilarang melakukan pengadilan kembali atas perbuatan yang sudah diproses dan putus dengan putusan tetap, baik berupa putusan pembebasan maupun pemidanaan.

Putusan berkekuatan hukum tetap, berarti tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa, melainkan harus dilakukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa mempunyai ciritertentu, yaitu:

1. Dilakukan untuk melawan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

2. Diajukan ke Mahkamah Agung sebagaiperadilan yang memeriksa dan memutusdalam tingkat pertama dan yang terakhir;

3. Hanya dapat diajukan pada hal-hal dan keadaan-keadaan tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.23

Jaminan lain atas pemberlakuan asas ne bis in indem juga ada Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 18 ayat (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Pasal ini mengatur tentang Hak Memperoleh Keadilan. Dengan demikian, sudah jelas bahwa seseorang hanya dapat diproses dan diadili atas perbuatan pidananya hanya satu kali.

22 Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 31, Jakarta, Bumi Aksara, 2014. Hlm.

32.

(20)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 45

Dengan pemberlakuan legalitas materiil dalam RKUHP, dimana disebutkan bahwa selain hukum pidana yang bersifat tertulis, juga diakui keberadaan hukum pidana yang hidup dalam masyarakat, memunculkan sebuah pertanyaan, apakah seseorang yang sudah diadili melalui lembaga peradilan adat, masih dapat diajukan kembali dalam proses peradilan dalam sistem peradilan pidana nasional? Ini juga mengharuskan kita mencari jawaban, apakah ne bis in idem dalam konsep hukum pidana, berlaku atas sebuat perkara yang sudah disepakati bersama melalui mekanisme adat untuk tidak dilanjutkan, masih dapat diajukan melalui mekanisme hukum nasional?

Satjipto Rahardjo merumuskan penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam berbagai peraturan hukum. Dalam kenyataannya proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.24 Dalam

konteks penegak hukum pidana positif sudah tidak menjadi masalah, yaitu aparat penegak hukum yang sudah ditetapkan tugas dan kewenangannya mulai dari penyelidikan dan penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh Jaksa dan mengadili oleh hakim sebagaimana diatur dalam sistem peradilan pidana nasional. Namun, ketika hukum pidana adat hendak diakui sebagai bagian dari hukum positif, maka siapa yang berwenang untuk menegakkannya?

Secara eksplisit dalam RKUHP tidak disebutkan siapa yang akan menjadi petugas penegak hukum pidana adat. Dalam Pasal 66 ayat (1) disebutkan ada sanksi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat. Lebih jauh, dalam Pasal 96 diperjelas bahwa sanksi pidana adat diutamakan jika jenis pelanggarannya terkait dengan pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan kata lain, pelanggaran adat. Disebutkan bahwa: “Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)”.

Sebagai bentuk konsistensi norma Pasal 2 ayat (2), Pasal 97 mempertegas bahwa penerapan sanksi tambahan kewajiban adat dapat diberikan meskipun tidak disebutkan secara ekplisit dalam ketentuan pasal yang dilanggar. “Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2)”.

24 Satjipto Rahardjo. 2011, Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta

(21)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

46

Keterangan di atas, menunjukkan bahwa hakim dalam sistem peradilan pidana nasional-lah yang akan menjatuhkan pidana pada kasus pidana adat dengan pemberian kewenangan hakim. Hakim dapat menetapkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” yang harus dilakukan terpidana, jika keadaan menghendaki untuk memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Artinya, delik adat tetap diselesaikan melalui sistem peradilan pidana naisonal.

Dalam perkembanganya, Pemerintah tengah menyusun RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pasal 44 RUU tersebut menyebutkan tentang mekanisme penyelesaian sengketa adat:

1. Penyelesaian Sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan melalui lembaga adat dan/atau Peradilan Adat.

2. Lembaga Adat memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Masyarakat Hukum Adat.

3. Peradilan Adat tidak berwenang mengadili tindak pidana berat dan tindak pidana khusus.

4. Peradilan Adat dapat dibentuk oleh Lembaga Adat secara berjenjang dari Kabupaten/ Kota sampai dengan tingkat Provinsi.

Rumusan pasal di atas menjelaskan bahwa peradilan adat dalam kontek penegakan hukum pidana, tidak memiliki kewenangan untuk menangani tindak pidana yang berat atau khusus. Artinya hanya delik adat yang sifatnya ringan saja yang bisa diselesaikan oleh Peradilan Adat. Selain itu, jika merujukan pada Pasal 5 ayat (3) huruf b UU No. 1 Drt tahun 1950, pembatasan kewenangan peradilan adat semakin kecil yakni hanya menangani pidana adat yang tidak memiliki padanan deliknya pada KUHP. Jika ada delik adat yang memiliki padanannya dalam KUHP maka diselesaikan melalui system peradilan pidana nasional.

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa pada prinsipnya, penyelesaian perkara pidana adat diselesaikan melalui sistem peradilan pidana dengan aparat penegak hukum yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Jika delik adat bersifat ringan dan tidak ada padanan deliknya yang diatur dalam KUHP baru peradilan adat berwenang menyelesaikannya.

Konstruksi sistem penyelesaian tindak pidana adat di atas, tampak tidak sejalan dengan semangat pencantuman asas legalitas materiil dalam RKUHP. Karena pada kenyataannya meski hukum yang hidup dalam masyarakat diakui keberadaannya, namun penegakannya seolah dikebiri dengan memberikan batasan yang sangat sempit dalam proses implementasinya. Hal ini disadari betul oleh penyusun RKUHP, salah satunya Andi Hamzah, bahwa hukum adat di

(22)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 47

Indonesia sangat beragam sehingga tidak mungkin dilakukan kodifikasi, sehingga dia menyebut kondisi ini dengan dilemma. Dilemma antara perlunya pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat dan kenyataan bahwa kualitas penegak hukum yang masih kurang optimal, sehingga asas legalitas tetap harus dipertahankan. Akhirnya dipilihlah jalan tengah, pidana adat diakomodasi sebagai pidana ringan.25

Hukum adat masih mungkin ditegakkan oleh hakim melalui sistem perdilan pidana. Namun, ada masalah teknis ketika hukum pidana adat yang memiliki filosofi perumusan dan kaidah penegakan yang khusus hendak ditegakkan dengan sstem yang asing (system peradilan pidana nasional), yaitu kemampuan aparat penegak hukum resmi mewujudkan cita-cita hukum pidana adat yang keberadaannya diakui undang-undang.26

Ketika hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat ditegakkan melalui sistem peradilan pidana nasional, tentu hasil keputusannya tidak menjadi masalah, karena lembaga penyelenggaranya sudah legitimate dengan hirarki kelembagaan yang sudah mapan. Hal ini menjadikan penerapan asas ne bis in idem tidak menjadi masalah. Tetapi bagaimana jika yang menyelenggarakan adalah penegakan hukum pidana adat adalah lembaga secara mandiri? Tampaknya masih perlu dikaji lebih jauh.

Pertama yang harus diuraikan adalah apa yang dapat disebut sebagai lembaga adat yang tindakan atau keputusannya dapat diakui secara resmi. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun 1918 tentang Lembaga Masyarakat Desa dan Lembaga Adat Desa, pada Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa Lembaga Adat Desa atau sebutan lainnya yang selanjutnya disingkat LAD adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.

Satjipto Rahardjo mengungkapkan empat klausula yuridis yang menjadi kriteria eksistensi masyarakat hukum adat tersebut adalah:

1. “Sepanjang masih hidup”. Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyelami perasaan masyarakat setempat (pendekatan partisipatif).

2. “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Syarat ini mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksasa atas nama “perkembangan masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara bebas.

25 Andi Hamzah. 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 43.

26 Lidya Suryani Widayati, “Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan dalam RUU

(23)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

48

3. “Sesuai dengan prinsip NKRI”. Kelemahan paradigmaini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua antitas yang berbeda dan berhadap-hadapan. 4. “Diatur dalam undang-undang”. Indonesia adalah Negara berdasar hukum,

apabila dalam Negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari-hari tidak akan berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal (bila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya).27

Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, menyebutkan bahwa Lembaga Adat Desa memiliki tugas untuk membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. Dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut, diatur mengenai fungsi LAD tersebut antara lain:

1. melindungi identitas budaya dan hak tradisional masyarakat hukum adat termasuk kelahiran, kematian, perkawinan dan unsur kekerabatan lainnya; 2. melestarikan hak ulayat, tanah ulayat, hutan adat, dan harta dan/atau kekayaan

adat lainnya untuk sumber penghidupan warga, kelestarian lingkungan hidup, dan mengatasi kemiskinan di Desa;

3. mengembangkan musyawarah mufakat untuk pengambilan keputusan dalam musyawarah Desa;

4. mengembangkan nilai adat istiadat dalam penyelesaian sengketa pemilikan waris, tanah dan konflik dalam interaksi manusia;

5. pengembangan nilai adat istiadat untuk perdamaian, ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;

6. mengembangkan nilai adat untuk kegiatan kesehatan, pendidikan masyarakat, seni dan budaya, lingkungan, dan lainnya; dan

7. mengembangkan kerjasama dengan LAD lainnya.

Dengan adanya LAD, maka sudah semestinya negara memberikan porsi kewenangan dan kedudukan kelembagaannya sebagai lembaga resmi. Dengan demikian, setiap hasil keputusannya, termasuk keputusan dalam konteks penyelesaian perkara pidana adat, wajid diakui oleh negara. Konsekuensi lebih lanjutnya adalah, setiap keputusan dalam perkara pidana adat yang dilakukan LAD, harus dianggap sah, dan berlaku juga atasnya asas ne bis in idem.

27 Abdurrahman dan Tim, Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkumham RI, Jakarta, 2015. Hlm. 29-30

(24)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 49

Di luar analisa di atas, ternyata yurisprodensi Mahkamah Agung mengakui keberadaan putusan lembaga adat dalam memutuskan perkara pidana adat sebagaimana putusan lembaga peradilan negara. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Mei 1991 No. 1644 K/Kr/Pid/1988 yang menyatakan bahwa tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kendari tidak dapatditerima, karena terdakwa Tauwi telah diadili oleh dewan adat setempat dan menjalani hukuman adat yang telah dijatuhkan kepadanya. Walaupun Hakim Pengadilan Negeri dapat mengadili perkara adat dengan jalan menggali hukum dan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat, namun Pengadilan Negeri tidak diperbolehkan lagi menjatuhkan hukuman terhadap pelaku delik adat yang sudah menjalankan hukuman yang dijatuhkan oleh lembaga adat seperti hukuman yang dijatuhkan oleh Rajo Penghulu atau Jenang Kutei, karena hal inibertentangan dengan asas ne bis in idemsebagaimana diatur di dalam Pasal 76KUHP.28

Kesimpulan

Diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat telah sesuai dengan semangat pembangun hukum pidana Indonesia yaitu mampu membangun dan menjamin keseimbangan antara aspek kepastian hukum dan keadilan hukum. Legalitas formil melindungi kepentingan individu, sementara legalitas materiil melindungi kepentingan masyarakat.29 Cita-cita keseimbangan monodualistis ini

sangat ideal dalam ranah hukum Indonesia yang plural, bukan hanya masyarakat dan budayanya, namun plural dalam system hukum yang berlaku.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan khusus sebagai berikut,

1. Kriteria hukum pidana tidak tertulis yang dimaksud oleh RKUHP agar dapat operasional harus dimaknai sebagai hukum pidana adat.

2. Mekanisme penyelesaian perkara pidana adat tidak diatur secara eksplisit, namun secara implisit tindak pidana adat dapat diselesaikan melalui dua cara, pertama, melalui sistem peradilan pidana nasional, dan kedua melalui peradilan adat. Hanya tindak pidana adat yang ringan dan tidak ada padanannya pada KUHP yang dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan adat.

3. Asas ne bis in idem berlaku dalam konteks penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh lembaga adat, dimana lembaga adat tersebut memiliki ciri dan syarat untuk dapat melakukan penegakan hukum adat. Dengan demikian,

28 Masril dan Ade Kosasi, Keberlakukan Asas Ne Bis In Idem Terhadap Putusan Pengadilan Adat

Dalam Tata Hukum Indonesia, AL-IMARAH: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 4, No. 1, 2019. Hlm. 52.

(25)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

50

perkara yang sudah diputus oleh lembaga adat dan telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak dapat diproses kembali baik dalam lembaga adat, maupun melalui sistem peradilan nasional.

Daftar Pustaka

Abdurrahman dan Tim, Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkumham RI, Jakarta, 2015.

Achmad Soema di Pradja. 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Alfons Zakaria, “Inkonsistensi Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2005”, Risalah HUKUM, Fakultas Hukum Mulawarman, Desember 2006, Vil. 02, No. 2.

Andi Hamzah. 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta. _______, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.

Bambang Poernomo. 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Barda Nawawi Arief. 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Eddy O.S. Hiariej. 2013, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Yogyakarta, Penerbit Erlangga.

_______, 2014, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka. Gress Gustia Adrian Pah, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak

Pidana Korporasi Berbadan Hukum dan Bukan Berbadan Hukum, Jurnal Advokasi, Vol. 7, tahun 2017, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Komariah Emong Sapardjaja. 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Alumni.

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016.

Lidya Suryani Widayati, “Pemenuhan Kewajiban Adat sebagai Pidana Tambahan dalam RUU KUHP”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum UII, No. 3 Vol. 20 Juli 2013.

Lihat Kurnia Warman, “Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”, dalam http://procurement-notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284, diakses pada tanggal 10 Nopember, 2015 pukul 22.30 WIB.

Mahrus ali. 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Masril dan Ade Kosasi, Keberlakukan Asas Ne Bis In Idem Terhadap Putusan Pengadilan Adat Dalam Tata Hukum Indonesia, AL-IMARAH: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 4, No. 1, 2019.

Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

_______, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 31, Jakarta, Bumi Aksara, 2014.

Otje Salman Soemadiningrat. 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, Alumni.

(26)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Analisis Terhadap Sejumlah Kebijakan Kriminal Kontroversial Dalam RKUHP” 51

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun 1918 tentang Lembaga Masyarakat Desa dan Lembaga Adat Desa

RKUHP 15 September 2019. RKUHP tahun 2012

Satjipto Rahardjo. 2011, Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing.

UU Darurat Republik Indonesia No. 1 tahun 1951 tentang Tindak-tindakan Sementara untuk Menyeleggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

(27)

Syarif Nurhidayat “Implikasi Pengakuan Legalitas Materiil...”

Referensi

Dokumen terkait

Bahan bantu mengajar ini juga dapat menyelesaikan pelbagai masalah dalam kaedah pengajaran guru yang sentiasa berubah mengikut peredaran zaman (OmardinAshaari,

 bayi dalam dalam bulan-bulan bulan-bulan pertama pertama kehidupannya kehidupannya sering sering diakibatkan diakibatkan oleh oleh kelainan kelainan kongenital

Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwaperancangan dan pembuatan Sistem Informasi Koperasi Universitas Diponegoro telah berhasil dilakukan

ANALISIS MENU ENGINEERING DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENJUALAN MAKANAN DAN MINUMAN PADA MENU A’LA CARTE DI RESTORAN MALABAR COFFEE SHOP HOTEL HORISON BANDUNG.. Universitas

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dapat memberikan gambaran bahwa dengan mengikuti senam hamil dapat menurunkan tingkat kecemasan yang terjadi pada ibu hamil

maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga

Berdasarkan penjelasan pada poin 1 dan 2 diatas maka alasan Pokja menggugurkan penawaran kami tidak sesuai standar dan pedoman yang telah ditetapkan didalam

Kondisi otot punggung yang kokoh dan kuat ini membantu Badak sumatra dalam aktifitas menggerakkan tubuh pada saat berkubang dalam lumpur dan juga menyokong rigiditas