• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. KAJIAN MENGENAI PROPERTI

a. Pengertian Properti

Perkembangan investasi dalam bidang properti setiap tahun meningkat terutama di Indonesia dikarenakan investasi dalam bidang properti yang menjanjikan. Perkembangan investasi tersebut dipicu karena rendahnya suku bunga, meluapnya permintaan terhadap properti yang diinginkan, dan harga tanah yang setiap tahun mengalami peningkatan antara 15-20 persen yang peningkatan tersebut dikarenakan permintaan pasar yang membutuhkan hunian tempat tinggal.17

Properti termasuk kedalam salah satu bagian yang berpengaruh bagi pembangunan nasional yang dapat menghadirkan investasi dari pemerintah pusat maupun daerah. Salah satu bagianr yang mampu memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan, baik secara langsung seperti terciptanya lapangan pekerjaan maupun tidak langsung seperti melalui kontribusi terhadap PDB nasional.18

Menurut Rafitas, Properti aalah segala sesuatu yang dapat dimiliki siapa saja dan dapat dijadikan apa saja.19 Properti tersebut terdiri atas : a. Aset berwujud (Tangible Property) yang terdiri dari:

17

Murtiningsih, Siti. 2005. Analisis Dampak Guncangan Variabel Makro

Terhadap Investasi Bisnis Properti Di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi,

IPB.

18

Rony Wahyu Hidayat, “Peluang Dan Tantangan Investasi Properti Di Indonesia”, Universitas Negeri Surabaya, Hlm 9.

19

Rafitas, A. B. 2005. Kiat Sukses Bisnis Broker Properti. Bumi Aksara, Jakarta.

(2)

- Real Property yang dapat dikategorikan seperti tanah, bangunan dan prasarana, serta pengembangan lainnya.

- Personal Property yang dapat dikategorikan seperti mesin dan peralatan, kendaraan, peralatan kantor, fixtures dan furnitures serta building equipment.

b. Intangible Property atau asset tidak berwujud yang dapat dikategorikan seperti goodwill, personal guarantee, francises, trade mark, patent, dan copy right.

c. Marketable Securities atau surat-surat berharga, yang dapat dikategorikan seperti saham, tabungan dan promissary notes.

Dalam setiap perkembangannya, macam-macam properti yang sering dikembangkan oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut:

a. Properti yang dibangun dan dimiliki oleh grup besar yang tergabung dalam Asosiasi Real Estate Indonesia (REI).

b. Properti yang dibangun dan dimiliki oleh kontraktor, investor, owner, dan user sendiri yang dikelola secara individual.

Bangunan yang dibangun dan dimiliki oleh beberapa kelompok tersebut memiliki penggunaan yang berbeda-beda diantaranya:

a. Bangunan yang digunakan untuk perkantoran, ruko, pertokoan, serta hotel dan motel.

b. Bangunan yang digunakan untuk rumah tinggal dan apartemen. c. Bangunan yang digunakan untuk perindustrian seperti gudang, kantor,

dan industrial parks.

(3)

d. Bangunan yang digunakan untuk fasilitas umum seperti rumah sakit, perguruan tinggi, gedung-gedung pemerintah, dan SPBU.

e. Bangunan yang digunakan untuk tempat hiburan seperti bioskop, lapangan golf, museum, sarana olahraga, convention center, dll. Menurut Urip Santoso, rumah memiliki banyak bentuk yaitu:20

1. Rumah tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan tidak dibangun tepat pada batas kavelin.

2. Rumah deret adalah rumah yang dibangun dengan satu sisi yang menyatu dengan sisi yang lain, tetapi memiliki kaveling sendiri. 3. Rumah susun adalah gedung bertingkat yang terbagi dalam bagian –

bagian secara horizontal maupun vertical yang mempunyai kepemilikan secara terpisah.

Pembangunan dalam bidang properti setiap tahun mengalami peningkatan yang mengakibatkan persaingan antar pelaku usaha yang ketat. Hal tersebut berdampak pada cara yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam memikat konsumen untuk membeli properti yang ditawarkannya. Banyak para pelaku usaha yang menggunakan sistem pre project selling dalam penjualan properti seperti bangunan perkantoran, perumahan maupun apartemen atau rumah susun.21

Pre project selling merupakan sistem penjualan dengan menawarkan konsep atau gambar yang dilakukan oleh pengembang atau developer yang konsep tersebut belum memiliki bangunan secara nyata

20 Urip Santoso, Hukum Perumahan, Kencana, Jakarta, 2014 21

Purbandari, Kepastian dan Perlindungan Hukum Pada Pemasaran Properti

Dengan Sistem Pre Project Selling, Majalah Ilmiah Widya, No. 320 Th 29, Mei

2012, Hal.12

(4)

atau belum selesai dibangun. Penjualan dengan menggunakan sistem pre project selling berfungsi untuk menarik konsumen agar properti yang ditawarkan cepat terjual tanpa menunggu properti tersebut terwujud dan merupakan suatu tes terhadap pasar mengenai properti yang ditawarkan. Tetapi para developer tetap akan menggunakan sistem pre project selling meskipun mereka belum melengkapi persyaratan mengenai perijinannya seperti izin untuk mendirikan bangunan, izin prinsip atau izin lainnya yang berkaitan dengan pembangunan properti tersebut.

Sistem pre project selling mempunyai keuntungan maupun kerugian yang diterima oleh konsumen. Beberapa contoh keuntungan yang didapatkan oleh konsumen yaitu konsumen dapat membeli suatu properti dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga properti yang sudah ada bangunan, sehingga para developer berusaha memudahkan konsumen dalam melakukan pembayaran uang tanda jadi dengan kurun waktu yang sudah disepakati bersama. Adapun kerugian yang didapatkan oleh konsumen yaitu pada waktu pembuatan perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh para developer dibuat lebih menguntungkan para pihak developer dan membuat hak dari konsumen menjadi lemah.22

22

Triyanto*, Habib Adjie, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Perjanjian Pendahuluan Dalam Jual Beli Atas Satuan Rumah Susun Yang Dipasarkan Dengan Cara Pre Project Selling”. Res Judicata, Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, Halaman 59.

(5)

Pemerintah mengatur Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam PP No. 14 Tahun 2016 pada tanggal 23 Mei 2016. Di dalam pasal 22 ayat 3,4 dan 5 peraturan tersebut menjelaskan bahwa:23 “3. Rumah tunggal dan/atau Rumah deret yang masih dalam tahap proses

pembangunan Perumahan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan.

4. Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah; b. hal yang diperjanjikan;

c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;

d. ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum; dan

e. keterbangunan Perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen). 5. Badan Hukum yang melakukan pembangunan Rumah tunggal

dan/atau Rumah deret, tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik

dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).”

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, ada 3 (tiga) tahapan yang harus dilewati oleh pelaku usaha dalam bidang properti antara lain: a. Tahap pra transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha sebelum

terjadinya hubungan antara konsumen dan pelaku usaha. Pada tahap ini pengembang harus melengkapi perizinan yang telah diatur dan

(6)
(7)

ditentukan oleh peraturan yang ada. Kemudian salah satu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengembang adalah pemasaran awal (pre-project selling).

b. Tahapan kedua yaitu tahapan dengan adanya hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen. PPJB yang merupakan perjanjian menimbukan suatu prestasi timbal balik antara pengembang dan konsumen. PPJB dalam hal ini tidak dapat menjamin kepemilikan dari pembelian unit apartemen tersebut karena belum adanya AJB.

c. Tahapan terakhir yaitu tahap pasca transaksi yang dapat dilakukan baik oleh pengembang maupun konsumen dimana tahap ini jatuh pada pemenuhan dari prestasi setelah perjanjian dibuat pada tahap transaksi.

b. Perizinan Perusahaan Properti

Pihak-pihak pembangun atau developer rumah haruslah mempersiapkan 7 macam izin ini agar bisa melakukan kegiatan pembangunan rumah:

1. Izin Prinsip.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mengeluarkan izin prinsip untuk mendapat persetujuan bahwa lokasi yang diajukan sudah disetujui atau diberi izin untuk dibuat bangunan atau perumahan dengan syarat-syarat yang ada.

2. Izin Pemanfaatan Tanah (IPT).

(8)

Izin pemanfaatan Tanah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). IPT juga memuat penggunaan tanah dari pekarangan menjadi perumahan. Syarat IPT yang harus dilengkapi terdapat dalam izin prinsip.

3. Izin Site Plan.

Dinas Kimpaswil (Permukiman, Prasarana, dan Sarana Wilayah) menerbitkan izin site plan yang telah dirancang dalam suatu perencanaan lahan dan wajib disahkan oleh Dinas Kimpaswil.

4. Izin Pell Banjir.

Dinas Kimpraswil mengeluarkan Izin Pell Banjir terkait rekomendasi ketinggian kawasan dari titik tertinggi banjir rata-rata di daerah tersebut.

5. Izin Pengeringan.

Dinas Pertanian setempat mengeluarkan izin pengeringan terhadap lokasi yang berstatus sawah meskipun fisik sawah sudah berupa pekarangan.

6. Izin Ketinggian Bangunan.

izin ketinggian bangunan yang dikeluarkan oleh pengelola bandara setempat apabila berkaitan dengan bangunan yang akan dibangun berdekatan landasan udara pesawat terbang (bandara).

7. Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Dinas Kimpraswil atau Dinas Cipta Karya mengeluarkan izin mendirikan bangunan. Terdapat 2 macam izin mendirikan bangunan

(9)

yakni izin mendirikan bangunan induk dan izin mendirikan bangunan pecah. Izin mendirikan bangunan induk yaitu izin yang dikeluarkan untuk pemilik lahan induk, sedangkan izin mendirikan bangunan pecah adalah izin yang sudah atas nama konsumen.

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut menurut Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Nomor. 8 tentang perlindungan konsumen 24 . Jadi, seorang pelaku usaha tidak boleh memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan yang dinyatakannya.

Mengenai pernyataan yang terdapat dalam brosur, pelaku usaha tidak dapat mengalihkan tanggung jawab karena hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pencantuman klausula baku yang didalam UUPK melarang mencantumkan klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Klausula baku yang melanggar ketentuan di atas menjadi batal demi hukum sesuai dengan pasal 18 ayat (3) UUPK

25

. Jadi apabila dari pihak pelaku usaha gagal membangun bangunan yang dipesan konsumen, makan konsumen yang dirugikan tetap berhak menuntut kompensasi atau ganti rugi.

24

Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ,” pasal 8 ayat (1)

25

Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ,” pasal 18 ayat (3).

(10)

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut terancam sanksi pidana paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Ancaman sanksi ini termuat dalam Pasal 62 UU Konsumen. Ancaman pidana lain bagi developer yang membangun perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan persyaratan yang diperjanjikan juga diatur dalam Pasal 134 jo Pasal 151 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU Perumahan”). Yaitu denda maksimal Rp.5.000.000.000.000 miliar.

Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU Perumahan. Sanksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan lokasi.

c. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab

Demi menciptakan hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.. Menurut Pasal 6 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak pelaku usaha yaitu meliputi:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beriktikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

(11)

d. Hak untuk memperbaiki nama baik yang dialaminya apabila terbukti secara hukum kerugian yang dialami konsumen tidak disebabkan oleh barang dan/atau jasa yang dijual pelaku usaha;

e. Hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut; a. Beriktikad baik dalam menyelenggarakan usahanya;

b. Memberikan infomasi yang benar, jelas dan jujur terhadap kondisi barang dan/atau jasa yang dijual;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur dan tidak membeda-bedakan konsumen;

d. Menjamin kualitas barang dan/atau jasa yang;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk mencoba barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

d. Dasar Hukum

a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

(12)

c Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman

B. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA di BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

a. Sejarah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen awalnya muncul pada tahun 1881-1914 di Amerika Serikat, bermula dari kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria

massal akibat novel Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang

menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Pada tahun 1920-1940 juga muncul sebuah buku yang berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink. Lagi-lagi mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal,

best buy.

Kemudian pada era 1950 muncul suatu keinginan untuk mempersatukan Gerakan Perlindungan Konsumen dalam taraf Internasional yang diiawali dari negara Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia. Kemudian pada 1 April 1960 berdirilah gerakan yang bernama 0Internasional Organization of Consumer Union yang berpusat di Den Haag. Pada tahun 1993 pusat gerakan tersebut berpindah ke London Inggris dan dua tahun kemudian berganti nama menjadi Consumen Internasional (CI). Hingga sekarang ada 5 kantor

(13)

regional yang bergabung yaitu diantaranya Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysi0a, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.26

Focus Gerakan Perlindungan konsumen sebenarnya masih berhubungan dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, Gerakan terhadap perlindungan konsumen mulai berdiri pada tahun 1973 yang mempunyai nama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI terbentuk, muncullah beberapa gerakan organisasi yang serupa seperti Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) yang berdiri sejak februari 1988 di semarang dan bergabung sebagai anggota Consumer Internasional (CI) pada tahun 1990. Selain itu, mulai banyak lembaga yang orientasinya serupa dalam lembaga swadaya konsumen, seperti Yayaysan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan Perwakilan YLKI di berbagai Provinsi di Tanah Air.27

Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia diawali oleh YLKI dengan menghasilkan sebuah hasil besar setelah naskah akademik mengenai undang-undang perlindungan konsumen berhasil dibawa ke DPR. Perkembangan baru dibidang perlindungan konsummen terjadi setelah pergantian pemimpin di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan

26

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm

2-3.

27

Ibid Hlm 14-16.

(14)

Konsumen disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. Kemudian UUPK tidak langsung berjalan secara lancar karena masih membutuhkan waktu satu tahun untuk penyesuaian .

b. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pertumbuhan masyarakat terutama dalam bidang ekonomi

membawa dampak yang besar terhadap lembaga hukum di Indonesia. Adanya hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen seringkali diselesiakan melalui lembaga pengadilan, namun dalam kenyataannya yang tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga pengadilan seringkali0 tidak akomodatif dalam menampung sengketa konsumen karena dalam proses penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit Lembaga pengadilan dianggap tidak efisien dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa konsumen yang diajukan oleh pihak yang dirugikan. 28

Berlakunya UU Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak secara langsung menjamin terwujudnya penyelenggaraan perlindungan konsumen yang diidamkan, namun pemerintah memberikan terobosan baru apabila konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. BPSK

28

Eman Suparman, Pilihan forum Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa

Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 4.

(15)

merupakan badan yang berada di bawah Kepmenperindag yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha.

Dalam keanggotaaan BPSK, didalamnya mempunyai Majelis dalam menyelesaiakan sengketa konsumen yang terdiri dari 3 unsur yaitu unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah yang masing-masing unsur tersebut minimal berjumlah 3 (tiga) orang dan maksimal 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK dikeluarkan oleh Kepmenperindag. 29 Persyaratan untuk menjadi anggota BPSK sebagai berikut :30

1. Warga Negara Republik Indonesia (WNI). 2. Berbadan sehat.

3. Berkelakuan baik.

4. Tidak Pernah dihukum karena kejahatan.

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen.

6. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.

c. Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut pasal 52 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tugas dan wewenang BPSK sebagai berikut :

29

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2013, hlm. 143

30 Abdul Halim, barkatullah, Hak-Hak Konsumen,(Bandung : Nusa Media,2010) Hlm

90-91.

(16)

a. Memberikan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan beberapa cara penyelesaian yaitu mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.

b. Memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen. c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang-undang perlindungan konsumen. e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari

konsumen tentang terjadinya pelanggaran.

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen.

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui adanya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha saksi, saksi, saksi ahli, atau setiap orang.

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian terhadap pihak yang dirugikan.

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

(17)

m. Menjatuhkan saknsi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa Pasal 52 huruf a dan f dapat dikatakan memiliki makna yang sama dalam pelaksanaannya. Sedangkan dalam Pasal 52 huruf b, c dan e menjelaskan bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sebagaimana diatur didalam Pasal 49 ayat 1 UU Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi meliputi kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen, serta tugas dan kewenangan lainnya yang berkaitan dengan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran.31

d. Prosedur Beracara melalui BPSK.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sendiri merupakan alternatif yang banyak dipilih oleh para pihak, karena tergolong murah, cepat, sederhana, dan tidak berbelit-belit. Pada pasal 15 ayat 3 No.350/MPP/Kep/12/2001 Kepmenperindag tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK menjelaskan bahwa permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan oleh ahli waris atau kuasa hukumnya harus dilakukan apabila :

1) Konsumen yang bersangkutan meninggal dunia;

31

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2014),h. 247.

(18)

2) Konsumen sakit atau sudah berusia lanjut yang tidak dapat mengajukan pengaduan secara langsung tetapi harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan Kartu Tanda Penduduk (KTP);

3) Konsumen masih dalam pengampuan; dan 4) Konsumen warga negara asing.

Kemudian didalam pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK menjelaskan bahwa permohonan terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan harus berisi informasi yang lengkap dan benar yaitu mengenai:

1) Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli warisnya atau yang dikuasakannya;

2) Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; 3) Barang atau jasa yang menjadi sengketa;

4) Bukti perolehan yang didaptkan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen bukti lain);

5) Tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan/atau jasa tersebut; 6) Saksi yang dapat diajukan; dan

7) Foto mengenai barang dan/atau jasa (jika ada).

Proses penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak dapat diselesaikan secara bertahap. Para pihak bebas dalam memilih upaya yang diinginkan dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. BPSK

(19)

BPSK mempunyai 3 cara dalam proses penyelesaian sengketa konsumen yaitu melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.32

1. Konsiliasi adalah salah satu pilihan yang dapat dipilih dalam proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang diartikan sebagai: an

indefendent person (consiliator) brigs the parties together and encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating communication between the parties. Konsiliasi merupakan

alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam proses penyelesaian sengketa secara konsiliasi memiliki banyak kesamaan dengan mediasi seperti menyerahkan penyelesaian pada pihak ketiga untuk memberikan pendapat mengenai sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Penyelesaian dengan cara konsiliasi diatur dalam Pasal 5 angka 1 Keputusan menteri Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK33.

Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan BPSK sebagai perantaranya untuk mempertemukan para pihak tetapi penyelesaiannya tetap diserahkan kepada para pihak. Adapun ketentuan mengenai prosedur penyelesaian sengketa konsumen di BPSK melalui cara konsiliasi terdapat pada Pasal 28 Kepmenperindag Nomor.

32 R. Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Bina Cipta, 1989), h. 130. 33

Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal 5 angka 1.

(20)

350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK 34 mengatur bahwa majelis dalam menyelesaikan konsumen dengan cara konsiliasi, mempunyai tugas sebagai berikut;

a. Memangggil seluruh yang bersangkutan; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundan-undangan dibidang

perlindungan konsumen.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi adalah:

a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

b. Majelis bertindak pasif sebagai konsiliator;

c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan;

2. Mediasi sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Proses penyelesaian sengketa melalui cara mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang mengikutsertakan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa sehingga memudahkan proses penyelesaian

34

Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 28.

(21)

sengketa untuk mencapai kompromi/kesepakatan. Pada umumnya semua orang setuju terhadap tujuan penyelesaian sengkea yaitu membantu para pihak dalam mencapai penyelesaian sengketa terhadap suatu sengketa atau konflik.

Tugas utama mediator adalah memberikan penawaran kepada para pihak tetapi bukan memberikan putusan terhadap sengketa yang dialami para pihak. Keterlibatan mediator sangat mempengaruhi proses negosiasi bagi para pihak.

Peran mediator pada hakikatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari sengketa yang dihadapi, sehingga hasil penyelesaiaan dalam bentuk negosiasi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak, dan kekuatan putusan akhirnya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final dan tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada iktikad baik para pihak.35

Dalam persidangan dengan cara mediasi, majelis dalam penyelesaian sengketa mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

b. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran perlindungan konsumen; c. Menyediakan tempat dan waktu bagi para pihak yang bersengketa; d. Mendamaikan para pihak yang bersengketa secara aktif;

35

Ahmadi Miru dan sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 254-256.

(22)

e. Memberikan masukan terhadap penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Tata cara persidangan sengketa konsumen dengan cara mediasi adalah:

a. Majelis menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada para pihak;

b. Majelis berperan secara aktif sebagai mediator dengan memberikan pesan, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam penyelesaian sengketa;

c. Majelis menerima hasil musyawarah antara para pihak dan mengeluarkan putusan;

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsiliasi dan mediasi merupakan sama-sama cara yang dapat dipilih dalam proses penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen dan Majelis yang menjadi penengah dari penyelesaian sengketa.

3. Arbitrase merupakan cara penyelesaiaan sengketa konsumen di luar pengadilan berdasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh konsumen dn pelaku usaha.. Di Indonesia telah dibentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sejak 30 November 1977, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KA-DIN) Nomor. SKEP/152/DPH/1977.

(23)

Penyelesaian Sengketa konsumen melalui peradilan arbitrase dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa.

Kelebihan dalam proses penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase adalah putusan yang dikeluarkan mempunyai kekuatan hukum tetap, mengikat dan bersifat final. Putusan yang dihasilkan melalui cara arbitrase mempunyai kekuatan untuk eksekusi apabila pihak yang dikalahkan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan putusan yang dikeluarkan, maka pihak yang memenangkan sengketa dapat meminta eksekusi ke pengadilan.

Walaupun cara arbitrase mempunyai kelebihan, namun penyelesaian secara arbitrase sebagai cara penyelesaiaan sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa lain. Alternatif-alternatif lainnya itu memiliki kesamaan dengan arbitrase, diantaranya adalah : sederhana dan cepat, prinsip konfidensial, dan diselesaikan oleh / melibatkan pihak ketiga yang netral dan memiliki pengetahuan khusus secara profesional. Namun, dibalik persamaan itu terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya, karena pada arbitrase: a. Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih murah

daripada penyelesaiaan melalui proses litigasi, namun biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan biaya penyelesaian dipengadilan karena ada beberapa tambahan biaya lain yang dikeluarkan. Biaya

(24)

tersebut seperti biaya administrasi untuk permohonan penyelesaian sengketa, honor arbiter, biaya transportasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli;

b. Penyelesaiaan yang lama, karena dalam proses penyelesaiannya membutuhkan waktu yang panjang dan lama, meskipun didalam ketentuan peraturan perundang-undangannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 60-90 hari karena terjadinya perbedaan pendapat tentang penunjukan arbiter atau hukum yang hendak diterapkan sehingga penyelesaiaan tersebut akan bertambah rumit dan panjang.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara arbitrase di BPSK diatur dalam Pasal 32 Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang BPSK yaitu:

1. Dalam penyelesaiaan sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis.

2. Arbiter yang dipilih oleh para kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.

Dari penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa ada 3 orang yan ditunjuk sebagai arbiter dalam penyelesaian sengketa konsumen. Penjelasan Pasal 33 Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan

(25)

Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang BPSK yaitu:

1. Ketua majelis harus memberikan petunjuk, nasihat, ataupun masukan kepada para pihak mengenai cara yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa.

2. Konsumen dan pelaku usaha dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan sengketa atas izin ketua majelis.

Dari penjelasan tersebut ketua Majelis berkewajiban memberikan petunjuk kepada para pihak mengenai upaya dalam proses penyelesaian sengketa konsumen yang digunakan oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 34 Kepmenperindag Republik Indonesia Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang BPSK tentang tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase yaitu:

1. Pada persidangan pertama dimulai dengan membacakan isi gugatan surat jawaban dari pelaku usaha.

2. Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada para pihak yang berperkara untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Berdasarkan penjeleasan yang terdapat dalam Pasal 34 Keputusan menteri Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang BPSK, pada sidang pertama diawali dengan pembacaan isi gugatan dari konsumen dan surat jawaban dari pelaku usaha dan kemudian pada persidangan selanjutnya Ketua majelis memberikan

(26)

kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Jika para pihak dalam proses penyelesaian sengketa konsumen tidak mencapai kesepakatan terhadap bentuk atau besarnya ganti rugi, maka majelis yang ada didalam BPSK dilarang melanjutkan penyelesain sengketa konsumen dengan cara penyelesaian yang lain. Penyelesaiannya yang dapat dilakukan selanjutnya yaitu secara litigasi atau peradilan umum. BPSK merupakan sebuah lembaga diluar pengadilan yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa konsumen, sehingga pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK dipisahkan dari lingkup peradilan, tetapi tetap memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari lembaga peradilan baik perdata maupun pidana.36

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dapat dilakukan melalui perantara Majelis yang sudah ditunjuk, sehingga pemeriksaan terhadap sengketa dapat diperiksa dan diputus oleh majelis BPSK yang didalamnya terdapat anggota majelis minimal 3 (tiga) orang dan dibantu oleh panitera. Pemeriksaan sengketa konsumen hampir mendekati proses penyelesaian dipengadilan yang dilakukan oleh hakim karena BPSK dapat disebut sebagai peradilan semu. Putusan yag dikeluarkan oleh majelis BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen bersifat final (in

kracht van gewujsde) dan mengikat artinya BPSK merupakan lembaga

akhir sebagai pemutus perkara sengketa konsumen dalam tingkat pertama

36

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Kencana, Jakarta, 2008

hlm. 155.

(27)

dan terakhir dikarenakan sebagai badan penengah, majelis mempunyai keputusan yang tidak dapat dibantah lagi oleh para pihak yang bersengketa.37

Kewenangan BPSK sangat terbatas, ruang lingkup sengketa yang dapat ditangani hanya mencakup pelanggaran didalam Pasal 19 Ayat (2), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 UUPK. Sanksi yang dijatuhkan dalam pelanggaran tersebut hanya bersifat administratif. Pelanggaran terhadap pasal-pasal lain menjadi kewenangan badan peradilan. Termasuk pelanggaran mengenai pencantuman klasula baku, sekalipun pengawasan terhadap pencantuman klasula baku ini adalah bagian dari tugas BPSK.38

Menghindari proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan kepada BPSK. Setelah gugatan diterima, BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja. Ketentuan ini dipandang sangat penting bagi konsumen mengingat posisi ekonomi dan daya tawar konsumen berada di bawah pelaku usaha. Melalui proses penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat sangat menguntungkan konsumen guna menghindari pembengkakan biaya. Termasuk bagi para pelaku usaha yang lebih memilih penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang singkat dan tidak memerlukan

37

Janus Sidabalok, Op Cit, hlm. 188.

38

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 180.

(28)

banyak biaya karena hal tersebut dapat mempengaruhi bisnis yang dijalankan.

e. Dasar Hukum Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Dasar hukum pelaksanaan dan terbentuknya BPSK yaitu:

a UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; b PP No. 57 Tahun 2001 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Nasional (BPKN);

c PP No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;

d PP No. 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);

e Kepmenperindag No.301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

f Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; g Kepmenperindag No.794/MPP/Kep/12/2002 tentang Pengangkatan

Anggota BPSK;

h Kepmenperindag No.231/MPP/Kep/3/2003 tentang Pengangkatan Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat BPSK pada Pemerintah Kota Bandung, Kota Semarang dan Kota Surabaya;

(29)
(30)

i Kepmenperindag No.704/MPP/Kep/3/2003 tentang Pengangkatan Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat BPSK pada Pemerintah Kota Malang;

j Keppres No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK Pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kot/a Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Makasar;

k Keppres No.108 Tahun 2004 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Jeneponto; l Keppres No.18 Tahun 2005 mengenai pembentukan BPSK di Kota

Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Tangerang;

m Keppres No 5 Tahun 2012 tentang Pembentukan BPSK pada Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Paser, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Cirebon, serta Kota Bandar Lampung, dan Kota Tanjung Balai;

n Keppres No. 12 Tahun 2013 tentang pembentukan BPSK di kabupaten Bone Bolango, kabupaten Gorontalo, kabupaten Gorontalo Utara,

(31)

kabupaten Pohuwato, kabupaten Pemalang, kabupaten Cianjur, kabupaten Langkat, kota Padang Panjang, kota Bekasi, kta Pematangsiantar dan kota Salatiga;

o Keppres No. 5 Tahun 2014 tentang pembentukan BPSK pada kabupaten Bangka, kabupaten Badung, kabupaten Minahasa, kabupaten Gowa, kabupaten Tanjung Jabung Barat, kabupaten Bengkayang, kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan kota Sungai Penuh;

p Keppres No.27 Tahun 2012 tentang pembentukan BPSK pada kabupaten Mappi kabupaten Bantaeng kabupaten Muara Enim kabupaten Probolinggo kota Lubuklinggau dan kota Tasikmalaya; q Keppres No. 1 Tahun 2015 tentang pembentukan BPSK pada

kabupaten Indragiri Hilir, kabupaten Lebak, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Asahan, kabupaten Jayawijaya, kabupaten Lima Puluh Kota dan kabupaten Kapuas.

f. Kendala BPSK Dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen.

Perlindungan terhadap Konsumen sebagai “payung hukum” dalam pelanggaran hak-hak konsumen diharapkan dapat memberikan solusi dalam proses penyelesaian perkara yang terjadi. Hal tersebut disebabkan karena ketentuan hukum yang tidak pernah berjalan sesuai dengan yang terjadi yaitu penyelesaian yang dilakukan secara cepat, sederhana, dan murah. Ada beberapa kendala yang dialami BPSK dalam proses penyelesaian sengketa konsumen adalah sebagai berikut:

(32)

1. Kendala Kelembagaan.

Kendala terhadap organisasi yang ada dalam BPSK masih menjadi permasalahan yang sangat penting untuk diselesaikan. Secara stuktur keorganisasian BPSK bertanggung jawab kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang didalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak bisa dipisahkan dari kewenangan eksekutif, sehingga secara tidak langsung dapat memunculkan hambatan dalam menjalankan tugas-tugasnya. UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menjelaskan bahwa BPSK adalah sebuah badan penyelesaian perkara yang memiliki kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara tetapi bukan badan yang memiliki fungsi seperti diperadilan (kuasi peradilan). Oleh karena pelaku usaha yang dikalahkan oleh putusan BPSK tetap dapat meminta keberatan ke pengadilan negeri.39

2. Kendala Pendanaan.

Pada tahun 2002, BPSK masih menerima anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN, namun pada tahun 2003 dana operasional BPSK didapatkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD. Namun Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memasukkan dana operasional BPSK kedalam APBD, mengingat bahwa otonomi daerah sampai saat ini belum

39

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 210.

(33)

berjalan lancar maka beberapa BPSK belum menerima dana operasional.

3. Kendala Sumber Daya Manusia.

Anggota-anggota BPSK yang didalamnya terdapat Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) unsure dalam penyelesaian sengketa konsumen yaitu terdiri dari unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Keterwakilan dari masing-masing unsur tersebut bagi peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk menunjukan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen dan menunjukkan kepada para pihak yang bersengketa bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, konsumen maupun pelaku usaha. Pembagian anggota BPSK ke dalam beberapa unsur tersebut memiliki kaitan dengan keseimbangan yang didapatkan oleh konsumen dan pelaku usaha dalam menyelesaikan permasalahnya dan pemerintah sebagai pihak yang netral dalam pengambil keputusan. Anggota BPSK dari beberapa unsur tersebut harus memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang hukum karena BPSK merupakan badan yang dibentuk pemerintah yang mempunyai tugas dan wewenang untuk penyelesaian sengketa konsumen. Tetapi dalam proses pengangkatan anggota BPSK sering menimbulkan hambatan karena dalam proses pengangkatan anggota BPSK lebih menekankan formalitas dari terpenuhinya unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah, daripada kompetensi yang dimiliki oleh

(34)

anggota BPSK dalam menyelesaikan dan memutus perkara, sehingga terdapat beberapa anggota BPSK yang tidak memiliki kemampuan dalam menguasai materi pokok dalam penyelesaian sengketa yang dialami oleh para pihak. Anggota BPSK dari unsur pemerintah diambil dari beberapa wakil instansi didalam birokrasi pemerintahan, hal tersebut dapat menjadi hambatan dalam proses penyelesaian sengketa di BPSK dikarenakan kebiasaan antara atasan dan bawahan dalam birokrasi pemerintahan sering kali terbawa di BPSK yang dapat menjadi beban secara internal maupun eksternal antara anggota BPSK dengan birokrasi pemerintahan.40

4. Kendala Peraturan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai salah satu lembaga penegak keadilan yang dalam kenyataannya ternyata masih seringkali dilakukan sehingga sering menghadapi kendala. Hal tersebut dikarenakan ketentuan hukum dari peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan yang diharapkan yaitu untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, sederhana, dan biaya yang murah. Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang didalamnya tidak memberikan petunjuk ataupun pedoman terkait teknis penyelesaian, bahkan didalam UU tersebut ada beberapa pasal yang saling

bertentangan adanya pertentangan pasal-pasal didalam peraturan perundang-undangan baik berupa ketentuan acara yang dipakai

40 Ibid, hlm. 213.

(35)

maupun pertentangan dengan peraturan yang lain sehingga kepastian hukum sulit untuk dicapai. Adanya peraturan yang tidak selaras dari segi prosedurl dapat menimbulkan beberapa kelemahan pengaturan terutama mengenai prosedur beracara di BPSK yang belum ada ketentuan baku mengenai standar formulir yang harus dilengkapi dalam beracara di BPSK.

5. Kendala Pembinaan dan Pengawasan, Serta Tidak Adanya Koordinasi Aparat Penanggung Jawabnya.

Keterlibatan pemerintah dalam memberikan pembinaan dan pendampingan untuk penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Rendahnya tingkat kesadaran konsumen tentang perlindungan konsumen terhadap hak-hak serta kewajiban yang dimiliknya disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai UU Perlindungan Konsumen. Faktor lain yang dapat menentukan rendahnya tingkat kesadaran konsumen adalah budaya hukum yang ada dimasyarakat Indonesia. Budaya hukum tersebut terbentuk karena sikap dari warga masyarakat iu sendiri. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat mempertahankan hubungan yang terjadi dilingkungannya secara berturut-turt. Hal ini sangat berdampak terhadap sikap dan tindakan di bidang hukum. Upaya pembinaan dan pemberdayaan ini sangat penting, karena tidak mudah untuk

(36)

menyadarkan para pelaku usaha dan konsumen agar menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Kekuatan putusan BPSK bersifat mengikat dan final, hal ini diatur dalam Pasal 54 ayat 3 UU Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berisi bahwa: putusan BPSK bersifat final dan mengikat. Lebih lanjut kekuatan putusan BPSK diatur dalam Kepmenperindag Replubik Indonesia Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Pasal 42 ayat 1 berisi bahwa putusan BPSK mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dibanding kembali. Final berarti penyelesaian sengketa sudah berakhir dan tidak adanya upaya hukum yang lain, mengikat berarti memaksa para pihak untuk mematuhi putusan tersebut.

Proses dikeluarkannya putusan BPSK dilakukan secara bertahap, yaitu terdapat pada Pasal 39 Kepmenperindag Replubik Indonesia Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK:

a. Berdasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat.

b. Apabila dengan cara musyawarah tersebut tidak tercapai mufakat maka dilakukan dengan cara voting atau suara terbanyak.

c. Isi dari putusan yang dikeluarkan oleh BPSK terbatas hanya pada 3 (tiga) alternatif, yaitu yang termuat dalam Pasal 40 Kepmenperindag

(37)

Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK:

a. Damai;

b. Gugatan ditolak;

c. Gugatan dikabulkan. Jika gugatan dikabulkan, maka kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa:

1. Ganti rugi atas pengkomsusian barang dan/atau memanfaatkan jasa yang dapat berupa:

a. Pengembalian uang.

b. Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi maksimal Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terdapat pada Pasal 60 Ayat (2) UU Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 3 huruf I dan Pasal 40 Ayat (3) butir b Kepmenperindag Replubik Indonesia Nomor. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Pelaksanaan Tugas dan

Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan putusan yang dikeluarkan oleh BPSK sebagai berikut :

1. Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak dikeluarkannya putusan BPSK maka para pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. 2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri

paling lambat 14 hari kerja setelah putusan tersebut dikeluarkan.

(38)

3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan BPSK.

4. Jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, maka BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan proses penyidikan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5. Putusan BPSK sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Walaupun sudah adanya usaha untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang akhir putusannya bersifat final dan mengikat didalam UU Nomor. 8 Tahun 1999 tentang PK masih membuka kemungkinan para pihak untuk mengajukan keberatan atas putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri, tetapi apabila pihak yang mengajukan tersebut tetap keberatan dengan putusan Pengadilan Negeri maka pihak yang dikalahkan tersebut tidak dapat lagi meminta penyelesaian sengketa konsumen dengan upaya hukum banding melainkan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 58 ayat 2 UU Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.41

Tentang pengajuan keberatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 56 ayat 2 tersebut, pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas

41

Ahmadi Miru dan sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 248-251.

(39)

keberatan dalam waktu paling lambat 21 hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 hari bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak menerima permohonan kasasi.

C. TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN a Pengertian Perlindungan Konsumen

Perkembangan ekonomi yang semakin meningkat ditimbulkan karena kebutuhan manusia juga meningkat. Hal tersebut menimbulkan pemerintah untuk melakukan berbagai cara dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dengan cara mempercepat dan memperbanyak produksi kebutuhan masyarakat, namun semakin banyak yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dapat memberikan dampak yang buruk bagi pemenuhan kebutuhan masyarakatt tersebut. Tanggung jawab pemerintah dalam hal menjamin hak-hak konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang secara resmi diatur dalam UU Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal sangat penting mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan penggerak disegala bidang produksi maupun konsumsi barang dan/atau jasa tersebut. Dengan

(40)

demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak.

Menurut business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah protecting consumers against unfair or illegal trader. 42 Perlindungan konsumen istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku usaha dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan menghindari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Perlindungan konsumen diatur dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.43

Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang luas meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan/atau jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek yaitu :44 1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada

konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.

42

Peter Colin, Op.cit., h. 61

43

Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen,” pasal 1 angka 1.

44

Adrianus Meliala, praktik bisnis curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 153

(41)

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.

Perlindungan konsumen berasaskan dari 5 asas yaitu manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. beberapa asas diatas didalam perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia.

Tujuan dari perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 3 UUPK yaitu: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

(42)

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

b. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Pasal 1 angka 2 UUPK menjelaskan mengenai pengertian konsumen yaitu:

“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut A.Z. Nasution, orang tersebut di atas adalah orang yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa tersebut hanya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain. Pengertian pelaku usaha diatur di dalam UU Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 menjelaskan sebagai berikut:

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Dalam penjelasan tersebut yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain sebagainya.

(43)

c. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Secara umum dikenal ada 4 hak dasar konsumen, yaitu; a Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); b Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); c Hak untuk memilih (the right to choose);

d Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar tersebut diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam The International Organization of Consumer Union ( IOCU ) menambahkan lagi beberapa hak yang harus diakui yaitu seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. Seperti contoh YLKI yang memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai pancahak konsumen.

Hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa;

(44)

b. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/ atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk dipelakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UU Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut;

a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

(45)

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan hak pelaku usaha sebagai berikut;

f. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan; g. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beriktikad tidak baik;

h. Hak untuk melakukan pembelaan diri dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

i. Hak untuk memperbaiki nama baik yang dialaminya apabila terbukti secara hukum kerugian yang dialami konsumen tidak disebabkan oleh barang dan/atau jasa yang dijual pelaku usaha; j. Hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut; h. Beriktikad baik dalam menyelenggarakan usahanya;

i. Memberikan infomasi yang benar, jelas dan jujur terhadap kondisi barang dan/atau jasa yang dijual;

j. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur dan tidak membeda-bedakan konsumen;

(46)

k. Menjamin kualitas barang dan/atau jasa yang;

l. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk mencoba barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

m. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

d. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

a Pasal 28 G Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen;

c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

(47)

Referensi

Dokumen terkait

Lembar Kerja Siswa (LKS) memuat kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Penyajian materi dalam LKS diawali dengan..

Proses pemuatan (loading) kebutuhan melaut ke atas perahu slerek pada aktivitas pukat cincin di PPN Pengambengan masih tradisional yaitu dengan proses gotong royong.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan bungkil biji kapuk dan sekam padi yang memiliki kadar air, kadar abu, kadar karbon, dan nilai kalor sesuai

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diijelaskan dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan literasi sains siswa pada penerapan pendekatan

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Laksana Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Banyumas

Perubahan status Bank BTPN tersebut telah mendapat persetujuaan dari Bank Indonesia sebagaimana ditetepkan dalam surat Bank Indonesia No.26/5/UPBN/PBD2/Bd tanggal 22april

Berdasarkan penelitian tentang Pengaruh Keikutsertaan Senam Hamil Terhadap Kecemasan Primigravida Trimester Ketiga Dalam Menghadapi Persalinan diperoleh responden yang

Hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara sikap dengan perilaku penggunaan APD (p-v=0,437), pendidikan dengan perilaku penggunaan APD (p- v=0,980), pengetahuan