Palinggih Dewa Dalem Sebagai Wahana Penyungsungan Anak
Kembar Di Desa Songan
(Belajar Sejarah Di SMA)
I Nengah Dodong, Dr. Luh Putu Sendratari, M.Hum, Dr. Tuty Maryati, M.Pd Jurusan Pendidikan Sejarah
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail : {boys.dodong@gmail.com, Lpsendra@yahoo.co.id. tuti.maryati@undiksha.ac.id}@undiksha.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Sejarah Pendirian Palinggih Dewa Dalem Sebagai Bentuk Penyungsungan Anak Kembar, (2) Struktur Dan Fungsi Palinggih Dewa Dalem Sebagai Bentuk Pemujaan Anak Kembar (3) Apek-Aspek Pendirian Palinggih Dewa Delem Di Desa Songan Dapat Dijadikan Sumber Belajar Sejarah Di SMA. Penelitian ini menggunakan metode deskritif kualitatif yaitu : (1)Metode Penentuan Lokasi Penelitian, (2) Metode Penentuan Informan, (3) Metode Pengumpulan Data, (4) Validitas atau Teknik Keabsahan Data dan (5)Teknik Analisis Data. Hasil penelitian menunjukan bahwa, sejarah berdirinya Palinggih Dewa Dalem di Desa Songan, Bangli, Bali berawal dari sebuah kerajaan jaman dahulu yang dipimpin oleh seorang raja kembar yang bernama raja Masula-Masuli, raja ini merupakan raja kembar (kembar buncing). Struktur dan fungsi Palinggih Dewa Dalem ini menggunakan konsep Dwi Mandala yang terdiri dari Nista Mandala (Jaba Sisi), dan Utama Mandala (Jaroan) dan juga dan juga struktur Palinggih Dewa Dalem memiliki 2 model yaitu Struktur Palinggih Dewa Dalem model lama dan struktur Palinggih Dewa Dalem model baru. Apek-Aspek Pendirian Palinggih Dewa Dalem Di Desa Songan Dapat Dijadikan Sumber Belajar Sejarah Di SMA antara lain: aspek religius, aspek sejarah (historis ), aspek estetika, dan aspek sosial.
Kata Kunci : Sejarah, Struktur Fungsi, Sumber Belajar
Abstract
The goals of this research are : (1)for the history of the building of Palinggih Dewa Dalem as a form of worship twins children (2) for the Structure and function of Palinggih Dewa Dalem as a form of worship of twins children (3) the aspects of building of Palinggih Dewa Dalem in Songan can be the source of history in high school. This research uses qualitative descriptive method that is: (1) Method of Determination of Research Location, (2) Informant Determination Method, (3) Data Collection Method, (4) Validity or Data Validity technic and (5) Data Analysis technic. The results showed that, the history of the establishment Palinggih Dewa Dalem di Desa Songan, Bangli, Bali Originated from an ancient kingdom led by a twin king named Masula-Masuli king, this king is the king of twins (twins buncing). the structure and funtion of this Palinggih Dewa Dalem are using concept Dwi Mandala which is devided by nista mandala (jaba sisi) and utama mandala (jeroan) And also the structure structure Palinggih Dewa Dalem old design and structure structure Palinggih Dewa Dalem new design.The aspect of building the Palinggih Dewa Dalem in Songan can be saurce in study in high school is: religious aspect, historical aspect, esthetical aspect and sosial aspect.
PENDAHULUAN
Bali merupakan pulau dengan mayoritas penduduk beragama Hindu yang dimana sistem pemujaan umat Hindu di Bali sebagai suatu implementasi konsep Hindu berdasarkan Tri Hita Karana. Dalam sistem pemujaan terhadap tuhan dan dewa pitara atau roh leluhur. Sistem pemujaan umat Hindu di Bali sebagai perujudan sikap hidup yang sehimbang antara berbakti kepada tuhan, mengembangkan sistem sosial yang harmonis dan melestarikan alam lingkungan (Wiana,2007:55).
Pemujaan pada Tuhan bagi umat Hindu di Bali juga berfungsi untuk menata sistem sosial agar sistem sosial tersebut dapat menjadi wadah kehidupan bersama yang harmonis dinamis dan produktif. Pemujaan dalam rangka menata sistem sosial itu menimbulkan adanya empat jenis Pura yaitu: Pura Kawitan,Pura Kayangan
Desa, Pura Kahyangan Swagini, dan Pura Kayangan Jagat, (Wiana, 2007:55-63).
Selain banyak memiliki berbagai jenis pura sebagai pemujaan, Bali juga di kenal dengan berbagai tradisi salah satunya yang ada di desa Songan tradisi pemujaan yang sangat unik yang dilakukan oleh umat hindu di Bali khususnya di desa Songan, Bangli, Bali yaitu Palinggih Dewa Dalem sebagai wahana Penyungsungan anak kembar. Bilamana ada orang yang melahirkan anak kembar (manak salah) masyarakat yang bersangkutan (pihak keluarga yang memiliki anak kembar ) maka diwajibkan dibuatkan upacara penyucian bhuana alit dan penyucian pada bumi/bhuana agung. Keunikan dari tradisi anak kembar dibuatkan palinggih di Desa Songan, Bangli, Bali. Kita bisa lihat jika ada anak kembar di daerah lain tidak dibuatkan
Palinggih tapi di Desa Songan dibuatkan palinggih.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengenalkan tradisi lokal khususnya
Palinggih Dewa Dalem sebagai Wahana
Penyungsungan Anak Kembar di Desa Songan adalah dengan memasukan sebagai sumber pembelajaran sejarah di sekolah khususnya sumber pembelajaran sejarah di SMA yaitu SMAN 1 Kintamani.
Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran sejarah di SMA masih belum mengenalkan materi tentang kebudayan-kebudayaan lokal dalam materi pembelajaran. Yang mana dalam buku sejarah SMA kelas X (Sejarah Kajian Kehidupan Masyarakat) dalam kajian materinya masih belum menyelipkan tentang kebudayaan lokal dalam isi materinya yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembelajaran sejarah. Hal ini didukung pada silabus mata pelajaran sejarah di SMA kelas X yakni KD : Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa Praaksara dan aksara. Materi pokok yang dapat dikaitkan terhadap tradisi yaitu melestarikan Palinggih Dewa Dalem
sebagai Wahana Penyungsungan Anak Kembar yaitu tradisi masyarakat masa pra sejarah (silabus mata pelajaran sejarah di SMA kelas X, kurikulum KTSP). Dalam penelitian ini, SMA Negeri 1 Kintamani dijadikan lokasi penelitian karena SMA Negeri 1 Kintamani merupakan salah satu SMA yang terletak di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli.
Penelitian tentang tradisi di Bali sudah banyak yang dilakukan sebelumnya seperti
yang dilakukan oleh Ni Nengah Sariasih (2016) yang mengkaji “Tradisi Makandal
dalam Upacara Pernikahan di Desa
Pakraman Songan, Kintamani, Bangli”, dan Nonok Riyanti (2014) juga mengkaji “Tadisi Ngrekes di Desa Pakraman dan ada
pemujaan terhadap Muntigunung, Kubu, Karangasem Bali (Latar Belakang, Sistem Ritual dan Potensi Nilai-Nilainya Sebagai Media Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah di SMA)” dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, Sebagai berikut:
1.2.1 Mengapa masyarakat Desa Songan mendirikan Palinggih Dewa Dalem sebagai bentuk penyungsungan
kelahiran anak kembar ?
1.2.2 Bagaimanakah struktur dan fungsi
Palinggih Dewa Dalem sebagai
1.2.3 Aspek apakah pendirian Palinggih
Dewa Dalem di Desa Songan dapat
dijadikan sumber belajar sejarah di SMA?
Dari rumusan masalah di atas adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.3.1 Untuk mengetahui Mengapa
masyarakat Desa Songan
mendirikan Palinggih Dewa Dalem sebagai bentuk penyungsungan kelahiran anak kembar
1.3.2 Untuk mengetahui Bagaimana struktur dan fungsi Palinggih Dewa
Dalem sebagai bentuk pemujaan
terhadap anak kembar
1.3.3 Untuk mengetahui Aspek apakah pendirian Pelinggih Dewa Dalem di Desa Songan dapat dijadikan sumber belajar sejarah di SMA Beranjak dari rumusan masalah yang dibuat dan tujuan penelitian yang di ingin dicapai manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran tentang Tradisi Palinggih Dewa Dalem
sebagai wahana penyungsungan anak kembar serta memberikan pengembangan
media pembelajaran sehingga bisa dipakai sebagai media pembelajaran untuk mahasiswa maupun siswa tentang sejarah kebudayaan pada khususnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu refleksi dari ilmu yang diperoleh dibangku kuliah sehingga diharapkan penelituan ini
mampu meberikan
wawasan/pengetahuan tambahan tentang arti penting pemertahanan tradisi-tradisi yang berkembang hingga saat ini.
b. Bagi peneliti lain, Bagi peneliti lain, dapat menambah wawasan dan merangsang pihak-pihak yang
berminat untuk melakukan
penelitian sejenis ataupun menelaah masalah-masalah tradisi lainnya
baik yang ada di Bangli maupun di daerah Bali lainnya.
c. Bagi sekolah, Penelitian tentang tradisi ini dapat di jadikan suatu bahan untuk mengembangakan metode-metode inovatif terutama dalam pemebelajaran sejarah di SMA.
d. Bagi Pendidik (guru), bisa dijadikan referensi dalam memberikan materi ajar yang terkait, dengan tujuan untuk memberikan sumber materi secara nyata kepada anak didik, supaya mereka lebih paham tentang mata pelajaran sejarah, yaitu tentang tradisi masyarakat di Indonesia khususnya tradisi mayarakat di Bali. Hal yang perlu dipahami disini adalah proses pewarisan nilai-nilai budaya tradisi tersebut dari generasi ke generasi berikutnya sampai saat ini dan maknanya bagi masyarakat.
e. Bagi Siswa, melalui penelitian ini diharapkan siswa dapat menambah wawasannya tentang tradisi supaya dijadikan pedoman hidup bagi siswa selain itu siswa dapat menambah wawasan tentang tentang tradisi-tradisi yang ada.
f. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memeberikan masukan yang positf dalam menentukan kebijakan khususnya tentang masalah pemertahankan tradisi yang ada, khususnya yang ada di Bali. Disamping itu juga, tradisi di Bali merupakan identitas Pulau Bali itu sendiri. Sehingga melalui penelitian ini diharapkan
pemerintah mampu membuat
sebuah rancangan agar Indonesia pada umumnya merupakan satuan dari berbagai golongan yang akan dijadikan kemajuan bangsa.
g. Bagi Jurusan Pendidikan Sejarah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan dalam mengembangkan mata kuliah yang ada, terutama dapat diintegrasikan dalam mata kuliah sejarah
Landasan teori sangat penting guna memberikan landasan untuk menyusun proposisi yang akan menentukan arah penelitian. Adapun landasan teori yang digunakan adalah
Sejarah Pendirian Tempat Suci (Pura) Manusia memiliki pengetahuan dan daya nalar yang terbatas, sehingga manusia tidak bisa menembus atau melihat secara kodrat. Setiap manusia sadar selain dunia yang pana ini ada alam yang tidak tanpak dan berada di luar batas akalnya. Dunia ini adalah dunia Supranatural atau dunia alam gaib. Kekuatan yang menghuni alam gaib tersebut adalah: dewa-dewa yang baik maupun jahat makhluk-makhluk halus lainnya, seperti roh leluhur, hantu dan makhluk lain yang memiliki sifat baik dan jahat dan kekuatan sakti yang dapat bermanfaat bagi manusia dan yang dapat membawa bencana. Makhluk yang menghuni alam gaib ini tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Kesadaran manusia akan adanya makhluk halus memunculkan getaran jiwa yang bersifat relegius dan dikenal dengan istilah emosi keagamaan.Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berprilaku serba religi, berupa pekraman terhadap suatu benda, suatu benda suatu tindakan, atau suatu gagasan ( Koentjaraningrat, 1990 : 378).
Tinjauan tentang Struktur dan Fungsi Pura
Struktur Pura
Konsep pendirian tempat suci atau pura merupakan repleksi dari Bhuana Agung dalam jagat raya. Konsepsi masryarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun dari menjadi tiga bagian yang disebut Tri Loka yaitu alam bawah (bhuar loka), alam tengah (bwah
loka), dan alam atas (swah loka) (Suyasa,
1996:8). Ini tercermin pula pada struktur pura yang terdiri atas tiga halaman yakni
jaba sisi (halaman luar), jaba tengah (halam
tengah), dan jeroan (halaman dalam). Namun pada pada pura yang sederhana
memiliki dua halaman ( dwi mandala) yaitu
jaba sisi dan jeroan (Sura, 1994:64) Fungsi Pura
Secara umum Pura mempunyai fungsi
sebagai tempat melakukan
persembahyangan bagi umat Hindu. Jika ditelusuri lebih mendalam pura tidak hanya mempunyai fungsi tunggal yang sebagai tempat pemujaan, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai sarana tempat untuk pendidikan dan sosial budaya (Widaya, 2002 :69). Lebih lanjut dalam Wiana (2004) fungsi pura itu dapat dibagi menjadi tiga antara lain ; (1) sebagai pusat pendidikan, (2) fungsi sosial, (3) fungsi budaya.
Tinjauan Tentang Sumber Belajar
Sejarah Pengertian Tentang Sumber Belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada disekitar lingkungan kegiatan belajar yang fungsional dapat digunakan dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar.
Jenis dan Klasifikasi Sumber Belajar sejarah
Menurut Sardiman (2004: 53-57) jenis
sumber belajar sejarah dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu:
a. Sumber sejarah yang berupa benda (bangunan, perkakas, peralatan hidup, senjata) yang ditinggalkan oleh suatu kejadian atau peristiwa karena aktivitas manusia masa lalu sehingga sering disebut “sumber yang tertinggal” (remains).
b. Sumber sejarah tertulis (record) seperti dokumen, surat-surat, prasasti.
c. Sumber lisan (oral) seperti dokumen, hasil wawancara.
Selain itu sumber lisan juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) Sumberlisan sebagai warisan dari tradisi lisan disampaikan turun temurun dari generasi ke generasi (oral tradition), dan (2) sumber lisan yang berasal dri orang sezaman pelaku peristiwa atau saksi mata, yang disebut dengan sejarah lisan/oral
Berdasarkan mengklasifikasikan sumber sejarah di atas maka dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah yang dapat diimplementasikan kedalam media pembelajaran sejarah
Tradisi Sebagai Sumber Belajar Sejarah Namun terdapat beberapa cara yang paling tepat untuk menyampaikan suatu pembelajaran seperti tradisi masyarakat Praaksara dan Aksara. 1) Pesan (mesagges), dapat dijadikan sebagai cara untuk mentrasmisikan suatu pemblajaran dalam bentuk ide, arti, dan data dari suatu tradisi. 2) Orang (peoples) yaitu manusia yang bertindak sebagai penyimpan, pengolah, dan penyaji data. 3) Lingkungan (seting), yaitu merupakan situasi sekitar dimana pesan atau materi pembelajaran disampaikan, seperti lingkungan yang bersifat fisik (gedung sekolah, kampus, perpustakaan, laborotorium, auditorium, musium, taman) maupun lingkungan non fisik (tradisi atau kebudayaan sekitar).
METODE PENELITIAN
Metode merupakan tidak sebagai suatu sarana yang mutlak dalam penelitian, tetapi menjadi sebuah pedoman, acuan, tuntunan dalam sebuah tindakan pada suatu penelitian ilmiah (Wendra, 2009: 31). Metode penelitian yang tepat untuk penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Penelitian ini akan menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Agar lebih mudah dalam mengkaji permasalahan yang diteliti, penelitian ini menggunakan beberapa metode yang meliputi : (1) Lokasi Penelitian, (2) Teknik Penentuan Informan, (3) Metode Pengumpulan Data, (4) Validitas atau Teknik Keabsahan Data dan (5) Teknik Analisis Data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keadaan Geografi Desa Songan
Desa Songan merupakan salah satu desa yang terdapat di wilayah Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan kurang lebih 12 km, jarak dari Ibukota Kabupaten Bangli 35 Km, dan jarak dari Ibu kota Propinsi Bali 85 Km. Desa Songan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat yang dihubungkan dengan prasarana tranportasi berupa jalan aspal dalam menunjang aktifitas warga Desa Songan. Desa Songan terletak di pinggir Danau Batur yang dikelilingi oleh perbukitan yang membentang di Desa Songan. Desa songan terletak di kaki Gunung Batur, hal itu membuat keadaan tanah menjadi subur, untuk itu masyarakat Desa Songan kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai petani mengingat keadaan tanahnya yang sangat cocok untuk lahan pertanian.
Desa Songan merupakan desa yang memiliki penduduk yang sangat padat, sehingga dalam sistem pemerintahannya dibagi menjadi dua yakni Desa Songan A dan Desa Songan B. Dalam pembagian wilayah antara Desa Songan A dan Songan B belum begitu jelas. Pembagian sistem pemerintahan desa ini dilakukan semata untuk memudahkan dalam pelayanan administrasi penduduk Desa Songan. Wilayah Desa Songan berada pada ketinggian 750-900 meter di atas permukaan laut, termasuk dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 125 mm/tahun. Musim hujan berlangsung dari bulan Oktober – April dan yang terbanyak jatuh pada bulan Desember dan Januari dengan suhu udara berkisar 18C – 25C. Sejarah Palinggih Dewa Dalem Sebagai Wahana Penyungsungan Anak Kembar
Berdasarkan Hukum Adat Bali kuren atau keluarga batih yang melahirkan bayi kembar kelamin laki-laki atau perempuan disebut dengan manak salah atau kembar
buncing, dikenai sanksi, yakni diasingkan
pada suatu ruang dalam rentang waktu tertentu. Sanksi ini dikenakan karena anak kembar (manak salah) diyakini mengotori desa atau menimbulkan leteh, sebel atau
cuntaka. Masa akhir pengasingan diikuti
dengan menyelenggarakan ritual bersih desa. Berdasarkan Keputusan DPRD Bali,
Nomor 10/DPRD/1951, tertanggal 12 Juli 1951 Tradisi Manak Salah telah di hapuskan dari Sitem Hukum Adat di Bali. Adapun konsiderannya adalah sebagai berikut.
Tekait dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Tanah Bali pada zaman tersebut yang herat kaitannya dengan
manak salah. Dan pendirian palinggih
Dewa Dalem di Bali khususnya di desa Songan raja Masula-Masuli, karena raja Masula-Masuli adalah sang raja yang terlahir kembar pada saat itu.
Masula yang bergelar Dana Diraja Ketana dan Masuli yang begelar Sang Dana Dwi Ketu yang memerintah Bali pada tahun 1126 saka. Dan seterusnya digantikan oleh putranya Adi Dewa Lancana. Karena kelahiran beliau yang kembar seluruh warga penghuni istana sangat merasa senang dan sangat bahagia karena belum pernah ada di lingkungan istana ada yang bayi yang lahir kembar. Raja dan para sesepuh kerajaan menganggap peristiwa tersebut adalah anugrah dari Sang Hyang Widi Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu juga raja
Masula-Masuli tumbuh dan berkembang
selayaknya manusia pada umumnya tanpa ada kekurangan suatu apapun .
Berdasarkan wawancara dengan juta karyawan (47 th) mengatakan bahwa:
Diawali dari seorang raja zaman dahulu yang bernama Masula-Masuli, dia merupakan seorang raja kembar yang pernah memerintah Bali. Pada itu beliu pada saat itu membuat peraturan “jika ada melahirkan bayi kembar kelamin laki-laki atau perempuan disebut dengan manak
salah atau kembar buncing, dikenai sanksi,
yakni diasingkan pada suatu ruang dalam rentang waktu tertentu. Sanksi ini dikenakan karena anak kembar (manak
salah) diyakini mengotori desa atau
menimbulkan leteh, sebel atau cuntaka. Masa akhir pengasingan diikuti dengan menyelenggarakan ritual bersih desa.
Begitu pula berlaku di desa Songan sebagai daerah kekuasaan raja Masula-Masuli pada saat itu. Pada tahun 1920-an Adanya perkembangan zaman sehingga ada suatu inovasi dari pengasingan sie
kembar tidak lagi berlaku hanya saja, jika ada anak kembar di desa Songan ada yang namanya bersih desa sehingga ada sebuah upacara suapaya desa itu bersih. Dari adanya upacara untuk anak kembar itu sehingga ada bedulu-bedulu desa yang menganggap kotor dari anak kembar itu sudah dibuatkan upacara/dibersihkan sehingga sie bayi itu dianggap bersih dan dari situ bedulu-dulu desa percaya akan adanya anak kembar di desa Songan dianggap lahir dari alam kedewatan dan rekarnasi dari seorang raja zaman dahulu yaitu Masula-Masuli . Sehingga setiap orang kembar di desa Songan dibuatkan palinggih sebagai bentuk penghormatan kepada roh sie bayi itu sendiri (wawancara 01 April 2017)
Struktur dan Fungsi Palinggih Dewa Dalem
Struktur Palinggih Dewa Dalem
Struktur dari Palinggih Dewa Dalem ini Memiliki Dwi Mandala yaitu jaba sisi dan
jeroan. Dengan adanya perkembanga
jaman Palinggih Dewa Dalem memiliki perubahan, pada mulanya yang asli di jeroan hanya ada bentuk Palinggih Dewa
Dalem saja, tetapi sekarang ditambah
palinggih baru di dalamnya seperti
Padmasana.
Struktur Palinggih Dewa Model Lama Palinggih Dewa Dalem ini memiliki dwi Mandala yaitu Utama Mandala (Jeroan) dan Nista Mandala (Jaba Sisi).
A. Utama Mandala (Jeroan)
Utama Mandala atau sering
disebut jeroan. Bagian ini merupakan bagian yang paling suci (sakral`). Pada halaman Utama Mandala terdapat
palinggih Dewa Dalem Sebagai Berikut:
1. Palinggih Dewa Dalem Kembar Tiga Menurut keterangan narasumber Jero Mangku rat (55th) (Salah satu Jero Mangku Palinggih Dewa Dalem). (Wawancara tanggal 01 April 2017)
Palinggih Dewa Dalem Kembar Tiga ini
terletak di sebelah timur Utama Mandala menghadap ke selatan. Palinggih ini Masih tradisional karena masih menggunakan kayu pondasinya begitu juga dengan atapnya yang sudah berkarat terlihat udah
lama dan belum pernah direnovasi dan juga Palinggih ini mempunyai rong tiga.
Struktur Palinggih Dewa Dalem Model Baru
Struktur Palinggih ini sudah dimodif atau sudah diperbarui seperti penambahan
Palinggih yang berbeda pada Palinggih Dewa Dalem tersebut seperti Palinggih Padmasana dan bentuk bangunannya juga
sudah di perbarui.
2. Palinggih Padmasana
Pelinggih Ida Bhatara Surya/
Padmasana terletak pada bagian utama
mandala yang dibangun dengan
bahan-bahan batu bata, pasir dan semen dan bagian puncaknya menyerupai kursi singgasana raja. Bangunan Padmasana ditempatkan di sudut timur laut/kaja kangin menghadap ke arah barat laut/kelod kauh, karena bangunan padmasana ini tidak merupakan bangunan berdiri sendiri atau tunggal dan bukan merupakan bangunan pokok.
Palinggih Padmasana ini di tempatkan di areal Palinggih Dewa Dalem Menurut keterangan narasumber Jero Mangku rat (55th) (Salah satu Jero Mangku Palinggih
Dewa Dalem). (Wawancara tanggal 01
April 2017) bahwa:
Pelinggih Padmasana ini ditempatkan
di areal Palinggih Dewa Dalem ini pada tahun 1950-an dikarenakan Padmasana
sebagai simbul bhuwana agung
berdasarkan susunannya, Bedawangnala dengan kepala mendongak ke depan dan dililit oleh Naga Ananta Boga dan Naga
Basuki sebagai Anantasana menyimbulkan
segitiga adalah melambangkan bhur loka. Dalam ilmu Geologi Badawangnala adalah inti bumi yang panas dan cair serta berwarna merah. Ananta Boga merupakan simbul kulit bumi, sedang Naga Basuki sebagai simbul samudra yang memberikan kesuburan kepada semua mahluk.
3. Palinggih Kembar Buncing
Menurut keterangan narasumber Jero Mangku rat (55th) (Salah satu Jero Mangku
Palinggih Dewa Dalem). (Wawancara
tanggal 01 April 2017). Palinggih Kembar Buncing adalah apabila saat kelahin bayi kembar tersebut yang lahir terlebih dahulu
adalah bayi yang berjenis kelamin laki-laki diikuti oleh bayi yang berjenis kelamin perempuan. Bangunan dari Palinggih ini berada di sebelah timur utama mandala menghadap ke barat. Bangunan ini sudah moderen karena sudah menggunakan beton dalam struktur bangunan Palinggih
kembar buncing tersebut.
4. Palinggih Kembar Salit
Bangunan dari Palinggih ini berada di sebelah timur utama mandala menghadap ke barat. Palinggih Kembar Salit Itu dalam konsep bangunannya mirip/ sama dengan bangunan kembar buncing dan kembar sama, dimana kembar salit itu juga mempunyai 2 rong sama halnya dengan
palinggih Kembar Buncing. Kembar salit ini
merupakan anak kembar yang lahir terdahulu yaitu yang perempuannya setelah itu dilanjutkan dengan lahirnya bayi laki-lakinya. Sehingga Kemabar Salit Ini dalam proses upacaranya tidak boleh di kawinkan dikarenakan kemabar salit ini yang lahir terlebidahulu adalah perempuannya.
Ida Ratu Dalem Maspait kepercayaan
dari desa Songan Merupakan itu yang
micayang (Mempunyai) anak kembar itu
sendiri, sehingga setiap ada anak kembar khususnya di Desa Songan dibuatkan
Palinggih dan juga pembuatan palinggih
dari anak kembar sampai sekarang masih berlaku.
5. Palinggih Kembar Sama
Bangunan dari Palinggih Kembar
Sama ini berada di sebelah timur utama mandala menghadap ke barat Kembar
sama adalah bayi kembar yang lahir berjenis kelamin yang sama. Palinggih yang dibangun adalah palinggih rong dua. Menyesuaikan dengan kelahiran anak itu sendiri, bentuk bangunannya sama dengan bangunan kembar Buncing dan kembar salit.
B. Halaman Luar (Jaba Sisi) 1. Palinggih Apit Lawang
Banguanan ini terdiri dari dua buah
palinggih yang kembar, letaknya tepat
berada di depan sebelah kiri dan kanan di depan jeroan. Bangunan ini menghadap kearah selatan.
Secara niskala Apit Lawang berfungsi sebagai penjaga pintu masuk menuju ke areal utama mandala atau jeroan karena yang palinggih ini adalah Sang Hyang Kala. Kata apit lawang berasal dari dua yaitu “apit” dan “lawang”,apit berarti kembar sedangkan lawang berarti pintu. Maka dari itu Apit Lawang adalah palinggih yang kembar penjaga pintu masuk ke Utama mandala atau Jeroan.
a. Wantilan
Bangunan ini terletak di sebelah barat mengadap ke timur , Wantilan ini terletak di
jaba sisi bentuknya memanjang dengan
bangunan yang sudah sedikit modern sudah mengunakan semen, batako, dan atapnya udah menggunakan seng.
Fungsinya sebagai tempat melakukan
kegiatan untuk mempersiapkan
perlengkapan upacara seperti mejejaitan, tempat sangkepan pengemong palinggih dan juga tempat duduk dari pada
penyungsung dari pada Palinggih Dewa
Dalem karena setiap upacara yang
dilakukan di Palinggih Dewa Dalem itu lumayan sibuk disebabkan upacaranya cukup besar.
Fungsi Palinggih Dewa Dalem
Tujuan dan fungsi sebagai tempat suci yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan khusus pula ialah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi wasa serta
prabhawa-Nya untuk mendapatkan
Waranugraha. Fungsi Religius
Berdasarkan fungsi religius, maka
palinggih Dewa Dalem berfungsi sebagai
tempat persembahyangan. Upacara yang dilakukan setiap enam bulanan Bali (satu bulan Bali berumur 35 hari kalender), dibuatkan upacara yang bisa dibilang cukup besar. Tapi biasanya upacara ini ditanggung oleh “penyungsungnya” yaitu semua orang yang ikut urunan untuk merayakan upacaranya. Begitu pula yang menjadi penyungsung bukan hanya Ayah dan Ibu dari si kembar, tapi kadangkala meluas sampai ke semua kerabat dekat dari keluarga si kembar, bisa sampai misan, mindon bahkan lebih jauh
Fungsi pendidikan
Tanpa kita sadari sampai di tempat suci (palinggih) ada unsur edukasi seperti halnya kita dalam berbusana, penampilan yang bersih sikap dan tutur kata yang sopan dan tata cara persembahyangan yang benar merupakan suatu tranportasi nilai-nilai pendidikan.
Secara garis besar pendidikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendidikan
formal dan pendidikan nonformal,
pendidikan formal merupakan pendidikan yang di peroleh di sekolah, sedangkan
pendidikan nonfomal merupakan
pendidikan yang di peroleh darimana saja, keluarga maupun masyarakat. Pendidikan di masyarakat merupakan pendidikan yang sangat luas kita bisa di dapat dimana saja , salah satunya yaitu di tempat suci atau
palinggih dewa dalem di pekraman songan
ini merupakan tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan nonformal. Unsur pendidikan ini dapat dilihat seperti
mekidung, mekekawin dan dharma tula
(diskusi agama) selain itu di pelinggi Dewa
Dalem ini juga bisa digunakan sebagai
tempat belajar dalam membuat upakara seperti membuat banten.
Fungsi Sosial
Manusia adalah homo sosius yang tidak pernah lepas dari teman, manusia tidak dapat hidup sendirian dan selalu bersama-sama dengan manusia lain, manusia hanya dapat hidup dengan baik dan mempunyai arti apabila ia hidup bersama-sama manusia lainnya dalam masyarakat tidak bisa dibayangkan jika manusia hidup sendiri tanpa bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Manusia dalam kehidupan memiliki tugas dan fungsi sebagai makluk tuhan, individu dan sosial budaya yang saling berkaitan, dimana memiliki kewajiban mengabdi kepada tuhan, sehingga individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makluk sosial budaya harus berdampingan dengan orang lain dalam kehidupannya selaras saling membantu.
Begitu pula dengan palinggi Dewa
Dalem/palinggih anak kembar di pekraman
Songan di samping sebagai tempat pemujaan, palinggih ini mempunyai fungsi
sosial sekaligus sebagai sarana sosial, seperti halnya sebagai tempat ngaturang ayah ( gotong royong) di dalam ngayah tersebut tentu ada yang namanya interaksi sosial selain itu melakukan tabuh rah, di dalam tabuh rah juga orang-orang melakukan interaksi sosial pula sehingga menjalin hubungan yang harmoni
Fungsi Budaya
Di Palinggih Dewa Dalem ini juga menjadi salah satu penembangan kebudayaan, seperti halnya dengan seni suara. Seni suara biasanya dipentaskan di
palinggih dewa dalem ini pada saat upacara
berlangsung yaitu kekawin dan kekidungan.
Mekekawin dan mekidung di palinggih ini
tempatnya di jaba sisi (halaman luar). Mekekawin dan mekidung ini di tempat
palinggih Dewa Dalem di Prakaman
Songan ini pada saat upacara piodalan berlangung begitupula mengiringi persembahyangan.
Aspek Pendirian Pelingih Dewa Dalem di Desa Songan Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan di SMA
Adapun aspek-aspek yang di miliki
palinggih Dewa Dalem ini sebagai sumber
belajar kebudayaan yaitu: 1) Aspek Religius
Dengan kaitannya Palinggih Dewa
Dalem aspek religius yang didapatkan jika
di lihat dari kebiasaan masyarakat di Desa Songan bahwa anak yang lahir kembar akan dibuatkanya palinggih pada
khususnya, yang dimana palinggih tersebut dalam kaitannya dengan agama hindu bahwa hal tersebut mencerminkan sikap beragama karena palinggih tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan bagi orang yang lahir kembar. Samahalnya dengan pembuatan sebuah pura yang di yakini sebagai tempat pemujaan para dewa. Disamping hal itu aspek religius yang didapat dalam palinggih Dewa Dalem khusus untuk di Desa Songan akan di upacarai setiap enam bulan sekali (Bulan Bali) sesuai dengan hari kelahiran sang bayi. Sehingga hal ini sangat kental dengan kaitannya dalam aspek religius mengingat ada upacara di dalamnya.
2) Aspek Sejarah (Historis)
Dalam tradisi tentu memiliki alur cerita atau sejarah yang membuat kita termotivasi untuk mengetahui tradisi seperti halnya tradisi Palinggih Dewa Dalem memiliki cerita atau sejarah yang tentunya sangat menarik kita ketahui, adapun sejarahnya adalah :
Tekait dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Tanah Bali pada zaman tersebut yang herat kaitannya dengan
manak salah. Dan pendirian palinggih
Dewa Dalem di Bali khususnya di desa Songan raja Masula-Masuli, karena raja Masula-Masuli adalah sang raja yang terlahir kembar pada saat itu. Masula yang bergelar Dana Diraja Ketana dan Masuli yang begelar Sang Dana Dwi Ketu yang memerintah Bali pada tahun 1126 saka. Dan seterusnya digantikan oleh putranya Adi Dewa Lancana. Karena kelahiran beliau yang kembar seluruh warga penghuni istana sangat merasa senang dan sangat bahagia karena belum pernah ada di lingkungan istana ada yang bayi yang lahir kembar. Raja dan para sesepuh kerajaan menganggap peristiwa tersebut adalah anugrah dari Sanghyang Widi Tuhan Yang Maha Esa.
Begitu pula berlaku di Desa Songan sebagai daerah kekuasaan raja Masula-Masuli pada saat itu. Pada tahun 1920-an Adanya perkembangan zaman sehingga ada suatu inovasi dari pengasingan sie kembar tidak lagi berlaku hanya saja, jika ada anak kembar di Desa Songan ada yang namanya bersih desa sehingga ada sebuah upacara suapaya desa itu bersih. Dari adanya upacara untuk anak kembar itu sehingga ada bedulu-bedulu desa yang menganggap kotor dari anak kembar itu sudah dibuatkan upacara/dibersihkan sehingga sie bayi itu dianggap bersih dan dari situ bedulu-dulu desa percaya akan adanya anak kembar di Desa Songan dianggap lahir dari alam kedewatan dan rekarnasi dari seorang raja zaman dahulu yaitu Masula-Masuli . Sehingga setiap orang kembar di desa Songan dibuatkan palinggih sebagai bentuk penghormatan kepada roh sie bayi itu sendiri.
Berdasarkan pemaparan diatas maka tradisi Palinggih Dewa Dalem ini dapat dimanfaatkan sebagi sumber belajar sejarah. Menunjukan pada masa aksara di daerah desa Songan sudah beberapa yang memiliki anak kembar, Seperti halnya dengan Raja Masula-Masuli yang terlahir kembar yang pula Raja Masula mesuli dianggap manifestasi dari Dewa. Begitu juga masyarakat Desa Songan pada saat itu berada dalam kekuasaan Raja Masula- Masuli juga percaya akan kelahiran anak kembar sebagai manifestasi dari Dewa dan sampai sekarang kelahiran anak kembar itu di percayai sebagai Dewa sehingga dibuatkan pelinggih oleh keluarga yang memiliki anak kembar. Maka dari itu potensi sejarah yang dimiliki oleh Palinggih Dewa
Dalem dapat dijadikan sumber belajar
dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Setelah disesuaikan dengan silabus SMA kelas X dalam kurikulum KTSP maka akan ditentukan strategi pembelajaran sesuai dengan materi ini, strategi yang akan digunakan adalah ceramah berpariasi yang lebih banyak menekankan pada guru yang memberikan pembelajaran tentang sejarah.
3) Aspek Estetika
Estetika berasal dari kata aesthesis dalam bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai kata indah yang timbul melalui penerapan panca indra (Djelantik 2003: 95) Dalam hal ini palinggih Dewa Dalem mengandung unsur keindahan, hal ini dapat diperlihatkan dari seni gong (musik), , seni
makekawin maupun dalam membuat
banten dan seni ukir dalam palinggih Dewa
Dalem tersebut. Sehingga seni yang ada dalam palinggih Dewa Dalem sangat bagus untuk dipertahankan.
4) Aspek Sosial
Dalam palinggih Dewa Dalem juga dapat di lihat adanya aspek sosial dikarenakan tempat tinggal/atau rumah dibakar oleh masyarakat/warga desa dan juga Suami istri dan anaknya harus tinggal di kuburan anak-anak/setra Gandamanyit selama 42 hari (Tutug kambuhan) setelah selesai masa pengasingan barulah suami istri dan anaknya ini dibolehkan tinggal di desa lagi dalam melalui proses upacara
yang telah ditentukan oleh penghulu desa. Sehiring berjalannya waktu karena ada Peraturam HAM sehingga tradisi tersebut ada beberapa dihapuskan dan dibuatkanlah
palinggih bagi anak kembar yang lahir di
Desa Songan. Dalam proses pembuatan
palinggih tersebut di buat oleh keluarga
yang mempunyai anak kembar tersebut seperti bapak, ibu, sanak saudara (mindon,
misan dll). Hal itu menunjukan adanya
aspek sosial dalam Palinggih Dewa Dalem itu sendiri.
Dimasukannya Palinggih Dewa Dalem sebagai wahana penyungsungan anak kembar di desa Songan sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA N I Kintamani, kelas X pada program IPS ini juga didukung oleh silabus mata pelajaran sejarah SMA kurikulum KTSP (Sejarah
Kajian Kehidupan Masyarakat) yakni KD : Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa Praaksara dan aksara. Materi pokok yang dapat dikaitkan terhadap palinggih Dewa Dalem yaitu tradisi masyarakat masa sejarah.
Palinggih Dewa Dalem ini sangat baik
diterapkan dalam pembelajaran, karena dapat membantu siswa untuk mengenali tradisi yang ada di wilayah daerah setempat seperti tradisi pembuatan
palinggih bagi anak kembar yang ada di
desa Songan pada khususnya. Di Desa Songan yang dalam pelaksanaannya banyak terdapat aspek-aspek yang amat penting untuk diketahui oleh peserta didik yang nantinya dapat digunakan sebagai pedoman dalam bertindak maupun bertingkah laku.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pelinggih
Dewa Dalem didirikan pada tahun 1920-an
karena pada saat salah satu pelingsir berfikir “bayi yang sudah diupacarai berarti bayi itu bersih dan suci seperti halnya batu saja diupacarai dianggap suci dan dipercayai bayi kembar itu rekarnasi dari raja Masula-Masuli yang katanya keturunan
dewa “ sehingga dari situ di Desa Songan
jika ada soarang melahirkan bayi kembar itu harus di buatkan pelinggih sebagai suatu
kehormatan kepada roh kedewatan yang ada pada anak kembar itu sendiri.
Struktur Palinggih Dewa Dalem terdiri dari Dua Mandala yaitu utama mandala Struktur dari Palinggih Dewa Dalem ini Memiliki Dwi Mandala yaitu jaba sisi dan
jeroan. Dengan adanya perkembanga
jaman Palinggih Dewa Dalem memiliki perubahan, pada mulanya yang asli di jeroan hanya ada bentuk Palinggih Dewa
Dalem saja, tetapi sekarang ditambah
palinggih baru di dalamnya seperti
Padmasana.
Palinggih Dewa Dalem memiliki nilai
historis yang sangat penting dalam konteks sejarah sebagai salah satu palinggih yang memiliki historis yang sangat berbeda dengan yang lain sehingga sangat perlu di pahami oleh generasi muda. Dengan melakukan kunjungan dan pengamatan terhadap objek sejarah merupakan salah satu sarana untuk membekali para generasi muda untuk mengembangkan wawasan atau tentang asal-usul leluhurnya sehingga muncul motivasi dalam diri untuk berusaha meningkatkan kualitas diri, meningkatkan sumber daya manusia, setidaknya dapat menyamai kualitas leluhurnya.
Seperti pada umumnya masyarakat mengetahui fungsi palinggih itu sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspeknya. Jika ditelusuri lebih dalam ternyata palinggih sebagai tempat pemujaan tetapi palinggih dapat digunakan sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan. Di pulau Bali banyak sekali terdapat pura-pura atau palinggih-palinggih yang mengandung nilai historis yang bisa digunakan sebagai pembelajaran sejarah.
Dimasukannya Palinggih Dewa Dalem sebagai wahana penyungsungan
anak kembar di desa Songan sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA N I Kintamani, kelas X pada program IPS ini juga didukung oleh silabus mata pelajaran sejarah SMA kurikulum KTSP (Sejarah
Kajian Kehidupan Masyarakat) yakni KD : Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa Praaksara dan aksara. Materi pokok yang dapat dikaitkan
terhadap palinggih Dewa Dalem yaitu tradisi masyarakat masa sejarah.
Palinggih Dewa Dalem ini sangat baik
diterapkan dalam pembelajaran, karena dapat membantu siswa untuk mengenali tradisi yang ada di wilayah daerah setempat seperti tradisi pembuatan
palinggih bagi anak kembar yang ada di
desa Songan pada khususnya. Di Desa Songan yang dalam pelaksanaannya banyak terdapat aspek-aspek yang amat penting untuk diketahui oleh peserta didik yang nantinya dapat digunakan sebagai pedoman dalam bertindak maupun bertingkah laku.
Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan dalam penelitian antara lain:
1. Kepada masyarakat Desa Songan dan pemerintah Kabupaten Bangli agar senantiasa memberikan perhatian kesucian dan pelestarian Pelinggih Dewa Dalem agar nantinya tetap lestari secara turun-temurun sebagai salah satu aset budaya bangsa yang di miliki oleh masyarakat Desa Songan dan pemerintah Kabupaten Bangli.
2. Pada penelti lain yang ingin meneliti Palinggih Dewa Dalem agar terus menggali informasi terkait Palinggih Dewa Dalem, Sebab Banyak hal yang menarik belum diteliti karena keterbatasan peneliti
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa .2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultur, dan Moderinisasi. Yogyakarta. PT.LKis Printing Cemerlang
Djlantik. A.A M.1992. Pengntar Dasar
Estetika Jilid II Falsafah
Keindahan dan Kesenian.
Denpasar: STSI Denpasar
Koentarajaningrat. 1990. Pengantar Ilmu
Sardiman. 2004. Mngenal Sejarah. Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Suyasa, I Wayan. 1996. Pura Agung
Jagatnatha Singaraja; Latar Belakang
Berdirinya dan makna Filosofisnya. Singaraja
Sura, dkk, 1994.Agama Sebuah Pengantar. Denpasar: CV. Kayu Mas Agung. Setiawan, I Ketut. 2002. “Menelusuri
Asal-Usul Tempat Suci di Bali dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Budaya”, dalam Memanfaatkan Sumber Daya Arkiologi Untuk
Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar: Upadata Sastra
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut
Bali?. Surabaya: Paramitha
--- 2007. Tri Hitakarana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: PT Paramita
Widaya, I Gusti Ketut. 2002. Mengenal
Budaya Hindu Sebuah
Pengantar. Denpasar
Wendra, I Wayan. 2009. Buku Ajar
Penulisan Karya Ilmiah. Singaraja: