• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Hepatitis OK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman Hepatitis OK"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PEDOMAN PENGENDALIAN

HEPATITIS VIRUS

DIREKTORAT JENDERAL PP & PL KEMENTERIAN KESEHATAN RI

TAHUN 2012

Lampiran II

Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012 Tanggal : 2012

TUGAS TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA

a. Melakukan pengumpulan dan pengelolaan referensi dalam rangka penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia;

b. Melakukan penyusunan rancangan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia;

c. Menyiapkan dan melaksanakan pembahasan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia

d. Menyiapkan dan melaksanakan finalisasi penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia; dan,

e. Melakukan penyuntingan terhadap Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia

Direktur Jenderal PP dan PL

Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE

(2)

11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH 12. dr. Rossa Avrina

13. dr. Sukmawati Dunuyaali 14. dr. Ignatius Bima Prasetya 15. dr. Anandhara Indriani 16. dr. Karnely Herlena, M.Epid 17. Agus Handito, SKM, M.Epid 18. dr. Marolop Binsar Silaen

Sekretariat : 1. Arman Zubair, S.Sos 2. Muhamad Purwanto, SKM

Organisasi

Profesi : 1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) 2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

Direktur Jenderal PP dan PL

Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE

(3)

KATA PENGANTAR

Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama Hepatitis A sering muncul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sangat meresahkan masyarakat. Sementara Hepatitis B dan C seringkali diketahui apabila sudah terjadi sirosis atau kanker hati (Hepatocarcinoma Celluler). Sesuai dengan resolusi WHA ke 63 tahun 2010, Indonesia dan Brazil merupakan negara yang berinisiatif mengusulkan atau ditetapkannya resolusi WHA tersebut, yang isinya bahwa sudah saatnya negara-negara di dunia mulai melaksanakan pengendalian dan penanggulangan Hepatitis. Untuk menindak lanjuti resolusi WHA tersebut perlu disusun pedoman Pengendalian Hepatitis, sebagai acuan bagi petugas kesehatan, baik di rumah sakit maupun di Puskesmas.

Puji syukur kehadirat Allah SWT bahwa kami telah dapat menyelesaikan penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis. Pedoman ini disusun melalui beberapa tahapan kegiatan seperti penelusuran referensi, penyusunan draf, uji coba, seminar dan dibahas dengan para ahli Hepatology yang berasal dari berbagai fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan di Indonesia untuk memperkaya pedoman pengendalian Hepatitis ini.

Terima kasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan buku pedoman Pengendalian Hepatitis Virus ini. Saya berharap agar buku pedoman ini dapat bermanfaat bagi pengendalian penyakit Hepatitis di Indonesia.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama

NIP 195509031980121001 Lampiran I

Keputusan Direktur Jenderal PP dan PL Nomor : HK.03.05/D/I.4/2012 Tanggal : 2012

SUSUNAN TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA

Penasehat : Direktur Jenderal PP dan PL

Pengarah : 1. Sekretaris Direktorat Jenderal PP dan PL 2. Direktur Pengendalian Penyakit Menular

Langsung

Ketua : Kepala Subdit Diare & ISP

Ketua Komite Ahli Diare, Hepatitis dan ISP, Kementerian Kesehatan

Ketua Bidang Hepatitis Komite Ahli Diare, Hepatitis dan ISP, Kementeri Kesehatan.

Penyunting : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH

3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)

Penyusun : 1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH

3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH 4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) 6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 7. drg. Rini Noviani

8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS 9. dr. Armaji Kamaludin Syarif 10. dr. Rini Rohaeni

(4)

sektor, serta para pakar/ahli dan instansi lain yang relevan.

Keempat : Tim bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan melalui Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung serta menyampaikan laporan kegiatan secara berkala setiap 1 (satu) bulan.

Kelima : Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan tugas Tim dibebankan pada DIPA Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Tahun Anggaran 2012.

Keenam : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal :

Direktur Jenderal PP dan PL

Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR ISTILAH ... v BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 2 C. Sasaran ... 3 D. Dasar Hukum ... 3 E. Kebijakan ... 5 F. Strategi ... 6 G. Kegiatan ... 6

BAB II ANALISIS SITUASI ... 9

A. Beban Penyakit ... 9 B. Kondisi Lingkungan ... 12 C. Perilaku Berisiko ... 12 D. Sosial Ekonomi ... 13 E. Landasan Hukum ... 14 F. Analisis S-W-O-T ... 14

G. Hasil Analisis Situasi ... 16

BAB III HEPATITIS AKIBAT VIRUS ... 19

A. Hepatitis A ... 19

B. Hepatitis B ... 23

C. Hepatitis C ... 28

D. Hepatitis D ... 32

E. Hepatitis E ... 33

BAB IV SURVEILANS EPIDEMIOLOGI ... 37

A. Epidemiologi... 37

1. Hepatitis A ... 37

2. Hepatitis B ... 37 15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1144/MENKES/PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI;

16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010, tentang Standar Pelayanan Kedokteran;

17. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan;’

18. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 021/MENKES/SK/I/2011, tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA

Kesatu : Susunan Tim Penyusun dan Penyunting Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia ini terlampir dalam keputusan.

Kedua : Tim sebagaimana dimaksud pada dictum kesatu memiliki tugas yang terlampir dalam keputusan ini.

Ketiga : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim bekerja sama dan berkoordinasi dengan lintas program, lintas

(6)

3. Hepatitis C ... 38

4. Hepatitis Delta (D) ... 39

5. Hepatitis E ... 39

B. Surveilans Hepatitis ... 40

C. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) Hepatitis A 41 D. Kejadian Luar Biasa (KLB) ... 42

1. Penetapan KLB ... 42

2. Penyelidikan Epidemiologi ... 43

3. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi ... 43

4. Upaya Penanggulangan KLB ... 45

5. Pemutusan Rantai Penularan ... 45

BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM ... 47

A. Penapisan Hepatitis B Pada Ibu Hamil ... 47

B. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Keluarga atau Orang yang Tinggal Serumah dengan Penderita Hepatitis B ... 49

C. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Tenaga Medis ... 50

D. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pda PSK, Orang dengan Pasangan Seksual Multipel, dan IVDU ... 51

E. Penapisan dan Pencegahan Penularan Hepatitis B pada Populasi Umum ... 53

F. Profilaksis Pasca Pajanan Hepatitis B ... 54

G. Terapi Penderita Hepatitis B ... 54

H. Aspek Legal pada Hepatitis B ... 55

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI ... 57

A. Pemantauan ... 57

1. Pengertian ... 57

2. Tujuan ... 57

3. Kegiatan Yang Dipantau ... 57

4. Alat Pantau ... 60

5. Cara Pemantauan ... 60

B. Evaluasi ... 60

1. Pengertian ... 60

7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781);

9. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;

10. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota;

11. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan;

12. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003, tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular;

13. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004, tentang Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa;

14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 206/MENKES/SK/II/2008, tentang Komite Ahli Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan;

(7)

2. Tujuan ... 60

3. Cara Evaluasi ... 61

BAB VII SARANA ... 63

A. Perencanaan Kebutuhan ... 63

1. Reagen/Bahan Pemeriksaan Untuk Penegakan Diagnosis ... 63 a. Hepatitis A ... 63 b. Hepatitis B ... 63 c. Hepatitis C ... 65 2. Penyediaan Obat ... 65 3. Media KIE ... 66 B. Penganggaran... 66 1. Pusat ... 66 2. Daerah ... 67

BAB VIII PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS ... 69

A. Pusat ... 69

B. UPT Pusat (BBTKL, BTKL, KKP) ... 69

C. Propinsi ... 70

D. Kabupaten/Kota ... 70

E. Unit Pelayanan Kesehatan... 70

1. Puskesmas ... 70

2. Rumah Sakit ... 71

3. Klinik dan Praktek Swasta ... 71

F. Organisasi Profesi ... 71

G. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat Peduli Penyakit Hepatitis ... 71

H. Akademi/Perguruan Tinggi ... 72

KONTRIBUTOR ... 73

LAMPIRAN Form 1 Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Awal ... 75

Form 2A Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Hepatitis dan HBsAg Positif ... 76 Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia No.4

Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 327;

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, tentang Rumah Sakit;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);

(8)

From 2B Formulir Penyaringan Penderita Hepatitis Tahap Lanjutan Diagnosa Klinis Bukan

Hepatitis dan HBsAg Positif ... 77 Form 3 Formulir Pemantauan Pengobatan Penderita

Hepatitis ... 78 Form 4 Formulir Pemantauan Hepatitis ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PP DAN PL

TENTANG TIM PENYUNTING & PENYUSUN PEDOMAN

PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA ... 83

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN NOMOR : HK.03.05/III.4/1615/2012

TENTANG

TIM PENYUNTING DAN PENYUSUN

PEDOMAN PENGENDALIAN HEPATITIS VIRUS DI INDONESIA DIREKTUR JENDERAL

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN,

Menimbang : a. bahwa hingga saat ini Hepatitis A, B, dan C masih menjadi masalah kesehatan dunia yang serius termasuk di Indonesia karena berpotensi menimbulkan dampak morbiditas dan moralitas, dan memerlukan perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun masyarakat;

b. bahwa dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian karena Hepatitis perlu dilakukan upaya pengendalian yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menyusun Pedoman tentang Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia;

d. bahwa bersadarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf c, perlu membentuk Tim Penyusun Rancangan Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus di Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

(9)

DAFTAR ISTILAH

Hepatitis

VHA : Virus Hepatitis A VHB : Virus Hepatitis B VHC : Virus Hepatitis C VHD : Virus Hepatitis D VHE : Virus Hepatitis E

HBsAg : Hepatitis B surface Antigen HBcAg : Hepatitis B core Antigen HBeAg : Hepatitis B envelope Antigen

LFT : Liver Function Test ( Test Fungsi Hati ) AST : Asparlate Aminotransferase

ALT : Alanine Aminotransferase

Anti HBs : Antibody to Hepatitis B surface antigen IgM anti-HBc : Immunoglobulin M. anti to Hepatitis B core IgG anti-HBc : Immunoglobulin G. anti to Hepatitis B core Anti-HBe : Antibody to Hepatitis B envelope

HBIG : Hepatitis B Immunoglobulin HIV : Human Imunodeficiency Virus Oro-fecal/fecal-oral : Penularan dari tinja ke mulut

Masa Inkubasi : Masa antara masuknya kuman penyakit dan munculnya gejala

CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

MSM : Man Sex Man (hubungan sex antara laki-laki dengan laki-laki)

IDUs : Injection Drug Users (Pengguna obat terlarang dengan cara suntik)

KLB : Kejadian Luar Biasa Morbiditas : Angka Kesakitan Mortalitas : Angka Kematian

Insidens rate : Proporsi antara jumlah penderita dengan jumlah penduduk

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1116/MENKES/SK/VIII/ 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Buku Pedoman Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1502/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan

Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011, Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit), Edisi Revisi Tahun 2011.

(10)

Isolasi : Dilakukan terhadap penderita, dengan memisahkan penderita dengan orang sehat untuk mencegah dan mengurangi terjadinya penularan baik langsung maupun tidak langsung.

Karantina : Pembatasan kegiatan penderita, dicurigai penderita atau orang yang telah kontak dengan penderita selama masa penularan.

SWOT : Strength Weakness Opportunity Threat (Analisa berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan Ancaman)

WHA : World Health Assembly

WHD : World Hepatitis Day (Hari Hepatitis Sedunia, diperingati setiap tanggal 28 Juli).

DAFTAR PUSTAKA

http://www.who.int/mediacentre/factasheets/fs328/en/index.html. Hepatitis A.

Wurie,IM, Wurie, AT, Gevao,SM. Sero-prevalence of Hepatitis B virus among middle to high-socio economic antenatal population in Sierra Leone. WAJM Vol 24 No.1, January – March, 2005.

Yoshida T et all. Epidemiological Investigation and Analysis of Hepatitis A Virus Genomes in the Three Cases of Hepatitis of Hepatitis A Infections That Occured in April-May 2010. Jpn.J.Infect. Dis., 64, 2011.

Umid M. Sharapov US-CDC, http://wwwnc.cdc.gov/travel/ yellowbook/ 2012/chapter-3-infectious-disease-related-to travel/ Hepatitis-a.htm. Hepatitis A.

Goldstein GS, The Influence of Socioeconomic Factors On The Distribution of Hepatitis In Syracuse N.Y.: Vol.49, No.4, A.J.P.H.

Hepatitis A, Fact sheet No 328, May 2008.

Chin J, Kandun IN, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Ed 17 tahun 2000.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB).

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. VHB telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus Hepatitis B kronis, penderita Hepatitis C di dunia diperkirakan 170 juta orang dan sekitar 1.500.000 penduduk dunia meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh infeksi VHB dan VHC. Indonesia merupakan negara dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East

Asian Region). Sekitar 23 juta penduduk Indonesia telah terinfeksi

Hepatitis B dan 2 juta orang terinfeksi Hepatitis C. Penyakit Hepatitis A sering muncul dalam bentuk KLB seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Menurut hasil Riskesdas tahun 2007, hasil pemeriksaan Biomedis dari 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% yang berarti bahwa diantara 10 penduduk di Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus.

Pada tanggal 20 Mei 2010 World Health Assembly (WHA) dalam sidangnya yang ke 63 di Geneva telah menyetujui untuk mengadopsi Resolusi WHA 63.18 tentang Hepatitis Virus, yang menyerukan semua negara anggota WHO untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan hepatitis virus secara komprehensif. Sebagai pemrakarsa resolusi ini adalah tiga negara anggota WHO, yaitu Indonesia, Brazil dan Columbia. Dalam resolusi ini, ditetapkan tanggal 28 Juli menjadi Hari Hepatitis Sedunia atau World Hepatitis Day. Peringatan hari Hepatitis Sedunia bermaksud untuk meningkatkan kepedulian pemerintah, masyarakat dan semua pihak terhadap pengendalian penyakit Hepatitis. Dalam resolusi tersebut, WHO akan menyediakan bantuan bagi negara berkembang dalam

(12)

pengembangan strategi nasional, program surveilans yang efektif, pengembangan vaksin dan pengobatan yang efektif.

Memperhatikan pentingnya isu ini dan telah diterimanya resolusi Hepatitis virus oleh WHO, dalam pertemuan WHA ke 63 tersebut di atas, maka diperlukan kerjasama internasional yang erat diantara negara-negara di dunia dalam upaya menanggulangi Hepatitis virus. Indonesia bersama Brazil merupakan sponsor utama yang berjuang untuk melahirkan resolusi WHO tersebut sehingga peranan yang penting tersebut dapat dipakai sebagai landasan yang kokoh bagi terwujudnya Pengembangan Program Pengendalian Hepatitis di Indonesia.

Sebagai salah satu Negara yang menjadi sponsor utama dalam resolusi WHO mengenai Hepatitis, maka Kementerian Kesehatan perlu mengembangkan Program Pengendalian Hepatitis di Indonesia. Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL), menyusun buku Pedoman Pengendalian Penyakit Hepatitis yang merupakan panduan bagi petugas kesehatan baik di pusat maupun daerah untuk pengembangan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis.

B. TUJUAN

1. Umum

Tersusunnya pedoman pengendalian Hepatitis virus dan terselenggaranya kegiatan pengendalian Hepatitis dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat Hepatitis di Indonesia.

2. Khusus

a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam pelaksanaan dan pengembangan program pengendalian Hepatitis virus di Indonesia.

b. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan deteksi dini Hepatitis di fasilitas kesehatan.

(13)

c. Tersedianya panduan dalam meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat dalam pengendalian Hepatitis virus.

d. Tersedianya panduan dalam pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit Hepatitis virus dan upaya pengendaliannya.

e. Tersedianya panduan untuk sistem pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program pengendalian Hepatitis virus.

f. Tersedianya panduan dalam pengadaan logistik untuk pengendalian Hepatitis virus.

g. Terbentuknya jejaring kerja dalam pengendalian Hepatitis virus.

C. SASARAN

Sasaran buku pedoman ini adalah pemangku kebijakan dan petugas kesehatan di setiap jenjang pelayanan kesehatan sesuai dengan peran dan fungsinya.

D. DASAR HUKUM

Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis dilakukan atas dasar beberapa landasan hukum antara lain :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah penyakit menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273).

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteraan (Lembaran Negara Republik

(14)

Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, tentang Rumah Sakit.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447).

9. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637).

10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8781).

11. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun Tahun 2010-2014.

12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER/ IX/ 2010, tentang Standar Pelayanan Kedokteran.

13. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/ PER/X/2010, tentang Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. 14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/ SK/

X/2003, tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

(15)

15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/MENKES/ SK/ VIII/2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.

16. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1479/MENKES/ SK/ X/2003, tentang Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.

17. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 949/MENKES/ SK/ VIII/2004, tentang Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.

18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2410/MENKES/SK/XII/2011, tentang Komite Ahli Hepatitis, Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan.

19. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1144/MENKES/ PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI.

20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/ 2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.

E. Kebijakan

Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Hepatitis virus adalah sebagai berikut:

1. Pengendalian Hepatitis berdasarkan pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah (local area specific). 2. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan melalui pengembangan

kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas program dan lintas sektor.

3. Pengendalian Hepatitis dilaksanakan secara terpadu baik untuk pencegahan primer (termasuk didalamnya imunisasi), sekunder, dan tersier.

4. Pengendalian Hepatitis dikelola secara profesional, berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya.

(16)

5. Penguatan sistem surveilans Hepatitis sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksana program.

6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian Hepatitis harus dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengawasan yang terus ditingkatkan intensitas dan kualitasnya dengan pemantapan sistem dan prosedur, bimbingan dan evaluasi.

F. STRATEGI

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat (PHBS) sehingga terhindar dari penyakit Hepatitis. 2. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan

peran serta masyarakat untuk penyebar luasan informasi kepada masyarakat tentang pengendalian Hepatitis.

3. Mengembangkan kegiatan deteksi dini yang efektif dan efisien terutama bagi masyarakat yang berisiko.

4. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan institusi, serta standarisasi pelayanan.

5. Meningkatkan surveilans epidemiologi Hepatitis di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.

6. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin lintas program dan lintas sektor di semua jenjang baik pemerintah maupun swasta.

G. KEGIATAN

1. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan. 2. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Hepatitis

kepada petugas kesehatan terkait.

3. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media komunikasi baik cetak maupun elektronik.

(17)

4. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan masyarakat.

5. Penyusunan dan pengembangan pedoman teknis pengendalian Hepatitis virus.

6. Deteksi dini dan tatalaksana kasus sesuai standar.

7. Surveilans epidemiologi dan bantuan teknis dalam penanggulangan KLB Hepatitis.

8. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program. 9. Pemantauan dan evaluasi secara berkala dan

berkesinambungan.

10. Pengembangan program berbasis riset baik riset operasional maupun riset klinis sebagai acuan kebijakan pengendalian Hepatitis Virus secara komprehensif.

(18)

KONTRIBUTOR

A. TIM PENYUNTING

1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH

3. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 4. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K)

B. TIM PENYUSUN

1. Prof.dr.David Handojo Muljono, Ph. D, SpPD 2. dr. Nyoman Kandun, MPH

3. Prof.dr. Ali Sulaiman, SpPD – KGEH 4. Dr. dr.Rino A. Gani, SpPD – KGEH 5. Dr. dr.Hanifah Oswari SpA (K) 6. dr. Irsan Hasan, SpPD – KGEH 7. drg. Rini Noviani

8. dr. Yullita Evarini Yuzwar, MARS 9. dr. Armaji Kamaludin Syarif 10. dr. Rini Rohaeni

11. Dr.dr. Julitasari Sundoro, MSc-PH 12. dr. Rossa Avrina

13. dr. Sukmawati Dunuyaali 14. dr. Ignatius Bima Prasetya 15. dr. Anandhara Indriani 16. dr. Karnely Herlena, M.Epid 17. Agus Handito, SKM, M.Epid 18. Arman Zubair, S.Sos

19. Muhamad Purwanto, SKM 20. dr. Marolop Binsar Silaen

C. ORGANISASI PROFESI

1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) 2. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

(19)

BAB II

ANALISIS SITUASI

Dalam rangka melaksanakan pengendalian Hepatitis di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu perhatikan, antara lain kondisi penyakit Hepatitis di masyarakat saat ini (epidemiologi, etiologi, kondisi lingkungan di daerah endemis, perilaku masyarakat terhadap faktor risiko penyakit dll), peraturan-peraturan yang terkait, sosial ekonomi, pengetahuan para pemangku kepentingan dan masyarakat tentang Hepatitis, sumber daya yang tersedia, sehingga dari kondisi yang ada dapat dikelompokkan setiap unsur dalam bagian-bagian menurut analisis SWOT. Setiap keadaan yang ada saat ini dikelompokkan dalam bagan termasuk dalam Peluang, Kekuatan, Kelemahan atau Ancaman. Analisis SWOT diperlukan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu Kebijakan yang akan ditetapkan dalam Pengendalian Hepatitis di Indonesia.

A. BEBAN PENYAKIT

Hepatitis A, WHO memperkirakan di dunia setiap tahunnya ada

sekitar 1,4 juta penderita Hepatitis A. Di Amerika insidens Hepatitis A adalah 1 per 100.000 penduduk, dengan estimasi 21.000 orang (Tahun 2009). Di Eropa insidens Hepatitis A adalah 3,9 per 100.000 penduduk (Publikasi tahun 2008). Di Indonesia, Hepatitis A sering muncul dalam Kejadian Luar Indonesia (KLB). Tahun 2010 tercatat 6 KLB dengan jumlah penderita 279, jumlah kematian 0, CFR 0 sedangkan tahun 2011 tercatat 9 KLB, jumlah penderita 550, jumlah kematian 0, CFR 0. Tahun 2012 sampai bulan Juni, telah terjadi 4 KLB dengan jumlah penderita 204, jumlah kematian 0, CFR 0.

Data lain menunjukkan pada tahun 1998, di Kabupaten Bogor, Jawa Barat telah terjadi KLB Hepatitis A dengan jumlah kasus 74 orang (AR = 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR = 3,4%), di Provinsi Jawa Timur yatu di Kabupaten Bondowoso (Kecamatan Sukosari) dan Kabupaten Malang (Kecamatan Wonosari) di 7 desa dengan jumlah kasus 998, tahun 2004 di dalam sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk peduli

dan ikut berperan aktif dalam mensukseskan upaya-upaya pengendalian Hepatitis.

H. AKADEMISI/PERGURUAN TINGGI

Akademisi/perguruan tinggi diharapkan dapat mendukung upaya pengendalian Hepatitis dengan melakukan penelitian, seminar ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat sehingga dapat berperan aktif dalam pengendalian Hepatitis.

(20)

Kecamatan Tegal Ampel, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 47 kasus. Tahun 2006 di Kecamatan Pakem, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 65 kasus. (Surveilans Prop Jawa Timur). Tahun 2008 di Provinsi DIY tercatat 1.160 kasus dengan hasil pemeriksaan anti-HAV positif yaitu di Kodya Yogyakarta 287 kasus, Kabupaten Bantul 48 kasus, Kulon Progo 6 kasus, Gunung Kidul 11 kasus dan Sleman 808 kasus serta KLB di Pulau Panggang dengan 57 kasus. Tahun 2009 di Kabupaten Ngawi dengan 146 kasus.

Hepatitis B prevalensi pengidap Hepatitis B tertinggi ada di

Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh propinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45-49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%). HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi virus Hepatitis B.

Dari data yang telah terkumpul, angka prevalensi HBsAg pada donor darah di Indonesia tahun 1981 dengan metode pemeriksaan RPHA (Reverse Passive Haemaglutination) menunjukkan rata-rata 5,2% (rentangan 2,4-9,1%), dan tahun 1993 dengan metode pemeriksaan ELISA rata-rata 9,4%, rentangan 2,5 -36,1% (Sulaiman et al., 1998).

Angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap Hepatitis B kepada bayinya cukup tinggi. Berdasarkan penelitian beberapa rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada ibu hamil berkisar 2,1—5,2% (Soewignyo, 1992).

Data di RSUP Sanglah, Denpasar menunjukkan bahwa dari hasil uji survei 3.943 ibu hamil didapatkan hasil 80 ibu hamil dengan HBsAg positif, prevalensi HBsAg 2,03% dan HBeAg positif 50 %. Hasil pemeriksaan HBsAg tali pusat positif 12 % dari ibu hamil pengidap Hepatitis B (Surya, 1995). Peneliti lain melaporkan bahwa hasil uji saring pada 1.800 wanita hamil di Indonesia

Dalam hal pengendalian Hepatitis Puskesmas melakukan:

 Promotif, dengan penyuluhan termasuk pemberdayaan masyarakat dalam kegiatannya.

 Preventif, dengan melakukan vaksinasi yaitu program imunisasi Hepatitis B pada bayi.

 Rawat jalan dan rujukan

 Pelaporan

2. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan unit pelayanan rujukan dengan sarana pelayanan laboratorium yang dapat mendeteksi dini Hepatitis, baik rujukan maupun langsung. Rumah sakit di Provinsi diharapkan dapat melayani diagnosa, pengobatan dan rehabilitatif atau pelayanan suportif bagi penderita Hepatitis.

3. Klinik dan Praktek Swasta

Secara umum konsep pelayanan di klinik hampir sama dengan pelaksanaan di Puskesmas. Dalam hal tertentu, klinik dapat merujuk penderita dan spesimen ke Puskesmas atau rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas memadai.

F. ORGANISASI PROFESI

Organisasi profesi terkait diharapkan ikut berperan dalam seluruh proses pengendalian Hepatitis. Mulai dari pengendalian faktor risiko, peningkatan surveilans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana penderita, peningkatan imunisasi dan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), terutama hasil kajian/penelitian yang dapat diaplikasikan untuk mendukung pengendalian penyakit Hepatitis.

G. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DAN ORGANISASI MASYARAKAT PEDULI PENYAKIT HEPATITIS

LSM dan organisasi kemasyarakatan diharapkan terlibat dalam kegiatan yang terkait dengan pengendalian Hepatitis, terutama

(21)

ditemukan 61 ibu hamil (3,4%) dengan HBsAg positif (Suparyatmo).

Hepatitis C, berdasarkan hasil Surveilans Hepatitis C oleh

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2010-2011 yang dilaksanakan di 21 propinsi, 53 rumah sakit, 49 laboratorium dan 26 Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, dengan jumlah 1.825.823 sampel, kasus positif 29.480 orang, jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan umur 20-40 tahun sebanyak 58,5% sedangkan proporsi menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok laki-laki 83% dan 17% pada perempuan.

Prevalensi anti-VHC pada beberapa donor di Indonesia berkisar 0,5-3,4%. Prevalensi Anti-VHC pada virus Hepatitis Akut 9,5-20%, prevalensi Anti-VHC pada sirosis hati berkisar 30,8-89,2 persen.

Data ko-infeksi diperoleh dari beberapa penelitian, Rino S Gani (FK-UI, RSCM) penderita dengan HIV (IVDU), ko infeksi 80%, penderita ko infeksi dengan Hepatitis B berkisar 10-19%, Suryanto Sidik (RS Mintoharjo) pada penderita denga HIV, 31,6% ko infeksi dengan VHC.

Hepatitis D, dapat terjadi dalam bentuk superinfeksi dari

pengidap kronik virus Hepatitis B atau simultan dengan infeksi virus Hepatitis B (ko-infeksi). Pada suatu penelitian selama 10 tahun oleh Smedie et all, ternyata Hepatitis B dengan Hepatitis D prognosanya menjadi lebih buruk. Data di Indonesia, dari 72 carier Hepatitis dari donor darah dan diuji dengan RIA method didapatkan hasil anti-VHD positif pada dua orang (2,7%). Hepatitis D erat hubungan dengan infeksi VHB, maka secara langsung setiap usaha pencegahan terhadap Hepatitis B, mencegah terhadap Hepatitis D juga.

Hepatitis E, pada tahun 1987 di Indonesia pernah dilaporkan

terjadinya KLB tersangka Hepatitis E di desa Sayan, Tanah Pinoh dan Sokan, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat dengan jumlah kasus 2.500 orang. Pada saat investigasi selama 9 hari ditemukan kasus Hepatitis yang terdiri atas 44 penderita laki-laki berusia 3-50 tahun dan 38 penderita perempuan berusia

C. PROVINSI

Dinas Kesehatan Propinsi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengendalian Hepatitis di tingkat propinsi:

1. Melakukan diseminasi informasi kepada pihak dan instansi terkait di tingkat propinsi.

2. Membangun jejaring kerja Hepatitis baik lintas program maupun lintas sektor di tingkat propinsi.

3. Memantau pengelolaan stok logistik Hepatitis untuk tingkat kabupaten/kota.

4. Melakukan pemantauan terhadap pengendalian Hepatitis di tingkat kabupaten/kota.

5. Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan Hepatitis di tingkat propinsi.

6. Memberikan umpan balik hasil kegiatan.

D. KABUPATEN/KOTA

1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah pelaksana upaya pengendalian Hepatitis di tingkat kabupaten/kota.

2. Melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan dalam upaya peningkatan kinerja pelaksanaan pengendalian Hepatitis

3. Penyediaan, penyimpanan serta pendistribusian logistik Hepatitis.

E. UNIT PELAYANAN KESEHATAN

Dilaksanakan oleh puskesmas, rumah sakit, klinik, laboratorium dan praktek swasta.

1. Puskesmas

Puskesmas sebagai unit pelaksana pelayanan kesehatan primer mempunyai fungsi promotif, preventif, dan kuratif.

(22)

1 The ABC of Hepatitis www.cdc.gov/Hepatitis

6-70 tahun. Pada tahun 1991, KLB Hepatitis E kembali terjadi di kecamatan Kayan Hilir yang menyerang 10 desa dengan jumlah kasus 1.262 orang dan kematian 12 orang. Data lain adalah hasil penelitian pada kasus Hepatitis akut dari penderita rawat inap di rumah sakit, dari 64 kasus ternyata 16 kasus positif VHE (25%), (Sulaiman, 1993). Data lain yang diperoleh dari KLB yang terjadi di Kabupaten Bawen, Jawa Timur 1992, 2 kasus positif VHE dari 34 sample darah (Sub.Dit Surveilans, 1993). Laporan dari peneliti lain, 83 sampel darah Hepatitis akut dari beberapa rumah sakit di Jakarta yang diperiksa ditemukan anti VHE positif pada 4 kasus (Legowo D, 1994). Bulan Januari 1998 dilaporkan terjadi KLB Hepatitis di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus 74 (Attack Rate 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR= 3,4%) dan kebanyakan dari kasus adalah mahasiswa IPB, dari gejala klinis yang dilaporkan mengarah ke Hepatitis E (Surveilans Kabupaten Bogor, 1998).

B. KONDISI LINGKUNGAN

Diantara beberapa jenis penyakit Hepatitis, Hepatitis A dan Hepatitis E mempunyai mekanisme penularan oro-fecal (ditularkan melalui makanan dan/atau minuman yang sudah terkontaminasi tinja (faeces) yang mengandung virus Hepatitis A maupun E). Hal ini sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, seperti kurangnya penyediaan air bersih, pembuangan air limbah dan sampah yang tidak saniter, kebersihan perorangan dan sanitasi yang buruk.

C. PERILAKU BERISIKO1

Risiko tinggi terhadap Hepatitis A dan Hepatitis E, terdapat pada :

 Orang yang mengunjungi atau tinggal di negara endemis Hepatitis A dan Hepatitis E.

 Tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang buruk (penyediaan air minum dan air bersih, pembuangan air

BAB VIII

PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN

DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS

A. PUSAT

1. Membuat pedoman dan rumusan kebijakan teknis pelaksanaan pengendalian Hepatitis secara berjenjang dari Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas.

2. Penyediaan stock dan pendistribusian logistik Hepatitis pada wilayah yang membutuhkan.

3. Melakukan diseminasi informasi bagi pihak dan instansi terkait di tingkat pusat dan daerah.

4. Membangun jejaring kerja dengan lintas program dan lintas sektor baik di pusat maupun daerah.

5. Melakukan kajian pengendalian Hepatitis dari kegiatan yang telah ada baik di dalam maupun diluar negeri.

6. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengendalian Hepatitis.

7. Memberikan umpan balik hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pada daerah uji coba dan replikasi.

B. UPT PUSAT (BBTKL, BTKL, KKP)

1. Sebagai pelaksana teknis pengendalian Hepatitis tingkat pusat di daerah.

2. Berkoordinasi dengan Subdit Diare & ISP dalam upaya pengendalian Hepatitis

3. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya pengendalian Hepatitis di daerah.

(23)

limbah, pengelolaan sampah, pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat).

 Personal hygiene yang rendah antara lain: penerapan PHBS masih kurang, cara mengolah makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Risiko tinggi terhadap Hepatitis B, terdapat pada:

 Anak yang dilahirkan dari ibu penderita Hepatitis B.  Pasangan Penderita Hepatitis B.

 Orang yang sering berganti pasangan sex.  MSM (Man Sex Man).

IDUs (Injection Drug User).

 Kontak serumah dengan penderita.  Penderita hemodialisis.

 Pekerja kesehatan, petugas laboratorium.

 Berkunjung ke wilayah dengan endemisitas tinggi. Risiko tinggi terhadap Hepatitis C terdapat pada :  Pengguna jarum suntik tidak steril (tato, tindik).  Pengguna obat obatan terlarang dengan cara injeksi.

 Pekerja yang berhubungan dengan darah dan produk darah penderita VHC.

 Penderita HIV.

 Bayi yang lahir dari ibu penderita VHC.

Risiko tinggi terhadap Hepatitis D terdapat pada :

 Orang yang kontak langsung dengan darah penderita Hepatitis D.

D. SOSIAL EKONOMI

Daerah dengan tingkat sosial ekonomi penduduk yang rendah, mempunyai sanitasi lingkungan yang rendah pula. Pola penularan Hepatitis A dan Hepatitis E yang melalui oro-fecal sangat dipengaruhi kualitas sanitasi lingkungan setempat,

(24)

2 Sulaiman, Ali 3 Sulaiman, Ali

sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis dan atau daerah dengan kualitas sanitasi yang rendah akan mempunyai risiko lebih besar untuk menderita Hepatitis A maupun Hepatitis E. Studi yang dilakukan oleh FKUI2 di Jakarta

menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor risiko Hepatitis B dan Hepatitis C, yang ditandai dengan hasil pemeriksaan HBsAg (+) (OR 18.09; 95% CI 2.35-139.50). Hal lain yang dapat diketahui adalah bahwa penduduk kelompok ras chinese mempunyai risiko 2.97 lebih tinggi untuk terinfeksi VHB dibandingkan dengan kelompok ras melayu (OR 2,97 ; 95% CI 1,22-7,83).

Dari suatu studi yang dilakukan di Korea3 dapat diketahui bahwa

pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi menengah dan atas mempunyai kecenderungan obesitas karena pola makan yang salah. Obesitas memberikan kontribusi yang nyata pada perkembangan penyakit kronis (salah satunya Hepatitis B dan Hepatitis C) menjadi liver cirrhosis.

E. LANDASAN HUKUM

Landasan hukum yang mendasari kegiatan dalam pengendalian Hepatitis ini lihat Bab I point D.

F. ANALISIS S-W-O-T

(STRENGTH-WEAKNESS-OPPORTUNITY-THREAT)

Dalam rangka melaksanakan Pengendalian Hepatitis di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah, kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat), tentang kemungkinan terlaksananya Program Pengendalian Hepatitis ini.

1. Kekuatan

a. Peraturan perundang-undangan yang mendukung dan mendasari terlaksananya program Pengendalian Hepatitis.

2. Daerah

Untuk pengadaan logistik dapat menggunakan dana dari APBD, atau dana alokasi khusus (DAK) serta dana tugas perbantuan (TP).

(25)

b. Tersedianya sumber daya manusia kesehatan pada semua jenjang dari pusat sampai daerah.

c. Dukungan organisasi profesi, organisasi international, dan organisasi masyarakat.

2. Kelemahan

a. Sistem surveilans Hepatitis belum berjalan baik. b. Kualitas Sumber Daya Manusia masih kurang.

c. Sarana dan prasarana laboratorium di Pusat Kesehatan Masyarakat untuk penegakkan diagnosis masih sangat kurang.

3. Peluang

a. Adanya program pencegahan yang sudah berjalan yaitu Program Imunisasi (Program Imunisasi Hepatitis B Nasional) dan Promosi Kesehatan.

b. Program pengendalian faktor risiko penyakit (Penyehatan Lingkungan).

c. Program Surveilans Terpadu Penyakit (STP) di Puskesmas dan Rumah Sakit.

4. Ancaman

a. Adanya perubahan iklim secara global yang mempengaruhi agent, seperti terjadinya mutasi dari jenis virus tertentu.

b. Kualitas kesehatan lingkungan yang tidak merata (ada yang sudah baik tetapi masih banyak yang masih rendah). c. Pengetahuan masyarakat tentang Hepatitis masih kurang d. Perilaku berisiko masih banyak dilakukan oleh

masyarakat.

Situasi tersebut di atas juga mengacu pada hal-hal antara lain : 1. Hepatitis akut dan kronis tidak terlaporkan pada sistem surveilans penyakit menular sehingga tidak diketahui beban yang sesungguhnya

2. Banyak orang secara individu tidak mengetahui bahwa dirinya termasuk dalam risiko tinggi dan bagaimanana mencegah terinfeksi  Lamivudine,  Adefovir,  Entecavir,  Telbivudine,  Tenofovir.

Sedangkan obat non NA yang diberikan secara parenteral

Interferon alfa-2b yang sudah diganti oleh Peginterferon alfa-2a,

c. Hepatitis C

Pegylated interveron + Ribavirin Interferon konvensional + Ribavirin

3. Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

 Poster  Leaflet  Benner  Lembar balik  TV/radio Sport  Kaos  Topi  Buku Saku  Kipas  Payung  dll B. PENGANGGARAN 1. Pusat a. APBN b. Dekonsentrasi

c. BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) d. BLN (Bantuan Luar Negeri)

(26)

3. Kelompok risiko tinggi belum mempunyai akses untuk pelayanan pencegahan penyakit

4. Banyak orang yang telah terinfeksi dan kronis tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi

5. Banyak orang yang telah terinfeksi kronis, tidak menyadari bahwa mereka membutuhkan perubahan perilaku (gaya hidup) untuk menghindari komplikasi

6. Banyak petugas kesehatan tidak melakukan skrining pada orang-orang yang memiliki risiko tinggi atau mereka tidak/ belum tahu bagaimana penatalaksanaan orang yang terinfeksi.

7. Banyak orang yang telah terinfeksi tidak memiliki akses untuk memiliki tes, dukungan sosial (asuransi) dan pelayanan perawatan apabila tes menunjukkan yang bersangkutan terinfeksi.

G. HASIL ANALISIS S-W-O-T

Diperlukan :

1. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya perbaikan pada sistem surveilans Hepatitis yang dibutuhkan. 2. Adanya sosialisasi, advokasi pada pemangku kepentingan

baik tingkat pusat maupun daerah.

3. Adanya peningkatan KIE pada masyarakat tentang Hepatitis dan faktor risikonya.

4. Adanya pelatihan program pengendalian Hepatitis baik bagi petugas di tingkat pusat maupun di daerah.

5. Adanya suatu petunjuk teknis yang mendukung upaya tersedianya sarana dan prasarana laboratorium untuk penegakan diagnosa Hepatitis di Pusat Kesehatan Masyarakat atau Laboratorium pendukung Puskesmas.

6. Meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan dengan upaya perbaikan kualitas air minum, air bersih, pembuangan tinja,

Pemeriksaan HBV DNA dilakukan dengan metode PCR. - LFT (SGPT) : test untuk mengetahui fungsi hati

Pemeriksaan SGPT menggunakan Blood Analyzer.

 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit PCR,Elektroforesis.

c. Hepatitis C

Untuk penegakkan diagnosa diperlukan :  Test antibodi HCV

Pemeriksaan dilakukan dengan metode ELISA  Test RNA HCV

Pemeriksaan dilakukan dengan metode PCR

 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: tabung reaksi/ vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer, mesin PCR, primer, Kit PCR,Elektroforesis.

2. Penyediaan Obat a. Hepatitis A

Tidak ada obat khusus untuk Hepatitis A

b. Hepatitis B

Pada saat ini terdapat 5 macam obat untuk Hepatitis kronik yang telah disetujui oleh FDA yang termasuk dalam Nucleoside Analog (NA)

(27)

pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah dengan partisipasi masyarakat serta melibatkan lintas sektor terkait.

7. Perlu kegiatan deteksi dini pada Hepatitis yang bersifat kronis (Hepatitis B dan C).

8. Perlu dilakukan kajian-kajian yang bersifat operasional maupun klinis dalam upaya pengendalian Hepatitis.

sekali pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/ pipet skala, cryotube, masker, blood chemistry analyzer, ELISA reader, ELISA washer, real time PCR, tip mikropipet, rak tabung reaksi, torniquet karet, rotator.

Pemeriksaan penapisan dilakukan dengan metode ELISA.

 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan : tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, masker, pipet berskala/ mikropipet, tip mikropipet, sentrifuse/rotator, cryotube, kit ELISA (HBsAg, anti HBs, Anti HBc), Aquabidest, Gelas Ukur, ELISA reader dan/ELISA washer.

2) Pemeriksaan Lanjutan :

Pemeriksaan ini merupakan lanjutan pemeriksaan yang dilaksanakan bagi seseorang dengan HBsAg positif, yaitu :

- HBeAg : test untuk menetukan apakah telah terjadi replikasi (memperbanyak diri) virus

- Anti HBe: tes untuk mengetahui apakah seseorang telah mempunyai anti bodi

- HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus Hepatitis B

- LFT (ALT) : test untuk mengetahui fungsi hati - Bahan habis pakai : tabung reaksi/ vacuntainer,

kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik sekali pakai, sentrifuse, box serum, mikropipet/pipet skala, cryotube, masker, blood chemistry analyzer, ELISA reader, ELISA washer, real time PCR, tip mikropipet, rak tabung reaksi, torniquet karet, rotator.

Pemeriksaan HBeAg, anti Hbe dilakukan dengan metode ELISA.

- HBV DNA : tes untuk mengetahui jumlah virus Hepatitis B

(28)

BAB VII

SARANA DALAM PENGENDALIAN HEPATITIS

A. PERENCANAAN KEBUTUHAN

1. Reagen/Bahan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis: a. Hepatitis A

 IgM anti HAV : untuk menentukan diagnosis Hepatitis A. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan

Rapid Test Diagnostic (RDT).

Pemeriksaan VHA : untuk memeriksa faktor risiko lingkungan terutama air tentang adanya Virus Hepatitis A (VHA).

 Bahan dan alat yang digunakan unuk pemeriksaan: Tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, masker, jarum suntik sekali pakai, torniquet karet, pipet berskala/mikropipet, tip mikropipet,

Rapid Test Diagnostic (RDT), Sentrifuse/rotator, botol

steril untuk tempat menampung sampel air.

b. Hepatitis B

1) Penapisan dengan test HBsAg test, anti HBs dan anti HBc

 HBsAg : test untuk menentukan seseorang pernah terinfeksi virus Hepatitis B.

 Anti HBs : test untuk menentukan seseorang telah mempunyai kekebalan terhadap Virus Hepatitis B.

 Anti HBc : test untuk menentukan seseorang telah mempunyai kekebalan (adanya replikasi inti sel) terhadap Virus Hepatitis B.

 Bahan habis pakai : tabung reaksi/vacuntainer, kapas, alkohol, sarung tangan, jarum suntik

(29)

BAB III

HEPATITIS AKIBAT VIRUS

Hepatitis adalah peradangan pada hati yang disebabkan oleh berbagai sebab seperti bakteri, virus, proses autoimun, obat-obatan, perlemakan, alkohol dan zat berbahaya lainnya.

Bakteri, virus dan parasit merupakan penyebab infeksi terbanyak, diantara penyebab infeksi tersebut. Infeksi karena virus Hepatitis A, B, C, D atau E merupakan penyebab tertinggi dibanding penyebab lainnya, seperti mononucleosis infeksiosa, demam kuning atau sitomegalovirus. Sedangkan penyebab Hepatitis non virus terutama disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan.

A. HEPATITIS A 1. Etiologi

Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis A (VHA), termasuk famili picornaviridae berukuran 27 nanometer, genus hepatovirus yang dikenal sebagai enterovirus 72, mempunyai 1 serotype dan 4 genotype, merupakan RNA virus. Virus Hepatitis A bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap empedu. Virus ini diketahui dapat bertahan hidup dalam suhu ruangan selama lebih dari 1 bulan. Pejamu infeksi VHA hanya terbatas pada manusia dan beberapa binatang primata. Virus dapat diperbanyak secara in vitro dalam kultur sel primer monyet kecil atau secara invivo pada simpanse.

2. Cara Penularan

Virus Hepatitis A ditularkan secara fecal-oral. Virus ini masuk kedalam saluran pencernaan melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja penderita VHA. Virus kemudian masuk ke hati melalui peredaran darah untuk selanjutnya 2). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok risiko

tertentu.

Evaluasi berkala setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali baik manajemen maupun klinis dengan mengadakan pertemuan.

(30)

menginvasi sel-sel hati (hepatosit), dan melakukan replikasi di hepatosit. Jumlah virus yang tinggi dapat ditemukan dalam tinja penderita sejak 3 hari sebelum muncul gejala hingga 1-2 minggu setelah munculnya gejala kuning pada penderita. Ekskresi virus melalui tinja pernah dilaporkan mencapai 6 bulan pada bayi dan anak. Sebagian besar kasus kemungkinan tidak menular lagi pada minggu pertama setelah ikterus. Ekskresi kronis pada VHA tidak pernah terlaporkan

Infeksi Hepatitis A sering terjadi dalam bentuk Kejadian Luar biasa (KLB) dengan pola common source, umumnya sumber penularan berasal dari air minum yang tercemar, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, dan sanitasi yang buruk. Selain itu, walaupun bukan merupakan cara penularan yang utama, penularan melalui transfusi atau penggunaan jarum suntik bekas penderita dalam masa inkubasi juga pernah dilaporkan.

3. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat bervariasi dan bersifat tidak spesifik. Demam, kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan gangguan pencernaan (mual, muntah, kembung) dapat ditemukan pada awal penyakit. Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita dapat mengalami gejala kuning disertai gatal (ikterus), buang air kecil berwarna seperti teh, dan tinja berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia dibawah 5 tahun umumnya tidak memberikan gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan memberikan gejala ikterus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, gejala yang muncul biasanya lebih berat dan ikterus terjadi pada lebih dari 70% penderita.

4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi 15-50 hari, rata-rata 28-30 hari.

3. Cara Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis data yang berasal dari hasil pemantauan atau laporan rutin yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam evaluasi ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan atau bimbingan kepada pengelola program Hepatitis, agar kegiatan program Pengendalian Hepatitis dapat dilaksanakan sesuai rencana dan memberikan dampak seperti yang diharapkan.

a. Analisa Data Rutin.

Dari hasil rekapitulasi data rutin di sarana kesehatan, setiap tahun didapatkan:

1). Cakupan penemuan HBsAg positif pada kelompok berisiko yang melakukan deteksi dini.

2). Cakupan skrining pada populasi dengan prevalensi tinggi (HBsAg positif >8 %) dimana telah ditetapkan jumlah/persentase target skrining.

3). Cakupan Pelayanan:

a). Jumlah penderita Hepatitis B yang diobati.

b). Persentase penderita Hepatitis B yang selesai diobati (succes rate).

b. Analisa data hasil Pemantauan/Supervisi Untuk mendapatkan gambaran tentang: 1). Cakupan penemuan kasus Hepatitis. 2). Cakupan Pelayanan.

3). Pengetahuan petugas kesehatan tentang Pengendalian Hepatitis.

c. Analisa Hasil Kajian Khusus Untuk mendapatkan gambaran:

1). Angka prevalensi Hepatitis pada kelompok usia >15 tahun.

(31)

5. Diagnosis

Disamping gejala dan tanda klinis yang kadang tidak muncul, diagnosis Hepatitis A dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan IgM-antiVHA serum penderita.

6. Pencegahan

Hepatitis A memang seringkali tidak berbahaya, namun lamanya masa penyembuhan dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial. Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksanaan Hepatitis A, tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan. Pencegahan Hepatitis A dapat dilakukan baik dengan pencegahan non-spesifik (perubahan perilaku) maupun dengan pencegahan spesifik (imunisasi).

6.1. Pencegahan Non-Spesifik

Perubahan perilaku untuk mencegah Hepatitis A terutama dilakukan dengan meningkatkan sanitasi. Petugas kesehatan bisa meningkatkan hal ini dengan memberikan edukasi yang sesuai, antara lain:

a. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) secara benar pada 5 saat kritis, yaitu:

1. sebelum makan

2. sebelum mengolah dan menghidangkan makanan 3. setelah buang air besar dan air kecil

4. setelah mengganti popok bayi 5. sebelum menyusui bayi

b. Pengolahan makanan yang benar, meliputi: 1. Menjaga kebersihan

 Mencuci tangan sebelum memasak dan keluar dari toilet

 Mencuci alat-alat masak dan alat-alat makan  Dapur harus dijaga agar bersih

j. Surveilans Epidemiologi

 Laporan Sistem Terpadu Penyakit (STP) yang dilakukan setiap bulan (untuk puskesmas dan Rumah sakit)

 SKD KLB, khususnya Hepatitis A dan Hepatitis E (bila ada)

k. Promosi Kesehatan

Kegiatan Advokasi, Bina suasana, Gerakan pemberdayaan masyarakat dan ketersediaan media KIE.

4. Alat Pemantau

Menggunakan formulir isian dan wawancara.

5. Cara pemantauan

Pemantauan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petugas dan memantau catatan atau laporan yang ada di setiap jenjang administrasi yaitu Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas. Bila dalam pemantauan ditemukan masalah, maka berikan saran pemecahan atau bimbingan kepada pengelola program Hepatitis, agar kegiatan program Hepatitis dapat dilaksanakan sesuai rencana.

B. EVALUASI 1. Pengertian

Evaluasi adalah suatu kegiatan penilaian terhadap hasil pelaksanaan program dalam kurun waktu tertentu.

2. Tujuan

Mengetahui hasil kegiatan pengendalian penyakit Hepatitis, permasalahan yang ada dan untuk perencanaan kegiatan pada tahun yang akan datang.

(32)

2. Memisahkan bahan makanan matang dan mentah  Menggunakan alat yang berbeda untuk keperluan

dapur dan untuk makan

 Menyimpan bahan makanan matang dan mentah di tempat yang berbeda

3. Memasak makanan sampai matang

 Memasak makanan pada suhu minimal 85 0C,

terutama daging, ayam, telur, dan makanan laut  Memanaskan makanan yang sudah matang

dengan benar

4. Menyimpan makanan pada suhu aman

 Jangan menyimpan makanan pada suhu ruangan terlalu lama

 Memasukan makanan yang ingin disimpan ke dalam lemari pendingin

 Jangan menyimpan makanan terlalu lama di lemari pendingin

5. Menggunakan air bersih dan bahan makanan yang baik

 Memilih bahan makanan yang segar (belum kadaluarsa) dan menggunakan air yang bersih  Mencuci buah dan sayur dengan baik

6. Membuang tinja di jamban yang saniter  Menyediakan air bersih di jamban

 Memastikan sistem pendistribusian air dan pengelolaan limbah berjalan dengan baik

6.2. Pencegahan Spesifik (Imunisasi)

Pencegahan spesifik Hepatitis A dilakukan dengan imunisasi. Proses ini bisa bersifat pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan Imunoglobulin. Tindakan ini dapat memberikan perlindungan segera tetapi bersifat sementara. Imunoglobulin diberikan segera setelah kontak atau untuk pencegahan sebelum kontak dengan 1 dosis secara intra-muskular. Efek proteksi dapat dicapai bila Imunoglobulin diberikan dalam waktu 2 minggu setelah terpajan.

 Jumlah penderita yang mendapat pengobatan lengkap (HBeAg negatif dan HBV DNA <104 dan

dilanjutkan selama 1 tahun).

f. Upaya pencegahan yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan masyarakat.

g. Pengelolaan logistik sebagai sarana penunjang program. Ketersediaan logistik Hepatitis meliputi kecukupan akan kebutuhan logistik, pengadaan, penyimpanan dan distribusi.

h. Cakupan penemuan kasus dan prevalensi

Dalam kegiatan tatalaksana Hepatitis, hal-hal yang akan dipantau adalah:

 Penetapan sasaran skrining penderita Hepatitis virus yang dilayani di Puskesmas dan menjalani pengobatan lengkap selama 1 tahun.

 Jumlah penderita HBsAg positif yang terjaring. i. Penyelidikan Epidemiologi saat KLB ( khususnya

Hepatitis A dan E)

 Penegakkan diagnosis KLB  Penanggulangan KLB

 Pemutusan rantai penularan,  Menegakkan diagnosis

 Mengidentifikasi penyebab KLB

 Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, orang dan tempat,

 Mengidentifikasi sumber dan cara penularan,  Mengidentifikasi populasi rentan

 Jumlah penderita Hepatitis virus (Hepatitis A,B dan C)

 Jumlah penderita yang dirujuk dengan suspek Hepatitis A

 Jumlah penderita yang dirujuk dengan HBsAg positip  Jumlah penderita dengan suspek Hepatitis C

 Jumlah penderita yang mendapatkan pengobatan (Hepatitis B dan C)

(33)

Imunisasi aktif, memberikan efektifitas yang tinggi pada pencegahan Hepatitis A. Vaksin dibuat dari virus yang diinaktivasi (inactivated vaccine). Vaksin ini relatif aman dan belum ada laporan tentang efek samping dari vaksin kecuali nyeri ditempat suntikan. Vaksin diberikan dalam 2 dosis dengan selang 6 – 12 bulan secara intra-muskular didaerah deltoid atau lateral paha.

7. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar

a. Pengobatan: tidak spesifik, utamanya meningkatkan daya tahan tubuh (istirahat dan makan makanan yang bergizi), rawat inap hanya diperlukan bila penderita tidak dapat makan dan minum serta terjadi dehidrasi berat

b. Disinfeksi serentak terhadap bekas cairan tubuh dari penderita

c. Isolasi tidak diperlukan

d. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh penderita

e. Pencatatan dan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku (STP dan SIRS)

B. HEPATITIS B 1. Etiologi

Penyebab penyakit adalah virus Hepatitis B (VHB) yang termasuk famili Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42 nm). Virus Hepatitis B merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A–H. VHB memiliki 3 jenis morfologi dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg. Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia bisa juga menginfeksi simpanse. Virus dari Hepadnavirus bisa juga ditemukan pada bebek, marmut dan tupai tanah, namun virus tersebut tidak bisa menginfeksi manusia.

2. Cara Penularan

Virus Hepatitis B dapat ditemukan pada cairan tubuh penderita seperti darah dan produk darah, air liur, cairan e. Penanganan kasus sesuai standar

Tata laksana khususnya Hepatitis B, memerlukan serangkaian pemeriksaan untuk memutuskan apakah penderita tersebut perlu diobati atau belum/tidak perlu, tetapi cukup dipantau secara berkala.

Yang dapat dilaksanakan di tingkat Puskesmas adalah pemeriksaan awal untuk menentukan apakah orang tersebut penderita Hepatitis B dengan melakukan pemeriksaan laboratorium ( HBsAg), dan Puskesmas lebih berperan dalam sistim rujukan. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui :

1) Puskesmas

 Petugas mampu mendiagnosis Hepatitis klinis dan merujuk

 Puskesmas mampu melakukan tes serologi Hepatitis A, B (Puskesmas Sentinel)

2) Rumah Sakit :

 Petugas mampu mendiagnosa (Hepatitis A, B,C, D dan E)

 Sarana Laboratorium untuk tes serologi Hepatitis A, B, C, D dan E

3) Surveilans epidemiologi Hepatitis. Hepatitis A dan E

 Pelaksanaan SKD.

 Pencatatan, pelaporan, analisa dan diseminasi data.

 Penanggulangan KLB.

 Jumlah penderita Hepatitis klinis.

 Jumlah penderita dengan IgM VHA positif. Hepatitis B

 Jumlah penderita dengan HBsAg positif.  Jumlah penderita HBsAg positif yang dirujuk.  Jumlah penderita HBsAg positif yang mendapat

pengobatan maupun yang tidak.

 Jumlah penderita yang mendapat pengobatan dan drop out.

(34)

serebrospinalis, peritonea, pleural, cairan amniotik, semen, cairan vagina dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak semuanya memiliki kadar virus yang infeksius. Secara umum, penularan bisa terjadi secara vertikal maupun horizontal. Untuk saat ini, penularan VHB yang utama diduga berasal dari hubungan intim dan transmisi perinatal. Transmisi horizontal adalah penularan dari satu individu ke individu lainnya. Selain lewat hubungan seksual tidak aman, transmisi horizontal Hepatitis B juga bisa terjadi lewat penggunaan jarum suntik bekas penderita Hepatitis B, transfusi darah yang terkontaminasi virus Hepatitis B, pembuatan tato, penggunaan pisau cukur, sikat gigi, dan gunting kuku bekas penderita Hepatitis B. Sementara itu, berpelukan, berjabatan tangan, atau berciuman dengan penderita Hepatitis B belum terbukti mampu menularkan virus ini.

Penularan secara vertikal adalah penularan yang terjadi pada masa perinatal yaitu penularan dari ibu kepada anaknya yang baru lahir, jika seorang ibu hamil karier Hepatitis B dan HBeAg positif maka bayi yang di lahirkan 90% kemungkinan akan terinfeksi dan menjadi karier juga. Kemungkinan 25% dari jumlah tersebut akan meninggal karena Hepatitis kronik atau kanker hati. Transmisi perinatal ini terutama banyak terjadi di negara-negara Timur dan negara berkembang. Infeksi perinatal paling tinggi terjadi selama proses persalinan dan diduga tidak berhubungan dengan proses menyusui

3. Tanda dan gejala

Seseorang yang terinfeksi VHB bisa mengalami Hepatitis B akut. Penderita yang mengalami Hepatitis B akut akan mengalami gejala prodromal yang sama dengan Hepatitis akut umumnya, yaitu kelelahan, kurangnya nafsu makan, mual, muntah, dan nyeri sendi. Gejala-gejala prodromal ini akan membaik ketika peradangan hati, yang umumnya ditandai dengan gejala kuning timbul. Walaupun begitu, 70% penderita Hepatitis akut ternyata tidak mengalami kuning. Sebagian dari penderita Hepatitis B akut lalu akan mengalami kesembuhan spontan, sementara sebagian lagi akan berkembang menjadi Hepatitis B kronik. Kemungkinan

BAB VI

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

HEPATITIS VIRUS

A. PEMANTAUAN 1. Pengertian

Pemantauan adalah kegiatan mengamati atas hasil pelaksanaan kegiatan Pengendalian Hepatitis secara berjenjang dan berkesinambungan (Propinsi, Kabupaten/ Kota dan Puskesmas).

2. Tujuan

a. Mengetahui komitmen penentu kebijakan dalam program pengendalian Hepatitis

b. Memberikan bimbingan dalam pengelolaan program Hepatitis virus di wilayah kerja masing-masing.

c. Memberikan umpan balik atau alternatif pemecahan masalah yang ditemukan pada saat pemantauan.

3. Kegiatan yang dipantau

a. Advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.  Dilakukan secara bertahap

 Diutamakan daerah yang memiliki komitmen

b. Sosialisasi dan edukasi tentang pengendalian Hepatitis kepada petugas kesehatan terkait.

 Peningkatan pengetahuan petugas tentang Hepatitis virus

c. Promosi kesehatan kepada masyarakat melalui media komunikasi baik cetak maupun elektronik.

 Penyediaan media KIE d. Deteksi dini

 Daerah yang telah melakukan kegiatan deteksi dini  Petugas mampu laksana deteksi dini

(35)

menjadi Hepatitis B kronik ini menurun seiring bertambahnya usia saat terinfeksi, pada neonatus kemungkinan menjadi kronis mencapai 90% dan pada orang dewasa 5%. Hepatitis kronis umumnya tidak menimbulkan gejala apa-apa. Sekitar 0,1-0,5% penderita dengan Hepatitis akut akan berkembang menjadi Hepatitis fulminan. Penyebab dan faktor risiko Hepatitis fulminan ini sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas.

4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi VHB berkisar antara 30–180 hari dengan rata-rata 60–90 hari. Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus yang ada dalam tubuh penderita, cara penularan dan faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan faktor penting yang berhubungan dengan keparahan akut atau kronik Hepatitis B.

5. Diagnosis

Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. Pada infeksi akut, antibodi terhadap HBcAg adalah yang paling pertama muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg serum. Bila penderita mengalami kesembuhan spontan setelah Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi HBsAg dan HBeAg, yang ditandai kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum sementara anti-HBs dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum penderita. Pada penderita dengan Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa untuk memantau perjalanan penyakit. Pada beberapa jenis virus mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di serum walaupun proses peradangan hati masih terjadi dan kadar DNA VHB serum masih tinggi.

6. Pencegahan

Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi Hepatitis B bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik.

menjadi sirosis atau kanker hati, seringkali tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak mengalami penurunan kemampuan bekerja. Maka penyakit Hepatitis B seharusnya tidak menghambat hak seseorang untuk bekerja atau bersekolah. Sayangnya pada prakteknya seringkali didapatkan diskriminasi terhadap orang yang sudah diketahui memiliki status Hepatitis B (+). Kebanyakan diskriminasi ini disebabkan kurangnya pengetahuan publik mengenai Hepatitis B. Alasan yang umum yang dikemukakan adalah ketakutan akan risiko penularan di tempat kerja dan ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk bekerja dengan normal. Kedua hal ini sebenarnya kurang relevan untuk dijadikan alasan, mengingat infeksi Hepatitis B hanya bisa terjadi melalui kontak cairan tubuh yang jarang sekali terjadi pada hampir segala jenis pekerjaan dan sifat Hepatitis B yang tanpa gejala sampai timbul komplikasi. Walaupun begitu, beberapa penyesuaian juga harus dilakukan pada penderita Hepatitis B. Penderita tidak diperbolehkan bekerja dengan pajanan tinggi benda-benda yang bersifat hepatotoksik (pekerja pabrik cat atau bahan kimia lain). Alasan lain untuk tidak mempekerjakan penderita Hepatitis B adalah masalah asuransi. Untuk masalah ini, keputusan penerimaan akan dibuat kebijakan khusus yang tidak merugikan dan melindungi penderita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Penderita Hepatitis B juga harus mendapat akses yang seluas-luasnya untuk pendidikan dalam bidang apapun. Untuk menghapus perbedaan perlakuan pada penderita Hepatitis B, beberapa langkah konkret harus segera diambil. Langkah-langkah ini mencakup penyuluhan kepada pihak-pihak pemberi kerja, sekolah, maupun universitas mengenai Hepatitis B, dan koordinasi dengan pembuat-pembuat keputusan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak penderita Hepatitis B di Indonesia.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam tahap pelaksanaan PKL di Koperasi Swakarya BRI, praktikan ditempatkan di bidang usaha jasa pengurusan, yaitu bidang usaha yang melayani jasa pengurusan

Pemanfaatan tanah komunal harus melibatkan simantek kuta (tetua adat) sebagai orang yang dianggap paling mengerti mengenai tanah komunal di kabupaten karo

Pada residu umur 14 hari tampak aktivitas residu insektisida alami dan sintetik turun mencolok, sedangkan aktivitas residu kedua perlakuan formulasi ekstrak

Data-data dalam poliklinik Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) menggunakan kertas dan pulpen dengan disimpan pada meja petugas rekam medik, hal ini bisa menyebabkan

Başlan­ gıçta samadhi sırf oluştan veya varoluştan ibaretmiş gibi gelebilir, fakat samadhi’ye eriştiğinizde siz de onun çok daha farklı olduğunu

KEDUA : Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good breeding practice) sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU merupakan pedoman bagi pembibit sapi perah dalam menghasilkan

Sitti Aida Adha Taridala, M.Si... Saediman,

JALAN RAYA DESA PRINGGOBOYO RT.003 RW.001 KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN..