93
HUBUNGAN KEKERABATAN MINYAK BUMI DAERAH WONOSEGORO DAN
SEKITARNYA, BOYOLALI, JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA
BIOMARKER
T.P. Setyowati1* D.H. Amijaya1
1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
*Email : setyowati.tripeni@gmail.com
SARI
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan minyak bumi yang keluar sebagai rembesan di daerah Wonosegoro dan Sekitarnya dengan menggunakan data geokimia biomarker. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat, di mana titik-titik rembesan terletak pada Formasi Kerek. Rembesan minyak bumi di daerah ini menunjukan adanya sistem petroleum aktif di bawah permukaan yang mengalami kebocoran, sehingga minyak dapat bermigrasi hingga ke permukaan.
Rembesan minyak bumi yang diteliti berjumlah tiga buah yang secara geografis terletak di lokasi yang berbeda. Lokasi 1 berada di Desa Gunungsari, lokasi 2 berada di Desa Repaking yang keduanya berada di Kecamatan Wonosegoro, sedangkan lokasi 3 berada di Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Penelitian ini menggunakan data geokimia biomarker yang diperoleh dari uji laboratorium GCMS dari masing-masing sampel rembesan minyak bumi, selain itu dilakukan pula uji ASTM D 1298 untuk mengetahui sifat fisik minyak bumi sebagai data pendukung. Hasil uji ASTM D 1298 digunakan untuk perhitungan ºAPI, di mana ketiga sampel minyak bumi memiliki nilai yang berbeda, yaitu 15,8, 29,8, dan 18,8. Dari data geokimia biomarker diketahui bahwa sampel rembesan minyak bumi memiliki hubungan kekerabatan dan diindikasi berasal dari batuan induk yang sama. Pembentukan minyak bumi dipengaruhi kondisi geologi yang sama, sehingga menghasilkan rembesan minyak bumi yang saling berkerabat, akan tetapi terjadi perubahan sifat geokimia karena adanya alterasi akibat biodegradasi.
Kata kunci : rembesan minyak bumi, biomarker, GCMS, Jawa Tengah
I.
PENDAHULUAN
Lokasi titik rembesan minyak bumi secara administratif berada di Desa Gunungsari dan Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, serta Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah (Gambar 1). Jarak antara STA 1 Desa Gunungsari dan STA 2 Desa Repaking sajauh ±2km, sedangkan dengan STA 3 Desa Kemusu sejauh ±11km. Secara geologis rembesan minyak bumi berada di Zona Kendeng bagian barat, tepatnya rembesan muncul di Formasi Kerek (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan minyak bumi yang keluar sebagai rembesan di tiga titik lokasi tersebut.
II.
GEOLOGI REGIONAL
Zona Kendeng merupakan deretan pegunungan dengan arah memanjang barat-timur yang terletak di sebelah utara Sub-Zona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium (de Genevraye dan Samuel, 1972).
Ciri morfologi Zona Kendeng menurut de Genevraye dan Samuel (1972), berupa jajaran perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang, ketinggiannya berkisar antara 50 hingga 200 meter. Jajaran yang berarah barat-timur mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan sesar
94 sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Zona Kendeng bagian barat, terletak di antara Ungaran dan meridian Purwodadi. Formasi yang terbentuk pada bagian ini berumur Oligosen-Miosen dengan sedimen yang selalu memiliki kandungan material volkanik yang tinggi dan struktur mayor kompleks terjadi disini.
Stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng (Gambar 2). Formasi Kerek berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Formasi ini tersusun oleh argillaceous dan calcareous masif dengan kandungan material volkanik klastik yang sangat melimpah (de Genevraye dan Samuel, 1972). Bagian dari formasi ini yang berhubungan langsung dengan Formasi Pelang tidak dapat diobservasi karena adanya gangguan tektonik yang kuat pada area dimana kedua formasi tersingkap. Formasi Kerek berhubungan selaras dengan Formasi Kalibeng yang berada di atasnya (Datun dan Sukandarrumidi, 1992 dalam Harahap, dkk 2003). Seting pengendapannya berada di laut dangkal dengan ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 – 3000 meter. Batupasir Kerek Miosen dianggap sebagai batuan reservoar yang paling mungkin pada stratigrafi Kendeng (Ramadhan, 2015), batupasir ini memiliki porositas antara 2-10% yang berarti memiliki kualitas yang rendah. Formasi Kalibeng terbentuk pada Kala Miosen Akhir sampai Pliosen Tengah. Pada kala itu diendapkan secara monoton seri napal yang kaya dengan foraminifera planktonik. Ketebalan dari napal tersebut sekitar 500 m sampai 700 m.
III.
METODOLOGI
Metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan dari ketiga sampel rembesan minyak bumi ialah metode geokimia biomarker yang didukung dengan metode ASTM untuk mengetahui sifat fisik minyak bumi.
Uji ASTM D 1298
Uji sampel minyak bumi dengan metode ASTM D 1298 digunakan untuk mengetahui specific gravity dan densitas. Specific gravity merupakan perbandingan antara massa zat pada temperatur tertentu dengan massa air dengan temperatur sama atau berbeda, pada volume sama di kedua zat tersebut. Temperatur yang digunakan pada uji ASTM D 1298 ini menggunakan temperatur standart yaitu 60°F. Hasil dari pengukuran specific gravity digunakan untuk menghitung °API gravity. Densitas merupakan perbandingan massa per volume sampel minyak yang dilakukan pada temperatur 15ºC. Pengujian ini menggunakan alat hidrometer.
Uji ASTM D 445
Uji sampel dengan metode ASTM D 445 merupakan uji untuk mengetahui viskositas kinetik. Alat yang digunakan untuk pengujian ialah instrumen viskometer. Prinsip kerja viskometer dengan mengukur waktu alir sampel minyak di bawah gaya gravitasi dan temperatur ruang yaitu 29ºC. Uji Kromatografi Kolom
Uji kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan komponen-komponen minyak bumi sesuai dengan fraksinya. Komponen tersebut terpisah berdasarkan tingkat kepolaran senyawa. Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi ialah n-heksana yang bersifat non-polar. Sampel minyak bumi dipisahkan menggunakan suatu kolom yang diletakkan vertikal yang diisi dengan kapas, pasir kuarsa, dan gel silika sebagai fase diam, sedangkan pelarut dan sampel minyak sebagai fase gerak. Pada hasil kromatografi kolom dilakukan pemisahan senyawa minyak bumi yang terfraksinasi dengan pelarutnya dengan cara dipanaskan.
Uji Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GCMS)
Analisis GCMS dilakukan menggunakan GCMS Shimadzu 2010S yang dihubungkan dengan spektrometri massa Finnigan MAT
95 8222. Film yang digunakan memiliki panjang kolom 30 m, diameter 0.25 mm dengan tebal fase diam 0,25 μm pada Aligent HP-5 MS dengan karakteristik fase 95% Dimetil-5% difenil polisiloksan. Fase gerak yang digunakan adalah Helium. Temperatur pada oven diprogram dari suhu 60°-300°C dengan laju 3°C/menit, dengan 20 menit periode isotermal pada suhu 300°C. Untuk spektrum massa resolusi rendah, spektrometer dioperasikan pada resolusi 1000 dalam mode EI+ (70eV), temperatur
asal 250°C, dengan scanning dari 33-600 amu pada laju 1 s/dekade dan waktu interscan 0,1 detik.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Specific gravityKetiga sampel minyak bumi dari masing-masing titik rembesan memiliki nilai yang berbeda. Pada STA 1, rembesan minyak yang terdapat di Desa Gunungsari, Kecamatan Wonosegoro, memiliki nilai specific gravity 0,9605. Pada STA 2, di Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, rembesan minyak memiliki nilai specific gravity sebesar 0,8768. Sedangkan pada STA 3, di Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, rembesan minyak bumi memiliki nilai specific gravity sebesar 0,9416.
Setelah dilakukan perhitungan ºAPI pada masing-masing sampel rembesan minyak bumi, diperoleh hasil bahwa ketiga sampel memiliki nilai yang berbeda. Minyak bumi pada STA 1 memiliki nilai ºAPI sebesar 15,8191, nilai ini menunjukkan minyak termasuk dalam katagori minyak berat. Berbeda dengan nilai ºAPI pada STA 2, yaitu 29,8823 termasuk dalam katagori minyak sedang (medium oil). Sedangkan minyak bumi pada STA 3 memiliki nilai ºAPI sebesar 18,7761 dan termasuk dalam katagori minyak berat.
Densitas
Hasil pengukuran densitas pada tiga sampel minyak rembesan memiliki nilai yang berbeda. Minyak pada STA 1 memiliki nilai
0,9595 gr/cm3, pada STA 2 sebesar 0,8759
gr/cm3, dan STA 3 bernilai 0,9406 gr/cm3.
Dari ketiga nilai yang berbeda tersebut menunjukan bahwa berdasarkan sifat fisiknya ketiga sampel minyak tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Viskositas
Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui viskositas kinematik sampel minyak bumi pada temperatur ruang yaitu 29 ºC. Dari pengujian ini diketahui bahwa sampel minyak STA 1 memiliki viskositas yang sangat tinggi yaitu mencapai nilai 243,3 mm2/s. Nilai viskositas untuk sampel
minyak STA 2 sebesar 8,773 mm2/s, dan
STA 3 sebesar 18,63 mm2/s. Perbedaan yang
sangat signifikan pada sampel minyak bumi STA 1 menunjukan minyak tersebut telah mengalami proses lebih lanjut.
Rasio Pr/Ph
Senyawa isoprena Pristana (Pr) dan Fitana (Ph) tidak dapat terdeteksi pada sampel minyak bumi STA 1. Hal tersebut menunjukan minyak bumi telah mengalami degradasi yang cukup kuat.
Pada sampel minyak bumi STA 2, Pristana (Pr) terbaca oleh alat GCMS di mana puncaknya memiliki luas area sebesar 17,83% dari keseluruhan luas. Fitana (Ph) memiliki puncak dengan luas area sebesar 3,77%. Rasio Pristana dengan Fitana (Pr/Ph) memiliki nilai 4,73 (>1). Pristana (Pr) pada STA 3 memiliki luas area puncak sebesar 20,48%, sedangkan Fitana memiliki luas area puncak 2,45% dari keseluruhan luas area puncak kromatogram. Rasio dari Pristana (Pr) dan Fitana (Ph) pada sampel ini memiliki nilai 8,36 (>1).
Rasio Pr/Ph >1 menunjukan indikasi material organik terendapkan pada kondisi oksik. Rasio Pr/Ph yang >3 juga mengindikasi material organik berasal dari lingkungan darat. Nilai yang sangat besar untuk kedua nilai rasio menunjukan adanya pengaruh proses oksidasi yang terjadi pada minyak rembesan yang bermigrasi hingga ke permukaan.
96 Rasio Pr/n-C17 vs Ph/ n-C18
Sampel minyak bumi pada STA 1 tidak dapat dideteksi keberadaan senyawa normal alkana dengan nomor C17 maupun C18
karena yang terdeteksi hanyalah normal alkana bernomor tinggi yaitu ≥C20.
Ketidakhadiran senyawa Pristana, Fitana, C17, dan C18 membuat perhitungan rasio
Pr/n-C17 dengan Ph/ n-C18 tidak dapat
dilakukan.
Pada minyak bumi STA 2, normal alkana dengan nomor C17 memiliki luas area
puncak sebesar 4,70%. Normal alkana C18
memiliki luas area puncak sebesar 2,83% dari luas keseluruhan puncak kromatogram. Rasio Pr/n-C17 memiliki nilai 3,79,
sedangkan rasio Ph/ n-C18 memiliki nilai
1,33. Normal alkana C17 pada sampel
minyak bumi STA 3 memiliki luas area puncak kromatogram sebesar 6,42%, sedangkan normal alkana C18 memiliki luas
area puncak sebesar 3,55%. Rasio Pr/n-C17
memiliki nilai 3,19, dan rasio Ph/ n-C18
memiliki nilai 0,69. Nilai rasio diplotkan pada diagram rasio Pr/n-C17 vs Ph/ n-C18
kemudian dibandingkan dengan hasil rasio sampel minyak bumi STA 2 (Gambar 3). Dari diagram menunjukan minyak bumi kedua STA berasal dari material organik yang diendapkan pada lingkungan darat. Diindikasi kondisi lingkungan pengendapan tersebut bersifat oksidatif. Minyak bumi pada STA 3 mengalami proses biodegradasi yang memiliki tingkatan yang sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan proses biodegradasi sampel minyak bumi STA 2. CPI
Nilai Carbon Preference Index yang digunakan diperoleh dengan mengikuti metode low CPI oleh Prartono (1995). Perhitungan low CPI ini menggunakan senyawa normal alkana C15-C21. Pada
sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat dilakukan perhitungan CPI karena alat GCMS tidak dapat mendeteksi kehadiran senyawa yang digunakan dalam perhitungan. Minyak bumi STA 2 memiliki nilai CPI 1,88 (>1). Sedikit berbeda dengan minyak bumi
STA 3 yang memiliki nilai CPI sebesar 2,19 (>1). Kedua nilai CPI tersebut mendekati nilai 1 yang berarti batuan induk mendekati tingkat kematangan. Nilai CPI kedua STA menunjukan produk hidrokarbon immature heavy oil (Hunt, 1996).
Alterasi
Sampel minyak bumi pada STA 1 telah mengalami degradasi yang sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukan dari kromatogram di mana puncak-puncaknya telah mengalami kegundulan (Gambar 4). Hilangnya senyawa normal alkana bernomor rendah sampai bernomor sedang mencirikan proses biodegradasi oleh mikrobia yang terjadi sangat signifikan, ditambah dengan kontribusi oksigen yang diidentifikasi dari adanya senyawa ester/keton menunjukkan sampel minyak bumi mengalami proses oksidasi selama migrasinya ke permukaan. Senyawa aromatik yang juga berjumlah sangat sedikit memberikan indikasi bahwa perusakan senyawa juga terpengaruh adanya proses pencucian air yang intensif oleh air meteorik.
Proses alterasi yang terjadi pada minyak bumi STA 2 dan STA 3 ialah biodegradasi pada tingkat rendah (Peters dan Moldowan, 1993). Hal tersebut diindikasi oleh hilangnya senyawa normal alkana dengan nomor rendah pada kedua sampel minyak bumi. Proses oksidasi pada kedua sampel minyak bumi juga teridentidikasi dari adanya senyawa alkohol dan ester/keton. Korelasi Minyak ke Minyak
Korelasi dilakukan dengan pengeplotan pada dua diagram, yaitu diagram segitiga dan diagram bintang. Diagram segitiga yang digunakan untuk mengetahui korelasi minyak bumi ialah diagram antara struktur kimia normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana.
Sampel minyak bumi STA 1 tidak memiliki senyawa yang cukup banyak dan kurang sebanding untuk diplotkan pada diagram segitiga, sehingga sampel minyak STA ini tidak diikutsertakan dalam perbandingan.
97 Pada sampel minyak bumi STA 2 memiliki jumlah total normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana sebanyak 30 buah (100%). Senyawa dengan struktur normal alkana pada STA ini berjumlah 12 buah (40%). Senyawa dengan struktur alkana bercabang berjumlah 14 buah (46,67%), sedangkan jumlah sikloalkana sebanyak 4 buah (13,33%). Sampel minyak bumi STA 3 memiliki jumlah total normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana sebanyak 39 buah (100%). Pada STA ini, senyawa dengan struktur normal alkana berjumlah 17 buah (43,59%). Senyawa dengan struktur alkana bercabang memiliki jumlah 16 buah (41,02%), dan struktur sikloalkana berjumlah 6 buah (15,38%). Nilai persentase masing-masing STA diplotkan pada diagram (Gambar 5).
Diagram bintang merupakan metode sidik jari minyak bumi yang dikembangkan oleh Kaufman, dkk (1990) dalam Hunt (1996). Diagram bintang diperoleh dengan mengeplotkan setiap rasio puncak kromatogram pada aksis yang berbeda. Setiap data diplotkan dari pusat lingkaran konsentrik.
Sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat diikutkan dalam pengeplotan pada diagram bintang karena jumlah senyawa yang terbaca alat GCMS sangat sedikit dan sampel tidak mengandung senyawa-senyawa yang akan dibandingkan. Sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 yang akan dibandingkan menggunakan enam titik rasio yaitu A-F. Titik A merupakan perbandingan antara C12/C13, titik B rasio C13/C14, titik C rasio
C17/C18, titik D rasio C18/C19, titik E rasio
C13/C14, dan titik F rasio C24/C27 (Tabel 1).
Berdasarkan hasil pengeplotan pada diagram bintang (Gambar 6), diketahui sidikjari minyak bumi antara sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 memiliki kemiripan. Gugus yang terbentuk hampir sama dan saling berhimpit. Kondsi ini dapat menjadi indikasi kedua sampel minyak berkorelasi positif.
Dari hasil pengeplotan pada dua diagram, menunjukan minyak bumi pada STA 2 dan STA 3 berkorelasi, sehingga memiliki hubungan kekerabatan antar keduanya. Hal ini juga didukung oleh hasil perhitungan rasio, di mana kedua sampel minyak bumi memiliki asal yang sama, yaitu dari material organik yang terendapkan pada kondisi oksik, dan berasal dari lingkungan darat. Tingkat kematangan kedua sampel juga hampir sama, yaitu mendekati matang (=1). Hubungan kekerabatan dengan sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat diidentifikasi karena hampir seluruh senyawa normal alkana maupun isoprena telah hilang dan tidak terbaca oleh alat GCMS. Proses alterasi berupa biodegradasi dan pencucian oleh air sangat berpengaruh terutama pada minyak bumi STA 1. Keadaan terdegradasinya minyak bumi STA 1 juga tercermin pada kondisi fisiknya yang memiliki nilai °API rendah dan dan viskositas sangat besar
Data karakteristik fisik minyak bumi tidak dapat dijadikan penentu untuk menentukan hubungan kekerabatan, namun data tersebut saling mendukung dengan karateristik geokimia minyak bumi masing-masing sampel.
Bila hubungan kekerabatan minyak bumi STA 2 dan STA 3 dikaitkan dengan batuan induknya, Formasi Ngimbang dari Cekungan Jawa Timur merupakan batuan induk yang paling mungkin. Formasi Ngimbang pada umur Eosen-Oligosen, dengan lingkungan pengendapan non-marine dan kematangan beragam dari matang hingga belum matang sesuai dengan kondisi rembesan minyak bumi yang diteliti. Tepatnya minyak bumi kedua titik rembesan berkorelasi dengan batuan induk Rembang-1 SWC 4901ft yang merupakan batuan pada Formasi Ngimbang, dengan kematangan immature, dan lingkungan pengendapan darat sesuai dengan penelitian Wiloso, dkk (2009).
98
V.
KESIMPULAN
Rembesan minyak bumi di daerah penelitian, yaitu Desa Repaking dan Desa Kemusu memiliki hubungan kekerabatan. Kekerabatan ini yang disebabkan oleh asal minyak dari batuan induk yang sama selain juga kemungkinan tingkat pematangan yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan sidikjari minyak bumi dan nilai perhitungan rasio. Minyak bumi memiliki tingkat
kematangan mendekati matang dan terendapkan pada kondisi oksidatif pada lingkungan darat. Diindikasi batuan induk dari kedua sampel ialah Formasi Ngimbang. Terjadi perubahan sifat geokimia pada minyak bumi Desa Gunungsari karena mengalami degradasi yang cukup kuat, sehingga hubungan minyak bumi ini dengan kedua sampel rembesan yang lain tidak dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
De Genevraye, P. dan Samuel, L., 1972. Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java). Proceedings Indonesian Petroleum Association First Annual Convention, hal 17-30. Harahap, B.H., Bachri, S., Baharuddin., Suwarna, N., Panggabean, H., dan Simanjuntak, T.O., 2003.
Stratigraphic Lexicon of Indonesia. Geological Research and Development Centre, 729hal. Hidayat, R. dan Fatimah., 2007. Inventerisasi Kandungan Minyak dalam Batuan Daerah Kedungjati,
Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non-lapangan Tahun 2007, Pusat Sumber Daya Geologi, 13hal.
Hunt, J., 1996. Petroleum Geochemistry and Geology, 2nd Edition. New York: W.H. Freeman and Company, 617hal.
Killops, S. dan Killops, V., 2005. Introduction to Organic Geochemistry, 2nd Edition. USA: Blackwell Publishing, 393hal.
Postuma, J,A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera. Elsevier Publishing Company: Amsterdam, 410p.
Peters, K.E. dan Moldowan, J.M., 1993. The Biomarker Guide; Interpretating Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey Oklahoma, hal.110-264.
Prartono, T., 1995. Organic Geochemistry of Lacustrine Sediment: A Case Study of The Eutrophic Rostherne Mere, Chesire. UK, Disertasi, Departement of Earth Sciences University of Liverpool: Liverpool.
Ramadhan, B., Maha, M., Hapsoro, S.E., Budiman, A., dan Fardiansyah, I., 2015. Unravel Kendeng Petroleum System Enigma: Recent Update From Transect Surface Observation of Kedungjati-Djuwangi-Ngawi Area, East Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Thirty-Ninth Annual Convention and Exhibition, 9hal.
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, vol.I A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Special Edition of The Bureau of Mines In Indonesia. Departement of Transport, Energy, and Mining, Batavia, 732hal.
Wiloso, D.A., Subroto, E.A., dan Hermanto, E., 2009. Confirmation of The Paleogene Source Rock in The Northeast Java Basin, Indonesia, Based from Petroleum Geochemistry. AAPG International Conference and Exhibition Cape Town, South Africa, Search and Discovery Article 10195, 33hal.
99
TABEL
Tabel 1. Rasio normal alkana sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3
Titik STA 2 STA 3
A 0,40 0,30 B 0,54 0,45 C 1,66 1,81 D 1,49 1,52 E 1,66 1,66 F 0,98 0,84
GAMBAR
Gambar 1. Peta Indeks lokasi penelitian yang berada di Desa Gunungsari, Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, dan Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.
100
Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian (kotak berwarna merah pada Peta Geologi Regional Lembar Salatiga) daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat yang tersusun oleh Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng.
Gambar 3. Rasio Pristana/n-C17 vs Fitana/n-C18 menunjukan kedua sampel minyak bumi dari STA 2
dan STA 3 berasal dari material organik darat dan mengalami kondisi oksidasi berdasarkan diagram Rasio Pr/n-C17 vs Ph/n-C18 Lijmbach (1975).
101
Gambar 4. Hasil kromatogram sampel minyak bumi STA 1 yang menunjukan adanya proses degradasi yang kuat sehingga kromatogram hampir tidak memiliki puncak untuk dibaca oleh alat GCMS. Nomor pada puncak yang terbaca adalah nomor urutan puncak.
Gambar 5. Hasil pengeplotan persebaran struktur kimia senyawa penyusun minyak bumi STA 2 dan STA 3 pada diagram segitiga menunjukan kedua sampel memiliki struktur kimia senyawa yang hampir sama, yang dapat dikatagorikan keduanya berkorelasi positif.
102
Gambar 6. Hasil pengeplotan rasio normal alkana sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 pada diagram bintang yang dikembangkan oleh Kaufman, dkk (1990) dalam Hunt (1996) untuk mengetahui sidikjari minyak bumi.