• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR SOSIOLOGI. Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si., dkk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR SOSIOLOGI. Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si., dkk"

Copied!
260
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

PENGANTAR SOSIOLOGI

(3)

ii

Pengantar Sosiologi

Penulis:

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si., dkk

Desain cover & layout: Griya Media v + 254 hlm, 17.2 x 24,5 cm Cetakan pertama, September 2020

ISBN:

Penerbit :

Jl. Sonotirto No. 654 Salatiga Telp./Fax: 0298-328933 email: griya_media@yahoo.co,id

(4)

iii PRAKATA

Matakuliah Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Antropologi merupakan matakuliah yang wajib diikuti oleh calon sarjana terutama Sarjana Ilmu Sosial. Mengapa diwajibkan? Hal ini karena sebagai calon Sarjana Ilmu Sosial dibutuhkan input baik secara teoritis maupun secara empirik tentang fenomena sosial. Dengan pemahaman terhadap substansi Sosiologi maka akan dihasilkan Sarjana yang dapat melakukan kehidupan bersama di tengah- tengah masyarakat. Di sisi lain, disadari betul bahwa sejak penciptaan, manusia sudah membutuhkan orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial maka manusia membutuhkan berinteraksi dengan orang lain untuk melangsungkan kehidupan.

Profil Sarjana yang bukan hanya memiliki kualifikasi secara kognitif di bidang kepakaran ilmu masing-masing namun juga memiliki karakter sosial yang baik, jelas membutuhkan input substansi ilmu Sosiologi. Untuk itu pemberian pembelajaran Pengantar Sosiologi ataupun Sosiologi Antropologi penting diberikan kepada semua mahasiswa calon Sarjana. Materi-materi yang relevan yaitu Paradigma Sosiologi, Interaksi Sosial, Kelompok Sosial, Stratifikasi Sosial, Konflik dan Integrasi Sosial, Perubahan Sosial, Sosialisasi dan Kepribadian, Perilaku menyimpang, Multikulturalisma, Kearifan lokal dan Globalisasi merupakan topik-topik yang dibahas di dalam buku ini.

Dari uraian di atas, maka buku ajar ini dibuat sebagai bagian dari sarana pembelajaran matakuliah Pengantar Sosiologi ataupun Sosiologi Antropologi yang dapat digunakan oleh mahasiswa maupun dosen sebagai pengampu matakuliah. Dengan tersedianya buku ajar yang ditulis oleh para pengampu ataupun pakar Sosiologi diharapkan proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan produktif.

(5)

iv

Ucapan terima kasih yang begitu besar saya sampaikan kepada para penulis dan juga kepada penerbit. Buku Ajar inipun mungkin masih ada kekurangan, untuk itu masukan dan kritikan yang kritis sangat kami harapkan.

Hormat,

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si

(6)

v

DAFTAR ISI

PRAKATA ... iii

01. PARADIGMA SOSIOLOGI

Dr. Antik Tri Susanti. M.Si ... 1 02. INTERAKSI SOSIAL

Ester Krisnawati, S.Sos., M.I.Kom ... 31 03. NILAI DAN NORMA (Sosial Masyarakat Indonesia)

Dr. Franciscus Xaverius Wartoyo, M.Pd., MH. ... 49 04. SOSIALISASI KEPRIBADIAN

Dr. J. Mardimin ... 63 05. PENYIMPANGAN SOSIAL

Drs. Daru Purnomo, M.Si ... 87 06. KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL DALAM

KAJIAN SOSIOLOGI

Triesanto Romulo Simanjuntak, S.IP., M.A. ... 99 07. STRATIFIKASI SOSIAL

Alvianto W. Utomo.S.Sos. M.Si ... 117 08. MOBILITAS SOSIAL

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si ... 153 09. KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si ... 165 10. KEBUDAYAAN DAN MULTIKULTURALISME

Elly Esra Kudubun. S.Sos. M.Si ... 187 11. PERUBAHAN SOSIAL

Ester Krisnawati. S.Sos. M.Ikom ... 213 12. MODERNISASI DAN GLOBALISASI

(7)

1

PARADIGMA SOSIOLOGI

Dr. Antik Tri Susanti. M.Si

Capaian Pembelajaran Materi :

Mahasiswa memahami tentang konsep paradigma dalam sosiologi. Selain itu, mahasiswa mampu menggunakannya dalam penelitian, serta dalam menganalisa realita sosial. Mahasiswa mampu memilih paradigma sebagai tanggungjawab sebagai seorang sosiolog nantinya.

Indikator Pencapaian Capaian Pembelajaran Materi

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan dapat : 1. Memahami tentang pengertian paradigma

2. Memahami Dimensi Paradigma

(8)

2 Metodologi Peta Konsep Paradigma Sosiologi Pendahuluan Pengertian Dimensi Para ahli Denzin dan Lincoln Gibson Burrel dan Gareth Margaret Poloma Ontologi Epistemologi Aksiologi Habermas George Ritzer

(9)

3 A. Pendahuluan

Dalam buku The Structure of Scientific Revolution Thomas Khun mendefiniskan paradigma sebagai suatu kerangka referensi atau pandangan dunia (world view) yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori (Kuhn, 2017).

“A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to difeny what should be studied, what qeustion should be asked, how they should be asked and what rules should be followed in interpretating the answer obtained. The paradigms is the broadest unit of consensus within a science and serves to defferenciate on scientific community (or subcommunity) from another. It subsumes, defines, and interrelates the exemplars, theories, methods and instrument, that exist within it”

(Paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaan apa yang harus dimunculkan, bagaimana merumuskan pertanyaan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam mengintepretasikan jawaban. Paradigma adalah konsensus terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas lainnya. Paradigma berkaitan dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah, teori, metode, serta instrumen yang tercakup di dalamnya).

Guba mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan orang, baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Sedangkan Ritzer (1980) berpendapat paradigma adalah pandangan yang mendasar ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline). Paradigma membantu merumuskan tentang 1) apa yang harus dipelajari; 2) persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab; 3) bagaimana seharusnya menjawabnya, 4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam rangka menjawab persoalan tersebut. Paradigma ibarat sebuah jendela tempat

(10)

4

orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view). Paradigma dapat diartikan sebagai: a) a set of

assumption and b) beliefs concerning yaitu asumsi yang “dianggap”benar

(secara given).

Setiap orang tidak selalu mempunyai paradigma yang sama. Namun suatu paradigma bisa memiliki pengaruh yang sangat besar dibandingkan dengan paradigma lainnya. Menurut Thomas Kuhn hal itu terjadi karena paradigma tidak terlepas dari kekuasaan. Paradigma penguasa diikuti dan menjadi paradigma arus utama. Dominasi suatu paradigma terhadap paradigma lain bukanlah karena salah atau benar, adil tidak adil, melainkan pendukung paradigma yang menang tersebut lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power), (Ritzer:1975).

Perbedaan antar paradigma tersebut dapat dibahas dari empat dimensi, dari segi ontologi, epistemologi, metodologi dan aksiologis. Pengertian masing-masing, sebagai berikut:

1. Ontologi, membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada” (Sumantri, 1985). Contohnya secara ontologi atau hakekat dari ilmu biologi adalah ilmu tentang kehidupan tumbuhan, binatang, alam, bahkan manusia. Dengan kata lain, secara ontologi atau hakekat dari ilmu biologi merupakan ilmu tentang mahluk hidup seperti tetumbuhan dan lainnya, baik yang berada di darat, laut, dan udara (Dasuki, 2019).

2. Epistemologis, adalah cara mendapatkan pengetahuan yang benar, karena epistemologi itu adalah teori pengetahuan. Jika tahapan ontologi telah terungkap maka tahapan berikutnya adalah tahapan pencarian pengetahuan atau teori suatu pengetahuan yang sedang diamati, sehingga kelak akan tersusun suatu pembagian dan perbedaan antara suatu pengetahuan yang satu dengan yang lainnya (Dasuki, 2019). 3. Metodologis, berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara

(11)

5

4. Aksiologis, dapat diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 2017).

B. Pembagian Paradigma Dalam Penelitian Sosiologi

Pembagian paradigma sosiologi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1. Menurut Gibson Burrel dan Gareth Morgan

Gibson Burrel dan Gareth Morgan dalam bukunya Sociological

Paradigm and Organisational Analiysis (1985) menyatakan bahwa ada dua

dimensi kunci analisisi, yaitu: pertama asumsi tentang sifat ilmu (nature of

science) yang meliputi dimensi objektif dan dimensi subyektif, dan kedua

asumsi tentang sifat/hakikat masyarakat (nature of society) yang diistilahkan dengan regulasi (regulation) dan dimensi perubahan radikal (radical change). Teori regulation menekankan kesatuan masyarakat dan kohesivitas. Paradigma radical change, terfokus pada konflik struktural, dominasi, dan kontradiksi struktural. Burrel dan Morgan (1979) membagi paradigma penelitian atas empat paradigma, yakni :

a. Functionalist paradigm,

Paradigma ini merupakan paradigma yang dominan pada studi organisasi. Paradigma ini menyediakan penjelasan yang rasional tentang masalah kemanusiaan. Pada dasarnya paradigma ini bersifat pragmatis dan mengakar kepada konsep positivisme. Hubungan-hubungan yang ada bersifat konkret dan bisa diidentifikasi, dipelajari, dan diukur melalui media ilmiah. Paradigma ini dipengaruhi oleh idealis dan marxis.

b. Interpretive paradigm

Paradigma ini menjelaskan tentang kestabilan perilaku dalam pandangan seseorang individual. Paradigma ini memfokuskan pada pemahaman mengenai dunia yang diciptakan secara subjektif apa adanya serta prosesnya. Filosofer seperti Kant membentuk dasar dari

(12)

6

paradigma ini, sementara Weber, Husserlm dan Schutz melanjutkan ideologi ini.

c. Radical humanist paradigm

Pada pandangan paradigma ini, kesadaran seseorang didominasi oleh struktur ideologinya, cara pandang hidupnya dan interaksinya dengan lingkungan. Hal ini akan mengarahkan hubungan kognitif antara dirinya dan kesadaran sebenarnya, sehingga mencegah pemenuhan kepuasan pada manusia. Para pendukung teori ini memfokuskan pada pembentukan batasan sosial yang mengikat potensial. Filosofer yang mendukung teori ini antara lain Kant dan Hegel dan Marx. Paradigma ini dapat dipandang sebagai paradigma yang anti organisasi.

d. Radical structuralist paradigm.

Paradigma ini mempercayai bahwa perubahan radikal dibentuk pada sifat struktur sosial. Masyarakat kontemporer dapat dikarakteristikan dengan konflik fundamental yang akan menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini berdasarkan pada Marx dewasa, yang diikuti oleh Engles, Lenin, dan Bukharin. Paradigma ini memiliki sedikit perhatian di Amerika Serikat di luar teori konflik, (Subair, 2014).

Dalam sebuah gambar, dapat dibuat seperti berikut :

The Sociology of Radical Change radical

humanist

radical structuralist

interpretive functionalist

(13)

7 2. Margaret Poloma

Poloma (2000), membagi paradigma sosiologi menjadi tiga, yaitu Naturalistik atau Positivistik, Humanitif atau Interpretatif; dan Evaluatif. Berikut ini penjelasannya:

a. Sosiologi naturalistik atau Positivis.

Fenomena sosial memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum deterministis seperti layaknya hukum yang mengatur alam. Karya-karya Durkheim yang menjadi tumpuan teori naturalis menyebut konsep tersebut sebagai fakta sosial yang memiliki realitas empirik.

b. Sosiologi Humanistik atau Interpretatif.

Bertolak dari tiga isu penting. Pertama, menerima pandangan

common-sense tentang hakikat manusia dan mencoba menyesuaikan serta

membangun dirinya di atas pandangan itu. Kedua, pandangan common sense tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis darimana penyempurnaan perumusan sosiologi berasal. Ketiga, mengetengahkan lebih banyak masalah kemanusiaan ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber di dalam ilmu-ilmu alam untuk mempelajari masalah-masalah manusia.

c. Sosiologi evaluatif

Menurut aliran ini bahwa netral terhadap nilai adalah merupakan hal yang mustahil, akan tetapi netralitas yang demikian pun barangkali memang sama sekali tidak diinginkan. Menurut Dahrendorf “lebih penting untuk memperingatkan agar menentang pemisahan secara radikal ilmu dan pertimbangan nilai (value judgement) daripada memperingatkan agar melawan pembauran mereka” (Malik dan Nugroho, 2016).

(14)

8 3. Jurgen Habermas

Pembagian paradigma penelitian selanjutnya berasal dari Habermas (1990) membagi paradigma menjadi tiga, yakni :

a. Instrumental knowledge,

Paradigma yang memiliki ciri-ciri ilmiah, objektif, rasional, tidak emosional, komitmen, empati, menjaga jarak dan bebas nilai, universal dan generalisasi, dapat diterapkan di mana saja dan kuantifikasi. Dalam paradigma ini pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya.Yang digolongkan dalam paradigma ini adalah positivisme. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara tradisi ilmu pengetahuan ilmu alam, dengan kepercayaan adanya generalisasi dan universalisme.Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan hukum-hukum dalam fenomena alam dan fenomena sosial. Habermas menunjuk bahwa apa yang biasanya dianggap sebagai pengamatan-pengamatan indrawi bukanlah sebuah pengamatan-pengamatan, melainkan pengorganisasian kesan-kesan indrawi di bawah kepentingan penggunakan teknis proses-proses yang diobjektifkan (Habermas, 1968; Magnis, 1990; Akhyar, 2011).

b. Interpretatif atau hermeuneutic knowledge,

karakteristik paradigma ini menurut Habermas ialah antipostivisme, memahami secara sungguh-sungguh, fokus, tidak bias, mendalam, “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”, kekuatan ada dalam fakta dan kata-kata. Dasar filsafat aliran ini adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami (verstehen, understand). Tujuannya untuk mengungkapkan makna, sedangkan yang diusahakan adalah peningkatan saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama (Saidi, 2015).

(15)

9 c. Critical atau emancipatory knowledge.

paradigma ini menurut Habermas merupakan kritik atas paradigma

instrumental knowledge/positivisme dengan tujuan untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan. Paradigma emancipatory

knowledge mengkritik positivisme : mengapa rakyat selalu menjadi passive object bukan active object atau objek utama, mengontrol

pengetahuannya bukan dikontrol. Penekanannya adalah bahwa ilmu sosial tidak bersifat netral atau bebas nilai. Karakteristik dari paradigma ini antara lain holistik, menghindari cara berfikir deterministik dan reduksionistik, melihat realitas sosial dalam perspektif sejarah dan emansipatoris (Subair, 2014). Paradigma ini yang menjadi penyumbang utama Action Research atau yang juga terkenal dengan Participatory Action Research (PAR) dan Community Base Research (CBR), (Saidi 2015).

Tabel 2. Epistimologi Jurgen Habermas

Aspek Metodologi Jenis Ilmu Empiris Analitis Historis

Hermeneutis Sosial Kritis

Kepentingan Teknis Praktis Emansipatoris

Pengetahuan Informasi Interpretasi Analisis Tindakan Rasional Bertujuan Tindakan Komunikatif Tindakan Revolusioner-emansipatoris Ungkapan Linguistik Proposisi-proposisi monologis Bahasa sehari-hari, permainan bahasa, ungkapan-ungkapan Pembicaraan emansipatoris

Metodologi Observasi Pemahaman melalui arti bahasa

Refleksi diri

(16)

10 4. George Ritzer

Ritzer (1996) membagi paradigma, yaitu : paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Secara ringkas, asumsi-asumsi filosofis disajikan pada Tabel, berikut ini :

Tabel 1. Paradigma Penelitian menurut Ritzer

Aspek

Paradigma

Fakta Sosial Definisi Sosial Perilaku Sosial Ontologi Realisme sosial:

Fakta sosial di luar individu

merupakan dunia yang nyata dalam bentuk material yang utuh dan komplek (struktur dan pranata sosial). Fakta sosial ada dan berdiri secara independen terhadap apresiasi individual Humanisme sosial Dunia sosial dibentuk oleh pikiran manusia sendiri. Nominalisme sosial : Dunia sosial di luar suatu individu terbuat tidak lebih dari nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realita. Epistemologi Positivisme :

Fakta sosial dapat dijelaskan dan diprediksi

dengan peraturan dan hubungan sebab akibat pada elemen yang berhubungan

Anti-positivisme : Dunia sosial merupakan

sesuatu yang relatif, tergantung pada pandangan individu yang langsung terlibat pada dunia tersebut Positivisme: Ilmiah, Menaklukkan dan mendominasi objek. Ilmu alam minded.

(17)

11 Aspek

Paradigma

Fakta Sosial Definisi Sosial Perilaku Sosial

Human Nature

Positivisme : Fakta sosial dapat dijelaskan

dan diprediksi dengan peraturan dan hubungan sebab akibat pada elemen yang berhubungan

Voluntarisme : Manusia sepenuhnya

Bersifat bebas dan memiliki kehendak masing-masing Determinisme: Manusia dan aktivitasnya ditentukan oleh lingkungan dimana manusia tersebut berada Metodologi Nomothetik : Pendekatan yang memfokuskan pada metode

ilmiah dan testing hipotesa Ideografik : Pendekatan yang mementingkan keterlibatan langsung terhadap subyek yang diteliti. Interpretative understanding. Objektif, rasional, tidak emosional, komitmen, empati, menjaga jarak dan bebas nilai, universal dan generalisasi, dapat diterapkan dimana saja dan kuantfikasi. Teori Fungsionalisme struktural, konflik, sistem, sosiologi makro Teori aksi, interaksionisme simbolik, fenomenologi Behavioral sociology, teori pertukaran (Ritzer, 2014, Subair, 2014)

(18)

12 5. Denzin dan Lincoln

Dalam Handbook of Qualitative Research (2000), Denzin dan Lincoln membagi paradigma penelitian ke dalam lima paradigma, yaitu paradigma positivistik/postpositivistik, paradigma teori kritis, paradigma kontruktivisme, dan paradigma partisipatoris. Penjelasannya sebagai berikut :

a. Posivisme dan Post-Positivisme.

Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:

1. bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif

2. ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris 3. bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau

disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens

4. bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.

Ciri-ciri Positivisme antara lain:

1. objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas

(19)

13

dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)

2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)

3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.

4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati

5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri

6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.

Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh August Comte, biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis ini dikembangkan di Inggris oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di Italia, positivisme sosial dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka berdua menganggap diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang menurut mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri. Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich Jodl dan Eugen Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada pemikiran Saint Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara para penganut

(20)

14

positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan besar pada sains, pada kemajuan aras dasar sains, dan pada bentuk pengaturan sosial yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut (http://syaebani.blogspot.com/2008/05/filsafat-positivisme-dan-ciri-cirinya.html)

Pada perkembangannya paradigma positivisme ditantang oleh kemunculan paradigma-paradigma baru yang interpretatif yang dinamakan sebagai postpositivism atau constructivism (lihat Guba 1990). Pada dasarnya perbedaan antara positivisme dan post positivisme adalah perbedaan antara paradigma atau metodologi yang kuantitatif (positivisme) yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alamiah dan paradigma atau metodologi humaniora yang kualitatif (positivisme) (Denzin dan Lincoln, 2000). Pendirian post-positivisme ini bertolak belakang dengan post-positivisme.

Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja. Pada dasarnya perbedaan antara positivisme dan post-positivisme adalah perbedaan antara paradigma atau metodologi yang kuantitatif (positivisme) yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alamiah dan paradigma atau metodologi humaniora yang kualitatif (post-positivisme). Metodologi kualitatif yang semula merupakan metodologi andalan dalam antropologi, pada masa kini telah dikembangkan menjadi metodologi yang digunakan dalam semua bidang-bidang ilmu pengetahuan sosial (Denzin dan Lincoln, 2000), (Subair, 2014).

Tabel 3. Karakteristik Positivisme dan Post-Positivisme

No Aspek Karakteristik/Sifat Utama

1 Ontologi Critical Realism: kenyataan harus diperiksa

secara kritis agar dapat dipahami sesempurna mungkin, walaupun sebenarnya tidak bisa sempurna sekali. Realitas itu ada tetapi tetapi

(21)

15

No Aspek Karakteristik/Sifat Utama

tidak sempurna karena keterbatasan kemampuan intelektual manusia serta keterbatasan dalam memahami gejala alam yang terjadi.

2 Epistemologi Modifikasi sifat dualistik/objektif. Dualistik diabaikan namun objektivitas tetap dipertahankan. Objektivitas eksternal lebih ditekankan pada tradisi kritis, apakah sesuai dengan pengetahuan yang sudah ada dan kritik para ahli. Pengulangan yang dilakukan untuk menemukan kebenaran yang bersifat probably. 3 Metodologi Memodifikasi eksperimen dan memanipulasi

objek. Perhatian didasarkan pada critical multiplism sebagai cara membuktikan kepalsuan

(falsification) hipotesis. Metodologi ditujukan untuk mengupas berbagai permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penelitian dalam kondisi alamiah, pengumpulan informasi pada berbagai situasi dan memperkenalkan penemuan sebagai elemen penelitian. Penggunaan cara pandang emic untuk membantu memahami makna dan maksud yang terkandung dalam tindakan manusia. Metode yang terkenal adalah

grounded research. Semua hal di atas dilakukan

dengan menggunakan teknik-teknik kualitatif. 4 Aksiologi Seperti pada positivisme, “nilai” etika dan pilihan

moral harus berada di luar proses penelitian. Peneliti harus dapat

membebaskan diri dari objek yang sedang dikaji, karena sikap ilmiah menghendaki adanya jarak yang menetralisir kedudukan peneliti. Sikap yang

(22)

16

No Aspek Karakteristik/Sifat Utama

diambil oleh pihak post-positivisme lebih reaktif sebab sudah mulai disadari bahwa objektivitas mulai diragukan.

(Subair, 2014).

b. Teori Kritis

Tokoh-tokoh awal aliran peradigma kritis adalah George Lukacs, Karl Korsch, Ernst Bloch, Antonio Gramsci dan lain-lain. Paradigma ini dipengaruhi filsafat Marx yang sering kemudian disebut sebagai Teori Sosial Kritis atau sering disingkat Teori Kritis. Teori Kritis dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh tokoh-tokoh yang semula bekerja di Institut fur Sozial Forscbung pada Universitas Frankrut, di antaranya Max Horkheimer, Theodor W. Adormo, Herbet Marcuso dan lain-lain yang kemudian terkenal sebagai “Mazhab Frankfurt”. Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000).

Pengaruh idea marxisme, neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian

(23)

17

ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media.

Selain dari karakteristik paradigma di atas, paradigma teori sosial kritis adalah bentuk kritik terhadap paradigma klasik atau positivistik. Kalau dalam perspektif paradigma klasik, kualitas suatu penelitian (dari segi metodologi) ditentukan oleh validitas internal dan validitas eksternalnya. Validitas internal mencakup dua segi, yakni (a) reliabilitas dan validitas pengukuran, dan (b) validitas disain serta analisis. Sementara itu validitas ekstemal mencakup (a) generalisasi empiris atau deskriptif, dan (b) generalisasi konteks atau setting. Maka di lain pihak, penelitian dalam tradisi teori-teori kritis menilai kualitas suatu penelitian dari segi sejauh mana penelitian itu merupakan studi yang memiliki kejelasan historical situatedness, yakni tidak mengabaikan konteks historis, politik-ekonomi, serta sosial-budaya yang melatarbelakangi fenomena yang diteliti (Subair, 2014).

Denzin dan Lincoln (2000) menguraikan dengan baik karakteristik teori kritis sebagai sebuah paradigma penelitian dari aspek filosofis seperti tergambar pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Utama Paradigma Teori Kritis.

No Aspek Karakteristik

1 Ontologis Historical realism: realitas yang teramati merupakan realitas “semu” (virtual reality) yang terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi politik

2 Epistemelogis Transactional/subjektivist: hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings

(24)

18 3 Metodologis Dialogic/dialektika

4 Aksiologis Intrinsik; moral tilt toward relevation

Beberapa hal yang perlu dijelaskan dari tabel di atas adalah sebagai berikut :

Pertama,

paradigma kritis melihat bahwa peneliti tidak dapat memposisi-kan diri sebagai value free researcher yang senantiasa memisahkan nilai-nilai subyektifnya dengan fakta obyektif yang diteliti. Hal itu tidak mungkin karena setiap penelitian selalu melibatkan value judgments dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Apa yang akan diteliti merupakan pilihan yang didasarkan atas penilaian subyektif. Dalam ilmu yang menjadikan manusia sebagai pokok perhatian, usaha menempatkan manusia secara "obyektif” sebagaimana obyek-obyek ilmu alam (seperti yang berlaku pada paradigma klasik) jelas value

judgment juga.

Kedua,

peneliti paradigma kritis berangkat dari asumsi bahwa obyek atau realitas sosial yang mereka amati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality) atau sekedar ekspresi kesadaran palsu (false

consciousness) manusia, bukan realitas obyektif atau realitas yang

sesuai dengan "esensi sebenarnya" - yang diyakini kubu kritis seharusnya dimiliki manusia dan dunia-nya. Tujuannya antara lain memperoleh temuan yang mempunyai signifikansi sosial.

Ketiga,

ciri ketiga adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis adalah paradigma ini mengambil sikap untuk memberikan kritik, memiliki target transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang.

(25)

19

Keempat,

dalam pandangan teori kritis, yang teori dan praksis menjadi bagian yang sama pentingnya sebagai usaha emansipatoris, membebaskan. Untuk itu salah satu metode yang sering dilakukan adalah participation

action research (PAR) (Sindhunata, 1982). Menekankan penafsiran

peneliti pada objek yang diteliti, melalui proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis,

Dari penjelasan tersebut, terdapat beberapa karakteristik utama paradigma kritis. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial. Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis adalah paradigma ini mengambil sikap untuk memberikan kritik, memiliki target transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Denzin, 2000). Ciri ketiga adalah ciri not velue free, mengemban nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Peneliti menempatkan diri dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat. Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis, metode

(26)

20

melalui dialog kritis. Dialog kritis digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi. Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya. Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000), (Subair, 2014). Menempatkan teori dan praksis sebagai upaya emansipatoris atau pembebasan (Sindhunata, 1982).

c. Konstruktivis

Konstruktivis merupakan istilah yang sepadan dengan istilah lain seperti verstehen (Weber), interpretatif dan humanis (Poloma), fenomonologis (Schutz), dan lain-lain yang merupakan paham yang menolak positivisme dan postpositivisme. Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori konstruktivis atau interpretatif mencoba memahami tindakan sosial pada level makna – yang relatif, plural, dan dinamis. Alasannya sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari.

Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek).

(27)

21

Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.

Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena ‘spiritual’ atau ‘ideal’ manusia, yang merupakan khas manusia, dan berbeda ilmu-ilmu alam. Untuk itu sosiologi sebagai ilmu tentang realitas kehidupan manusia, menggunakan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif.

Konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretif, diskursif dan historis. Tetapi, konstruktivisme berbeda dari teori kritis, dengan metateorinya, konstruktivisme lebih menekankan pada analisa empiris, yakni berusaha menemukan pemahaman konseptual dan teoretis dengan menganalisa masalah-masalah empiris. Teori kritis juga sangat kritis terhadap asumsi-asumsi konstruktivisme. Sekalipun memiliki posisi ontologis, epistemologis maupun metodologis yang sama, konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.

Denzin dan Lincoln menggambarkan paradigma konstruktivisme sebagaimana diuraikan pada tabel 5.

(28)

22

Tabel 5 Karakteristik Paradigma Konstruktivis

No Aspek Karakteristik

1 Ontologis Relativisme: realitas sosial merupakan kontruksi sosial. Kebenaran realitas adalah relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial 2 Epistemelogis Transactional/subjektivist: pemahaman suatu realitas

atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti

3 Metodologis Hermeunetika/dialektika

4 Aksiologis Intrinsik – process tilt toward relevation

Ada beberapa penjelasan yang dapat ditampilkan sehubungan dengan pencirian paradigma oleh Denzin dan Lincoln di atas.

Pertama,

secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah membuat generalisasi, maka konstruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan spesifik. Dengan kata lain, bahwa realitas itu merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan positivis atau postpositivis.

(29)

23

Kedua,

secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan objek bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya.

Ketiga,

secara metodologis, paradigma ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif daripada kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, suatu teori muncul berdasarkan data yang ada dan bukan dibuat sebelumnya dalam bentuk hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode hermeunetik dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang perorang, sedangkan metode dialektik mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang per orang yang diperoleh melalui metode hermeunitik untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Keempat,

secara aksiologis, peneliti berinteraksi dan menyelami “bidang pemaknaan” objek penelitian sehingga antara keduanya akan terjadi saling mempengaruhi pada nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah. Model berpikir konstruktivisme menolak obyektivitas. Objektivitas sebagaimana dianut oleh positivisme mengakui adanya fakta, adanya realitas

(30)

24

empirik. Sedangkan konstruktivisme berpendapat bahwa yang ada adalah pemaknaan kita tentang empiri di luar diri kita yang konstruk (empirical-construct facts). Ilmu dan kebenaran itu dibangun, sifatnya pluralistis dan plastis. Disebut pluralistik karena realitas dapat diekspresikan dengan beragam simbol dan beragam sistem bahasa. Disebut plastis karena realitas itu tersebar dan terbentuk sesuai dengan tindakan perilaku manusia yang berkepentingan. Menggantikan teori ilmu, para konstruktivist menawarkan fungsi instrumental dan fungsi praktis dalam mengkonstruk pengetahuan. Para konstruktivist adalah anti esensialis dan mereka berasumsi bahwa sel evidensi apapun itu merupakan produk praktik diskursus yang sangat kompleks. Tetapi sebenarnya, untuk menjadi konstruktivist seseorang tidak harus menjadi anti realist. Konsep dan ide itu bukan sesuatu yang harus

discovered, melainkan sesuatu yang harus invented. Apakah yang di-invented itu akan mempunyai landasan empirik untuk menjadi obyek

ilmu? Yang di-invented tersebut sekaligus merupakan frames of

interpretation dan system of interpretation. Itu berarti bahwa empiri

akan dapat dibaca sebagai empiri, bila cara memaknai menggunakan

frames dan system interpretation yang sama.

d. Partisipatoris

Lincoln pada buku pertamanya belum mencantumkan paradigma ini ke dalam kategori paradigma yang dibuatnya, tetapi baru memasukkannya pada edisi kedua sebagai elaborasi dari ide John Heron dan Peter Reason (1997). Akan tetapi sebagai sebuah metode penelitian, partisipasi ini sudah melekat ke dalam paradigma non-positivisme sebagai sebuah bentuk pendekatan dalam penelitian kualitatif. Tetapi partisipatif sebagai sebuah bentuk pengamatan atau metode/teknik pengumpulan data, berbeda dengan partisipatif (partisipatory) sebagai sebuah paradigma dalam penelitian, meskipun pada proses pengumpulan data dan hubungan dengan “objek’ penelitian terdapat persamaan. Perbedaan yang paling mendasar adalah partisipatif

(31)

25

(partisipatory) sebagai sebuah paradigma dalam penelitian adalah seperangkat bangunan paradigma dengan asumsi-asumsi filosofis dan metodologis yang khas dari pada sekedar metode pengumpulan data belaka. Sedangkan partisipatoris sebagai bentuk pengamatan (observasi) dapat menjadi salah alat atau model pengumpulan data.

Pada tabel 6 disajikan aspek-aspek dari paradigma partisipatoris yang dikutip dari Denzin dan Lincoln (2000) :

Tabel 6. Asumsi dasar Paradigma Penelitian Partisipatoris

No Aspek Karakteristik

1 Ontologis Participative reality: subjective-objective reality, cocreated by mind and given cosmos

2 Epistemelogis Critical subjectivy in participatory transaction with

cosmos; extended epistemology of experiental, propositional and practical knowing; cocreated findings.

3 Metodologis Political participation in collaborative action inquiry; primacy of the practical; use of languange grounded in shared experiential context

4 Aksiologis Intrinsik – process tilt toward relevation

Dari aspek epistemologis, hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses memperoleh pengetahuan bersifat subjektifitas kritis pada transaksi partisipatoris secara bersama-sama; epistemologi berkembang dalam proses penelitian, pengetahuan yang ditemukan bersifat proposisional dan praktis, serta ditemukan bersama-sama oleh peneliti dan yang diteliti secara setara. Asumsi ini berarti bahwa pengumpulan data dan penarikan kesimpulan penelitian tidak dibentuk oleh konsep peneliti atau outsider tetapi dibangun melalui proses partisipatif. Metode riset partisipatoris yang secara

(32)

26

epistemologi bagaimana sebuah pengetahuan memiliki pemihakan dan bagaimana sebuah pengetahuan juga mesti memiliki dimensi emansipatoris.

Dari aspek metodologis, pengetahuan diperoleh melalui kolaborasi partisipasi politik antara peneliti dan yang diteliti pada proses penelitian, mengutamakan pengetahuan-pengetahuan praktis daripada teoritis; dan menggunakan bahasa-bahasa grounded dalam proses penelitian. Ini berarti bahwa peneliti melakukan interaksi secara mendalam dalam proses sosial yang diteliti dalam posisi sosial dan kepemilikan pengetahuan yang setara, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa yang diteliti. Paradigma partisipatoris meyakini bahwa partisipasi dan pemberdayaan tidak akan tercapai bila tidak menggunakan proses-proses komunikasi yang bersifat horisontal, dua arah atau dialogis. Komunikasi ditujukan untuk mencapai saling percaya dan konsensus antar para stakeholder.

Dari aspek aksiologis, penelitian partisipatoris bersifat intrinsik, cenderung berpihak kepada proses sosial yang diamati. Dengan demikian tidak bebas nilai karena tujuannya memang adalah memberdayakan masyarakat yang teralienasi atau terdiskriminasi melalui penemuan masalah-masalah oleh mereka sendiri secara bersamasama dengan peneliti dan sekaligus merumuskan sendiri solusi atas masalah-masalah itu.

Pelibatan masyarakat, merupakan wujud dari (1) penghargaan terhadap keberadaan manusia yang merdeka yang berhak untuk menetapkan sendiri nasibnya tanpa ditentukan oleh pihak lain (2) kesempatan untuk menjalankan tanggung jawab sosial sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia (3) kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama. Metode Partisipatoris merupakan proses pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara peneliti dan yang diteliti. Seorang peneliti partisipatoris biasanya bertanya tidak dirancang secara baku, melainkan hanya garis-garis besarnya saja. Topik-topik pertanyaan dapat muncul dan berkembang berdasarkan proses tanya-jawab dengan yang diteliti.

Komunikasi dalam paradigma partisipatoris meletakkan keterlibatan aktif seluruh yang diteliti di dalam keseluruhan tahapan proses penelitian. Komunikasi berlangsung dua arah atau merupakan dialog. Tujuan

(33)

27

komunikasi bukanlah menginformasikan atau mempromosikan gagasan agar yang diteliti tertarik. Komunikasi dalam paradigma partisipatoris adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam menganalisis masalah, mengidentifikasi penyelesaian, dan melaksanakannya. Persepsi, opini, serta kepercayaan setiap yang diteliti terhadap tema penelitian juga menjadi bagian utama dalam proses dialog tersebut. Mendengarkan menjadi sama pentingnya dengan berbicara. Hal tersebut tentu berbeda dengan komunikasi yang bertujuan agar tema penelitian memperoleh legitimasi.

(34)

28 Soal Latihan Uji Capaian Pembelajaran

Pertanyaan esai, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan pendapat Anda sendiri!

1. Paradigma, kepentingan dan kuasa. Bagaimana anda menjelaskan keterkaitan ketiganya?

2. Cobalah menganalisa sebuah fenomena sosial, kemudian paradigma apa yang anda pilih?

3. Paradigma apa yang sesuai dengan era society 5.0 ?

Bahan Bacaan

Agger, Ben, 2006. Critical Social Theories, An Introduction, Second Edition, Boulder USA: Paradigm Publishers.

Bahtiar, Amsal, 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bertens, K., 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor, 1993. Kualitatif: Dasar-Dasar

Penelitian (terjemahan oleh A. Khozin Afandi), Surabaya: Usaha

Nasional.

Burrell, G. dan G. Morgan, 1994. Sociolocal Paradigms and Organizational

Analysis, Arena.

Dasuki, Mohamad Ramdon, 2019. Tiga Aspek Utama Dalam Kajian Filsafat

Ilmu : Ontologi, Epistimologis, Dan Aksiologi, Seminar Nasional Bahasa

dan Sastra Indonesia Sasindo Unpam 2019.

Denzin, N.K., 1997. Interpretive Ethnography, Thousand Oaks CA: Sage Publications.

Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (eds.), 2000. Handbook of Qualitative

Research (Second Edition), Thousand Oaks: Sage Pul. Inc.

Fakih, Mansour, 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka

(35)

29

Fenton, S., 1984. Durkheim and Modern Sociology, Cambridge: Cambridge University Press.

Geertz, C.,1992. Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Guba, Egon (ed.) 1990. The Paradigm DiaIog. London Sage.

Habermas, J., 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES. Kassa, Y. dan M. Kemal (ed.),1982. Participatory Research: An Emerging

Alternative Methodology in Social Research, New Delhi: Society for

Participatory Research in Asia.

Morrow, R., 1994. Critical Theory and Methodology, Nearbury Park, Calif: Sage Publications,

McCarthy, T., 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Nugroho, Aris Dwi dan Abdul Malik, 2016. Menuju Penelitian Sosiologi

Yang Integratif. Jurnal Sosiologi Reflektif, vol. 10, No.2, April 2016, hal

65-84.

Poloma, Margaret M., 2000. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ritzer, R., 1996. Modern Sociolical Theory (Fourth Edition), New York: The McGraw-Hill Companies Inc.

Saidi, Anas, 2015. Pembagian Epistimologis Habermas Dan Implikasinya Terhadap Metodologi Penelitian Sosial-Budaya, Jurnal Masyarakat &

Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015, hal 111-128.

Sayogyo, 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi

(Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji), Cindelaras Pustaka Rakyat

Cerdas.

Sindhunata, 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat

Modern oleh Max Horkheimer Dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta

: Gramedia.

Subair, 2014. Paradigma Penelitian Dalam Sosiologi. Makalah dipresentasikan pada Seminar Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon, 14 Oktober 2014. Dimuat Dalam Prosiding Seminar Karya

(36)

30

Ilmiah Dosen Mahasiswa “Konstruksi Keimluan Ushuluddin dan Dakwah Berbasis Multikultural”, hal 268- 286.

Suriasumantri, Jujun S, 2017. Filsafat Ilmu Sebuah Pengetahuan Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Spradley, James P.,1980. Participan Observation, New York: Holt dan Rinehart and Wimston,

Weber, M.1947.The Theory of Social and Economic Organization, Gloncoe: The Free Press,

(37)

31

INTERAKSI SOSIAL

Ester Krisnawati, S.Sos., M.I.Kom

wwwwwwwwwwwww

Indikator Pencapaian Capaian Pembelajaran Materi

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan dapat : 4. Menjelaskan konsep interaksi sosial

5. Memahami syarat dan ciri dari interaksi sosial

6. Memahami bentuk-bentuk interaksi sosial di masyarakat 7. Memahami teori untuk menganalisis interaksi sosial yang

terjadi dimasyarakat

8. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Capaian Pembelajaran Materi

Mahasiswa memahami tentang konsep interaksi sosial yang terjadi antar individu, sosial dan masyarakat. Mahasiswa memahami bentuk-bentuk interaksi sosial yang ada di dalam masyarakat baik itu interaksi yang membangun maupun yang memecah masyarakat serta faktor yang mempengaruhi dalam berinteraksi dengan orang lain. Melalui materi ini mahasiswa mampu berinteraksi dengan orang lain dalam menciptakan sebuah keteraturan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menyesuaikan diri dalam dinamika masyarakat.

(38)

32 Peta Konsep Pendahuluan Definisi Interaksi Sosial

Syarat dan Ciri Interaksi Sosial Kontak Sosial Komunikasi Bentuk Interaksi Sosial Faktor-Faktor Interaksi Sosial Asosiatif Disosiatif Tindakan Sosial Teori dalam Interaksi Sosial

(39)

33 Pendahuluan

Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakt baik lingkungan secara fisik maupun lingkungan secara psikologis yang memiliki hubungan timbal balik antar setiap individu. Artinya, manusia sebagai mahkluk sosial tidak pernah terlepas dari membangun hubungan dengan orang lain, saling berkomunikasi dengan orang lain, saling bekerjasama dan pada intinya manusia saling membutuhkan satu dengan yang lain. Kajian sosiologi berfokus pada sebuah gagasan bahwa setiap manusia akan berperilaku berbeda ketika berada dalam suatu kelompok. Artinya seseorang akan berperilaku berbeda ketika manusia seorang diri dengan ketika manusia berada dalam sebuah kelompok dan saling berkomunikasi. Oleh karena itu dalam kehidupan sosial, interaksi sosial menjadi faktor penting dalam hubungan antar manusia untuk saling mempengaruhi.

Interaksi sosial menjadi hal yang penting untuk manusia lakukan dalam kehidupan bermasyarakat agar manusia dapat saling memenuhi kebutuhan hidupanya. Selain itu interaksi sosial menjadi penting bagi manusia agar manusia tidak kehilangan relasi dengan manusia lainnya. Dalam interaksi sosial setiap orang akan melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya. Dapat dikatakan bahwa seseorang akan sulit bertahan hidup jika seseorang tersebur tidak menjalin interaksi dengan orang lain. Jadi interaksis sosial adalah kunci dari kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi antara satu orang dengan orang lainnya maka tidak akan ada aktivitas sosial. Menurut Erving Goofman seorang sosiolog menyatakan bahwa masyarakat terbentuk karena adanya interaksi antar anggotanya, karena tanpa adanya interaksi maka akan sulit untuk memahami dunia sosial. Interaksi sosial di sini merupakan tindakan yang tidak hanya sekedar pada tataran teoritis tapi juga pada tataran praktis. Interaksi sosial menjadi dasar terjadinya proses sosial di masyarakat. Proses sosial adalah sesuatu yang sedang dan akan terjadi ketika berlangsungnya interaksi sosial dalam berbagai aspek pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(40)

34

Melalui pembelajaran tentang interaksi sosial mahasiswa semakin dapat mengembangkan potensinya dalam berinteraksi sehingga ketika berinteraksi dengan orang lain dapat menciptakan senuah keteraturan sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial

Definisi Interaksi Sosial

Agar dapat memahami tentang definisi Interaksi Sosial, berikut ini ada beberapa definisi Interaksi Sosial yang dikemukakan oleh para ahli sosiolog, yaitu sebagai berikut :

1) Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang berkaitan dengan orang perorangan, kelompok perkelompok, maupun perorangan terhadap perkelompok ataupun sebaliknya (Elly, 2011:63) 2) Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan

individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok (Soekanto, 2010:55)

3) Menurut Wagito (2007), Interaksi merupakan hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. 4) Basrowi (2015) mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah

hubungan dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan kelompok, maupun orang dengan kelompok manusia. Bentuknya tidak hanya bersifat kerjasama, tetapi juga berbentuk tindakan, persaingan, pertikaian dan sejenisnya.

5) Partowisastro (2003) berpendapat bahwa interaksi sosial ialah relasi sosial yang berfungsi menjalin berbagai jenis relasi sosial yang dinamis, baik relasi itu berbentuk antar individu, kelompok dengan kelompok, atau individu dengan kelompok.

6) Soekanto (2002) mengemukakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi hubungan

(41)

35

antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.

7) Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara individu. 8) Menurut Shaw, interaksi sosial adalah suatu pertukaran antar pribadi

yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain.

9) Thibaut dan Kelley bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain.

10) Bonner (dalam Gerungan, 1998) interaksi sosial adalah sustu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya.

Jadi dari bermacam-macam definisi yang dikemukan oleh para sosiolog dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah sebuah hubungan dan pengaruh timbal balik antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok. Suatu hubungan sosial dikatakan interaksi sosial jika terdapat dua syarat yang harus terpenuhi yaitu kontak sosial dan komunikasi sosial. Hal penting yang perlu diperhatikan di sini yaitu :

a) Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa ada interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama.

b) Interaksi sosial merupakan perwujudan hakikat kemanusiaan manusia. c) Interaski sosial adalah proses sosial.

d) Interaksi sosial adalah dasar struktur sosial1.

1 Struktur sosial adalah sesuatu yang menggambarkan kedudukan (status) orang-orang dalam suatu

pergaulan hidup bersama sekaligus menunjuk pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan peranan yang dijalankan, yang tercipta oleh adanya interaksi sosial.

(42)

36 Syarat dan Ciri Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang terjadi dimasyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang.

2. Ada komunikasi antarpelaku dengan menggunakan simbol-simbol. 3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang)

yang menentukan sifat aksi yang sedan berlangsung.

4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

Tidak semua tindakan merupakan interaksi sosial. Hakikat interaksi terletak pada kesadaran mengarahkan tindakan pada orang lain. Jadi harus ada orientasi timbal-balik antara pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa menghiraukan isi perbuatannya misalnya cinta atau benci, kesetiaan atau pengkhianatan, maksud melukai atau menolong. Selain ciri-ciri, interaksi sosial juga memiliki syara-syarat yang membentuk interaksi sosial yaitu :

a. Kontak Sosial, yaitu hubungan antara individu satu dengan individu lain yang bersifat langsung, tidak hanya secara fisik (sentuhan) tapi juga bisa secara simbolik seperti ekspresi baik

bertatap muka langsung maupun dengan media (telepon, chat, radio, dan media lainnya). Kontak sosial dapat berupa antar orang perorangan, perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok (Resita, 2014). Kontak sosial dapat mengarah pada hal positif dan juga negative. Kontak sosial positif lebih mengarah pada kerjasama, sedangkan kontak sosial negative lebih mengarah pada terjadinya pertentangan.

Contohnya : Ketika kita berbicara langsung dengan orang lain dan dapat saling bersenruhan (misal berjabat tangan), seperti pada gambar di samping.

(43)

37

b. Komunikasi, merupakan proses penyampaian pesan dari seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) yang dilakukan secara langsung maupun dengan media sebagai alat bantu dengan harapan komunikan akan memberikan tanggapan.

Laswell (Fiske, 2012:50) berpendapat bahwa proses komunikasi di awali dengan siapa (sender/komunikator) mengatakan apa (message) melalui media apa (channel) kepada siapa (receiver/komunikan) dan bagaimana efeknya (tanggapan/feedback).

Interaksi sosial dapat berlangsung melalui proses komunikasi antar manusia baik komunikasi secara verbal maupun secara nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi melalui oral berupa kata-kata termasuk di dalamnya adalah bahasa dan tulisan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi melalui simbol-simbol dan gerak tubuh misal ekspresi, gerakan tubuh, pakaian, aksesoris, dan simbol-simbol lainnya.

Dalam interaksi sosial pemahaman tentang komunikasi interpersonal sangat penting diketahui karena apa yang dilakukan atau apa yang digunakan mempunyai makna yang lebih dalam daripada sekedar apa yang diucapkan. Misalnya kita lagi menunggu antrian di terminal, lalu ada seseorang duduk di sebelah kita dan menawari kita sebuah permen. Seketika itu kita menolah pemberiannya karena kita melihat orang tersebut memiliki banyak tato ditangannya dan pakaiannya pun terkesan bahwa dia seorang preman yang mau berbuat jahat kepada kita. Terkadang kita memberikan penilaian tetang orang lain melalui apa yang dikenakan dan apa yang melekat dalam tubuhnya.

(44)

38

Kecurigaan tersebut muncul karena tampilan nonverbal dari orang lain dibandingkan verbal yang disampaikan.

c. Tindakan Sosial, merupakan upaya manusia sebagai individu untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Dalam interaksi sosial erat kali kaitannya dengan tindakan sosial,

karena manusia seringkali melakukan tindakan sosial dalam hubungannya denngan orang lain. Dengan memahami tindakan sosial maka akan membuka jalan untuk dapat memahami dunia sosial dimana manusia saling berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam tindakan sosial akan melibatkan usaha untuk melakukan interpretasi dalam diri individu dengan menangkap makna simbolik yang diperoleh dari tindakan tersebut. Contoh sederhana dari tindakan sosial adalah seorang anak mencium tangan orang tuanya ketika akan berangkat sekolah.

Ada 4 tipe rindakan sosial menurut Max Weber, yaitu tindakan rasional, tindakan berorientasi nilai, tindakan efektif, dan tindakan tradisional. Tipe-tipe dari tindakan sosial tersebut berfungsi untuk menganalisis makna simbolik dari tindakan yang dilakukan oleh individu. Untuk mengetahui makna simbolik dibalik tindakan tersebut dapat melalui identifikasi dengan melakukan interpretasi dan mengklasifikasikan tipe tindakan sosial apa yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Berikut ini penjelasan singkat dari 4 tipe tindakan sosial :

Tindakan rasional, merupakaan tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan keserasian antara cara dan tujuan.

Tindakan berorientasi nilai, merupakan suatu tindakan yang lebih mempertimbangkan nilai yaitu mengutamakan apa yang dianggap benar, baik, wajar dalam masyarakat. Sebagai contohnya ketika kita memberi sesuatu ke orang lain kita selalu menggunakan tangan kanan untuk memberi, karena memberi dengan tangan

(45)

39

kanan dianggap sebagai perilaku yang baik dan sopan bagi masyarakat (kecuali untuk orang yang kidal).

Tindakan afektif, merupakan sebuah tindakan yang didasari oleh sisi emosional pada diri individu. Emosional di sini contohnya sedih, marah, senang, bahagia, jatuh cinta, patah hati, yang biasanya muncul akibat reaksi spontan. Perbedaan antara tindakan rasional dengan tindakan emosional yaitu rasional lebih menekankan atau membutuhkan pertimbangan yang membuat orang harus berpikir secara mendalam sedangkan emosional terjadi secara spontan.

Tindakan Tradisional, merupakan tindakan individu yang mempertimbangkan sagala sesuatu yang akan dilakukan dengan tradisi, adat istiadat, atau kebiasaan dari masyarakat tersebut. Jadi pertimbangannya adalah apa yang biasanya dilakukan oleh masyarakat. Misalnya ketika Ibu hamil pertama kali dan usia kandungan tujuh bulan maka akan diadakan mitoni di budaya Jawa.

Bentuk Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang terjadi di masyarakat mempunyai timbal balik sehingga menimbukan berbagai bentuk interaksi sosial. Interaksi sosial yang terjadi di masyarakat terdiri dari 2 bentuk yaitu asosiatif dan disosiatif. Berikut ini penjelasannya.

A. Asosiatif

Asosiatif merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat menyatukan. Bentuk asosiatif ini terdiri dari :

1. Coorperation (Kerjasama)

Kerjasama merupakan suatu usaha secara bersama-sama yang dilakukan oleh orang perorangan atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama dan saling bantu membantu satu dengan lainnya. Kerjasama ini terbentuk karena orang-orang menyadari bahwa mereka

(46)

40

mempunyai kepentingan yang sama yang kemudian sepakat untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

Kerjasama ini ada yang bersifat membangun dan bersifat merusak. Contoh dari kerjasama yang bersifat membangun misalnya warga desa saling bekerjasama untuk memperbaiki rumah ibadah yang rusak. Sedangkan kerjasama yang bersifat merusak misalnya, anggota masyarakat saling bekerjasama untuk tawuran antar desa. Berikut ini beberapa bentuk kerjasama :

a) Bargaining (tawar menawar): yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.

b) Cooptation (kooptasi): yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru oleh pimpinan atau organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari kegoncangan-kegoncangan dalam organisasi.

c) Coaition: yaitu combinasi antara dua organisasi atau lebih dengan tujuan yang sama.

d) Joint Venture (usaha patungan): yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

2. Akomodasi

Suatu proses penyesuaian antara individu dengan individu-individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok untuk mengurangi, mencegah, atau mengatasi ketegangan atau kekacauan. Proses akamodasi ini terdiri dari beberapa bentuk, yaitu (Soekamto, 2010:65-68) :

a) Coercion yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan.

b) Kompromi yaitu, suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya agar dicapai suatu penyelesaian terhadap suatu konflik yang ada. c) Mediasi yaitu, cara menyelesaikan konflik dengan jalan meminta

(47)

41

d) Arbitration yaitu, cara mencapai compromise dengan cara meminta bantuan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh badan yang kedudukannya lebih dari pihak-pihak yang bertikai.

e) Adjudication (peradilan) yaitu, suatu bentuk penyelesaian konflik melalui pengadilan.

f) Stalemate yaitu, Suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang dan berhenti melakukan pertentangan pada suatu titik karena kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi maju atau mundur.

g) Toleransi yaitu, suatu bentuk akomodasi tanpa adanya persetujuan formal.

h) Consiliation yaitu, usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak yang berselisih bagi tercapainya suatu persetujuan bersama.

3. Asimilasi

Suatu proses yang ditandai adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat di antara beberapa orang atau kelompok serta usaha menyamakan sikap, mental dan tindakan demi tercapainya tujuan bersama (Soekamto, 2010:65-68). Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan menjadi satu budaya baru yang disertai dengan hilanya ciri khas asli dari masing-masing budaya. Secara singkat asimilasi dapat diartikan sebagai peleburan dua kebudayaan menjadi satu kebudayaan.

Proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan. Asimilasi dapat terjadi karena ada ada kelompok-kelompok yang berbeda budaya dimana mereka saling berinteraksi secara langsung dalam kurun waktu yang lama sehingga budaya dari masing-masing kelompok tersebut berubah dan saling

Gambar

Tabel 2. Epistimologi Jurgen Habermas
Tabel 1. Paradigma Penelitian menurut Ritzer
Tabel 4. Karakteristik Utama Paradigma Teori Kritis.
Tabel 5 Karakteristik Paradigma Konstruktivis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Peran kepemimpinan dan manajemen dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengendalikan proses pengembangan infrastruktur yang mencakup SDM, fasilitas

suatu komputer dan dapat diakses oleh aplikasi atau komponen software yang.. lain pada komputer lain melalui jaringan (Deitel dan

Penyakit ini memiliki masa inkubasi sekitar &2, hari. ;lkus pada a/alnya mun)ul sebagai papul merah ke)il yang dengan )epat men9adi pustule kemudian mengalami ulserasi

Berdasarkan gambar 4 rata-rata hasil belajar siswa menunjukkan kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dibandingkan siklus I. Hal

Pasien dan Manajemen Risiko :dr. Subkomite Mutu dan Akreditasi : Faisal, S.Kep. Ahmad Kurnia S.Kep.. LAMPIRAN II : KEPUTUSAN DIREKTUR BLUD RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

[r]

Salah satu fungsi aplikasi berkomunikasi antara sistem lain (Sistem Penilaian Job Record dan Penilaian Kinerja Karyawan pada PT. Traktor Nusantara) dan sistem

Pegawai hanya memasukan data penduduk, data kriteria dan data penilaian penduduk, sedangkan proses perhitungan dan pembuatan laporan dilakukan oleh sistem.Penerapan