• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kita menangkap berbagai gejala di luar diri kita melalui lima indera yang kita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kita menangkap berbagai gejala di luar diri kita melalui lima indera yang kita"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Kita menangkap berbagai gejala di luar diri kita melalui lima indera yang kita miliki. Proses penerimaan rangsang ini disebut penginderaan (sensation). Tetapi pengertian kita akan lingkungan atau dunia di sekitar kita bukan sekadar hasil penginderaan itu. Ada unsur interpretasi terhadap rangsang-rangsang yang diterima. Interpretasi ini menyebabkan kita menjadi subjek dari pengalaman kita sendiri. Rangsang-rangsang diterima dan inilah yang menyebabkan kita mempunyai suatu pengertian terhadap lingkungan. Proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antargejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti disebut persepsi. Karena persepsi bukan sekadar penginderaan, maka ada yang menyatakan persepsi sebagai the interpretation of experience (penafsiran pengalaman) (Irwanto, 2002).

2.1.1. Pengertian Persepsi

Dalam menghadapi suatu kondisi atau masalah seringkali kita memiliki suatu persepsi yang berbeda, meskipun objek permasalahannya sama. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian dari individu yang bersangkutan. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa definisi persepsi dari berbagai sumber yang dapat menunjang penelitian ini.

Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu

(2)

(Leavitt, 1978). Yusuf (1991) menyebut persepsi sebagai “pemaknaan hasil pengamatan”. Gulo (1982) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Rakhmat (1994) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Sobur, 2003).

Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan kadang tidak disadari, di mana seseorang dapat mengenali stimulus yang diterimanya. Persepsi yang dimiliki dapat mempengaruhi tindakan seseorang. Jika dikaitkan dengan risiko, maka persepsi terhadap risiko merupakan proses dimana individu menginterpretasikan informasi mengenai risiko yang mereka peroleh (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Robbins (2003), persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Misalnya, dimungkinkan bahwa semua karyawan dalam sebuah perusahaan memandang perusahaan itu sebagai tempat yang hebat untuk bekerja -kondisi kerja yang menguntungkan, tugas pekerjaan yang menarik, upah yang baik, manajemen yang bijaksana dan bertanggung jawab- tetapi, seperti kebanyakan kita tahu, sangatlah tidak biasa untuk mendapatkan kesepakatan seperti itu (Robbins, 2003).

(3)

2.1.2. Proses Persepsi

Salah satu pandangan yang dianut secara luas menyatakan bahwa psikologi, sebagai telaah ilmiah, berhubungan dengan unsur dan proses yang merupakan perantara rangsangan di luar organisme dengan tanggapan fisik organisme yang dapat diamati terhadap rangsangan. Menurut rumusan ini yang dikenal dengan teori

rangsangan-tanggapan (stimulus-respons/ RS), persepsi merupakan bagian dari

keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan, dan penalaran (Sobur, 2003).

Persepsi dan kognisi diperlukan dalam semua kegiatan psikologis. Bahkan, diperlukan bagi orang yang paling sedikit terpengaruh atau sadar akan adanya rangsangan menerima dan dengan suatu cara menahan dampak dari rangsangan. Persepsi, pengenalan, penalaran, dan perasaan kadang-kadang disebut variabel psikologis yang muncul di antara rangsangan dan tanggapan.

Penalaran

Rangsangan Persepsi Pengenalan Tanggapan Perasaan

Gambar 2.1. Variabel Psikologis di antara Rangsangan dan Tanggapan (Sobur, 2003)

Dari segi psikologi dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu untuk mengubah tingkah laku seseorang, harus dimulai dari mengubah persepsinya.

(4)

Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama berikut (Sobur, 2003): 1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,

intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi kepribadian, dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai.

Bagi hampir semua orang, sangatlah mudah untuk melakukan perbuatan melihat, mendengar, membau, merasakan, dan menyentuh, yakni proses-proses yang sudah semestinya ada. Namun, informasi yang datang dari organ-organ indera, perlu terlebih dahulu diorganisasikan dan diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti; dan proses ini dinamakan persepsi. Tidak semua informasi yang masuk ke organ indera dirasakan secara sadar (Sobur, 2003).

Menurut Paul A. Bell (1978), terdapat proses dalam pembentukan persepsi. Pada tahap pertama hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya.. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifat-sifat

(5)

individunya, pengalaman masa lalu, bakat, minat, sikap, dan berbagai ciri kepribadiannya masing-masing (Ferlisa, 2008).

Hasil interaksi antara individu dengan objek tersebut, jika persepsi tadi berada dalam batas optimal maka individu dikatakan berada dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya adalah yang ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan yang paling menyenangkan, namun jika persepsi yang terjadi di luar batas optimal maka akan terjadi stress pada diri individu sehingga manusia tersebut melakukan coping untuk menyesuaikan diri atau menyesuaikan lingkungan dengan kondisi dirinya.

Sebagai hasil dari perilaku coping tadi ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama perilaku coping tidak membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan atau gagal, maka hal ini akan menyebabkan stress berlanjut yang bisa berdampak pada kondisi maupun persepsi individu. Kemungkinan lainnya adalah bahwa perilaku coping berhasil sehingga terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya atau penyesuaian keadaan lingkungan dengan diri individu.

Dampak dari keberhasilan tadi juga bisa mengenai persepsi diri individu. Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasilterjadi berulang-ulang maka kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan, juga peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Jika efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, maka kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan, juga peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Jika efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, maka kewaspadaan yang akan meningkat. Namun begitu,

(6)

pada suatu titik dapat terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan penurunan prestasi sampai titik terendah.

Menurut Morgan (1984) dalam Walgito (2004), aktivitas kognitif adalah berkaitan dengan persepsi, ingatan, belajar, berpikir, dan problem solving. Kegiatan tersebut sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme dan meresponnya.

Sedangkan menurut Notoatmodjo, proses pertama yang harus dilalui dalam mempersepsikan suatu objek adalah perhatian. Tanpa memusatkan perhatian pada suatu objek, maka seseorang tidak dapat mempersepsikannya. Pemusatan perhatian adalah suatu usaha dari manusia untuk menyeleksi atau membatasi segala stimulus yang ada untuk masuk dalam pengalaman kesadarannya dalam rentang waktu tertentu. Bayangkan jika seseorang tidak dapat memusatkan perhatian, maka semua objek akan berusaha dipersepsikan sehingga akan bingung sendiri (Notoatmodjo, 2005).

Karena kita tidak dapat mengolah semua stimulus yang ada, maka kita harus memfilter stimulus tersebut untuk kita proses. Dengan demikian proses filtering adalah proses dimana kita mengabaikan stimulus tertentu dan membiarkan stimulus lainnya untu kita proses lebih lanjut (Notoatmodjo, 2005).

(7)

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Persepsi

Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi, diantaranya:

A. Menurut Robbins, ada sejumlah faktor yang membentuk dan kadang memutar balik persepsi. Faktor-faktor ini dapat berada pada pihak pelaku persepsi (perceiver), dalam objek/target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi itu dilakukan.

1. Pelaku persepsi

Bila seorang individu memandang pada suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu. Di antara karakteristik pribadi yang lebih relevan yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (ekspektasi).

Kebutuhan atau motif yang tidak dipuaskan merangsang individu dan mempunyai pengaruh yang kuat pada persepsi mereka. Secara dramatis ini diperlihatkan dalam riset mengenai rasa lapar. Individu-individu dalam studi itu belum makan selama sejumlah jam yang jumlahnya beraneka. Beberapa telah makan satu jam sebelumnya; beberapa lagi belum makan sejak 16 jam lamanya. Subjek-subjek ini diperlihatkan gambar-gambar yang kabur, dan hasilnya menyatakan bahwa parahnya rasa lapar mempengaruhi penafsiran terhadap gambar-gambar kabur itu. Mereka yang belum makan sejak 16 jam tersebut lebih sering mempersepsikan citra kabur sebagai gambar makanan

(8)

daripada yang dilakukan subjek-subjek yang baru saja makan beberapa waktu lalu.

Fokus perhatian kita tampaknya dipengaruhi oleh kepentingan atau minat kita. Karena kepentingan individual kita cukup berbeda, apa yang dicatat satu orang dalam suatu situasi dapat berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh orang lain.

Demikian pula pengalaman masa lalu. Anda mempersepsikan hal-hal terhadap mana anda berhubungan. Tetapi, dalam banyak hal, pengalaman masa lalu anda akan bertindak meniadakan kepentingan suatu objek. Objek atau peristiwa yang belum pernah dialami sebelumnya akan lebih mencolok daripada yang pernah dialami di masa lalu.

Akhirnya, pengharapan dapat menyimpangkan persepsi anda dalam melihat apa yang anda harapkan untuk dilihat. Jika anda mengharapkan perwira polisi itu otoritatif (berwibawa), anak muda itu ambisius, direktur personalia itu “menyukai orang-orang”, atau individu yang memangku jabatan publik itu “lapar kekuasaan”, maka mungkin anda mempersepsikan mereka dalam cara ini, tak peduli ciri-ciri mereka yang sebenarnya.

2. Target

Karakteristik-karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Karena target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi, seperti kecenderungan kita untuk mengelompokkan benda-benda yang berdekatan atau mirip.

(9)

Apa yang kita lihat bergantung pada bagaimana kita memisahkan suatu bentuk dari dalam latar belakangnya yang umum. Objek-objek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama bukannya secara terpisah. Sebagai kedekatan fisik atau waktu, sering kita menggabungkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan secara bersama-sama.

Orang, objek, atau peristiwa yang serupa satu sama lain cenderung dikelompokkan bersama-sama. Makin besar kemiripan itu, makin besar kemungkinan kita akan cenderung mempersepsikan mereka sebagai suatu kelompok bersama.

3. Situasi

Penting bagi kita melihat konteks objek atau peristiwa. Unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita. Saya mungkin tidak memperhatikan seorang wanita berusia 25 tahun dalam gaun malam dan

makeup yang tebal di suatu klub malam pada Sabtu malam. Tapi wanita yang

sama yang bersolek dan berpakaian semcam itu untuk kuliah manajemen Senin pagi saya, pasti akan menarik perhatian saya (dan perhatian seluruh kelas). Baik pemersepsi maupun target tidak berubah antara Sabtu malam dan Senin pagi, tetapi situasinya berlainan.

(10)

Gambar 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi (Robbins, 2003)

B. Menurut Notoatmodjo, ada banyak faktor yang akan menyebabkan stimulus dapat masuk dalam rentang perhatian seseorang. Faktor penyebab ini dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

1. Faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya.

a. Kontras : cara termudah untuk menarik perhatian adalah dengan membuat kontras baik pada warna, ukuran, bentuk, atau gerakan.

b. Perubahan intensitas : suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi.

Faktor pada target: • Hal baru • Gerakan • Bunyi • Ukuran • Latar belakang • Kedekatan Faktor dalam situasi:

• Waktu

• Keadaan/tempat kerja • Keadaan sosial

Faktor pada pemersepsi: • Sikap • Motif • Kepentingan • Pengalaman • Pengharapan Persepsi

(11)

c. Pengulangan (repetition) : dengan pengulangan, walaupun pada mulanya stimulus tersebut tidak masuk dalam rentang perhatian seseorang, maka akhirnya akan mendapat perhatian.

d. Sesuatu yang baru (novelty) : suatu stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian seseorang daripada sesuatu yang telah diketahui. e. Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak.

2. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang mempersepsikan stimulus tersebut. Faktor internal yang ada pada seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang menginterpretasikan stimulus yang dilihatnya. Itu sebabnya stimulus yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda

a. Pengalaman/ pengetahuan : pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus yang diperoleh. Pengalaman masa lalu atau apa yang telah dipelajari seseorang akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi.

b. Harapan atau expectation

c. Kebutuhan : kebutuhan akan menyababkan stimulus tersebut dapat masuk dalam rentang perhatian seseorang dan kebutuhan ini akan menyebabkan seseorang menginterpretasikan stimulus secara berbeda. d. Motivasi

(12)

f. Budaya : seseorang dengan latar belakang budaya yang sama akan menginterpretasikan orang-orang dalam kelompoknya secara berbeda, namun akan mempersepsikan orang-orang di luar kelompoknya sebagai sama saja.

Belajar atau pemahaman (learning) merupakan salah satu faktor dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi proses seleksi. Semua faktor-faktor dari dalam yang membentuk adanya perhatian kepada sesuatu objek sehingga menimbulkan adanya persepsi adalah didasarkan dari kekomplekan kejiwaan. Kekomplekan kejiwaan ini selaras dengan proses pemahaman atau belajar (learning) dan motivasi yang dipunyai oleh masing-masing orang (Thoha, 2007).

2.1.4. Objek Persepsi

Objek yang dapat dipersepsi sangat banyak, yaitu segala sesuatu yang ada di sekitar manusia. Manusia itu sendiri dapat menjadi obek persepsi. Orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi, ini yang disebut sebagai persepsi diri atau self-perception. Karena sangat banyaknya objek yang dapat dipersepsi, maka pada umumnya objek persepsi diklasifikasikan. Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang nonmanusia dan manusia. Objek yang berujud manusia ini disebut person

perception atau social perception, sedangkan nonmanusia disebut nonsocial perception atau things perception (Walgito, 2004).

2.1.5. Konsistensi dalam Persepsi

Pengalaman seseorang akan berperan dalam seseorang mempersepsi sesuatu. Persepsi merupakan aktivitas yang integrated. Dikemukakan oleh Wertheimer bahwa pada persepsi itu tidak hanya ditentukan oleh stimulus secara objektif, tetapi juga

(13)

akan dipengaruhi oleh keadaan diri orang yang mempersepsi. Adanya aktivitas dalam diri seseorang yang berperan sehingga menghasilkan hasil persepsi tersebut (Walgito, 2004).

Menurut Davidoff (1981) dan Rogers (1965) dalam Walgito (2004) bahwa karena persepsi merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual.

2.1.6. Pengukuran persepsi

Persepsi dapat diukur dengan kuesioner yang menggunakan skala Guttman. Skala Guttman merupakan skala kumulatif. Jika seseorang menyisakan pertanyaan yang berbobot lebih berat, ia akan mengiyakan pertanyaan yang kurang berbobot lainnya. Skala Guttman mengukur suatu dimensi saja dari suatu variabel yang multidimensi. Skala Guttman disebut juga skala scalogram yang sangat baik untuk meyakinkan peneliti tentang kesatuan dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti, yang sering disebut dengan atribut universal (Riduwan, 2002).

Skala Guttman merupakan skala yang digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Misalnya: yakin – tidak yakin; Ya – tidak; benar – salah; positif – negatif; pernah – belum pernah; setuju – tidak setuju, dan lain sebagainya. Data yang diperoleh dapat berupa data interval atau ratio dikotomi (dua alternatif yang berbeda).

(14)

Skala Guttman disamping dapat dibuat bentuk pilihan ganda dan bisa juga dibuat dalam bentuk checklist. Jawaban responden dapat berupa skor tertinggi bernilai (1) dan skor terendah (0).

Penilaian untuk persepsi pekerja tentang risiko kecelakaan kerja terbagi atas dua kategori, yaitu (Kurniawati, 2009):

1. Persepsi kuat = skor responden > nilai mean (67,7%). 2. Persepsi lemah = skor responden < nilai mean (67,7%). 2.2. Risiko

Menurut Imam Ghozali (2007), aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari aktivitas mengelola risiko. Operasi suatu badan usaha atau perusahaan biasanya berhadapan dengan risiko usaha dan risiko non usaha. Risiko usaha adalah semua risiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Sedangkan risiko non usaha adalah risiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan (Kasidi, 2010).

2.2.1. Pengertian Risiko

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia risiko adalah kemungkinan terjadinya peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Isto menyebut bahwa risiko adalah bahaya yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang (Hoctro, 2008).

Menurut Depnaker RI (1999), risiko adalah kemungkinan seseorang untuk mengalami luka atau cedera karena bahaya tertentu. Risiko adalah besarnya kecenderungan atau kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan/kerugian pada periode

(15)

waktu tertentu atau siklus operasi tertentu dimana peluang terjadinya keadaan yang tidak diharapkan tersebut. Dapat dideskripsikan dengan frekuensi kejadian atau besarnya kemungkinan kejadian tersebut (Ferlisa, 2008).

2.2.2. Penilaian Risiko

Istilah penilaian risiko berasal dari industri asuransi yang merupakan satu tahap proses dalam menentukan dan memperluas pertanggungan yang ditawarkan. Istilah ini diadopsi ke dalam kesehatan dan keselamatan kerja. Pengertiannya diperluas untuk mengikutsertakan spektrum kegiatan yang lebih luas, dari pengidentifikasian awal bahaya hingga pembentukan kondisi kerja yang aman (Ridley, 2008).

Sasaran penilaian risiko adalah mengidentifikasi bahaya sehingga tindakan dapat diambil untuk menghilangkan, mengurangi, atau mengendalikannya sebelum terjadi kecelakaan yang dapat menyebabkan cedera atau kerusakan. Untuk mencapai sasaran tersebut dan untuk mengefektifkan serta dapat menjalankan penilaian risiko, kita perlu melakukan pendekatan yang sistematis.

Langkah-langkah berikut merupakan pendekatan yang logis dan sistematis: 1. Mendefinisikan tugas atau proses yang akan dinilai.

2. Mengidentifikasi bahaya.

3. Menghilangkan atau mengurangi bahaya hingga minimum. 4. Mengevaluasi risiko dari bahaya residual.

5. Mengembangkan strategi-strategi pencegahan.

6. Menjalankan pelatihan metode-metode kerja yang baru. 7. Mengimplementasikan upaya-upaya pencegahan.

(16)

8. Memonitor kinerja.

9. Melakukan kajian ulang secara berkala dan membuat revisi jika perlu. 2.3. Kecelakaan Kerja

Menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi, dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkah identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. (Helliyanti, 2009).

Menurut Permenaker No. 03/MEN/1998, kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan harta benda (Sastrohadiwiryo, 2005).

Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan akibat dari kerja. Suma’mur (1989) membuat batasan bahwa kecelakaan kerja adalah suatu kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan kerja dengan perusahaan. Hubungan kerja di sini berarti bahwa kecelakaan terjadi kerana akibat dari pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).

Dalam buku Industrial Safety, David Colling, mendefiniskan kecelakaan kerja yaitu suatu kejadian tak terkontrol atau tak direncanakan yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit, kematian, atau kerusakan properti kerja (Hernendi, 2009).

(17)

Kecelakaan menurut M. Sulaksmono (1997) adalah suatu kejadian tak terduga dan dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah teratur. Kecelakaan terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata, dan setiap kejadian menurut bannett NBS (1995) terdapat 4 faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai, yakni; lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia (Dani, 2008).

2.3.1. Penyebab kecelakaan

Menurut Suma’mur, kecelakaan kerja yang terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor manusia meliputi aturan kerja, kemampuan kerja (usia, masa kerja/pengalaman, kurangnya kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecelakaan, ketidakcocokan fisik dan mental. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan kecakapan untuk mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran mengenai pekerjaan. Kurang sehat fisik dan mental seperti adanya cacat, kelelahan dan penyakit. b. Faktor mekanik dan lingkungan

Keadaan dan alat-alat kerja dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Kesalah letak mesin, tidak dilengkapi dengan alat pelindung, alat pelindung tidak dipakai, alat-alat kerja yang rusak. Lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap moral pekerja. Faktor-faktor keadaan lingkungan kerja yang penting dalam kecelakaan kerja terdiri dari pemeliharaan rumah tangga (house

(18)

keeping), kesalahan disini terletak pada rencana tempat kerja, cara menyimpan

bahan baku dan alat kerja tidak pada tempatnya, lantai kotor dan licin. Ventilasi yang tidak sempurna sehingga ruangan kerja terdapat debu, keadaan lembab yang tinggi sehingga orang merasa tidak enak kerja. Pencahayaan yang tidak sempurna misalnya ruangan gelap, terdapat kesilauan dan tidak ada pencahayaan setempat.

Menurut Heinrich, suatu kecelakaan bukanlah suatu peristiwa tunggal; kecelakaan ini merupakan hasil dari serangkaian penyebab yang saling berkaitan. Domino dalam gambar 2.3. menggambarkan rangkaian penyebab tersebut (kejadian atau situasi) yang mengawali kecelakaan yang menimbulkan cedera atau kerusakan. Jika satu domino jatuh maka domino ini akan menimpa domino-domino lainnya hingga domino terakhir pun jatuh, artinya, kecelakaan. Jika salah satu dari domino (sebab-sebab) itu dihilangkan, misalnya kita melakukan tindakan keselamatan kerja yang benar, maka tidak akan ada kecelakaan (Ridley, 2008).

Gambar 2.3. Teori Domino Heinrich

Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan: 1) Kondisi kerja; 2) Kelalaian manusia; 3) Tindakan dan kondisi tidak aman; 4) Kecelakaan; 5) Cedera. Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino

(19)

yang didirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek domino yang telah kita kenal sebelumnya, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya bangunan lain (Hernendi, 2009).

Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan. Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab kecelakaan. Lalu bagaimana penjelasan dengan menghilangkan tindakan tidak aman ini dapat mencegah kecelakaan? Kembali ke analogi kartu domino tadi, jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 jatuh, ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu.

Dengan adanya gap/jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, jika kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai menimpa kartu nomor 4. Akhirnya, kecelakaan (poin 4) dan cedera (poin 5) dapat dicegah. Kecelakaan tidak lagi dianggap sebagai sekedar nasib sial atau karena peristiwa kebetulan.

2.3.2. Faktor Manusia dalam Keselamatan Kerja

Faktor-faktor manusia di tempat kerja mengacu ke setiap masalah yang mempengaruhi pendekatan individu ke pekerjaan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas pekerjaannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat diejawantahkan di setiap kegiatan harian kita, baik di rumah, di tempat kerja, dalam perkumpulan sosial, maupu n dalam kegiatan-kegiatan di waktu luang. Faktor-faktor manusia merupakan salah satu bagian dalam ilmu perilaku (Ridley, 2008).

(20)

1. Faktor-faktor manusia mencakup: a. Sikap pekerja terhadap pekerjaannya.

b. Hubungan antara para pekerja dengan kelompok kerjanya.

c. Interaksi antara pekerja dengan pekerjaannya atau lingkungan pekerjaannya.

d. Kemampuan kerja dan kekeliruan (human error). e. Perilaku individu setiap orang.

f. Cakupan pelatihan dan instruksi yang disediakan. g. Desain dan kondisi pabrik dan perlengkapan.

h. Aturan-aturan dan sistem kerja-apakah logis dan dapat diterima. 2. Faktor-faktor individu:

a. Sikap individu terhadap tugas dan pekerjaan. b. Derajat motivasi pribadi terhadap pekerjaan.

c. Apakah pelatihan yang diterima memuaskan kebutuhan individu. d. Persepsi terhadap peran individu dalam perusahaan.

e. Kemampuan memenuhi tuntutan pekerjaan. f. Melihat kerja sebagai tantangan.

2.3.3. Perilaku tidak Aman

Perilaku tidak aman (Bird dan Germain, 1990) adalah perilaku yang dapat mengizinkan terjadinya suatu kecelakaan atau insiden. Sedangkan menurut Heinrich (1980), perilaku tidak aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan.

(21)

Menurut Kletz (2001), perilaku tidak aman merupakan kesalahan manusia dalam mengambil sikap atau tindakan. Klasifikasi kesalahan manusia, yaitu:

1. Kesalahan karena lupa

Kesalahan ini terjadi pada seseorang yang sebetulnya mengetahui, mampu dan berniat mengerjakan secara benar dan aman serta telah biasa dilakukan. Namun orang tersebut melakukan kesalahan karena lupa. Contohnya menekan tombol yang salah. Cara mengatasinya yaitu mengubah sarana dan lingkungan, mengingatkan untuk lebih berhati-hati, meningkatkan pengawasan, mengurangi dampak, dan lain-lain.

2. Kesalahan karena tidak tahu

Kesalahan ini terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara mengerjakan atau mengoperasikan peralatan dengan benar dan aman, atau terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut biasanya terjadi disebabkan kurangnya pelatihan, kesalahan instruksi, perubahan informasi yang tidak diberitahukan dan lain-lain.

3. Kesalahan karena tidak mampu

Kesalahan jenis ini terjadi karena orang tersebut tidak mampu melakukan tugasnya, contohnya pekerjaan terlalu sulit, beban fisik maupun mental pekerjaan terlalu berat, tugas atau informai terlalu banyak, dan lain-lain.

(22)

4. Kesalahan karena kurang motivasi

Kesalahan karena kurangnya motivasi dapat terjadi akibat:

a. Dorongan pribadi, misalnya ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin merasa nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil risiko yang berlebihan, dan lain-lain.

b. Dorongan lingkungan, misalnya lingkungan fisik, sistem manajemen, contoh dari pimpinan, dan lain-lain.

2.3.4. Keselamatan dan Pengalaman

Pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik sesuai dengan usia, masa kerja di perusahaan dan lamanya bekerja di tempat kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu, mereka sering mementingkan dahulu selesainya sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada mereka sehingga keselamatan tidak cukup mendapatkan perhatian. Maka dari itu, masalah keselamatan harus dijelaskan kepada mereka sebelum mereka melakukan pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari permulaan bekerja adalah sangat penting (Suma’mur, 1987).

Menurut Ranupandojo (1984), pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. Pengukuran pengalaman kerja digunakan sebagai sarana untuk menganalisa dan mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas pekerjaan (Anonim, 2011).

(23)

Menurut Asri (1986), beberapa hal yang digunakan untuk mengukur pengalaman kerja seseorang adalah :

1. Gerakannya mantap dan lancar. Setiap karyawan yang berpengalaman akan melakukan gerakan yang mantap dalam bekerja tanpa disertai keraguan.

2. Gerakannya berirama. Artinya terciptanya dari kebiasaan dalam melakukan pekerjaan sehari – hari.

3. Lebih cepat menanggapi tanda – tanda. Artinya tanda – tanda seperti akan terjadi kecelakaan kerja.

4. Dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya Karena didukung oleh pengalaman kerja dimilikinya maka seorang pegawai yang berpengalaman dapat menduga akan adanya kesulitan dan siap menghadapinya.

5. Bekerja dengan tenang. Seorang pegawai yang berpengalaman akan memiliki rasa percaya diri yang cukup besar

Menurut Foster (2001), ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja yaitu :

1. Lama waktu/ masa kerja. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.

2. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami

(24)

dan menerapkan informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan.

3. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek – aspek teknik peralatan dan teknik pekerjaan. 2.3.5. Keterampilan dan Keselamatan

Keterampilan kerja meliputi pengetahuan tentang cara kerja dan prakteknya serta pengenalan aspek-aspek pekerjaan serta terperinci sampai kepada hal-hal kecil termasuk keselamatannya. Tingkat keterampilan kerja yang tinggi bekaitan dengan praktek keselamatan yang diharapkan dan mengecilnya kemungkinan terjadi kecelakaan. Sebaliknya kecelakaan-kecelakaan mudah sekali terjadi pada tenaga kerja yang tidak terampil.

Keterampilan dan keselamatan adalah proses belajar. Keduanya berkembang sejalan. Dengan meningkatkan keterampilan atas pengalaman kerja, bahaya-bahaya kecelakaan mendapatkan perhatian dari tenaga kerja yang bersangkutan. Keterampilan yang tinggi adalah cermin dari koordinasi yang efisien antara pikiran, fungsi alat indera, dan otot-otot tubuh. Efisiensi fungsi otot-otot tubuh seperti itu serasi dengan usaha keselamatan kerja (Suma’mur, 1987).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail A. (2010) menunjukkan bahwa training dapat meningkatkan kompetensi dan pengetahuan pekerja. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dingsdag (2008) yang menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan budaya dan prilaku K3 untuk mengurangi kecelakaan kerja

(25)

maka diperlukan training K3 untuk meningkatkan kompetensi dan pemahaman K3 pada seluruh line management dan pekerja (Anonim, 2010).

Setiap pekerja baru harus mendapatkan training yang cukup sebelum melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan. Training yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan dari area kerja masing-masing pekerja. Untuk memastikan bahwa pekerja baru sudah menguasai tugas dan tanggung jawab yang diberikan maka diperlukan tolok ukur sebagai umpan balik dari training yang diberikan. Training tidak hanya diberikan pada pekerja baru, akan tetapi pekerja lamapun harus diberikan training penyegaran. Pihak manajemen perusahaan harus membuat program training tahunan yang meliputi topik baru maupun topik-topik lama sebagai penyegaran (re-fresh training).

Training yang diberikan harus meliputi pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill) untuk meningkat kompetensi pokok (core competency) dan kompetensi K3 (safety competency). Kompetensi pokok adalah kompetensi minimum yang harus dimiliki pekerja untuk menjalankan tugas pokok yang dibebankan, misalnya operator produksi harus memahami dan mampu menjalankan mesin produksi, laboran harus mampu melakukan analisa dasar bahan kimia dan seterusnya. Namun kompetensi pokok saja tidak cukup untuk melakukan pekerjaan secara aman, maka diperlukan kompetensi K3. Pada umumnya training kompetensi pokok tidak dilengkapi dengan kompetensi K3 atau tidak mengandung aspek-sapek K3.

(26)

2.3.6. Sikap terhadap Keselamatan

Sikap terhadap keselamatan ada dua tafsiran (Suma’mur, 1987).

1. Tafsiran pertama adalah keselamatan yang kompleks reaksi tenaga kerja terhadap pekerjaan dan lingkungannya. Sikap terhadap keselamatan adalah hasil dari pengaruh-pengaruh yang rumit dan kadang-kadang bertentangan dan oleh karena itu mungkin positif atau negatif tergantung dari individu-individu dan keadaan. Sikap keselamatan didasarkan atas suasana serasi di antara pengusaha dan tenaga kerja yang akan positif dibandingkan dari pada usaha sepihak saja.

2. Tafsiran kedua bertalian dengan sikap tenaga kerja terhadap keselamatan atas dinamika psikologis mereka. Faktor-faktor seperti tekanan emosi, kelelahan, konflik-konflik kejiwaan yang laten dan tak terselesaikan, dan lain-lain mungkin berpengaruh secara negatif terhadap keselamatan.

2.3.7. Pertentangan di antara Produksi dan Keselamatan

Di antara kepentingan produksi dan keselamatan, kadang-kadang terdapat pertentangan. Dalam keadaan seperti itu, pengusaha atau buruh mengorbankan persyaratan keselamatan dan mengambil risiko terjadinya kecelakaan untuk peningkatan produktivitas. Sebagai contoh-contoh adalah dikuranginya perawatan mesin dan peralatan kerja oleh pengusaha, agar hilangnya waktu produksi dicegah; peniadaan pagar-pagar pengaman atau tidak dipakainya alat-alat perlindungan diri yang dirasakan memberi hambatan (Suma’mur, 1987).

(27)

2.3.8. Kecelakaan dan Keampuhan Sistem

Kecelakaan yang lebih dari angka rata-rata terjadi pada keadaan-keadaan yang menyebabkan gangguan proses produksi normal atas dasar kerusakan atau kegagalan sistem. Maka dari itu, dapat disimpulkan, bahwa peningkatan keampuhan sistem akan berakibat pengurangan peristiwa kecelakaan dan juga meningkatkan produktivitas. Upaya harus diarahkan tidak hanya memperbaiki standar mesin tetapi juga kemantapan komponen manusiawi dalam sistem manusia dan mesin dengan pendidikan tenaga kerja dalam cara pengelolaan mesin dan peralatan kerja (Suma’mur, 1987).

2.3.9. Komunikasi dan Keselamatan

Dalam industri, bentuk komunikasi di dalam suatu sistem biasanya dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan resmi, seperti isyarat-isyarat atau penggunaan bentuk standar untuk pengiriman keterangan dan lain-lain. Di antara kawan sekerja, sering dipakai isyarat-isyarat komunikasi tersendiri. Cara-cara komunikasi tersebut kadang-kadang lebih efektif dari pada yang resmi. Namun ada bahayanya, yaitu bila seorang tenaga kerja yang belum berpadu dengan kelompok tersebut ikut bekerja. Hal ini dapat mendatangkan kecelakaan. Maka dari itu, sistem komunikasi resmi harus cukup jelas, komprehensif dan tidak berarti jamak serta tidak rumit, agar tidak diganti oleh isyarat-isyarat tidak resmi (Suma’mur, 1987).

2.4. Proses Pengolahan Minyak Goreng Sawit

Minyak goreng sawit merupakan salah satu produk turunan dari kelapa sawit. Hasil dari proses pengolahan kelapa salah satunya adalah minyak goreng sawit. Proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng sawit dimulai dari proses

(28)

pengolahan tandan buah segar menjadi crude palm oil (CPO), kemudian dari CPO diolah menjadi minyak goreng.

2.4.1. Proses Produksi

Secara garis besar, proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng sawit terdiri dari dua tahap pemurnian (refinery) dan pemisahan (fractionation).

1. Tahap pemurnian (refinery)

Tahap pemurnian (refinery) terdiri dari penghilangan gum (degumming), pemucatan (bleaching) dan penghilangan bau (deodorization). Pada proses ini terjadi pemanasan CPO untuk mempermudah pemompaan CPO ke tangki berikutnya.. Hasil dari proses ini disebut DPO (Degummed Palm Oil). DPO yang dihasilkan dari proses degumming dipompa menuju dryer dengan kondisi vakum. Setelah dari dryer, DPO dipompakan ke reaktor yang terlebih dahulu melewati static mixer kemudian turun ke slurry

tank. Di dalam slurry tank, terjadi pemanasan lagi sampai temperatur 90 - 120 °C dan

penambahan H3PO4, CaCO3 dan BE. Slurry Oil dari slurry tank akan mengalir turun

bleacher. Dari bleacher minyak dialirkan dan dipompakan ke niagara filter untuk

filtrasi.

Hasil dari filtrasi ini adalah DBPO (Degummed Bleached Palm Oil) yang selanjutnya dialirkan ke intermediate tank (tangki siwang) untuk tahap deodorizing. DBPO yang berasal dari tangki siwang dialirkan menuju ke deaerator. Dari deaerator, DBPO dipompakan ke Spiral Heat Exchanger (SHE). Dalam proses ini terjadi penambahan panas dengan temperatur 185 - 200 °C. Dari SHE minyak dialirkan ke flashvessel turun ke packed column. Setelah dari packed column, minyak dialirkan menuju deodorize.

(29)

Dalam proses ini terjadi penghilangan zat-zat yang dapat menimbulkan bau seperti keton dan aldehid dengan pemanasan pada temperatur 240 - 265 °C. DBPO yang sudah hilang baunya dipompakan kembali ke SHE untuk mengalami pertukaran panas. Dalam hal ini minyak sudah dalam bentuk RBDPO (Refined Bleached Palm Oil). RBDPO kemudian mengalami pertukaran panas lagi dengan CPO pada PHE. Dari PHE, RBDPO dialirkan ke Plate Cooler Water (PCW) selanjutnya RBDPO difiltrasi. Kemudian dianalisa di laboratorium, jika sesuai dengan spesifikasi maka RBDPO bisa dialirkan langsung ke tangki penampungan atau ke tangki kristalisasi sesuai dengan kualitasnya untuk diproses pada tahap fraksinasi.

1. Tahap pemisahan (fractionation)

Tahap pemisahan (fractionation) terdiri dari proses pengkristalan (crystalization) dan pemisahan fraksi. CPO yang berasal dari tangki penampungan CPO dipompa melalui

strainer menuju refinery.

Tahap fraksinasi meliputi dua proses yaitu kristalisasi dan filtrasi. Prinsip kerja yang digunakan dalam kristalisasi adalah pembentukan kristal melalui pendinginan dan pengadukan sehingga fase stearin dan fase olein dapat terpisah. RBDPO yang ada dalam tangki kristalisasi ini diaduk pada saat tangki kristalisasi sudah penuh dengan menggunakan agitator yang mempunyai kecepatan 14 rpm. Fungsi pengadukan ini adalah agar pendinginan di dalam tangki lebih homogen sehingga pemisahan olein dan stearin lebih mudah.

Temperatur pengkristalan ini tergantung pada kualitas minyak:

a. Kualitas consumer kristal lemak terbentuk pada temperatur < 17°C

(30)

c. Kualitas drumming pembentukan kristal terjadi pada temperatur > 28 °C.

Pada proses filtrasi RBDPO kristal yang sudah terbentuk dalam tangki kristalisasi ditransfer ke filter press untuk pemisahan olein dan stearin. Olein hasil dari filtrasi ditransfer ke SS tank dan MS tank. SS tank untuk kualitas olein dianalisa jika sesuai dengan spesifikasi langsung masuk ke storage tank olein (kualitas bottling), sedangkan MS tank digunakan untuk kualitas olein yang RBD oleinnya difilter spray dan hasilnya langsung dialirkan ke storage tank olein (kualitas drumming, tinning dan industri). Sebelum ditansfer ke intermediate tank, untuk kualitas bottling dan tinning ditambahkan antioksidan hal ini untuk mempertahankan kualitas minyak. Sedangkan untuk kualitas drumming dan industri tidak ditambahkan antioksidan. Hal ini disebabkan minyak dengan kualitas drumming dan industri segera digunakan/dikonsumsi.

2.4.2. Lokasi Kecelakaan

Dalam suatu industri pengolahan minyak goreng sawit, banyak peralatan/areal kerja dan sistem yang dapat menjadi penyebab kecelakaan. Beberapa areal tempat terjadinya kecelakaan kerja pada pabrik pengolahan minyak goreng sawit antara lain (Tarigan, 2008) :

1. Aktivitas di ruang komputer, risiko tersengat listrik dan iritasi mata

2. Menarik lori dengan capstand/mengisi TBS/memasukkan TBS ke rebusan, berisiko jari/tangan terjepit, terlibas tali, tertimpa TBS, tersodok galah, tertimpa jembatan rebusan, tertimpa lori

3. Merebus TBS/membuka steam/membuka pintu rebusan, berisiko rebusan meledak, tersengat anggota badan, terpapar pendengaran/kebisingan, tertimpa jembatan rebusan, terkena steam panas

(31)

4. Pengoperasian theresing/pengoperasian pressan, berisiko terlilit anggota badan, tersambar, terjatuh, terhirup, terpapar pendengaran/kebisingan

5. Membersihkan bodi elevator, berisiko terjatuh, kepla terbentur, tangan terkena duri

6. Aktivitas di kamar mesin, berisiko terkena serpihan ledakan, terbakar/tersengat aliran listrik, terpapar pendengaran/kebisingan, terhirup 7. Aktivitas di ruang work shop, berisiko tertimpa/terjepit, meledak/terhirup,

tersengat/terbakar arus listrik, pijar mata, kebutaan

8. Aktivitas di pabrik biji, berisiko terjatuh, terpapar pendengaran/kebisingan, sesak pernapasan, terlibas, tergilas anggota tubuh

9. Aktivitas di boiler, berisiko peledakan/ kebakaran apabila terjadi over

heating dan over press, terkena serpihan uap dan air panas, melepuh terkena

panas, tersengat anggota tubuh, jatuh, terbakar anggota, badan sesak napas karena debu dari pembakaran cangkang sawit, terpapar suhu panas, tergelincir, terpeleset

10. Mendorong lori dengan loader, berisiko tertabrak loader, terbentur benda keras, tertimpa TBS, terkena gancu/tojok

11. Mencampur bahan kimia/menganalisa sampel, berisiko merusak kesehatan paru-paru, iritasi kulit, korosif, terkena anggota badan

12. Penempatan barang/material/penyusunan bahan kimia, berisiko tersandung, tertimpa material, terjatuh, korosif

13. Aktivitas klarifikasi, berisiko tersambar, terjatuh, terkena anggota tubuh, tersengat minyak panas

(32)

14. Membersihkan tangki timbun, berisiko terjatuh, gangguan pernapasan

15. Aktivitas incenerator, berisiko terhirup mengakibatkan gangguan paru-paru, tertimpa, tertojok

16. Aktivitas recovery, berisiko terjatuh, terhirup, terkena anggota badan 17. Aktivitas tower air, berisiko terjatuh dari menara, tenggelam ke dalam air 18. Pembersihan dinding/atap pabrik, berisiko terjatuh/terpeleset dari atap,

gangguan pernapasan

19. Pengelasan di tempat ketinggian, berisiko tersengat listrik, kebakaran, terjatuh dari ketinggian

Gambar

Gambar 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi (Robbins, 2003)
Gambar 2.3. Teori Domino Heinrich

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kekerasan orangtua, dan ada hubungan negatif yang sangat

asetat, borneol, simen. Kina, damar, malam.. as. CI CINN NNAM AMOM OMI COR I CORTE TEX X..

Humbang Hasundutan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 42 15071902710300 HONDA SIHOTANG Kab.. Humbang Hasundutan Guru

Gunakan bahan yang tidak mudah terbakar seperti vermikulit, pasir atau tanah untuk menyerap produk ini dan.. tempatkan dalam kontainer untuk

16 tersebut berhasil diimplementasikan dengan baik maka akan membantu menciptakan ketahanan pangan khususnya dari aspek availability (produksi dan ketersediaan

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah / Penulisan Hukum / Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

2) Memetakan perkembangan kasus Covid-19 secara berkala serta kemampuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penanganannya;.. 3) Memetakan dampak Covid-19 terhadap