Malik Ibrahim Abstrak
Tafsir sangat diperlukan karena setiap orang mengemukakan pikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul dengan kalimat-kalimat yang bersifat menjelaskan. Penafsiran al-Qur'an berperan untuk membantu manusia menangkap rahasia-rahasia Allah s.w.t dan alam semesta, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Penafsiran yang tepat diperlukan untuk memahami al-Qur'an secara baik dan benar diperlukan penafsiran yang tepat sehingga untuk mencapai maksud tersebut diperlukan penguasaan metodologi tafsir secara baik pula. IImu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab-kitab tafsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat bentuk tafsir, yaitu: metode Tahlili, ijmaii, Muqarin dan Mawdhu’i. Tulisan ini menjelaskan beberapa metode penafsiran tersebut serta menjelaskan kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode tersebut.
Kata kunci: al-Qur’an, tafsir, metode A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kata-kata (firman) Allah s.w.t. memerlukan tafsir, penjelasan, penguraian, interpretasi, atau komentar, karena suatu alasan yang nyata, ia harus dapat dipahami secara jelas dan sepenuhnya agar perintahnya dapat dilaksanakan dengan keyakinan bahwa kehendak Allah s.w.t telah dikerjakan. Namun, sebagai kata-kata Allah s.w.t pun, al-Qur’an tampaknya menghalangi upaya tafsir karena dua alasan yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Pertama, karena ayat al-Qur’an yang datang melalui wahyu muncul seperti apa adanya dari Allah s.w.t, sehingga al-Qur’an pastilah jelas artinya sehingga tidak perlu adanya penafsiran oleh manusia Kedua, bagaimana mungkin akal manusia yang terbatas mengaku mampu menemukan makna sesungguhnya dari teks-teks sebuah kitab
yang datang dari sang pemilik kearifan yang tidak terbatas?1
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang
*
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
1 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, jilid 5, cet. I,
berarti penjelasan atau keterangan, yakni menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan yang memberikan pengertian tentang sesuatu disebut tafsir. Jadi, keterangan atau penjelasan itulah yang menyampaikan pengertian tentang sesuatu itu begini atau begitu. Tafsir al-Qur'anul Karim ialah penjelasan atau keterangan tentang firman Allah s.w.t. yang memberikan pengertian mengenai susunan
kalimat yang terdapat dalam al-Qur'an.2 Secara istilah, tafsir ialah ilmu
yang membahas tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur'an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkan
ketika dalam keadaan tersusun.3
Tafsir sangat diperlukan, karena setiap orang mengemukakan pikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa
disusul dengan kalimat-kalirnat yang bersita menjelaskan.4 Penafsiran
al-Qur'an berperan untuk membantu manusia menangkap rahasia-rahasia Allah s.w.t dan alam semesta, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Selanjutnya, penafsiran al-Qur'an dapat membebaskan manusia dari belenggu perbudakan, baik oleh manusia maupun harta serta membimbingnya untuk menyembah Allah Yang Maha Kuasa. Dengan penafsiran ini, seseorang dapat berhubungan dengan sesamanya sekaligus
dengan penciptanya.5 Dilihat dari metode yang digunakan olen para
mufasir, tampaknya metode penafsiran itu secara garis besar bermuara pada empat metode, yaitu tafsir Tahlili, tafsir Ijmali, tafsir Muqarin dan
tafsir Mawdhu’i.6
B. Metode Tafsir
IImu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab-kitab talsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat
bentuk tafsir, yaitu: metode Tahlili, Ijmaii, Muqarin dan Mawdhu’i.7
2 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur'an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), p. 5. 3 Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, alih bahasa Ahmad Akrom,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.), p. 3.
4 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah, p. 5.
5 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur'an, alih bahasa Hasan Basri dan
Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), p. 2.
6 Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur'an, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2004), p. 94.
7 Abd. al-Hayyi al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu'iy: Suatu Pengantar, alih bahasa
Penjelasan masing-masing metode adalah sebagai berikut: 1. Tafsir Tahlili
Tahilli berasal dari bahasa Arab, hallala-yahallilu-tahlil yang berarti mengurai, menganalisis. Tafsir metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam
al-Qur'an Mushaf Usmani.8 Muhammad Baqr al-Sadr menyebut tafsir
metode Tahlili ini dengam tafsir Tajzi’i, yang secara harfiah berarti "tafsir
yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.9
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tafsir Tahlili atau Tajzi’i adalah metode yang paling tua. Tafsir ini berasal sejak masa para shahabat Nabi s.a.w. Pada mulanya, tafsir model ini terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakata. Dalam perkembangannya, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Qur'an. Karenanya, pada akhir abad ketiga hijriyah (abad ke-10 M.) para ahli tafsir seperti Ibn Majah, ath-Thabari dan lain-lain lalu mengkaji keseluruhan isi
al-Qur'an dan membuat model-model paling maju dari tafsir Tahlili ini.10
Dalam melakukan penafsiran, mufasir (penafsir) memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan al-Qur'an, mufasir biasanya melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Menerangkan hubungan munasabah baik antara satu ayat dengan ayat
yang lain maupun antara satu surah dengan surah lainnya.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul)
3) Menganalisis mufrodat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa
Arab.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan dan i'jaz bila dianggap perlu.
6) Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas,
khususnya bila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam.
7) Menerangkan makna dan maksud syara' yang terkandung dalam ayat
bersangkutan.
Melihat aspek-aspek yang dibahas dalam tafsir Tahlili, dapat dipahami bahwa penafsiran dengan metode ini sangat luas dan
8 Badri Khaeruman, Sejarah, p. 94.
9 M Quraish Shihab dkk, Sejarah & 'Ulumul al-Qur'an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), p. 173.
menyeluruh. Metode tafsir Tahlili digunakan oleh sebagian besar mufasir pada masa lalu dan masih terus berkembang pada masa sekarang.
Metode Tahlili memiliki berbagai macam corak penafsiran, yaitu al-mattsur, ar-ra’yi, ash-shufi, al-fiqhi, al-falsafi, al-ilmi dan al-adabi al-ijtima'i. Corak-corak tafsir tersebut sesungguhnya hanya berupa kecenderungan mufasir terhadap bidang-bidang keilmuan Islam, sehingga belum ada tafsir yang murni bercorak sufi, filsafati ataupun bercorak ilmu pengetahuan atau sains.11
a. Tafsir bil Ma'tsur
Tafsir bil ma'tsur adalah suatu corak penafsiran yang sangat mengandalkan riwayat atau atsar. Corak tafsir bil ma'tsur ini para ulama berkomentar bahwa penafsiran al-Qur'an yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat al-Qur'an terhadap yang lain dengan menggunakan al-Qur'an pula.
Kriteria tafsir bil ma'tsur yaitu: penafsiran al-Qur'an dengan hadis Nabi s.a.w. untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui para sahabat semasa Nabi s.a.w. masih hidup; penafsiran al-Qur'an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka; dan penafsiran al-Qur'an dengan pendapat tabi'in dalam rangka memberikan keterangan terhadap kesamaran yang ditemui kaum muslimin tentang sebagian maksud al-Qur'an.
Perkembangan tafsir bil ma'tsur dapat dibagi dalan dua periode, yaitu periode Riwayah dan periode Tadwin. Periode Riwayah adalah masa Rasulullah s.a.w., para shahabat dan tabi'in. Pada masa ini, Rasul menjelaskan apa yang terkandung dalam makna al-Qur'an kepada para shahabat. Para shahabat adakalanya meriwayatkan kepada yang lain dan kemudian meriwayatkan kepada tabi'in. Oleh karena itu, periode ini disebut juga dengan periode Syafahiyah, yaitu pengajaran secara langsung.
Periode kedua, yaitu periode Tadwin (pembukuan). Pada periode ini dilakukan pencatatan dan pembukuan segala yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w. dan para shahabat. Tepatnya, pembukuan telah dimulai pada masa shahabat, tetapi penyusunannya secara sistematis sebagai ilmu yang mandiri dan terpisah dari hadis secara sempurna baru terjadi pada abad ketiga hijriyah. Contoh kitab-kitab tafsir bil ma'tsur antara lain Jami
al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, karya Ibn Jarir Ath-Thabari serta kitab Tafsirul
Qur'anil Adhim karya Ibn Katsir. b. Tafsir bir Ra'yi
Secara definisi, tafsir bil ra'yi adalah menafsirkan al-Qur'an
berdasarkan ijtihad mufasir sesudah ia mengusai dan memahami bahasa Arab dengan segala seginya, mengerti kata-kata bahasa Arab dengan segala maksudnya sambil memperhatikan pengertian syair-syair jahiliyah, memperhatikan asbabun nuzul, nasikh mansukh serta syarat-syarat yang diperlukan oleh seorang mufasir. Contoh kitab-kitab tafsir yang bercorak tafsir bil ra’yi yaitu kitab Mafatihul Ghaib karya Fahrurrozi dan kitab
Madarikul Tanzil wa Haqaiqul Ta'wil karya An-Nasafy. Menurut
al-Farmawi, tafsir bil ma'tsur terbagi menjadi dua, yaitu tafsir bil ra'yi mamduh maqbul, yaitu apabila mufasirnya telah memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati bagi seorang mufasir serta meninggalkan lima hal yang terlarang baginya, dan tafsir bil ra'yi madzmum mardud, yaitu apabila mufasirnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat seorang mufasir serta tidak terlepas dari lima hal yang terlarang tersebut.
Adapun syarat-syarat tersebut sebagaimana disepakati para ulama yaitu: mempunyai iktikad yang lurus dan benar serta selalu menepati ketentuan agama; ikhlas; berpedoman pada riwayat yang maqbul dan menjauhi bid'ah; menguasai 15 ilmu yang diperlukan seorang mufasir, yaitu: bahasa Arab, nahwu, sharaf, istiqaq, ma'ani, badi', bayan, qira'at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh mansukh, fiqh, hadis dan ilmu mauhibah.
Lima hal yang harus ditinggalkan yaitu: memaksakan untuk merasa cepat paham akan maksud ayat, tanpa terlebih dahulu menuhi syarat-syarat seorang mufasir; terlalu jauh memasuki hal-hal yang merupakan monopoli Allah s.w.t. untuk mengetahuinya; melakukan kegiatan berdasarkan hawa nafsu untuk mencari keuntungan pribadi; menafsirkan ayat untuk mendukung pendapat mazhab yang fasid; dan memastikan bahwa tafsimya itu merupakan satu-satunya yang sesuai dengan maksud suatu ayat tanpa memberikan dalil.
2. Tafsir Ijmali
Metode Ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisan metode ini mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf.
Tafsir Ijmali tidak terdapat ruang/kesempatan bagi mufasir untuk menyampaikan pendapatnya secara rinci tetapi disajikan secara ringkas dan bersifat umum sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an meskipun sebenarnya yang didengarnya adalah tafsir al-Qur’an.
a. Kelebihan Metode Ijmali
Kelebihan Metode tafsir Ijmali yaitu: praktis dan mudah difahami; bebas dari penafsiran israiliyyat; dan akrab dengan bahasa al-Qur'an. b. Kekurangan
1). Menjadikan petunjuk al-Qur'an bersifat parsial.
2). Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. 4. Urgensi
Bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detil tentang pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan metode Ijmali sangat membantu dan tepat untuk digunakan. Hal ini karena metode ini sangat ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga relatif mudah dipahami oleh mereka. Sebaliknya, tafsir yang memberikan uraian yang panjang lebar seperti dalam metode tafsir Tahlili akan membuat bosan dan kurang menarik, bahkan kadang dapat menyesatkan mereka karena uraiannya tidak sejalan dengan kemampuan dan daya nalar mereka. Kondisi tafsir Ijmali yang ringkas dan sederhana juga lebih cocok bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari. Tafsir Qur'an
al-Adzim, karya Muhammad Farid Wajdi dan Tafsir al-Wasith, terbitan
Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar Mesir merupakan contoh kitab-kitab tafsir yang tergolong Ijmali.
3. Tafsir Muqarin 1. Pengertian
Metode Muqarin (komparatif) merupakan metode penafsiran yang
dilakukan dengan cara:12
a. Membandingkan teks (nash) ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
b. Membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadis yang pada lahimya
terlihat bertentangan.
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
al-Qur'an.
Tafsir al-Qur'an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
2. Ciri-ciri
Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif. Di sinilah letak perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode
12 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
yang lain. Hal itu disebabkan yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis adalah pendapat para ulama, bahkan pada aspek yang ketiga, pendapat para ulama itulah yang dijadikan sasaran perbandingan. Oleh karena itu, jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut metode komparatif. Dalam konteks ini, al-Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif adalah menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh
sejumlah mufasir.13
Selanjutnya, langkah-Iangkah yang yang harus diterapkan untuk menccapai tujuan itu adalah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, baik yang klasik (salaf) maupun yang ditulis oleh ulama khalaf, serta membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan itu untuk mengetahui kecenderungan mereka, aliran yang mempengaruhi mereka, keahlian yang mereka kuasai dan lain sebagainya.
3. Ruang lingkup
a. Perbandingan ayat dengan ayat
Perbandingan pada aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat, baik pemakaian mufrodat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Semua itu dapat dibandingkan. Jika yang akan dibandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah yang dapat ditempuh adalah:
1) Mengidentifikasi dan menghimpun ayat al-Qur'an yang redaksinya
mirip sehingga diketahui mana yang mirip mana yang tidak.
2) Membandingkan antara ayat yang redaksinya mirip, yang
membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
3) Perbedaan yang terkandung dalam berbagai redaksi yang mirip, baik
perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam ayat dan sebagainya.
4) Membandingkan antara berbagai pendapat para mufasir tentang ayat
yang dijadikan objek bahasan. b. Perbandingan ayat dengan hadis
Perbandingan dalam aspek ini terutama dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang tampak fakta lahirnya bertentangan dengan hadis Nabi s.a.w. yang diyakini sahih. Itu berarti hadis-hadis yang sudah diyakini dhaif tidak perlu dibandingkan dengan al-Qur'an karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Jadi, hanya hadis sahih saja yang dikaji dalam
aspek ini dan dibandingkan dengan ayat al-Qur'an. Dalam hal ini ditempuh langkah sebagai berikut:
1) Menghimpun ayat-ayat yang pada lahimya tampak bertentangan dengan
hadis Nabi s.a.w., baik ayat tersebut memiliki kemiripan redaksi dengan ayat lain atau tidak.
2) Membandingkan dan menganalisis pertentangan yang dijumpai di
dalam kedua teks ayat dan hadis
3) Membandingkan antara berbagai pendapat para ulama tafsir dalam
menafsirkan ayat dan hadis. c. Perbandingan pendapat mufasir
Apabila yang dijadikan sasaran pembahasan adalah pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya adalah sebagai berikut:14
1) Menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan objek studi tanpa menoleh
terhadap redaksinya, apakah mempunyai kemiripan atau tidak.
2) Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut.
3) Pendapat ulama tafsir untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan
identitas dan pola berpikir dari masing-masing mufasir, serta kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka anut.
Dengan menerapkan metode perbandingan seperti itu, maka dapat diketahui kecenderungan dari para mufasir, aliran apa saja yang mempengaruhi mereka dalam menafsirkan al-Qur'an, apakah ahlus sunnah atau Mu'tazilah, Khawarij, Syi'ah dan sebagainya. Begitu pula dapat diketahui beragam keahlian yang dimiliki oleh setiap mutassir.
4. Kelebihan dan kekurangan a). Kelebihan
1) Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada
pembaca bila dibandingkan metode yang lain.
2) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat
orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda bahkan kontradiktif.
3) Tafsir dengan metode komparatif sangat berguna bagi mereka yang
ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4) Dengan menggunakan metode komparatif, maka mufasir didorong
untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis serta pendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian, mendorong para mufasir lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat.
b). Kekurangan
1) Metode ini tidak dapat diberikan bagi semua tingkatan dan elemen
khususnya bagi para pemula, hal ini disebabkan pembahasan yang diberikan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim. Dalam kondisi demikian khususnya bagi para pemula belum siap untuk menerima berbagai pemikiran dan tidak mustahil mereka akan kebingungan dalam menentukan pilihan.
2) Kurang dapat diandalkan untuk dapat menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3) Cenderung lebih banyak menelusuri penafsiran yang pernah
diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran baru. 5. Urgensi15
Tafsir komparatif sangat penting, terutama bagi mereka yang ingin melakukan studi lanjut untuk dapat mendapatkan pemahaman yang luas berkenaan dengan penafsiran suatu ayat dengan mengkajinya dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan muatan dan konteks ayat tersebut. Penafsiran serupa ini sulit dijumpai dalam metode lain.
Pada abad modern, tafsir dengan metode komparatif terasa makin dibutuhkan oleh umat. Hal ini dikarenakan timbulnya berbagai paham dan aliran yang kadang jauh ke luar dari pemahaman yang benar. Dengan menggunakan metode komparatif, akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang itu timbul dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian kelompok masyarakat. Dengan demikian, jelas bahwa metode komparatif amat penting, terutama dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional dan obyektif, sehingga diharapkan pembaca mendapat gambaran yang komprehensip berkenaan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Qur'an pada periode selanjutnya.
Kitab tafsir yang ditulis dengan metode ini di antaranya adalah:16
1. Tafsir al-Manar oleh Rasyid Ridha 2. Tafsir al-Maraghi oleh al-Maraghi
3. Tafsirul Qur'anul Karim karya Syekh Mahmud Syaltut. 4. Tafsir Mawdhu’i
Secara semantik, tafsir Mawdhu’i berarti tafsir tematis. Metode ini
memiliki dua bentuk, yaitu:17
1) Tafsir yang membahas satu surah al-Qur'an secara menyeluruh,
15 Badri Khaeruman, Sejarah, p. 10. 16 Abd. Hayyi al-Farmawi, Metode, p. 29. 17 Ibid., p.79.
memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan ayat lain, dan atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini, surah tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti dan sempurna. Berkaitan dengan tafsir tematis bentuk ini, al-Syathibi sebagaimana dikutip al-Farmawi menyatakan bahwa satu surah al-Qur’an meskipun mengandung banyak masalah, masalah itu sebenarnya adalah satu,
karena pada hakekatnya menunjuk pada satu maksud.18
2) Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur'an yang
memiliki arah dan tema khusus dari berbagai macam tema yang berkaitan dengan alam dan kehidupan. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufasir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut
pandangan al-Qur'an.19 Bahkan melalui metode ini, mufasir dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Qur'an mengenai hal tersebut.
Langkah-Iangkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya
tafsir berdasarkan metode ini adalah sebagai berikut:20
a. Menemukan topik bahasan setelah menentukan batas-batasnya, dan
mengetahui jangkauannya di daiam ayat-ayat al-Qur'an.
b. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah
tersebut.
c. Merangkai urutan–urutan sesuai dengan masa turunnya, misalnya
dengan mendahulukan ayat-ayat Makkiyah dari pada ayat-ayat Madaniyah, karena ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah biasanya bersifat umum.
d. Kajian tafsir model ini memerlukan bantuan kitab-kitab fafsir Tahlili,
pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat sepanjang yang dapat dijumpai, munasabah dan pengetahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaannya. Mufasir perlu mengetahui itu semua, meskipun tidak harus dituangkan dalam pembahasan.
e. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut
masalah yang dibahas.
g. Mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun
ayat-ayat yang sama pengertiannya. Atau mengkompromikan antara am
18 Ibid., p. 50.
19 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), p. 331. 20 M. Qursish Shihab dkk, Sejarah & 'Ulumul al-Qur'an, p. 21.
(umum) dan khas (khusus), yang mutlak dengan muqayyad atau yang kelihatannya kontradiktif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.
h. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal,
dan setiap pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan untuk pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, kemudian menjadikan unsur yang bersifat cabang (far’i) sebagai satu macam pasal .
Kelebihan dan kekurangan motode tematik adalah sebagai berikut:21
1. Kelebihan:
a. Menjawab tantangan zaman. Permasalahan dalam kehidupan selalu
berkembang sesuai perkembangan kehidupan umat manusia,
permasalahan demikian tidak dapat ditangani dengan metode
penafsiran selain metode tematik. Hal ini karena metode ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Itulah sebabnya metode ini mengkaji semua ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspek.
b. Praktis dan sistematis. Tafsir dengan mode/tematik disusun secara
praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kondisi umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi, sehingga mereka seolah tidak ada waktu untuk membaca kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta lebih menghemat waktu, efektif dan efisien.
c. Dinamis. Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis
sesuai tuntutan zaman, sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengar bahwa al-Qur'an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, terasa sekali bahwa al-Qur'an salalu aktual dan tidak ketinggalan zaman.
d. Membuat pemahaman jadi utuh. Dengan ditetapkan judul-judul yang
akan dibahas, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur'an dapat diserap secara utuh. Pemahaman serupa ditemukan dalam model tafsir yang lain.
2. Kekurangan
a. Memenggal ayat al-Qur’an. pemenggalan ayat yang dimaksud yaitu
mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat, biasanya kedua ibadah tersebut diungkapkan dalam satu ayat, apabila ingin membahas tentang zakat, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b. Membatasi pemahaman ayat. Dengan ditetapkan judul penafsiran,
maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufasir terikat oleh judul tertentu.
Urgensitas tafsir tematik adalah bahwa metode ini dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti metode ini besar sekali manfaatnya dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qur'an.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka posisi model penafsiran
demikian menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual lslam,22
sedangkan mengenai contoh kitab tafsir yang bercorak Mawdhu’i yaitu antara lain: al-Mar'atu fi al-Qur'an karya Ustadz Abbas al-Aqqad, ar-Riba fil
Qur'an karya Abu al-A'la al-Maududi dan al-Aqidah fi al-Qur'an al-Karim
karya Muhammad Abu Zahrah. 23
C. Penutup
Keutamaan al-Qur’an dalam kehidupan keagamaan Muslim telah senantiasa diakui. Pada masa modern, penekanan baru diletakkan oleh para cendekiawan muslim terhadap al-Qur’an sebagai sebuah sumber petunjuk. Namun, terkadang petunjuk tersebut bersifat implisit, dalam penekanan ini terkandung sebuah tantangan terhadap banyak aspek dari tradisi yang diterima, baik dalam ranah teologi, hukum atau yang lain. Kalau benar demikian halnya, terdapat kemungkinan bahwa tafsir akan bertambah penting bukan hanya sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, tetapi juga sebagai pembawa gagasan-gagasan baru dan sebagai media yang dapat dipergunakan oleh para cendekiawan untuk memulai perubahan atau pembaruan. Ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah karya tafsir (kadang-kadang berupa terjemahan atau ringkasan dari karya-karya yang sudah ada) di dunia Muslim, tidak hanya dalam bahasa Arab, tetapi juga dalam banyak bahasa selain bahasa Arab.
22 Nashruddin Baidan, Sejarah, p. 169. 23 Abd. Hayyi al-Farmawi, Metode, p. 5.
Daftar Pustaka
al-Arid, 'Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, alih bahasa Ahmad Akrom Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
al-Farmawi, Abdul Hayyi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, alih bahasa Suryana Jamrah, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Esposito, John L., (Editor kepala), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 6 jilid, cet. I, Bandung: Mizan, 2001.
Khaeruman, Badri, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur'an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah & 'Ulumul al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992.
Ushama, Themeem, Metodologi Tafsir al-Qur'an, alih bahasa Hasan Basri dan Amroeni, Jakarta: Riora Cipta, 2000.