• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK NYERI TERHADAP MUTU KEHIDUPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEK NYERI TERHADAP MUTU KEHIDUPAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEK NYERI TERHADAP MUTU KEHIDUPAN

Oleh :

Ida Bagus Ari Sudewa

dr. Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC

SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR 2017

(2)

ii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Nyeri ... 2

2.2.1 Definisi Nyeri ... 2

2.2.2 Mekanisme Nyeri ... 3

2.2.3 Klasifikasi Nyeri ... 6

2.2 Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan ... 8

2.2.3 Definisi Kualitas Kehidupan ... 8

2.2.3 Pengukuran Kualitas Kehidupan ... 8

2.2.3 Efek Nyeri terhadap Mutu Kehidupan ... 11

BAB III SIMPULAN ... 13

(3)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Serabut Saraf Aferen Primer ... 4 Tabel 2.2 Instrumen WHOQOL-100 ... 8 Tabel 2.3 Skala Kualitas Hidup American Chronic Pain Association (ACPA) ... 10

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Nyeri adalah masalah kesehatan dunia. Diperkirakan setiap tahun 20% populasi dunia mengalami nyeri dan setengahnya adalah nyeri kronis.1 Di Amerika, nyeri merupakan alasan utama yang membuat orang datang mencari pusat pelayanan kesehatan. Berdasarkan penelitian di Amerika tahun 2012, terdapat sebanyak 86,6 juta orang dewasa yang mengalami nyeri hilang timbul setiap hari dan 25,5 juta memiliki nyeri kronis.2 Nyeri lebih sering ditemukan pada wanita ketimbang pria dan prevalensinya lebih tinggi pada usia tua.3 Bertambahnya jumlah populasi membuat jumlah orang yang membutuhkan pengobatan untuk nyeri karena masalah punggung, penyakit sendi degeneratif, kondisi rematologi, penyakit viseral, dan kanker diperkirakan akan meningkat.2,4

Di Indonesia belum ada penelitian skala besar yang membahas prevalensi dan kualitas semua jenis nyeri. Indonesia juga belum memiliki parameter praktis untuk menilai nyeri, tingkat kenyamanan pasien, dan efek nyeri terhadap kualitas hidup rakyat Indonesia.

Nyeri menimbulkan banyak konsekuensi buruk yang dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari sehingga akhinya mengurangi kualitas hidupnya. Selain menimbulkan kecacatan, nyeri yang tak tertangani juga dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan psikologis seperti cemas, takut, marah, atau depresi. Selain itu, nyeri juga menjadi penyebab utama seseorang tidak masuk kerja, dipecat, dan menganggur. Dengan demikian, nyeri yang tak tertangani dengan baik, secara signifikan memiliki konsekuensi yang buruk terhadap mutu kehidupan seseorang dalam hal fisik, sosial, psikologis, dan keuangan.5 Penanganan yang adekuat sangat dibutuhkan oleh penderita nyeri, tidak hanya untuk meredakan rasa nyerinya melainkan pula untuk meningkatkan mutu kehidupannya.6

(5)

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

2.1.1 Definisi Nyeri

Oleh International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.7 Berdasarkan definisi ini dapat diinterpretasikan dua kondisi nyeri, yaitu:6

a. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).

b. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu kedokteran, pengetahuan mengenai nyeri pun semakin berkembang. Saat ini terdapat beberapa istiliah lain yang berhubungan dengan nyeri, yakni:7

a. Alodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang biasanya tidak menimbulkan nyeri.

b. Analgesia, yaitu tidak adanya nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang biasanya menimbulkan nyeri.

c. Hiperalgesia, yaitu meningkatnya rasa nyeri terhadap suatu stimulus dari tingkat rasa nyeri yang biasanya terjadi.

d. Hipoalgesia, yaitu berkurangnya rasa nyeri terhadap suatu stimulus dari tingkat rasa nyeri yang biasanya terjadi.

e. Hiperestesia, yaitu meningkatnya sensitivitas terhadap stimulasi tertentu. Hiperestesia mencakup alodinia dan hiperalgesia.

f. Disestesia, yaitu sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik terjadi secara spontan maupun diinduksi. Alodinia dan hiperalgesia adalah jenis khusus dari disestesia.

(6)

3

g. Parestesia, yaitu sensasi abnormal, baik terjadi secara spontan maupun diinduksi. Parestesia mencakup semua sensasi abnormal termasuk disestesia. Jika sensasinya abnormal dan tidak menyenangkan, maka istilah disestesia adalah yang dipakai.

h. Nosisepsi, yaitu suatu proses saraf dalam pengolahan informasi tentang adanya kerusakan jaringan.

i. Neuron nosiseptif, yaitu neuron somatosensoris (sentral maupun perifer) yang mampu mengolah informasi kerusakan jaringan.

j. Ambang batas nyeri, yaitu intensitas stimulus minimum yang dapat menyebabkan nyeri.

k. Sensitisasi, yaitu terjadinya peningkatan respon neuron nosiseptif terhadap input normal, dan/atau terjadinya respon neuron pada input yang belum melewati ambang batas nyeri. Sensitisasi dapat dibedakan menjadi sensitisasi sentral dan perifer tergantung lokasi neuron yang mengalami sensitisasi.

2.1.2 Mekanisme Nyeri

Rasa nyeri berguna sebagai mekanisme alami tubuh untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan (proteksi), imobilisasi jaringan yang rusak untuk mempercepat penyembuhan (defensif), dan sebagai penuntun diagnostik. Namun seringkali rasa nyeri akan menimbulkan penderitaan pada pasien sehingga penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.6

Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung-ujung saraf bebas. Nosiseptor berasal dari neuron sensoris somatik yang memiliki badan sel di dorsal root ganglia atau ganglion trigeminal. Neuron ini memiliki satu akson ke perifer dan satu akson ke sumsum tulang belakang atau batang otak.8

Serabut saraf penghantar nyeri ada dua jenis, yakni serabut saraf Aδ dan serabut saraf C. Serabut saraf Aδ merupakan akson bermielin dengan kecepatan konduksi 5-15 meter/detik. Serabut saraf ini biasanya menghantarkan stimuli mekanis atau suhu dan berperan pada nyeri cepat. Serabut saraf C merupakan akson tidak bermielin dengan kecepatan konduksi < 2 meter/detik. Serabut saraf ini menghantarkan stimuli mekanis, kimia, dan suhu sehingga disebut juga polimodal.

(7)

4

Organ dalam biasanya disarafi oleh serabut saraf C. Serabut saraf Aδ dan C merupakan bagian dari serabut saraf aferen primer. Selain kedua jenis tersebut, terdapat serabut Aβ yang lebih cepat, berespon terhadap sentuhan ringan dan menghantarkan stimuli tidak berbahaya.9

Tabel 2.1 Karakteristik Serabut Saraf Aferen Primer

Serabut Saraf Aβ Serabut Saraf Aδ Serabut Saraf C

Diameter Besar Kecil (2-5 µm) Sangat kecil

(<2µm)

Mielinisasi Banyak Sedikit Tidak bermielin

Kecepatan konduksi

>40 meter/detik 5-15 meter/detik <2 meter/detik

Sensasi pada stimulasi Sentuhan ringan, tidak berbahaya Nyeri cepat, tajam, terlokalisasi Nyeri lambat, tumpul, difus, atau rasa terbakar

Rangsangan mekanik, suhu, dan kimia yang berbahaya akan memicu jaringan mengeluarkan berbagai zat yang dapat memicu rasa nyeri (zat algesik). Beberapa zat tersebut diantaranya adalah kalium, serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin, lekotrien, dan substansi P. Zat-zat tersebut, setelah batas tertentu, akan memicu depolarisasi yang kemudian menjadi impuls saraf pada nosiseptor. Proses penghantaran dan pengolahan impuls dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat dapat dikelompokkan menjadi empat tahap yakni:4,6,9,10,11

1. Transduksi, yaitu proses konversi stimulus berbahaya (noksius) seperti suhu panas, mekanik, atau kimia menjadi impuls saraf pada nosiseptor.

2. Transmisi, yaitu proses penyaluran impuls saraf dari tempat transduksi di perifer ke sistem saraf pusat. Dari perifer ke medulla spinalis, impuls dihantarkan oleh serabut saraf Aδ dan serabut saraf C neuron aferen primer. Di dorsal horn medulla spinalis serabut saraf Aδ dan serabut saraf C bersinapsis dengan neuron aferen sekunder. Neurotransmitter yang dikeluarkan oleh neuron aferen primer diantaranya adalah glutamat dan substansi P.

(8)

5

Dari medulla spinalis, ada dua jalur utama dalam penghantaran impuls yakni:

a. Traktus spinotalamikus; neuron aferen sekunder bersilangan dan menanjak sepanjang traktus spinotalamikus kontralateral menuju nuklei di talamus. Neuron ketiga kemudian akan menanjak dan berhenti di korteks somatosensori.

b. Traktus spinoretikularis: melalui traktus ini, serabut saraf bersilangan dan menaik menuju formasi retikuler di batang otak sebelum menuju talamus dan hipotalamus. Beberapa serabut saraf terus berproyeksi ke korteks.

3. Modulasi, yaitu proses interaksi antara analgesik endogen dengan impuls nyeri. Beberapa analgesik endogen tersebut yakni enkefalin, endorfin, serotonin dan noradrenalin. Sistem analgesik endogen berperan sebagai inhibitor impuls nyeri. Penghambatan impuls nyeri terjadi melalui dua mekanisme, yakni:

a. Teori pintu gerbang nyeri, dimana stimuli taktil terhadap serabut saraf Aβ akan mengaktifkan interneuron penghambat di akar dorsal sehingga menyebabkan penghambatan pada impuls nyeri serabut C.

b. Penghambatan menurun, yakni menggunakan jalur turun dari

periaqueductal grey (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial medulla (RVM). Kedua area otak tersebut memiliki reseptor opioid dan

konsentrasi opioid endogen yang sangat banyak. Jalur ini menggunakan neurotransmitter serotonin dan noradrenalin untuk menghambat transmisi nyeri.

4. Persepsi: rasa nyeri dihasilkan dari teraktivasinya berbagai area dalam otak seperti area sensoris (korteks somatosensoris), emosi (korteks insular dan

anterior cingulate gyrus), basal ganglia, dan serebelum. Proses ini

(9)

6

Gambar 2.1. Jalur perambatan impuls nyeri dari nosiseptor hingga korteks.12

2.1.3 Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan penyebabnya, nyeri dapat dibedakan menjadi dua yakni nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut dipicu oleh penyakit atau cedera tertentu, memiliki fungsi biologis, mampu menyebabkan spasme otot lurik dan aktivasi sistem saraf simpatik, dan akan hilang sendiri seiring penyembuhan penyakit. Nyeri kronis dirasakan dalam jangka waktu yang melebihi waktu penyembuhan normal (jika

(10)

7

timbulnya nyeri terkait dengan penyakit atau cedera). Nyeri kronis bisa disebabkan oleh keadaan psikologis, tidak memiliki fungsi biologis, dan tidak diketahui kapan akan berakhir.13

Berdasarkan patofisiologinya, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri nosisepsi dan nyeri neuropatik. Nyeri nosisepsi disebabkan oleh berlangsungnya aktivasi dari serabut saraf Aδ dan C sebagai respons dari stimulus berbahaya. Nyeri nosisepsi dapat berupa nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik merupakan nyeri yang berasal dari tulang, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan sebagai rasa sakit yang tajam, menusuk, berdenyut, dan terlokalisasi. Sedangkan, nyeri viseral merupakan nyeri yang berasal dari organ-organ dalam seperti pankreas, hati, saluran pencernaan, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan seperti kram, tumpul, kolik, meremas, tidak terokalisir, dan dapat menyebar ke daerah lain.4,5

Nyeri neuropatik disebabkan oleh kelainan pengolahan sinyal dalam sistem saraf. Dengan kata lain, nyeri neuropatik mencerminkan adanya cedera atau disfungsi dari sistem saraf perifer atau sentral. Penyebab umum nyeri neuropatik yaitu trauma, inflamasi, penyakit metabolik, infeksi, tumor, racun, iskemi, kemoterapi, radioterapi, dan penyakit saraf. Nyeri ini dapat muncul tiba-tiba, berlangsung secara terus menerus atau episodik, dan sering digambarkan terasa seperti terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tersengat listrik, teremas, sakit yang dalam, dingin, mati rasa atau kesemutan. Nyeri neuropatik dapat berupa disestesia, alodinia, dan hiperalgesia. Nyeri neuropatik biasanya sulit ditangani. Penggunaan antidepresan dan antikonvulsan terbukti berguna dalam penanganan nyeri ini. Selain nyeri nosisepsi dan nyeri neuropatik, terdapat juga nyeri campuran yang merupakan gabungan dari kedua nyeri nosisepsi dan nyeri neuropatik.4,5,9

Berdasarkan kualitasnya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri cepat dan nyeri lambat. Nyeri cepat merupakan nyeri yang singkat dan dapat dilokalisir. Impuls nyeri ini dihantar oleh serabut saraf Aδ. Nyeri lambat merupakan nyeri yang sulit dilokalisir, biasanya berupa rasa terbakar, rasa berdenyut, atau rasa ngilu. Impuls nyeri ini dihantar oleh serabut saraf C.10

(11)

8

2.2 Mutu Kehidupan

2.2.1 Definisi Kualitas Kehidupan

Sesuai dengan konstitusi World Health Organization (WHO), kesehatan adalah sebuah keadaan yang sejahtera secara fisik, mental, dan sosial, bukan hanya tidak adanya penyakit.14 Sesuai definisi ini, maka pengukuran kesehatan tidak hanya didasarkan pada penyakit tetapi juga kualitas kehidupan.15 Dengan demikian, kualitas hidup terkait kesehatan adalah tujuan utama pelayanan kesehatan.16 WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai di mana mereka tinggal dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian mereka.15 Dengan demikian, kualitas kehidupan adalah bahasan yang luas dan kompleks namun sangat penting dalam kehidupan manusia.

2.2.2 Pengukuran Kualitas Kehidupan

Mengukur kualitas kehidupan tidak mudah. Hingga saat ini hanya sedikit instrumen pengukuran yang berhasil dikembangkan. Salah satu yang paling luas digunakan adalah WHO Quality of Life-100 (WHOQOL-100). Instrumen ini adalah kuisioner berisikan 100 pertanyaan yang dibagi dalam enam domain kualitas hidup dan 24 faset (Tabel 2.2).15

Tabel 2.2 Instrumen WHOQOL-10017

Domain Faset

1. Kesehatan fisik a. Energi dan rasa lelah

b. Nyeri dan ketidaknyamanan c. Tidur dan istirahat.

2. Psikologis a. Penampilan dan gambaran fisik b. Perasaan negatif

c. Perasaan positif d. Harga diri

e. Cara berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi. 3. Tingkat kemandirian a. Mobilitas

(12)

9

c. Ketergantungan pada alat dan obat medis d. Kemampuan bekerja.

4. Hubungan sosial a. Hubungan personal b. Dukungan sosial c. Aktivitas seksual. 5. Lingkungan a. Sumber keuangan

b. Kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik c. Ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan

dan pelayanan sosial d. Lingkungan tempat tinggal

e. Kesempatan untuk mendapatkan informasi dan keterampilan baru

f. Keikutsertaan dan kesempatan untuk rekreasi/bersantai g. Lingkungan fisik (polusi/kebisingan/kemacetan/ iklim) h. Transportasi. 6. Spiritualitas/agama/ keyakinan pribadi a. Agama/spiritualitas/kepercayaan pribadi.

Setelah menjalani uji lapangan, dirancanglah instrumen yang lebih ringkas dari WHOQOL-100, yakni WHOQOL-BREF. WHOQOL-BREF menggabungkan domain 1 dan 3, serta domain 2 dan 6. Instrumen ini terdiri dari 26 pertanyaan, yakni 1 pertanyaan tentang kualitas hidup keseluruhan, 1 pertanyaan tentang kesehatan, dan 24 pertanyaan dari masing-masing faset dalam WHOQOL-100. Saat ini WHOQOL-BREF sedang dalam tahap uji lapangan.15

Dalam praktek klinis, instrumen kualitas hidup WHO dapat digunakan dengan instrumen lainnya untuk memberikan informasi berharga yang dapat menunjukkan daerah-daerah mana yang paling mempengaruhi seseorang dan membantu praktisi kesehatan dalam membuat pilihan terbaik dalam perawatan pasien. Selain itu instrumen ini juga dapat digunakan untuk mengukur perubahan dalam kualitas hidup selama pengobatan.17

(13)

10

Selain melalui instrumen kualitas hidup WHO, kualitas hidup juga bisa diukur menggunakan skala kualitas hidup dari American Chronic Pain Association (ACPA). Skala ini digunakan untuk mengukur fungsi kehidupan pada pasien yang mengalami nyeri. Skala ini membantu memberikan informasi mengenai tingkat aktivitas pasien sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemberian terapi dan pemantauan perkembangan pasien.18

Tabel 2.3 Skala Kualitas Hidup American Chronic Pain Association18

Skor Keterangan

0 (Tidak berfungsi)

Diam di tempat tidur sepanjang hari

Merasa tidak memiliki harapan dan tidak tertolong

1 Diam di tempat tidur minimal setengah hari Tidak memiliki kontak dengan dunia luar 2 Bangun dari tempat tidur tapi tidak berpakaian rapi

Diam di rumah sepanjang hari

3 Berpakaian rapi di pagi hari

Aktivitas minimal dalam rumah

Berkomunikasi dengan teman melalui telepon atau email 4 Mampu menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan rumah

sehari-hari meski penuh kesulitan. Tidak ada aktivitas di luar rumah.

Tidak bisa bekerja

5 Mengerjakan tugas ringan di sekitar rumah

Aktivitas minimal diluar rumah dua kali dalam seminggu

6 Bekerja dalam waktu yang terbatas

Turut serta dalam kegiatan sosial terbatas di akhir minggu

7 Bekerja selama beberapa jam sehari

Sanggup aktif selama minimal 5 jam sehari Bisa melakukan aktivitas ringan di akhir minggu 8 Bekerja selama minimal 6 jam sehari

(14)

11

Memiliki energi untuk melakukan satu kegiatan sosial malam dalam satu minggu

Aktif selama akhir minggu

9 Bekerja/aktif selama 8 jam sehari

Turut berpartisipasi dalam kehidupan keluarga Aktivitas sosial terbatas di luar rumah 10

(Kualitas hidup normal)

Mampu bekerja atau mengabdi setiap hari Aktivitas sehari-hari normal setiap hari Memiliki kehidupan sosial diluar pekerjaan Berpartisipasi aktif dalam kehidupan keluarga

Selain instrumen-instrumen di atas, terdapat pula beberapa instrumen lain seperti Flanagan Quality of Life Scale19, CDC Health-Related Quality of Life Healthy Days Measure (CDC HRQOL-14)20, EuroQoL 5 Domain (EQ-5D)21, Youth Quality of Life – Short Form (YQOL-SF)22, dan banyak lagi skala pengukuran kualitas kehidupan yang disesuaikan dengan penyakit pasien. Penggunaan instrumen pengukur kualitas hidup hendaknya disesuaikan dengan kondisi pasien dengan tetap mempertimbangkan adanya kemungkinan instrumen yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.21 Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki sudut pandang sendiri tentang apa arti hidup dan apa yang membuat hidup menjadi baik. Setiap orang memiliki lingkungan internal dan eksternal yang unik yang mendefinisikan kesejahteraan pribadinya.16

2.2.3 Efek Nyeri terhadap Mutu Kehidupan

Nyeri adalah salah satu keluhan paling sering yang disampaikan pasien.24 Nyeri akan mempengaruhi semua aspek kualitas hidup seseorang ketika nyeri tidak ditangani dengan baik.25 Sebuah survei menunjukkan bahwa nyeri akan mengganggu aktivitas sehari-hari (misalnya: pekerjaan, hubungan sosial, hobi) pada sebagian besar penderitanya. Banyak penderita nyeri kronis mengatakan bahwa nyeri yang dideritanya mengganggu kesehatan mental, status pekerjaan, istirahat, dan hubungan personal mereka.24 Pasien-pasien dengan nyeri kronis tercatat memiliki gangguan yang berlipat dari segi fisik, sosial, dan psikologis. Pada pasien-pasien ini aktivitas sehari-hari bisa menjadi penderitaan, sulit tidur, dan

(15)

12

membuat mereka mengalami kecemasan, depresi, dan stress.3 Pasien dengan keganasan sering mengalami peningkatan rasa nyeri seiring dengan perkembangan penyakit mereka.26 Mutu kehidupan penderita nyeri bisa menjadi sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat.6

Jika dibiarkan, gejala-gejala ini akan memiliki konsekuensi yang lebih serius. Sekitar seperlima pasien nyeri kronis mengalami masalah dalam hubungan mereka dengan keluarga.3 Lebih jauh lagi, sebagian besar penderita nyeri merasa dirinya tidak akan tertolong, putus asa, dan sekitar seperenam pasien nyeri kronis mengatakan mereka telah mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri meskipun terdapat sumber daya kesehatan dan strategi untuk mengatasi nyeri yang memadai.3,6

Efek negatif nyeri terhadap kualitas hidup dapat ditemukan pada semua golongan usia mulai dari remaja hingga orang tua.27,28 Nyeri yang dialami juga berimbas pada keluarga, karena keluarga yang mengurus pasien akan mengalami keterbatasan dalam beraktivitas dan harus bersabar menghadapi keluhan pasien.27 Di sisi lain, nyeri bisa menyebabkan efek negatif terhadap sosioekonomi pasien. Sekitar 60% penderita nyeri usia produktif mengalami kesulitan bekerja dan bahkan tidak dapat bekerja di luar rumah. Nyeri adalah salah satu penyebab utama seseorang tidak masuk kerja, dipecat, dan menganggur.3 Dengan demikian, nyeri akan menimbulkan beban pembiayaan sementara produktivitas dan pendapatan pasien menurun. Turunnya produktivitas sumber daya manusia dan tingginya pembiayaan nyeri juga menjadi salah satu masalah jika dilihat dari sisi ekonomi secara lebih luas. Diperkirakan setiap tahun di seluruh dunia biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan nyeri punggung, migren, dan artritis adalah 40 milyar dolar. Angka ini belum termasuk biaya operasi dan kerugian akibat hilangnya waktu bekerja.26

Oleh sebab itu, penatalaksanaan nyeri hendaknya tidak hanya berfokus pada mengurangi atau memberantas rasa nyeri melainkan menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien. Diharapkan pasien dapat menikmati kembali kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.6

(16)

13 BAB III SIMPULAN

IASP mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri adalah permasalahan dunia dikarenakan prevalensinya besar dan dapat menimbulkan dampak yang signifikan bagi seseorang. Nyeri adalah mekanisme alami tubuh untuk menghindari terjadinya kerusakan jaringan (proteksi), imobilisasi jaringan yang rusak untuk mempercepat penyembuhan (defensif), dan sebagai penuntun diagnostik. Namun seringkali rasa nyeri akan menimbulkan penderitaan pada pasien sehingga penanganan nyeri yang memadai amat diperlukan. Nyeri yang tak tertangani dengan baik, secara signifikan memiliki konsekuensi yang buruk terhadap kualitas kehidupan seseorang dalam hal fisik, sosial, psikologis, dan keuangan.

Dengan meningkatkan pemahaman dokter tentang bagaimana nyeri dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, maka interaksi antara pasien dan dokter akan berubah dan semakin membaik. Berbagai bentuk penilaian atau instrumen yang lengkap penting untuk membuat pasien merasa perawatan kesehatan mereka lebih bermakna. Hal ini akan membantu mempercepat kesembuhan pasien, dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif.

(17)

14

DAFTAR PUSTAKA

1. McGee SJ dan Goldberg DS. Pain as a Global Public Health Priority. BMC Public Health. 2011;11(770):1-5.

2. Nahin R. Estimates of Pain Prevalence and Severity in Adults: United States, 2012. The Journal of Pain. 2015;16(8):769-780.

3. Mundi Pharma. Media Backgrounder: Understanding the Impact of Chronic Pain. 2013:1-2.

4. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of Assessment, Management, and Treatments. 2001:4-15.

5. Ministry of Health Republic of Rwanda. Pain Management Guidelines. 2012:1-2.

6. Mangku G, Senapathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. 1st ed. Jakarta: Indeks; 2010.

7. Merskey H dan Bogduk N. Classification of Chronic Pain, Second Edition. Part III: Pain Terms, A Current List with Definitions and Notes on Usage. Seattle, IASP Press. 1994:209-214.

8. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, dkk. Neuroscience. edisi kedua. Nociceptors. Sunderland (MA): Sinauer Associates. 2001. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK10965/

9. Reddi D, Curran N, dan Stephens R. An Introduction to Pain Pathways and Mechanisms. British Journal of Hospital Medicine. 2013(74):188-191. 10. Latief SA, Suryadi KA, dan Dahlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.

Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.

11. Basbaum AJ, Bautista DM, Scherrer G, dan Julius D. Cellular and Molecular Mechanisms of Pain. Cell. 2009;139(2):267-284.

12. Stucky CL, Gold MS, dan Zhang X. Mechanisms of Pain. Proceedings of the National Academy of Sciences. 2001;98(21):11845-11846.

13. Grichnik KP dan Ferrante FM. The Difference Between Acute and Chronic Pain. Mount Sinai Journal of Medicine. 1991;58(3):217-220.

(18)

15

14. World Health Organization. Constitution of the World Health Organization. New York: World Health Organization. 1946.

15. World Health Organization. WHOQOL: Measuring Quality of Life [Internet]. 2017 [diakses 20 Mei 2017]. Tersedia di: http://www.who.int/healthinfo/survey/whoqol-qualityoflife/en/

16. Schalock R. Quality of life. Edisi pertama. Washington, DC: AAMR. 1997. 17. World Health Organization Quality Of Life. Measuring Quality Of Life.

1997:1-4.

18. American Chronic Pain Association. Quality Of Life Scale: A Measurement Of Function For People With Pain [Internet]. 2003 [Diakses 20 Mei 2017]. Tersedia di: https://theacpa.org/uploads/documents/Life_Scale_3.pdf. 19. Burckhardt CS dan Anderson KL. The Quality of Life Scale (QOLS):

Reliability, Validity, and Utilization. Health and Quality of Life Outcomes. 2003;1(7):7pp.

20. Centers for Disease Control and Prevention. Health-Related Quality of Life (HRQOL) [Internet]. 2016 [diakses 20 Mei 2017]. Tersedia di: https://www.cdc.gov/hrqol/methods.htm

21. European Patient's Academy. Measuring Health-Related Quality of Life (HRQoL) [Internet]. 2016 [Diakses 19 Mei 2017]. Tersedia di: https://www.eupati.eu/health-technology-assessment/measuring-health-related-quality-life-hrqol/

22. Patrick DL dan Edwards TC. Youth Quality of Life Instrument - Short Form (YQOL-SF). Washington, DC: Seattle Quality of Life Group University of Washington. 2013.

23. Bowling A. Measuring Disease. Edisi kedua. Buckingham dan Philadelphia: Open University Press. 2001.

24. McCarberg BH, Nicholson BD, Todd KH, Palmer T, dan Penles L. The Impact of Pain on Quality of Life and the Unmet Needs of Pain Management: Results from Pain Sufferers and Physicians Participating in an Internet Survey. American Journal of Therapy. 2008;15(4):312-320. 25. Katz N. The Impact of Pain Management on Quality of Life. Journal of Pain

(19)

16

26. Flood P, Rathmell JP, dan Shafer S. Stoelting's Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. Edisi kelima. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015

27. Hunfeld JAM, Perquin CW, Duivenvoorden HJ, dkk. Chronic Pain and Its Impact on Quality of Life in Adolescents and Their Families. Journal of Pediatric Psychology. 2001:26(3):145-153.

28. Simsek IE, Simsek TT, Yumin ET, dkk. The Effects of Pain on Health-Related Quality of Life and Satisfaction With Life in Older Adults. Topics in Geriatric Rehabilitation. 2010;26(4):361-367.

29. Fullen B, dkk. The Need for A National Strategy for Chronic Pain Management in Ireland. Irish Journal of Medical Sciences. 2006;175:68-73.

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Serabut Saraf Aferen Primer
Gambar 2.1. Jalur perambatan impuls nyeri dari nosiseptor hingga korteks. 12
Tabel 2.2 Instrumen WHOQOL-100 17
Tabel 2.3 Skala Kualitas Hidup American Chronic Pain Association 18

Referensi

Dokumen terkait

merupakan sebagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik atau. psikologis atau penerimaan terhadap dirinya baik fisik, psikologis

Metode proverasi dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial dalam menciptakan kehidupan yang sehat, baik fisik

Terdapat perbedaan yang tidak signifikan dari rerata perubahan intensitas nyeri sebelum dan sesudah pengobatan pada ketiga kelompok nyeri neuropati diabetika.. Sedangkan

Kondisi tersebut menimbul konsekuensi baik dan buruk bagi masyarakat, meskipun banyak keunggulan serta kemanfaatan dalam kehadiran fintech ditengah

49 Pada studi yang dilakukan oleh Munafò dkk., didapatkan bahwa pasien dengan kecemasan terhadap konsekuensi tindakan operasi memiliki risiko terjadinya nyeri kronis pasca

Hasil ini menunjukan hubungan yang signifikan dengan arah korelasi negatif dan interpretasi kuat yang berarti individu yang memiliki kontrol nyeri yang baik akan

Metode proverasi dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial dalam menciptakan kehidupan yang sehat, baik fisik

Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakt baik lingkungan secara fisik maupun lingkungan secara psikologis yang