• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MARIAH DOLOG HINGGA TAHUN administratif berada di wilayah Kerajaan Raya, tepatnya di daerah Simalungun Atas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MARIAH DOLOG HINGGA TAHUN administratif berada di wilayah Kerajaan Raya, tepatnya di daerah Simalungun Atas."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MARIAH DOLOG HINGGA TAHUN 1960

2.1 Kondisi Alam dan Geografis

Nagori (Kampung) Mariah Dolog sebelum kemerdekaan Indonesia secara administratif berada di wilayah Kerajaan Raya, tepatnya di daerah Simalungun Atas. Pengaruh Kerajaan Panei dan kemudian Kerajaan Purba sempat sampai ke wilayah ini. Sepanjang Mariah Dolog berada di bawah wilayah kekuasaan kerajaan, tidak begitu besar pengaruh kontak langsung dalam berkomunikasi secara rutin dengan Kerajaan Raya tersebut mengingat jaraknya yang sangat jauh dan sulit dijangkau. Mariah Dolog seperti seyogianya dilakukan oleh daerah-daerah perkampungan yang merupakan bagian dari suatu wilayah kekuasaan kerajaan, misalnya ada tuan yang oleh raja diangkat sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan pemberian upeti kepada raja, melakukan komunikasi lewat pertemuan diundang oleh raja yang dihadiri tuan-tuan dari kampung-kampung, dan sebagainya.

Di daerah pedalaman di Sumatera pada pergantian abad ke-19, kontrol terhadap wilayah ini tidak menyeluruh. Penduduk desa dapat menyesuaikan kehidupan mereka di pinggiran perkebunan kolonial dan tetap dapat mempertahankan lahan mereka – khususnya di lereng gunung yang lebih terjal, dan agak sulit dicapai.13

13 Tania Murray Li, op.cit, hal. 24.

(2)

penentuan wilayah administratif, Mariah Dolog berada di wilayah Kecamatan Dolok Pardamean, kemudian beralih menjadi wilayah Kecamatan Raya hingga saat akhir periodisasi penulisan ini. Di bawah suatu kecamatan terdapat daerah-daerah bagian yang lebih kecil, yaitu desa, maka Mariah Dolog termasuk bagian dari desa Dolog Huluan karena memang desa inilah yang lebih dekat jaraknya dan secara administratif merupakan desa di bawah Kecamatan Raya.

Untuk dapat mengakses ke Mariah Dolog maka terlebih dahulu dari Simpang Raya Huluan dengan jarak sekitar 5 km hingga ke Dolog Huluan. Sepanjang jarak tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor roda empat. Sementara Dolog Huluan masih dapat tembus dengan jarak sekitar 6 km ke Simpang Partuahan, jalan besar menuju Tigaras dari Simpang Raya. Dolog Huluan merupakan satu-satunya desa yang dilalui menuju Mariah Dolog meskipun masih ada jalur setapak yang bisa dilalui dari desa Dolok Saribu, namun sangat jauh jaraknya. Adapun jarak dari desa Dolog Huluan menuju Mariah Dolog sekitar 1,5 km dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor karena terbatasnya sarana penyeberangan dan medan jalan yang curam di pinggiran jurang. Masyarakat akan melalui akses jalan ini dengan kendaraan kereta yang ditarik oleh kerbau maupun dengan berjalan kaki serta melalui jurang yang dihubungkan dengan jembatan terbuat dari susunan batang bambu.

Tampilan wajah kampung Mariah Dolog menghadap ke timur arah mata angin, apabila diamati dari jalan kedatangan menuju kampung dan pintu gerbang masuk. Bagian belakang wajah kampung sebelah barat terdapat pintu jalan keluar

(3)

menuju ke ladang dan bila terus ditelusuri dapat tembus hingga ke wilayah Kerajaan Purba, daerah Tigarunggu. Pintu gerbang masuk berjarak sekitar 70 meter dari pusat kampung dan persis berada di parit yang mengelilingi kampung, dengan dibangun jembatan di atas parit. Setiap orang yang datang harus terlebih dahulu lewat pintu gerbang untuk bisa memasuki kampung Mariah Dolog. Demikian juga warga yang berdiam di kampung itu untuk pergi ke ladang maupun dalam urusan lainnya untuk meninggalkan kampung harus melalui gerbang masuk meski memang tidak ada penjaga yang bertugas di gerbang itu.

Kampung Mariah Dolog dikelilingi bendar, pohon beringin dan pohon bambu yang dibangun oleh warga kampung atas prakarsa Tuan Mariah Dolog Purba Sidagambir. Bendar digenangi air dengan kedalaman sekitar satu meter dan panjang satu sampai dua meter, bertujuan untuk melindungi kampung dari binatang-binatang buas maupun ternak liar milik warga itu sendiri. Perkampungan akan menjadi terganggu ketika binatang-binatang tersebut masuk, biasanya karena cuaca buruk dengan datangnya hujan lebat dan bendar pun meluap sementara binatang ingin berlindung dari buruknya cuaca. Maka masing-masing warga bertanggung jawab atas kelestarian bendar tersebut dengan memperbaiki setiap bendar yang ada dekat wilayah pekarangannya apakah karena rusak oleh hujan maupun kerbau-kerbau dan kuda-kuda liar di luar kampung.

Kampung ini tentunya sulit untuk diketahui oleh masyarakat luar yang pernah mendengar nama Mariah Dolog. Hal ini disebabkan sangat minimnya sarana yang

(4)

tersedia dengan ditandai akses jalan yang seadanya untuk bisa menuju Mariah Dolog, disebabkan kondisi alam yang sulit untuk dijangkau. Letak kampung ini juga sangat tersembunyi di antara hutan belantara dikurung oleh sungai dan jurang,dan bukit-bukit yang menghalangi pemandangan wajah kampung.

Dalam perjalanan menuju kampung Mariah Dolog kadangkala ditandai dengan nampaknya asap-asap di antara bukit-bukit dan hutan-hutan. Semakin jelas terdengar suara ayam-ayam berkokok, keceriaan anak-anak sedang bermain serta suara lesung menumbuk padi dan jagung yang setiap harinya dikerjakan oleh muda-mudi. Rumah-rumah penduduk yang khas terbuat dari papan berwarna coklat hingga kehitam-hitaman dengan atap ijuk sebagiannya ada yang berlumut berwarna hijau. Baik pagi maupun sore hari, kecuali matahari cerah, kampung ini sering diselimuti oleh embun apalagi pada musim hujan dengan suhu cuaca yang sangat dingin. Demikian penghuni perkampungan ini sangat menyatu dengan lingkungan alam.

Hamparan hutan tropis sebagai sumber kekayaan alam dan tersedianya flora fauna mengelilingi daerah ini. Awalnya sebagian besar daerah ini ditumbuhi berbagai jenis pepohonan dan semak belukar. Maka seiring dengan aktivitas kehidupan penduduk, belantara tersebut menjadi ternoda ditandai dengan perambahan hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Proses pembukaan lahan apakah dengan cara menebang pepohonan untuk dijadikan bahan bangunan perumahan maupun dengan cara membakar hutan.

(5)

Sebagian wilayah perbukitan yang hanya ditumbuhi oleh semak belukar dan rerumputan dianggap layak sebagai tempat menggembalakan ternak. Maka beberapa jenis hewan ternak yang digembalakan seperti kerbau, kuda, babi, dan kambing berkeliaran di daerah tersebut dalam arti bebas tanpa diikat dengan tali tambatan. Rerumputan yang subur menjadi santapan hewan-hewan yang diternakkan di sana. Daerah yang merupakan tempat hewan ternak tersebut berkembang biak lama-kelamaan terbentuk menjadi lapangan dan ada kubangan yang berisi genangan air. Daerah ini memberi daya tarik terhadap penduduk dari perkampungan terdekat untuk melakukan kegiatan beternak meskipun sebenarnya bukan bertujuan ekonomis.

Sifat daerah belantara banyak dimanfaatkan penduduk untuk mencari sumber kehidupan seperti makanan, apakah didapatkan dengan cara memetik buah tumbuhan yang ada di sana maupun dengan cara berburu hewan liar yang layak dijadikan makanan. Jenis hutan tropis yang menjadi ciri khas daerah tersebut menandakan tingkat kesuburan tanah yang baik diolah sebagai lahan pertanian. Maka lahan di daerah ini kemudian dimanfaatkan untuk bercocok tanam dengan tanaman yang tumbuh di darat. Daerah ini tidak mengenal persawahan, karena padi pun ditanam tanpa membutuhkan irigasi untuk pengairannya. Setidaknya hal tersebut kemudian menjadi latar belakang spesifikasi profesi dalam struktur masyarakat Mariah Dolog.

Hampir semua struktur lapisan tanah di sekitar Mariah Dolog merupakan perbukitan terjal dan jurang yang curam. Aliran sungai Bah Binomon membentang dengan bentuk jurang mengelilingi sebagian wilayah menuju Mariah Dolog sekaligus

(6)

pemisah dengan desa Dolog Huluan. Sungai Bah Siarang, Bah Mariah Dolog dan Bah Tubu bermuara di bawah perkampungan Mariah Dolog kemudian namanya Sungai Bah Binoman. Letak sungai tersebut berada di bawah jurang sehingga memang untuk membuka akses jalan harus mengikuti dinding lembah jurang. Bentuk jalan menjadi mendaki naik turun dan dihubungkan dengan jembatan penyeberangan yang dibangun warga terbuat dari susunan batang bambu. Kondisi demikian meyakinkan bagi penduduk tentang perlindungan yang aman dari jangkauan musuh apabila seketika datang serangan. Manfaat tersebut dapat dirasakan hingga masa kedatangan kolonial Belanda ke wilayah Simalungun, di mana sepanjang pendudukannya, Belanda tidak dapat menjangkau perkampungan Mariah Dolog sehingga pengaruh Belanda pun hampir tidak ada di tempat ini.

Umumnya di daerah Simalungun diberikan nama-nama perladangan maupun tempat-tempat yang dianggap dapat dijadikan sebagai sarana kehidupan warga seperti tempat menggembala ternak, sungai-sungai yang dimanfaatkan untuk sumber air dan menangkap ikan, hutan-hutan tempat melakukan perburuan, tempat-tempat keramat dan pemujaan, hingga daerah-daerah yang kondisi alamnya sangat unik seperti gua, benteng, jurang, bukit, mata air dan sebagainya. Sehingga tidak jarang ketika terbentuknya suatu perkampungan, nama perkampungan itu diangkat dari nama daerah sebelumnya seperti halnya Mariah Dolog.

Mengandalkan kekayaan alam menjadi ciri khas penghuni Mariah Dolog untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Terutama dalam memenuhi

(7)

kebutuhan primer yang mencakup akan sandang, pangan, dan papan maka akan mencarinya ke hutan yang ada di sekitar pemukiman. Kegiatan mencari binatang buruan dengan membawa anjing dan perangkap, menebangi pohon dengan kampak guna mendirikan gubuk untuk bermukim menjadi ciri khas yang diwariskan secara turun-temurun sehingga kemudian daerah Mariah Dolog nampak semakin terang dengan berkurangnya pepohonan. Maka kondisi tersebut kemudian memungkinkan untuk memulai bercocok tanam di daerah ini.

2.2. Latar Belakang Historis Mariah Dolog

Pemukiman Mariah Dolog jelasnya merupakan tempat migrasi dari daerah lain, perkampungan yang dekat dan berada di sekitar wilayah kerajaan Raya. Tidak jelas sejak kapan mulai terbentuknya pemukiman di sana, namun dapat ditinjau hubungannya dengan streotype masyarakat Simalungun secara umum yang menggambarkan sifatnya ingin menyendiri dan bermukim di tempat yang terlindung dan nyaman baginya. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa peristiwa pergolakan yang terjadi di wilayah Kerajaan Raya secara umum baik sebelum kedatangan kolonial Belanda maupun sesudahnya.

Peperangan yang berlangsung dalam tujuan menaklukkan daerah-daerah untuk dijadikan wilayah kekuasaan oleh raja-raja dan kesultanan sering terjadi. Suku Simalungun akan merasa nyaman untuk tinggal di daerah yang terlindung hingga ke

(8)

pelosok-pelosok karena didorong rasa ketakutan apabila tertangkap akan dijadikan sebagai budak. Perbudakan sering terjadi akibat peperangan, karena tertangkap oleh musuh dan bagi yang menang sering menjualkannya menjadi budak belian. Sering juga terjadi bagi penduduk yang tidak dapat membayar hutangnya kepada raja, ditangkap dari ladangnya dan dijadikan budak belian.14

Selain mengupayakan ketenangan jiwa bersama anggota keluarga, tradisi marjuma modom kemudian bermanfaat untuk lebih berkonsentrasi melakukan pekerjaan-pekerjaan di ladang sehingga mendapatkan hasil yang maksimal untuk kesejahteraan keluarga. Dengan demikian tidak mengherankan jika mengamati setiap gubuk-gubuk yang ada di perladangan di Simalungun akan sering ditemukan

Secara berangsur maupun bergantian warga akan pergi meninggalkan perkampungannya yang tidak nyaman akibat peperangan dan gangguan dari luar. Warga dapat merasa nyaman ketika tinggal di ladang yang jaraknya cukup jauh dari perkampungan, maka akan tinggal menghabiskan waktu hingga mendapatkan kabar bahwa perkampungan telah nyaman. Tradisi untuk tinggal dan menghabiskan beberapa waktu lamanya di ladang tersebut sering disebut dengan istilah masyarakat Simalungun yang mengatakan “marjuma modom”, di mana orang-orang, biasanya suatu keluarga membawa bekal perlengkapan dapur dan tidur ke ladang kemudian bermukim di gubuk yang dibangun dekat ladangnya.

(9)

perlengkapan untuk memasak dengan tersedianya tungku perapian, kayu bakar, periuk, penampungan air, dan sebagainya.

Dengan tradisi marjuma modom secara bersama-sama maka besar kemungkinan terbentuk suatu pemukiman baru di daerah perladangan. Beberapa warga yang perladangan mereka saling berdekatan tentunya selalu melakukan interaksi dan akan bekerja secara bersama-sama dalam pengerjaan ladang mereka. Membangun pemukiman dilakukan dengan mendekatkan gubuk-gubuk mereka sehingga terkonsentrasi dalam suatu perkumpulan yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya kampung.

Kegiatan menggembalakan ternak jauh dari desa juga memotivasi untuk membuka suatu pemukiman baru. Menggembalakan ternak seperti kerbau dan kuda jauh dari desa dan berada di perbukitan yang terdapat hamparan rumput yang luas. Di sana petani yang menggembalakan ternak akan sangat merasakan kedamaian jiwa karena terhindar dari keramaian dan gangguan-gangguan penyerang dari luar. Menjaga ternak biasa dilakukan dengan kesibukan sambil bermain musik tradisional dan mengusahakan makanan sehari-hari untuk mengatasi rasa lapar seperti membakar umbi-umbian maupun burung-burung hasil buruan yang didapatkan dengan cara diperangkap.

Manusia yang terganggu kenyamanannya di lingkungan kampung akibat serangan dari luar mencoba mencari kenyamanan hidup bersama rekanan senasib.

(10)

Mereka membentuk suatu tempat tinggal di mana tempat yang dirasakan lebih nyaman, yaitu tempat untuk menggembalakan ternak di perbukitan menjadi tujuan alternatif untuk bermukim. Tempat tinggal seadanya seperti gubuk-gubuk dibangun. Demikian halnya dengan warga kerajaan Raya melakukan migrasi ke daerah Bagot Sahala, kemudian warga pindah lagi dengan pola terpencar akibat kondisi yang kurang nyaman, sebagian ke Nagara Langit, Tanjung Marolan, dan sebagian lagi ke Dolog Huluan.

Pemukiman Nagara Langit terlatak tidak begitu jauh dari Tanjung Marolan, hanya berjarak sekitar 80 meter. Nagara Langit tidak banyak penghuninya dan tidak bertahan begitu lama karena kemudian penduduknya merapatkan rumah-rumah mereka ke Tanjung Marolan. Hal ini disebabkan letak pemukiman yang kurang strategis pada masa itu, karena sangat mudah untuk dijangkau orang yang datang dari luar. Selain itu, Tanjung Marolan yang berada di tepi sungai Bah Binomon, sehingga sangat mendukung keberlangsungan hidup penduduknya yang lebih sejahtera. Demikianlah pemukiman Nagara Langit tidak ada lagi, namun daerah tersebut menjadi tempat untuk pertapa karena di sana ada peninggalan berupa patung yang terbuat dari batu yang sejak dahulu disembah oleh masyarakatnya. Patung tersebut berbentuk manusia laki-laki dan perempuan dengan posisi duduk, tinggi sekitar 1,5 meter. Patung tersebut terletak di bagian tanah yang posisinya agak lebih tinggi dari sekitarnya dan ditumbuhi semak-semak. Maka tempat ini dikenal sebagai tempat

(11)

keramat oleh masyarakat, dan memang tidak sembarangan orang untuk bisa memasuki daerah tersebut.

Tanjung Marolan berada di antara Dolog Huluan dan Mariah Dolog. Apabila dari Dolog Huluan menuju Mariah Dolog, setelah melewati jurang dan mendaki, maka pemandangan sebelah kiri akan nampak tanah dengan bentuk dataran yang ditumbuhi oleh lalang-ilalang, yang berarti daerah itu bukan merupakan hutan belantara. Daerah itulah yang sempat menjadi pemukiman penduduk kampung Tanjung Marolan. Di daerah Tanjung Marolan pernah terjadi bencana alam tanah longsor, sehingga kemudian penduduknya meninggalkan pemukiman tersebut. Posisi Tanjung Marolan berada di tepi sungai Bah Binomon dan di tepi sungai yang curam terdapat sebuah gua, yang berbentuk lubang memanjang hingga ke tengah-tengah kampung. Tanah tempat penduduk mendirikan rumah longsor dan tepat terjadi di tengah-tengah kampung sehingga banyak rumah-rumah penduduk yang rusak akibat bencana longsor.

Ancaman bencana tanah longsor yang merupakan tantangan alam mendorong penduduk Tanjung Marolan melakukan kesepakatan bersama untuk mengungsi dan mencari tempat yang lebih nyaman. Sehingga Mariah Dolog yang sebelumnya adalah tempat menggembalakan ternak menjadi tujuan untuk melakukan pengungsian karena memang tidak jarang di daerah tersebut petani yang menggembalakan kerbau tinggal dan mengasingkan diri.

(12)

Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan dari Tanjung Marolan ke Mariah Dolog. Rumah-rumah dibongkar dan dipindahkan ke Mariah Dolog untuk selanjutnya dibangun kembali. Begitu juga dengan semua harta benda yang masih bisa diselamatkan turut dipindahkan ke Mariah Dolog. Kemudian Tanjung Marolan terabaikan dan menjadi belantara lagi. Jadi, bencana alam tersebut meninggalkan efek traumatis tersendiri bagi penduduk. Mariah Dolog adalah pilihan daerah yang lebih tepat atas tuntutan penduduk akan kenyamanan terutama dari serangan musuh yang datangnya dari luar.

Bencana tanah longsor di Tanjung Marolan di perkirakan waktunya berlangsung pasca hadirnya kolonial Belanda ke wilayah Simalungun. Pada tahun 1885/1886, bangsa Barat mengunjungi pertama daerah Simalungun.15

Secara kepemilikan, tanah Mariah Dolog merupakan daerah yang diklaim milik Tuan Mariah Dolog, Purba Sidagambir. Dalam istilah Simalungun ia dikatakan

Kehadiran Belanda tidak serta-merta memberikan kenyamanan bagi masyarakat Simalungun, banyak terjadi kontak pertempuran dengan orang-orang Belanda yang ingin menaklukkan daerah-daerah untuk dijadikan wilayah jajahan. Kondisi tersebut semakin memaksa penduduk untuk mengungsi segera mungkin dan mengupayakan tempat yang nyaman dari jangkauan musuh terutama Belanda. Penduduk menimbang tempat yang dianggap tidak mungkin dimasuki Belanda, karena Belanda menggunakan kendaraan-kendaraan tempur untuk memasuki suatu wilayah.

15Ibid, hal. 23-24.

(13)

sebagai “Si Pukkah Huta”, yaitu orang yang pertama sekali menduduki dan membuka kampung tersebut. Setelah mendirikan rumah dan dapat bermukim bersama anggota keluarganya, maka menyusul kemudian saudara-saudaranya semarga serta warga kampung lainnya yang berasal dari Tanjung Marolan. Demikian pemukiman baru terbentuk dan nama kampung itu Mariah Dolog.

Dalam perkembangan awal Mariah Dolog, penduduknya tidak terlepas dari budaya sebelumnya dari mana mereka datang. Budaya yang pernah berlangsung di daerah Bagot Sahala juga Tanjung Marolan masih tetap dipegang teguh. Tradisi-tradisi kehidupan bermasyarakat di kampung mulai dalam bentuk solidaritas hingga kebiasaan-kebiasaan dalam menjalankan upacara-upacara adat. Tradisi upacara adat dalam masyarakat dilaksanakan ketika memasuki rumah yang baru didirikan, melangsungkan pernikahan, memulai penanaman untuk pertanian, menikmati hasil panen, melakukan kunjungan dalam bentuk silaturahmi terhadap keluarga, dengan istilah manopot tondong, mertua, maupun boru, dan sebagainya.

Layaknya kehidupan suatu kampung, penduduk Mariah Dolog hidup dengan solidaritas yang tinggi. Kesepakatan bersama untuk menjaga kenyamanan kampung dikerjakan dengan membentuk wajah kampung sedemikian terlindung sehingga tersembunyi dari ancaman luar. Penduduk membuat bendar mengelilingi kampung dengan tujuan aman dari binatang-binatang buas dan ternak liar yang ada di luar kampung. Hal ini terjadi karena pernah terjadi serangan-serangan dari binatang-binatang yang memasuki kampung, lebih sering terjadi ketika musim hujan, di mana

(14)

binatang-binatang seperti kerbau liar, kuda, maupun unggas mencari tempat untuk berlindung dari cuaca buruk. Kemudian di sekitar bendar ditanami pohon-pohon beringin dan pohon-pohon bambu sehingga membuat pemandangan yang tersembunyi dari luar kampung.

Pada tahun 1959 sepasukan anggota PRRI pernah memasuki kampung Mariah Dolog. Peristiwa tersebut meninggalkan kesan traumatis bagi penduduk.16

Pasukan PRRI tidak merekrut siapa pun dari penduduk untuk dijadikan anggota mereka, tetapi memang meminta ijin terhadap Tuan Mariah Dolog untuk boleh tinggal di kampung dalam beberapa waktu. Pasukan PRRI tidak menginap di rumah-rumah penduduk, tetapi mereka membuat tenda-tenda perkemahan. Menjadi suatu tontonan bagi penduduk Mariah Dolog ketika dapat melihat persenjataan pasukan PRRI. Satu di antara pasukan PRRI bermarga Situmorang tewas tertembak ketika ia meminta anak Tuan Mariah Dolog untuk pergi memantau keadaan di kampung Dolog Huluan. Menyadari bahwa kondisi pasukannya sedang dikepung oleh Tentara Rakyat Indonesia maka segera mereka hijrah dari Mariah Dolog. Kondisi yang mencekam membuat penduduk merasakan trauma. Ditambah lagi Pasukan PRRI yang memberontak terhadap negara Republik Indonesia melakukan perlawanan dengan bersenjata dan bergerilya. Di wilayah Simalungun mereka bergerak dari daerah Tigarunggu. Mariah Dolog hanya dijadikan tempat persinggahan dan persembunyian sebelum dapat melanjutkan perjalanan untuk bertempur menuju Raya.

(15)

dengan himbauan agar penduduk tidak keluar rumah selama PRRI ada di sana karena dikhawatirkan akan melaporkan kehadiran pasukan PRRI kepada daerah lain tentang keberadaan PRRI di sana.

Anggota-anggota PRRI, beberapa di antara mereka berseragam militer dan bersenjata lengkap, sanapan, senapan mesin, granat, mortir, pelontar granat dan bajoka. Terkadang dengan kebengisan mereka memeras penduduk kampung dengan cara memintai perbekalan makanan. Semula sesampai di kampung, pasukan ini sangat sopan dan mencoba beradaptasi, tetapi setelah lebih mengenal penghuni kampung, mereka menjadi bengis. Ternak-ternak babi dirampas begitu saja untuk dipotong dan dibakar. Pasukan PRRI juga mencoba mengumpulkan bekal-bekal lainnya untuk dapat bertahan hidup, apakah obat-obatan tradisional, juga baju-baju dan beras serta jagung.

Dari berbagai wawancara terhadap beberapa informan konon mengatakan bahwa Mariah Dologlah, tempat yang terlebih dahulu dihuni oleh penduduk yang berasal dari Bagot Sahala dan Tanjung Marolan kemudian sebagian membuka perkampungan di daerah sekitarnya seperti Dolog Huluan, Silau Marihat dan yang lainnya.17

17 Wawancara dengan Bapak Jaun Saragih Sumbayak dan Juliaman Saragih Sumbayak ,

Dolog Huluan, 10 Maret 2011.

Pendapat ini sedikit berbeda ketika sumber lain mengatakan desa Dolog Huluan yang kemajuannya lebih pesat adalah daerah pertama yang ada sebelum Mariah Dolog. Meskipun untuk bisa menuju Mariah Dolog harus melewati desa Dolog Huluan terlebih dahulu, tetapi dikaitkan dengan konteks kondisi jamannya

(16)

maka tidak menutup kemungkinan bahwa tempat yang paling dituju oleh masyarakat ketika itu adalah Mariah Dolog, sesuai dengan kebutuhan akan kenyamanan untuk berlindung.18

1) Bagot ni Huta

Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Mariah Dolog :

2) Dolog Huluan 3) Nagara Langit 4) Tanjung Marolan 5) Silau Marihat 6) Bah Bolon 7) Parjalangan 8) Pamurpuran 9) Dolog Saribu 2.3 Komposisi Penduduk

Masyarakat Mariah Dolog yang seluruhnya adalah bersuku Simalungun, masing-masing memiliki marga seperti yang terdapat pada masyarakat Simalungun. Di daerah Simalungun orang biasanya menyebutkkan empat marga, yaitu Purba, Saragih, Damanik, dan Sinaga. Sebabnya ialah, yang empat marga inilah marga dari

(17)

raja-raja yang berkuasa di daerah Simalungun dahulu.19

Masyarakat Mariah Dolog yang bermarga Purba terdiri dari cabangnya, yaitu Purba Sidagambir, Purba Pakpak, dan Purba Sidadolog. Marga Saragih terdiri dari cabangnya, yaitu Saragih Sumbayak dan Saragih Sigaringging. Sedangkan masyarakat bermarga Sinaga, cabangnya yaitu Sinaga Sipayung. Masing-masing sub marga tersebut yang menjadi komposisi marga di Mariah Dolog datang dari daerah yang berbeda sesuai dengan asal kerajaan marga-marga Simalungun. Marga Purba di Silimakuta; di Dolok Silau, Panei dan di Kerajaan Purba. Saragih di Raya, Damanik di Siantar dan Sinaga di Tanah Jawa.

Jadi, marga yang terdapat pada masyarakat Mariah Dolog adalah Purba, Saragih dan Sinaga, tidak ada masyarakat yang bermarga Damanik.

20

19 Batara Sangti, Sejarah Batak, Batak Balige: Karl Sianipar Company, 1977, hal. 151. 20 Ibid, hal. 151.

Marga yang lebih dahulu sampai ke Mariah Dolog adalah Purba Sidagambir, dalam gelombang berikutnya disusul marga Saragih Sumbayak, migrasi dari Bagot Sahala, kemudian marga Sinaga dan yang lainnya. Bahkan jauh setelah berdirinya kampung tersebut ada juga penduduk yang bermarga Batak Toba, seperti Sinurat, Panjaitan dan Turnip. Hal ini terjadi karena pemuda maupun pemudi dari kampung ini menikah di perantauan kemudian membawa pulang pasangannya ke Mariah Dolog untuk hidup di sana.

(18)

Penduduk Mariah Dolog dipimpin oleh seorang tuan yang dianggap sebagai sipukkah huta, dengan gelar Tuan Mariah Dolog Purba Sidagambir. Beliau mengklaim sebagai orang pertama yang mengenal Mariah Dolog dan bermukim di sana, memulai dengan beternak di Mariah Dolog. Secara adatnya maka tanah daerah Mariah Dolog adalah milik Tuan Mariah Dolog. Tuan Mariah Dolog diakui oleh penduduk kampung dengan kriteria awal bahwa beliaulah pembuka kampung dan sekaligus pemilik tanah wilayah tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang hendak bermukim dan melakukan pola kehidupan bertani di Mariah Dolog, wajib meminta izin dan persetujuan dari keluarga Tuan Mariah Dolog. Karena posisinya itu, mereka memiliki peluang untuk membuat orang lain merasa berhutang budi, karena mereka memberikan pekerjaan, izin, kontrak, dukungan jika perlu, perlindungan dalam bentuk kecil-kecilan sampai perlindungan terhadap gangguan dalam rangka memperoleh keuntungan melalui kegiatan legal dan ilegal.21

Meskipun pemakaian tanah harus berdasarkan persetujuan dari Tuan Mariah Dolog, namun tidak diberlakukan sistem sewa tanah bagi tiap penduduk yang bermukim di sana. Kepemilikan tanah pun luasnya ditandai dengan banyaknya tumbuh-tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Demikian juga untuk menggunakan lahan pertanian di daerah tersebut, setiap lahan yang telah ditanami maka menjadi milik yang mengerjakan dengan catatan bahwa tanaman di ladang tersebut tetap dilestarikan. Artinya, apabila suatu waktu lahan tidak dikerjakan dan

(19)

dibiarkan menjadi terlantar, maka orang lain pun memiliki hak untuk mengerjakan lahan tersebut.

Spesifikasi pekerjaan setelah memulai untuk sistem pengolahan tanah kemudian menggambarkan bahwa rata-rata penduduk Mariah Dolog hidup dengan bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun memang kehidupan mereka tidak begitu bergantung dengan hasil-hasil pertanian karena masih memungkinkannya menggantungkan hidup pada kekayaan alam seperti hutan secara leluasa, misalnya dengan kegiatan-kegiatan berburu yang dikenal masyarakat dengan istilah “mansiding” dan sebagainya.

Tidak begitu kontras bagi penduduk untuk dapat mengklasifikasikan profesi mereka secara detail karena setiap penduduk memiliki potensi dan kebiasaan yang sama dalam setiap aktivitasnya sehari-hari. Tidak seperti layaknya di desa yang sedikit memiliki kemajuan misalnya ada pedagang, petani, peternak, tukang pembangun rumah, seniman, dan sebagainya. Bagi masyarakat Mariah Dolog semua kegiatan yang terdapat dalam konteks kehidupan sosialnya dikerjakan secara bersama. Demikian halnya dalam kegiatan mmenggembalakan kerbau, karena ternyata juga kaum perempuan pun sering melakukan kegiatan ini.

Setidaknya memang hanya ada sedikit kebiasaan yang menjadi tradisi bahwa baik pemuda maupun pemudi biasanya menghabiskan banyak waktu mereka di lumbung untuk menumbuk padi dan jagung dalam lesung. Kegiatan ini sendiri sering

(20)

juga dikerjakan oleh orang tua, juga anak-anak mereka. Untuk pekerjaan yang sifatnya lebih keras dan memerlukan imajinasi yang kreatif seperti membangun rumah, maka kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh laki-laki. Pekerjaan dimulai dengan menebang kayu di hutan dan membawa balok-balok kayu hingga ke kampung kemudian membangunnya menjadi rumah tempat tinggal.

Dalam tradisi kepercayaan sifatnya masih animisme, yaitu percaya terhadap roh-roh leluhur. Kepercayaan ini sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat masyarakat karena setiap pelaksanaan adat maka haruslah melakukan pemujaan yang biasanya dipimpin oleh para pemegang tata laksana adat. Setiap pemegang tata laksana adat biasanya adalah orang tua yang sudah lanjut usia dikenal dengan istilah “saur matua”, di mana mereka telah memiliki cucu, maka lebih tinggi posisinya dalam masyarakat. Mereka sudah banyak pengalaman dan memiliki pengetahuan yang lebih serta berpengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Dalam istilah dewasa ini mereka dikenal sebagai dukun.

Kedudukan dukun sangat kuat terutama dalam adat karena merekalah pemegang tata laksana adat, di mana mereka memiliki pengetahuan khusus. Pada masyarakat tradisional, pengetahuan tersebut merupakan potensi diri yang dimiliki seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan kekuatan gaib, dalam hal ini yang dimaksud yaitu roh-roh leluhur serta jin-jin, yang erat hubungannya dengan kepercayaan mereka. Hal itu merupakan bagian dari kesaktian seseorang ketika memiliki kemampuan untuk mengetahui kehendak nenek moyang mereka serta

(21)

melaksanakannya. Perkataan-perkataan dukun akan selalu diindahkan sebagai pedoman dalam masyarakat. Maka banyak fenomena dan gejala baik dalam masyarakat maupun tantangan alam yang membutuhkan solusi, ditanyakan kepada mereka.

Bagaimana penting dan tingginya kedudukan dukun dalam masyarakat tradisional diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam sistem kemasyarakatan Batak. Dalam sistem pelapisan sosial yang berdasarkan kepada pangkat dan jabatan tampak dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adalah lapisan bangsawan, keturunan raja-raja dan kepala-kepala wilayah dulu, yang disebut lapisan biak raja. Lapisan di bawahnya adalah orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan yang dianggap lebih terhormat dari yang lainnya, sehingga orangnya juga dipandang menduduki lapisan elite dalam masyarakat. Mereka ialah dukun, tukang yang mempunyai keahlian (pandai besi, pandai emas, tukang kayu, dan sebagainya), pemukul alat bunyi-bunyian dan penyanyi. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut, dulu sering disebut orang-orang yang memiliki kekuatan sakti.22

22 Koentjaraningrat, ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2004,

(22)

2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Mariah Dolog

Mengandalkan potensi alam lingkungan merupakan ciri khas penduduk Mariah Dolog. Ketersediaan sumber pangan dirasa mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak jenis makanan seperti buah-buahan yang boleh didapatkan dari pohon-pohon di hutan. Namun tidak begitu puas penduduk untuk tetap mengandalkan persediaan pangan dari alam tersebut. Tantangan untuk memasuki hutan belantara adalah kesulitan yang sering menjadi penghambat sekaligus memotivasi penduduk membuat alternatif baru untuk mencukupi pangan. Alasan tersebut kemudian menjadi faktor dibukanya hutan dengan menumbang pohon-pohon kayu sehingga bersih untuk dijadikan lahan pertanian.

Jagung, padi dan ubi kayu adalah tumbuhan yang pertama ditanam oleh penduduk sebagai bahan makanan. Bibit tanaman jagung dan padi didapatkan dari daerah asal mereka sebelum bermukim di Mariah Dolog, seperti Bagot Sahala serta dari desa yang bisa terjangkau jaraknya yaitu Dolog Huluan. Jagung, padi dan ubi menjadi makanan pokok pada masyarakat Mariah Dolog.

Menebangi hutan merupakan langkah awal dalam memulai untuk bercocok tanam. Peralatan yang dugunakan dalam menebangi hutan adalah terbuat dari kayu-kayu yang ada di sekitar hutan. Hal ini karena minimnya peralatan dari logam yang dimiliki penduduk. Konon juga dalam mengolah tanah, para petani juga menggunakan alat seadanya dari kayu yang ditancapkan ke tanah hingga membentuk

(23)

lubang-lubang setelah kemudian dicabut kayu itu. Pada lubang-lubang tersebut biji-biji padi dapat ditanam, demikian juga biji-biji-biji-biji jagung pada areal yang berbeda.

Pertumbuhan bibit yang telah ditanami tidak begitu mendapat perhatian dari petaninya karena memang para petani pemilik tanaman tersebut belum memiliki keahlian untuk menanam jenis tanaman apapun. Baik padi maupun jagung sekaligus tumbuh dengan semak-semak yang terdapat di ladang di mana tanaman itu di tanam. Kondisi demikian karena tidak ada perawatan yang dilakukan oleh petani. Sedangkan panennya akan dilakukan ketika padi dan jagung sudah menguning. Padi dan jagung dipotongi dan dikumpulkan. Semua hasil panen dibawa ke lumbung di kampung dan disimpan di sana.

Untuk diolah sebagai bahan makanan terlebih dahulu padi harus ditumbuk dalam lesung. Kegiatan inilah yang setiap harinya berlangsung di kampung, biasanya dikerjakan oleh pemuda dan pemudi kampung. Secara terpisah jagung dipipil dan jagung tersebut ditumbuk dalam lesung untuk memperhalus bentuknya. Beras kemudian ditampi dan hasilnya yang bersih dicampur dengan jagung dan itulah yang dimasak untuk menjadi menu makanan sehari-hari. Terkadang menu makanan tersebut dicampur dengan ubi kayu.

Semula tanpa adanya keahlian dalam perawatan tanaman memberikan hasil yang kurang memuaskan karena ternyata sedikit hasil didapatkan. Mengolah tanah dianggap menjadi hal yang penting dalam bercocok tanam. Terutama mengelola

(24)

rumput gambut supaya tidak mengganggu tanaman, maka sebelum menanam dilakukan pembajakan. Kegiatan pembajakan yang dilakukan petani Mariah Dolog sangat tradisional sekali dan primitif. Petani belum mengenal perkakas pertanian yang terbuat dari logam seperti cangkul dan bajak. Peralatan yang digunakan berasal dari kayu-kayuan keras yang ada di sekitar lingkungan.

Sebagai pengganti bajak untuk mengolah tanah dibuat dari dahan pohon nira. Dahan-dahan tersebut dilepaskan dari pohonnya lalu dipatah-patahkan. Dahan-dahan yang patah diikat dengan kulit kayu dan bagian yang runcing mengarah ke bawah. Alat inilah yang digunakan oleh petani untuk membajak tanah. Dikerjakan oleh tiga orang untuk menancapkan alat itu ke tanah dengan memijak-mijak, kemudian menggulingkan tanah secara bersama-sama. Demikian pekerjaan yang melelahkan tersebut dilakukan oleh petani hingga bisa menggemburkan tanah ladang yang akan ditanami. Dengan cara demikian tepat sehingga baik padi maupun jagung dapat tumbuh lebih subur di tanah yang gembur tersebut. Jagung yang memiliki produktivitas tinggi, mudah menyesuaikan dan dapat dipakai untuk berbagai keperluan tentu membuatnya mudah ditanam di mana-mana dan ekspansinya berlangsung cukup cepat.23

Pekerjaan yang menguras banyak tenaga umumnya dikerjakan oleh kaum laki-laki, meskipun memang untuk mengerjakan ladang, kaum perempuan juga turut serta untuk bagian pekerjaan yang tidak berat. Waktu mulai pagi hingga sore

23 Ibid, hal. 109.

(25)

kebanyakan dihabiskan di ladang bersama rekanan sekerja dalam mengerjakan ladang. Melihat begitu melelahkannya kegiatan para petani, tentu saja pola makan mereka juga sesuai dengan seberapa besar energi yang mereka keluarkan. Takaran beras yang dikonsumsi menurut ukuran sekarang bisa sampai satu kilogram per orang setiap kali makan.

Cangkul pertama yang dikenal oleh petani yaitu Sangkul Tongging, terbuat dari logam besi dan bentuknya seperti sekop dilengkapi tangkai yang terbuat dari kayu. Cara menggunakan Sangkul Tongging tersebut harus menunduk, sehingga memang sangat melelahkan. Baru sekitar tahun 1900-an petani Mariah Dolog mengenal alat pertanian cangkul seperti bentuk yang sekarang. Cangkul tersebut hasil buatan tukang besi di Raya. Demikian juga dengan peralatan memotong seperti berbagai jenis pisau, parang, belati bahkan gergaji yang kemudian mendukung terhadap kegiatan pembangunan kampung karena menjadi lebih mudah mendirikan rumah dan mendapatkan bahan bangunan seperti balok-balok kayu.

Kegiatan selain pertanian yaitu melakukan pekerjaan bertukang. Kegiatan bertukang merupakan awal dari perkembangan teknologi bagi penduduk Mariah Dolog. Dalam mendirikan rumah, semua bahannya berasal dari hutan. Rumah-rumah kebanyakan terbuat dari batang bambu yang ditancapkan ke tanah kemudian diikat satu sama lainnya menggunakan kulit kayu hingga dapat berdiri tegak. Atap rumah ditutupi oleh daun-daun pohon enau dengan diikat untuk melindungi bagian dalam rumah dari hujan dan terik matahari.

(26)

Bentuk rumah yang dibangun berikutnya yaitu rumah bolon, posisinya berada sekitar satu meter di atas tanah dan sudah menggunakan balok kayu yang dipotong-potong menggunakan alat dipotong-potong terbuat dari besi. Rumah bolon diatapi dengan ijuk dari pohon enau untuk melindungi bagian dalam rumah. Bentuk rumah bolon tidak begitu banyak variasi, sehingga masing-masing rumah penduduk yang demikian memiliki kemiripan. Pekerjaan dalam membangun rumah demikian dilakukan secara bergilir, setelah selesai satu rumah maka lanjut untuk rumah berikutnya. Sementara mengenai sistem upah pekerjaan tidak ada, hanya masing-masing yang bekerja harus ikut dalam mengerjakan rumah berikutnya.

Demikian juga mengenai upah pada pekerja di ladang, karena memang kepemilikan ladang adalah milik masing-masing, maka tidak ada pembayaran yang dilakukan karena belum mengenal alat tukar uang. Jika petani melakukan panen, maka hasil ladang yang dipanen adalah hak yang memiliki ladang. Sebagai keseimbangannya, para petani melakukan kegiatan Marsiadap Ari, yaitu bergotong royong mengerjakan ladang menurut gilirannya, biasanya tiap hari berpindah-pindah dan masing-masing pemilik ladang akan mendapatkan gilirannya.

Selain kegiatan bertani dan bertukang, memburu hewan liar yang tidak diternakkan adalah tradisi bagi masyarakat Mariah Dolog. Boleh digambarkan sebenarnya jumlah ternak di kampung Mariah Dolog adalah banyak. Namun kebiasaan bagi penduduk bahwa ternak-ternak seperti anjing, kerbau, babi, kambing dan kuda, hanyalah merupakan kawan bersama yang menghuni kampung. Dengan

(27)

jumlah ternak-ternak tersebut yang banyak memang menjadikan kampung terlihat ramai. Ternak anjing adalah sahabat yang paling dekat bagi setiap anggota keluarga. Bagi laki-laki dewasa di kampung, anjing menjadi rekan sekerja untuk melakukan kegiatan berburu ke ladang dan hutan. Berbeda halnya dengan ternak lainnya, kerbau, babi, maupun kuda hanya akan dikonsumsi ketika melangsungkan upacara adat. Jadi, tidak jarang jenis-jenis ternak tersebut hidup sampai sangat tua dan mati karena habis usia.

Keahlian serta kegiatan berburu hewan liar biasa dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan membawa anjing. Berburu bertujuan untuk mendapatkan hewan yang dapat dijadikan menu makanan sehari-hari. Jenis-jenis hewan yang biasa didapatkan yaitu kera, monyet, mawas, orang utan, babi liar, babi hutan, musang, ayam hutan, dan berbagai jenis burung yang sering disebut dengan istilah manuk-manuk. Jelaslah berbeda antara hewan yang ada di kampung dan di hutan, di mana penduduk memperlakukan hewan di kampung sebagai teman yang sama-sama melangsungkan hidup pada perkampungan. Sementara jenis hewan yang sama apabila terdapat di hutan, maka sah untuk diburu dan dipotong.

Hasil dari tangkapan hewan-hewan buruan dapat ditukarkan kepada penduduk di kampung dengan imbalan beras maupun jagung. Hal ini karena biasanya para pemburu hewan liar tidak memiliki kebiasaan untuk melakukan kegiatan bertani. Yang mereka tahu hanyalah mengumpulkan makanan dengan cara menangkapi hewan-hewan liar. Daging-daging buruan sudah tentu sangat nikmat rasanya untuk

(28)

dicampurkan ke dalam menu makanan sehari-hari, beras, jagung dan ubi. Sementara sangat jarang para petani yang menghasilkan beras, jagung dan ubi tersebut menyisakan waktu untuk melakukan kegiatan berburu. Bahkan memang para petani kurang memiliki keahlian dalam kegiatan berburu.

Di daerah Mariah Dolog ada banyak terdapat pohon enau, biasa disebut bagot. Tumbuhan aren tersebut dapat tumbuh sendiri, namun juga dapat dibudidayakan oleh petani. Pengetahuan untuk budi daya pohon enau untuk menghasilkan air nira yang kemudian menjadi minuman tradisional masyarakat, tuak, didapatkan dari pengaruh masyarakat yang ada di wilayah yang dekat dengan Mariah Dolog. Petani yang memelihara pohon enau ternyata tidak sembarangan karena tidak semua petani bisa melakukannya. Sesuai tradisi memelihara pohon enau, tentunya harus memanjat untuk dapat mengambil airnya yang ditampung di dahan setelah dipukul-pukul. Tangga yang digunakan yaitu sebuah batang bambu yang ditancapkan dan dilubangi untuk tempat ibu jari kaki, sehingga dapat sampai ke atas. Air nira yang dihasilkan dibawa ke kampung untuk kemudian menjadi minuman khas, biasanya pada sore hingga malam hari sambil berkumpul dan bercerita-cerita melepas lelah seharian bekerja.

Berkaitan dengan kesenian masyarakat khususnya bidang musik tradisional, ada di antara penduduk yang keahliannya dalam memainkan musik. Tidak begitu banyak jumlah mereka yang membidangi musik tradisional, namun mereka dapat dikatakan jarang terlibat bekerja di ladang. Para pemusik tradisional sering tinggal

(29)

bersama keluarga Tuan Mariah Dolog apalagi ketika ada upacara-upacara adat. Demikian diketahui juga bahwa alat-alat musik disimpan di rumah Tuan Mariah Dolog. Maka jelaslah spesifikasi kegiatan yang berbeda-beda menurut keahliannya masing-masing.

Referensi

Dokumen terkait

Jika titik berat model sudah ditetapkan , kita bisa menutup hidung model pesawat dengan balsa penutup yang telah disiapkan sebelumnya kita perhatikan posisi kait

Affirmation of adat forests as state forest within territory of adat law people is defined in Article 1.. number

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) Mengetahui peningkatan pemahaman Pkn kerja sama negara Asia Tenggara siswa setelah diterapkannya model belajar

Pembahasan dalam penelitian ini ditekankan pada strategi pengembangan usaha akomodasi sebagai pemanfaatan peluang dari kehadiran pariwisata yang dilakukan oleh

Alamat Email : pututm pada domain hotmail.com;pmarwoto pada domain yahoo.com. Pangkat/Golongan/Ruang :

Diduga pneumonia mikoplasma mencapai 30-.. 50% dan pneumonia klamidia 10-20% kasus di antara penyebab pneumonia atipik. Pola infeksi bervariasi di setiap negara. Di Nigeria

(Untuk mematikan monitor, gunakan tombol di panel belakang.) Monitor juga akan mengaktifkan mode rendah daya bila tidak ada tidak ada masukan sinyal video. Ketika monitor

Dalam hal Kantor Pusat Peserta dan atau Peserta tidak melaksanakan penggantian Warkat dan atau Dokumen Kliring dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 1.b dan atau