• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M /1442 H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M /1442 H"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

SYŪRĀ/42 AYAT: 38 DALAM AL-HUDA TAFSIR

QUR’AN BASA JAWI KARYA BAKRI SYAHID

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Taufik Jamil NIM. 11140340000275

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

i

SYŪRĀ/42 AYAT: 38 DALAM AL-HUDA TAFSIR

QUR’AN BASA JAWI KARYA BAKRI SYAHID

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Taufik Jamil NIM. 11140340000275

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)
(5)

iii

SYŪRĀ/42 AYAT: 38 DALAM AL-HUDA TAFSIR

QUR’AN BASA JAWI KARYA BAKRI SYAHID

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Taufik Jamil NIM: 11140340000275

Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA. NIP: 196702131992031002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/ 1442 H

(6)

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul HERMENEUTIKA MUSYAWARAH DALAM TAFSIR LOKAL INDONESIA: STUDI PENAFSIRAN QS. Al-SYŪRĀ/42 AYAT: 38 DALAM AL-HUDA TAFSIR QUR’AN BASA JAWI KARYA BAKRI SYAHID telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal28 April 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 29 Juli 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M. Ag. Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH. NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Kusmana, MA., Ph. D. Moh. Anwar Syarifuddin, MA. NIP. 19650424 199503 1 001 NIP. 19720518 199803 1 003

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA. NIP. 19670213 199203 1 002

(7)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Sebagai pedoman dalam transliterasi dalam menyusun skripsi ini, memakai rujukan dari hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543b/u/1987. Adapun perinciannya sebagai berikut:

A. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Arab Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

ب

b Be

ت

t Te

ث

ṡ es (dengan titik di atas)

ج

J Je

ح

ḥ ha (dengan titik di bawah)

خ

kh ka dan ha

د

d De

ذ

ż zet (dengan titik di atas)

ر

r Er

ز

z Zet

س

s Es

ش

sy es dan ye

ص

ṣ es (dengan titik di bawah)

ض

ḍ de (dengan titik di bawah)

ط

ṭ te (dengan titik dibawah)

(8)

vi

ع

‘ Apostrof terbalik

غ

g Ge

ف

f Ef

ق

q Qi

ك

k Ka

ل

l El

م

m Em

ن

n En

و

w We

ه

h Ha

ء

’ Apostrof

ي

y Ye

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun, jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal tunggal sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ ا

Fatḥah a A

َ ا

Kasrah i I

َ ا

Ḍammah u U

(9)

vii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ََ

ي

ai a dan i

َو

au a dan u

Dalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اى

ā a dengan garis di atas

يى

ī i dengan garis di atas

وى

ū u dengan garis di atas

C. Kata Sandang

Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf:

syamsiyah dan qamariyah.

Al-Qamariyah

َ رْي ن

لما

Al-Munīr

Al-Syamsiyah

َ لا ج رلا

Al-Rijāl

D. Syaddah (Tasydid)

Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Al-Qamariyah

َ ة و

قْلا

Al-Quwwah

Al-Syamsiyah

َ ة ر ْو ر َّضلا

Al-Ḍarūrah

(10)

viii

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta martujah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi adalah (t), sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah (h), kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al-ser bacaan yang kedua kata itu terpisah, maka ta marbūtah ditransliterasikan dengan ha (h) contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

1

َ ة قْي ر

َّطلا

Ṭarīqah

2

َ ةَّي م

لَ ْس

ْلْاَ ة ع ما ج ْلا

Al-Jāmi’ah al-Islāmiah

3

َ د ْو ج و

ْلاَ ة دْح و

Waḥdat al-Wujūd

F. Huruf Kapital

Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika Nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

Contoh: Abu Hamid, al-Gazali, al-Kindi.

Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.

(11)

ix

G. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum, namun bila mereka harus ditransliterasi secara utuh.

Contoh: Fī Zilāl al-Qur’ān, Al-‘Ibrah bi ‘umūm al-lafżi lā bi khusūs

(12)

x ABSTRAK Taufik Jamil, NIM 11140340000275.

Hermeneutika Musyawarah dalam Tafsir Lokal Indonesia: Studi Penafsiran Qs. al-Syūrā/42 Ayat: 38 dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi Karya Bakri Syahid

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana tafsir al-Huda karya salah seorang yang berlatarbelakang pejabat negarawan berpangkat Brigjen Purnawirawan sekaligus pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Kalijaga Yogyakarta, berkaitan dengan karya tafsirnya mengenai surah al-Syūrā ayat 38. Pada latar belakang tempat dan waktu yang berkenaan dengan munculnya konsep negara Demokrasi Pancasila. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan sumber data berupa kepustakaan. Cara menganalisis sumber data penelitian yang berupa penafsiran tersebut, dengan mengambil pola gaya dari kebiasaan mufassir lokal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu; mulai dari menerjemah ayat, menetapkan makna dalam bahasa audiens, konteks historis, sampai implikasi dalam konteks kekinian mufassir. Dengan begitu, maka akan lebih mempermudah dalam menganalisis data. Kajian menguraikan penafsiran surah al-Syūrā/42 ayat 38 tentang musyawarah dalam konteks mufassir lokal Indonesia, khususnya dalam tafsir al-Huda karya Bakri Syahid. Beberapa tokoh mufassir Indonesia lain, telah penulis ikut sertakan dalam pembahasan sebagai sedikit pengetahuan sekaligus pembanding mengenai sajian tafsir yang disampaikan.

Temuan dari hasil penelitian skripsi ini, penulis simpulkan bahwa; Bakri Syahid setelah menerjemahkan ayat, kemudian menetapkan makna tentang “wa amruhum syūra bainahum”, langsung ia mengimplikasikan musyawarah (syūrā) dalam konteks zaman mufassir, dalam hal ini konteks Bakri Syahid.

(13)

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya, baik di bumi maupun langit. Rasa syukur senantiasa saya curahkan, atas pertolongan dan petunjuk serta kehendak Tuhan yang Maha Agung, sehingga semua tugas akhir kuliah termasuk skripsi ini bisa selesai dengan baik. Tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan dari-Nya. Shalawat serta salam saya senantiasa haturkan kepada Nabi kita Muhammad s.a.w, sang pembawa risalah besar untuk umat manusia di sepanjang zaman, hingga kita sebagai umatnya dapat mencapai kebahagian di dunia disertai dengan ridho dari Allah Ta’ala.

Tidaklah mudah dalam mengarungi terpaan ujian dan cobaan meski demi suatu tujuan yang mulia. Sepatutnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berpengaruh dalam meringankan beban hidup selama perjuangan ini, walaupun hal itu tidak banyak, namun walau sedikit pun tetap berarti. Terima kasih atas tercapainya tingkat pendidikan sarjana, dari penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2024.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing skripsi penulis. Berkat bimbingan dari beliau, penulis mendapat pengalaman terbaik dalam bidang penulisan karya ilmiah. Tidak lupa juga, Wakil Dekan Bapak Kusmana, MA., Ph.D., dan beserta para Pembantu Dekan.

3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang senantiasa mendorong mahasiswanya agar cepat lulus. Dan, Bapak Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH, selaku sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin atas dedikasinya mengajari suatu ilmu dalam masa-masa perkuliahan.

(14)

xii

6. Kepada yang tercinta, terkasih dan tersayang kedua orang tua, tempat penulis kembali dalam perasaan aman dan nyaman, tentram dan damai. Terima kasih kepada Bapak Achmad Anwaruddin, dan Ibu Suwarni, dua kakak perempuan Mbak Uswatun Hasanah dan Mbak Syifa ‘Ainun Na’im, beserta dua kakak ipar Mas Muhammad Hasan dan Mas Nico Widiyarko, dan adik perempuan; Dik. Laela Fatimah Safitri serta adik laki-laki; Dik. Fahmi Muhammad Idris.

7. Semua teman angkatan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Juga kepada teman-teman di masa kuliah kerja nyata. 8. Teman-teman satu Provinsi, Kota, Kabupaten, daerah Jepara

dan sekitarnya, organisasi silaturahmi mahasiswa Jepara di Jakarta.

9. Semua teman yang ada ketika penulis dalam keadaan susah dan duka.

10. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam berproses sampai mencapai gelar sarjana.

Penulis berharap hasil karya ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi kemajuan Agama, Bangsa dan Negara, khususnya bagi dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat. Saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan lapang dada, demi peningkatan dan kemajuan yang berkualitas.

(15)

xiii LEMBAR JUDUL...i LEMBAR PERNYATAAN...ii PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii HALAMAN PENGESAHAN...iv PEDOMAN TRANSLITERASI...v ABSTRAK...x KATA PENGANTAR...xi DAFTAR ISI...xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...7

C. Batasan dan Rumusan Masalah...8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu...11

F. Metode Penelitian...13

1. Jenis Penelitian...14

2. Sumber Data...14

3. Metode Pengumpulan Data...14

4. Metode Pembahasan...15

5. Metode Penulisan...15

G. Sistematika Pembahasan...16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HERMENEUTIKA DAN MUSYAWARAH A. Tinjauan Umum Tentang Hermeneutika...19

(16)

xiv

BAB III AL-HUDA TAFSIR QUR’AN BASA JAWI KARYA BAKRI SYAHID

A. Biografi Singkat Bakri Syahid...37

1. Pendidikan Bakri Syahid...39

2. Karir Bakri Syahid...40

3. Karya Tulis Bakri Syahid...41

B. Mengenal al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi...42

1. Latar Belakang Penafsiran...42

2. Karakteristik Tafsir...43

3. Metode dan Corak...49

4. Sumber-Sumber Rujukkan...51

C. Pola Interpretasi dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi...54

BAB IV PENAFSIRAN SURAH AL-SYŪRĀ AYAT 38 TENTANG MUSYAWARAH BAKRI SYAHID DALAM AL-HUDA TAFSIR QUR’AN BASA JAWI A. al-Qur’an Surah al-Syūrā Ayat 38...59

1. Asbabun Nuzul Surah al-Syūrā Ayat 38...60

2. Munasabah Surah al-Syūrā Ayat 38...60

B. Penafsiran Surah al-Syūrā Ayat 38 Menurut Beberapa Mufassir Indonesia...62

1. Tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr Qur’an al-‘Aziz...62

(17)

xv

4. Tafsir Mishbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian

al-Qur’an...68

C. Hermeneutika Musyawarah dalam Penafsiran Qs. al-Syūrā/42 Ayat: 38 Bakri Syahid dalam Tafsir al-Huda...70 1. Konteks Kajian Tafsir...70 2. Penafsiran Syūrā Menurut Bakri Syahid...77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...87 B. Saran...88

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan mempelajari tafsir ialah memahami makna-makna al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuk yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan maksud yang diharapkan dari mempelajari tafsir ialah mengetahui petunjuk-petunjuk al-Qur’an dengan cara yang tepat.1 Menjadi persoalan dalam bidang tafsir adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman manusia terhadap maksud al-Qur’an, berdasarkan perangkat ilmu yang telah dibangun untuk dijadikan pisau analisis dalam mengupas al-Qur’an,2 sehingga menghasilkan berbagai macam model corak penafsiran, dan tafsir akan terus berkembang atau tidak, sesuai daripada realitas moral dan bahasa manusia.

Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, dikatakan sebagai suatu kebenaran yang mampu menjadi dasar komitmen bagi kepercayaan manusia. Sedangkan Islam sendiri merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia,3 di mana asas-asasnya sendiri yang utama bersumber dari al-Qur’an dan penerangannya disampaikan oleh Rasulullah s.a.w, dalam sunnah-sunnahnya serta sejalan dengan akal yang sehat. Akal sehat yang pada mulanya dimiliki manusia namun

1 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), 154-155.

2 Muhammad Yusuf, “Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Sulawesi Selatan

(Studi Kritis Tafsir al-Qur’an al-Karīm karya AG. H. Abd. Muin Yusuf dkk),” Bimas

Islam 2, no. 1 (2009): 138.

3 Tentang Islam adalah Agama yang fitrah, lihat Abdul Aziz Syawisy, Islam

(19)

sifatnya yang masih abstrak, maka banyaknya insting yang mendorong hawa nafsu dalam jiwa manusia, sehingga dapat mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan hidupnya. Jika kecenderungannya dalam penyimpangan maka akal yang tanpa dasar ilmu atau keyakinan pada kebenaran, akan membawanya pada kegelinciran. Di situlah fungsi al-Qur’an sebagai penyelamat akal manusia yang haus akan ilmu pengetahuan.4

Selanjutnya, al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Segala aspek kebenaran dalam hidup manusia di dunia sudah diarahkan oleh Allah dalam Qur’an maka sepatutnya al-Qur’an itu selalu dijadikan rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan masalah persoalan kehidupan. Inilah sekali lagi mengapa penting kajian tafsir, yaitu untuk menyingkapkan dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an.5

Sejak zaman Nabi Muhammad s.a.w, atau zaman al-Qur’an disosialisasikan langsung oleh Rasulullah, sebenarnya dalam setiap penjelasan telah disertai dengan penafsiran maupun takwilnya juga, karena hal tersebut diperlukan agar dapat dipahami dan diamalkan. Berbeda dengan zaman sekarang, pada zaman Nabi s.a.w, setidaknya menafsirkan hanya seperlunya dan yang menjadi pertanyaan dari para sahabat saja.

Kemudian, para sahabat yang telah ditinggal oleh Rasulullah juga berusaha memahami al-Qur’an dengan beberapa sumber sebagai penafsirannya, seperti; ayat al-Qur’an yang menerangkan, Hadis,

4

Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2013), 393.

5 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka

(20)

pendapat sahabat yang lebih tahu, bahkan dengan keterangan dari ahli kitab.

Berlanjut masa para tabi’in, layaknya guru dan murid antara sahabat dan tabi’in dalam mengambil sumber penafsiran, generasi tabi’in ini juga mengambil keterangan dari generasi sahabat Nabi, s.a.w. Sampai terdapat masa kodifikasi tafsir yang terhitung sejak masa akhir pemerintahan Bani Umayyah.6

Belakangan, muncul entah tafsir atau takwil dengan pendekatan modern, diantaranya memakai konsep hermeneutika dan berbagai interdisipliner yang memberi corak tersendiri bagi karya tafsir mereka.

Dalam perkembangan tafsir al-Qur’an di kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri, di Indonesia contohnya, seperti Abdul Mustaqim yang merupakan seorang direktur lingkar studi al-Qur’an Yogyakarta, memetakan secara umum kajian tentang epistemologi tafsir menjadi era formatif dengan nalar mistik, era afirmatif dengan nalar ideologis dan era reformatif dengan nalar kritis.7 Era reformatif yang berbasis pada nalar kritis dan bertujuan transformatif ini dimulai dengan munculnya era modern yaitu dengan tokoh-tokoh seperti Sayyid Aḥmad Khan dengan karyanya Tafhim al-Qur’an, Abduh dan Rasyīd Ridlā dengan al-Manār-nya, kemudian dilanjutkan oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muḥammad Syahrur, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi dan sebagainya. Penafsiran-penafsiran mereka cenderung ingin melepaskan diri dari model berpikir madzhabi. Sebagian juga memanfaatkan perangkat keilmuan modern. Mereka kemudian membangun epistemologi tafsir yang

6 Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Proyek

Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1984), 52.

(21)

dipandang mampu merespon perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di era reformatif yang berbasis pada nalar kritis menurut Abdul Mustaqim ini, posisi al-Qur’an, realitas dan penafsir berjalan sirkular secara triadik dan dinamis. Pendekatan hermeneutik akhirnya menjadi tren tersendiri.8

Tidak kalah kontemporer atau modernnya dengan para mufassir yang disebutkan di atas tadi, dari khazanah tafsir lokal maka saya dapati suatu kitab tafsir dengan kesan modern, yaitu tafsir lokal berbahasa daerah Jawa, dengan penyajian yang mirip seperti kitab yang telah ditulis oleh ‘Abdullah Yusuf ‘Ali yaitu The Holy Qur’an,

Text, Translation and Commentary, penerbit Amana Corp. Brentwood,

Maryland, USA, tahun 1989, dengan ciri utama penafsiran atau yang ia sebut dengan bahasa commentary itu, formatnya dengan menggunakan catatan kaki dan huruf Latin.9

Karyanya bernama al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, yang diterbitkan oleh penerbit Bagus Arafah pertama kali pada tahun 1972, adalah kitab yang ditulis oleh seorang brigjen purn sekaligus mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 1972-1976.10 Ia bernama Bakri Syahid, lahir di lingkungan yang kental dengan nilai kearifan lokal dan sekaligus keluarga yang religius, tepatnya di kecamatan Ngampilan daerah istimewa Yogyakarta.11

8

Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, 72-73.

9 Lihat ‘Abdullah Yusuf ‘Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and

Commentary (Maryland: Amana Corp. Brentwood, 1989).

10 Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-Nilai

Budaya Jawa Dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid (Jakarta: Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 49.

11 Bakri Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi (Yogyakarta: Bagus

(22)

Agaknya, gaya modern mufassir ini juga dipengaruhi oleh sebuah gerakan organisasi sosial kemasyarakatan bernama Muhammadiyah yang sudah familiar dalam pengetahuan umum sebagai organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam terbesar. Pendiri dari organisasi tersebut adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) yang juga kala itu pernah menjabat sebagai khatib masjid kesultanan Yogyakarta.12 Di samping itu, diketahui dari penerbit Bagus Arafah bahwa Bakri Syahid telah mengenyam pendidikan agamanya di Kweekschool Islam Muhammadiyah, serta menjadi guru di H.I.S. Muhammadiyah daerah Sepanjang Surabaya dan Sekayu Palembang sampai tahun 1942.13 Jadi, tidak heran jika corak yang mewarnai dalam tafsir al-Huda selain dalam hal budaya, juga terdapat gaya modern yang mengikuti organisasi keagamaan tersebut.

Tafsir al-Huda ini diupayakan oleh pengarangnya agar menjawab tantangan zaman teknologi modern, memberikan sarana bagi perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan ikut berperan penting dalam membangun watak bangsa.14 Hal ini karena nilai-nilai al-Qur’an bersifat dinamis dan aktual, senantiasa ṣālihun likulli zamān wa

al-mākān.15

Pada umumnya hal ini tampak juga dalam tradisi intelektual Islam Nusantara seperti vernakularisasi (Pembahasa-lokalan) al-Qur’an melalui terjemah atau tafsir berbahasa lokal.16 Terdapatnya sesuatu hal yang unik dan berbeda yakni keselarasan konsep dan nilai ajaran

12 I’anatul Imtihanah, “Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dan

Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia,” Bimas Islam 2, no. 1 (2009): 104-105.

13 Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, 9. 14 Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, 7-8.

15 Dadan Rusmana, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir (Bandung:

Pustaka Setia, 2015), 107.

16 Jajang A. Rohmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa

Budaya Sunda dalam Tafsir al-Qur’an berbahasa Sunda,” Journal of Qur’ān and

(23)

dalam alam pikiran budaya. Terjadi persentuhan konsep dan nilai keislaman untuk didialogkan dan diselaraskan dengan kearifan pandangan hidup terutama di lingkungan sekitar mufassir.17 Berkaitan dengan ini menurut Naṣr Ḥāmid Abu Zayd, pada teks al-Qur’an ketika diposisikan sebagai wacana kebahasaan, tidak mungkin terlepas dari budaya dan realitas masyarakat pengguna bahasa tersebut.18

Banyak contoh dari tafsir lokal selain dari Bakri Syahid dengan tafsirnya al-Huda itu, yakni pada dekade ke 3 abad ke 20, Mahmud Yunus menulis tafsir berbahasa Melayu-Indonesia yang pertama. Pada periode berikut, banyak ulama yang melakukan penulisan tafsir antara lain, Ahmad Hasan dengan tafsir al-Furqon, Hasbi Ash-shiddieqy dengan tafsir al-Nuur, Buya Hamka dengan tafsir al-Azhar. KH. Ahmad Sanusi menyusun tafsir Rawḍat al-‘Irfān dalam bahasa Sunda, serta KH. Mustofa Bisri menyusun tafsir berbahasa Jawa dengan judul tafsir al-Ibrīz, dan sebagainya.19 Ini semua sebagai upaya para mufassir Indonesia dalam menyampaikan pesan-pesan suci yang terkandung pada kitab suci al-Qur’an, melalui bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat pada tempat dan saat itu. Penting, untuk menjembatani jarak antara bahasa al-Qur’an dan bahasa lokal masyarakat muslim.

Penulis dengan adanya pertimbangan penelitian spesifik maka dengan sengaja mengangkat dalam pembahasan ini adalah al-Huda

Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid. Ia dalam membahas

17

Tentang dialektika al-Qur’an dan budaya lokal Jawa, lihat Imam Muhsin,

Tafsir Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

RI, 2010).

18

Naṣr Ḥāmid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul

Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2002), 19-24.

19 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013),

(24)

masalah dunia yang menjunjung tinggi konsep demokrasi ini, memfatwakan musyawarah adalah jalan untuk membahas segala perkara-perkara penting. Surah al-Syūrā ayat 38 sebagai dokumen utama dalam penelitian ini. Bakri memberikan tema atau ia menyebutnya dalam bahasa Jawa, yaitu “isi maksud ingkang wigatos” dalam karyanya tersebut. Dengan redaksi, “wajib musyawarah

ngrembug prakara donya!”20

yang akan menjadi fokus analisis

penelitian kualitatif tentang tafsir lokal pendekatan teori penafsiran modern ini.

Dari latar belakang di atas, maka penelitian skripsi penulis beri judul “Hermeneutika Musyawarah dalam Tafsir Lokal Indonesia: Studi Penafsiran Qs. al-Syūrā/42 Ayat: 38 dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi Karya Bakri Syahid.”

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas maka diambilah identifikasi masalah, berikut:

1. Mengungkap Hermeneutika musyawarah, dalam tafsir konteks lokal ke-Indonesia-an.

2. Penafsiran dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid, surah al-Syūrā ayat 38, tentang musyawarah.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini penulis fokuskan atau batasi pada surah al-Syūrā ayat 38 dalam tafsir Huda, dengan redaksi bunyi dalam ayat al-Qur’an sebagai berikut:

(25)

ْم ُهاَن ْق َزَر ا َّم ِم َو ْمُهَنْيَب ى َر ْو

ُش ْمُهُرْمَاَو َةوَلَّصلا اوُماَقَاَو ْمِهِ بَرِل اْوُباَجَت ْسا َنْيِذَّلاَو

َن ْو ُق ِفْنُي

“Orang-orang yang mereka memenuhi seruan kepada Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka dimusyawarahkan antar mereka, dan sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada mereka nafkahkan”.

Ayat yang berkaitan dengan musyawarah tersebut yang akan ditelaah dengan pendekatan hermeneutik, karena pola atau model dari tafsir al-Huda yang mengikuti tema bahasan apa yang dianggapnya penting untuk disampaikan pendapat atau pandangannya kepada pembaca.

Agar masalah lebih terarah, maka dari identifikasi masalah penulis rumuskan menjadi: Bagaimana tafsir musyawarah dalam penafsiran al-Qur’an menurut al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid dalam surat al-Syūrā ayat 38?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari pembahasan ini adalah, untuk meninjau seberapa jauh pemahaman mufassir lokal Indonesia dalam menafsirkan teks al-Qur’an, dalam kaitannya dengan konteks waktu dan tempat.

Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai hermeneutika musyawarah pada tafsir al-Qur’an modern, kultural atau kontekstual dan kontemporer, selain itu

(26)

juga pembahasan ini diharapkan memberikan sumbangan kontribusi kepada perkembangan keilmuan tafsir al-Qur’an terutama di Indonesia.

2. Secara Praktis

Sekiranya pembahasan ini mampu memberi motivasi tersendiri bagi pengembangan literatur tafsir lokal kedaerahan maupun nasional serta memberikan informasi atau referensi kepada peminat kajian tafsir, baik dari kalangan pelajar maupun umum.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Berikut merupakan hasil penelusuran yang terkait dengan

al-Huda Tafsir bahasa Jawa karya Bakri Syahid di antaranya:

1. Buku karya Imam Muhsin, berjudul Tafsir al-Qur’an dan

Budaya Lokal: Studi nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid. Buku yang diadaptasi dari disertasi

Imam Muhsin ini mengupas Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dari kaitannya dengan budaya lokal. Hasil penelitiannya adalah bahwa al-Huda merupakan salah satu wujud kebudayaan Islam Jawa yang dapat diposisikan sebagai ‘model dari realitas’ sekaligus ‘model untuk realitas’. Hal yang pertama berkaitan dengan kenyataan bahwa keberadaan tafsir al-Huda tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial-budaya yang melingkupinya, sedangkan yang kedua berkaitan dengan keberadaannya sebagai suatu guidebook bagi pengamalan pesan-pesan suci al-Qur’an.21

21 Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-Nilai

Budaya Jawa Dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid (Jakarta: Badan Litbang

(27)

2. Artikel dalam jurnal yang ditulis Novita Siswayanti dengan judul: “Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda.” Penelitian menunjukan bahwa dalam tafsir al-Huda termuat nilai-nilai etika budaya Jawa yang meliputi dua unsur. Pertama, ketauhidan dan kedua, memberi nasehat kepada siapapun, baik berupa anjuran maupun larangan.22

3. Artikel dalam jurnal yang ditulis oleh Umaiyatus Syarifah, dengan judul: “Kajian Tafsir Berbahasa Jawa: Introduksi atas Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid.” Ia menggunakan metode kajian teks terhadap karya-karya tafsir berbahasa Jawa. Hasil penelitiannya adalah bahwa terdapat keunikan dalam tafsir

al-Huda salah satunya adalah sumber rujukan yang digunakan

Bakri Syahid yang menggunakan serat yang ditulis oleh Kanjeng Sunan maupun Raja terdahulu sebagai bahan rujukan, seperti Serat Wedhatama dan Serat Wulangreh. Sehingga, selain mencari titik temu ajaran Islam dengan kepercayaan masyarakat terdahulu, tafsir ini pun lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa secara luas.23

4. Skripsi yang ditulis oleh Tri Jamhari, dengan judul: “Kepribadian Luhur Menurut Kitab al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi.” UIN Walisongo Semarang tahun 2015. Hasil penelitiannya adalah bahwa kepribadian luhur menurut Bakri Syahid bukanlah pangkat, bukan ilmu, bukan kepandaian dan bukan kekayaan, melainkan kesucian hati. Kesucian hati yang

22

Novita Siswayanti, “Nilai-nilai Etika Budaya Jawa dalam Tafsir

al-Huda,” Analisa 20, no. 02 (Desember 2013).

23 Umaiyatus Syarifah, “Kajian Tafsir Berbahasa Jawa: Introduksi atas

(28)

dimiliki oleh seseorang berarti sudah tidak diselimuti oleh perilaku keji, dan dapat dicapai dengan menumbuhkan iman, taqwa, serta akhlak yang selalu menuju kepada kebajikan.24 5. Artikel dalam jurnal, oleh Wardani berjudul “al-Qur’an

Kultural dan Kultur Qur’ani Interaksi antara Universalitas, Partikularitas, dan Kearifan Lokal.” Wardani mengungkapkan setidaknya terdapat tiga macam nilai dalam tafsir al-Huda; nilai teologis, nilai-nilai kepribadian luhur, dan nilai sosial-kemasyarakatan.25

6. Disertasi Nurul Huda yang berjudul: “Penafsiran Politik Kolonel Bakri Syahid dalam Tafsir al-Huda.” Penelitian memberikan pengungkapan Politik yang terkandung di dalam Tafsir al-Huda dengan hubungannya yang sesuai konteks dan menggambarkan sikap politik Bakri Syahid dari latar belakang militer hingga sampai ke kursi pemerintahan masa Orde Baru, periode 1980-1990. Di antara nilai-nilai yang disebutkan, yaitu kebangsaan dan kenegaraan, dalam ruang lingkup Indonesia.26 7. Skripsi Abdul Rahman Taufiq berjudul: “Studi Metode dan

Corak Tafsir al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi Karya Brigjen (Purn.) Drs. H. Bakri Syahid.” Dalam skripsi ini berkesimpulan bahwa metode tafsir dalam tafsir al-Huda adalah ijmali dengan kecenderungan menggunakan pendekatan sosial-budaya dan bercorak adabi-ijtima’i. Dalam contohnya ia banyak

24 Tri Jamhari, “Kepribadian Luhur Menurut Kitab al-Huda Tafsir Qur’an

Basa Jawi,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Semarang, 2015).

25

Wardani, “al-Qur’an Kultural dan Kultur Qur’ani: Interaksi antara Universalitas, Partikularitas, dan Kearifan Lokal,” al-Tahrir IV, no. 1 (Mei 2015).

26 Nurul Huda, “Penafsiran Politik Kolonel Bakri Syahid dalam Tafsir

(29)

mengungkapkan masalah-masalah yang biasa terjadi dalam lingkup masyarakat.27

8. Skripsi Fauzia Dyah Umami, berjudul: “Penafsiran Sosial Politik dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi Karya Bakri Syahid.” Dengan kesimpulan bahwa terdapat tiga aspek yang menggambarkan sosial politik dalam tafsir al-Huda yaitu pemerintahan, pertahanan negara dan pendidikan. Sesuai kondisi sosial politik yang terjadi pada saat itu.28

9. Skripsi Zuyyina Millati, berjudul: “Raharjaning Kabudayan Perspektif al-Huda Tafsir Basa Jawi Karya Bakri Syahid Surat Yunus 10: 5.” Berkesimpulan bahwa penafsiran surat yunus ayat 5 dalam al-Huda adalah ilmu dan teknologi bisa dilihat dari usaha atau cipta dari kebudayaan manusia yang berusaha mewujudkan kemakmuran. Manusia dapat mengembangkan ilmu teknologi dan membangun budaya, sedangkan pengetahuan tentang ilmu keagamaan dapat memperbarui keimanan. Keragaman budaya di dunia adalah penyebab kemakmuran, sedangkan tujuan agama adalah untuk memperoleh keselamatan akhirat. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sehingga hubungan antara manusia dan Allah sangat erat kaitannya untuk mewujudkan raharjaning kabudayan.29

27 Abdul Rahman Taufiq, “Studi Metode dan Corak Tafsir al-Huda, Tafsir

Qur’an Basa Jawi Karya Brigjen (Purn.) Drs. H. Bakri Syahid,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017).

28 Fauzia Dyah Umami, “Penafsiran Sosial Politik dalam al-Huda Tafsir

Qur’an Basa Jawi Karya Bakri Syahid,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017).

29 Zuyyina Millati, “Raharjaning Kabudayan Perspektif al-Huda Tafsir Basa

Jawi Karya Bakri Syahid Surat Yunus 10: 5,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

(30)

10. Artikel dalam jurnal, oleh Suci Wulandari pascasarjana UIN sunan Kalijaga, berjudul: “Gender dalam Tafsir Jawa (Studi atas Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid).” Berkesimpulan bahwa Bakri berusaha menampilkan penafsiran yang sarat akan nilai-nilai kultural Jawa yang begitu kental. Terkait tema kesetaraan gender, Bakri menunjukkan bahwa penafsirannya mengakomodir tradisi yang berlaku bagi perempuan dan laki-laki di masa itu dalam budaya Jawa (laki-laki-laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan dengan tugas domestiknya) yang berimplikasi pada bentuk formula waris 1:2.30

Dari hasil tinjauan kajian terdahulu yang telah penulis sajikan di atas, maka yang membedakan dari kajian sebelumnya adalah bahwa penelitian yang penulis akan lakukan ini, dengan tujuan, untuk meninjau seberapa jauh pemahaman mufassir lokal Indonesia dalam menafsirkan teks al-Qur’an, dalam kaitannya dengan konteks waktu dan tempat. Juga menguraikan telaah atau penafsiran, mengenai musyawarah yang dibahas tepatnya pada surah al-Syūrā ayat 38, sehingga kesimpulannya penelitian tentang pembahasan ini selain yang akan dikerjakan oleh penulis, belumlah ditemukan.

F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

30 Suci Wulandari, “Gender dalam Tafsir Jawa (Studi atas Tafsir al-Huda

(31)

Jenis penelitian yang ditetapkan berbentuk kajian pustaka yang kualitatif, yaitu mengungkapkan secara argumentatif dari sumber data yang berupa kepustakaan.31

2. Sumber Data

Maksud sumber data menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, adalah “subjek dari mana diperolehnya.”32

Dalam hal ini data atau informasi yang digunakan dalam kajian ini adalah:

a. Sumber Data Primer

Pengambilan data langsung dikumpulkan oleh penulis dari sumber pertamanya,33 yaitu sumber data primer pembahasan dalam skripsi ini adalah kitab al-Huda: Tafsir Qur’an Basa Jawi, karya Bakri Syahid.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder ini biasanya sudah tersusun dalam dokumen-dokumen,34 yaitu tulisan dari buku-buku perpustakaan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pembahasan skripsi ini. Sumber-sumber data sekunder yaitu, buku terkait buku-buku, jurnal, makalah, Artikel, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Sebagai layaknya study literature yang mengumpulkan data melalui kepustakaan (library) atau dokumentasi maka secara sederhana

31 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Yogya Yayasan Penerbit

Psychology UGM, 1990), 54.

32 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik

(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107.

33 Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Grafindo Persada, 1998),

84.

(32)

upaya pengumpulan data penelitian didapat dari observasi buku dan karya intelek ilmuan atau ulama yang bisa dijadikan referensi yang dipandang relevan untuk penelitian ini. Dengan mencatat bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dari bahan pustaka tersebut. Kemudian penulis menandai, agar memudahkan pemanfaatan data yang terkumpul untuk dianalisa. Setelah itu, penulis mengklasifikasi hasil studi pustaka itu sesuai dengan sistematika pembahasan yang ada.

4. Metode Pembahasan

Dalam hal pembahasan menggunakan teknik analisis data, dilakukan agar diperoleh suatu kesimpulan mengenai subjek persoalan yang sedang dikaji secara logis, argumentatif dan rasional. Sedangkan cara menganalisis sumber data penelitian yang berupa penafsiran, peneliti mengambil pola gaya mufassir lokal, yaitu; mulai dari menerjemah ayat, menetapkan makna dalam bahasa audiens, konteks historis, sampai implikasi dalam konteks kekinian mufassir.

5. Metode Penulisan

Untuk metode penulisannya, mengacu pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Sedangkan sebagai pedoman transliterasi Arab Latin, mengacu pada pedoman transliterasi hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan nomor: 0543 b/U/1987, karena menyesuaikan kelengkapan ketersediaannya symbol dalam microsoft word, maka dari itu SKB inilah yang paling sesuai untuk dijadikan pedoman transliterasi.

(33)

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam kajian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II membahas; tinjauan umum tentang hermeneutika dan musyawarah, dengan dua sub bahasan, A. Tinjauan umum tentang hermeneutika, B. Tinjauan umum tentang musyawarah.

Bab III membahas tentang, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid, dengan sub bahasan: Pertama: biografi singkat Bakri Syahid, terdiri dari tiga pembahasan utama: pendidikan Bakri Syahid, karir Bakri Syahid, dan karya tulis Bakri Syahid. Kedua: mengenal tafsir al-Huda, terdiri dari empat pembahasan utama: latar belakang penafsiran, karakteristik tafsir, metode dan corak, dan sumber-sumber rujukkan. Ketiga: Pola Interpretasi dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa

Jawi.

Bab IV membahas, penafsiran surah al-Syūrā ayat 38 Bakri Syahid tentang musyawarah dalam al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, dengan tiga sub bahasan: Pertama: al-Qur’an surah al-Syūrā ayat 38. Terdiri dari pembahasan; asbabun nuzul surah al-Syūrā ayat 38 dan, munasabah surat al-Syūrā ayat 38. Kedua: Penafsiran surah al-Syūrā ayat 38 menurut mufassir Indonesia, yakni seperti; tafsir al-Ibrīz li

Ma’rifah Tafsīr al-Qur’an al-‘Aziz, tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl,

tafsir al-Quran Majid an-Nuur,dan juga tafsir al-Mishbāh; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Ketiga: Hermeneutika musyawarah

(34)

dalam penafsiran surah Syūrā ayat 38 Bakri Syahid dalam tafsir

al-Huda. Dengan dua pembahasan, yakni; konteks kajian tafsir, dan

penafsiran syūrā menurut Bakri Syahid. Bab V penutup berisi kesimpulan dan saran.

(35)
(36)

19 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HERMENEUTIKA DAN MUSYAWARAH

Dalam bab ini, penulis berusaha mengulas kembali berkenaan mengenai hermeneutika sebagai cabang filsafat yang membuahkan metode dalam berinterpretasi, serta tentang musyawarah sebagai kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an di Indonesia.

A. Tinjauan Umum Tentang Hermeneutika

Hermeneutika suatu istilah yang digunakan untuk menempatkan berbagai pandangan dan rangkaian proses tentang kajian menafsirkan teks apa pun, terutamanya teks kitab suci dan teks sastra serta teks-teks masa lampau.

Proses dalam upaya menangkap maksud teks atau peristiwa masa dan kondisi lampau, untuk bisa dipahami dan bermakna secara nyata di masa sekarang, seperti; sastra dan sejarah, teks kitab suci, termasuk teks ayat-ayat suci al-Qur’an di dalam kajian filsafat disebut dengan

hermeneutik. Jika dilihat dalam perkembangannya terhadap kajian

ilmu Qur’an sendiri, disebut dengan istilah “ilmu tafsir”. Akan tetapi, “ilmu tafsir” ini sebenarnya telah lebih dahulu ada dalam masa awal kajian hermeneutika di Jerman, diperkenalkan oleh seorang teolog bernama Johann Conrad Dannhauer (1603-1666) pada sekitar abad ke-17, sebagai yang dimaksudkan terhadap istilah hermeneutika. Pada ketika itu, istilah hermeneutika belum berkembang sebagai gerakan

(37)

eksegesis, dan juga belum menjadi filsafat penafsiran, yang mana ruang lingkupnya berkaitan dengan rana sosial.1

Sejarah istilah kata hermeneutika berhubungan dengan nama salah satu dewa Yunani yang bernama Hermes, dalam mitologi masyarakat Yunani pada masa itu meyakini dewa Hermes sebagai utusan para dewa di langit untuk membawa dan menyampaikan pesan kepada manusia. Dari kisah tentang dewa Hermes kemudian hermeneutika dikenal sebagai cabang filsafat yang membahas tentang teori penafsiran.2

Khazanah Yunani mengenai substansi hermeneutika dapat dilacak melalui penggunaan istilah tersebut misalnya oleh Aristoteles. Aristoteles menggunakan istilah peri hermeneutics yang dimaknai sebagai tentang penafsiran.3

Pada hampir semua kebudayaan dan agama terasa sekali bahwa hermeneutika menjadi kebutuhan untuk menafsirkan cerita, adat istiadat, atau tradisi kuno. Dalam tradisi Yunani dan Kristiani misalnya dikenal tafsir atas Kidung Agung. Juga siklus “Keluaran” bangsa Israel dari Mesir yang ditafsirkan kembali dalam siklus Pasca Kristiani. Juga dikenal “Eksegesis Alegoris” model Klemens dan Origenes dari Aleksandria sekitar 200 M. Demikian juga dengan Ambrosius dan Agustinus yang dengan berani menafsirkan teks-teks Kitab Suci Yunani-Kristen. Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa hermeneutika sejatinya telah mentradisi sejak masa kuno, jadi tidak

1 Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam

Wacana Politik Gus Dur (Malang: UIN-Malang Press, 2007), 89.

2 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan

Kontekstualisasi (Melacak Hermeneutika Tafsir al-Manar dan Tafsir al-Azhar)

(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007), 18-20.

3 Mudjia Rahardjo, Dasar-Dasar Hermeneutika: antara Intensionalisme dan

(38)

mengherankan jika hermeneutika dipahami sebagai teknis penafsiran atau seni menafsirkan. Dewasa ini hermeneutika digunakan secara luas meliputi hampir semua tema filsafat, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Pada intinya hermeneutika berefleksi tentang “mengerti” (verstehen).4

Pengertian hermeneutika secara bahasa sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang dalam bahasa Inggris berarti “interpret”, yang dalam bahasa indonesia berarti “menafsirkan”5

atau proses pemahaman yang melibatkan bahasa, karena buah pikir manusia terbentuk berupa bahasa, baik itu mengatakan, menjelaskan, serta menerjemahkan sesuatu. Yaitu tepatnya suatu pesan “dari dunia lain” pada orang atau masyarakat dalam konteks sosial historisnya. Dengan demikian kata hermeneutika menunjukkan seluruh wilayah berlangsungnya kegiatan hermeneuein tersebut.6

Hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.7

Menurut para cendekiawan dalam bidang filsafat, paling tidak ada tiga unsur utama hermeneutika; pertama, adanya tanda, pesan, berita, yang seringkali berupa teks. Kedua, harus ada sekelompok orang atau masyarakat penerima pesan bertanya-tanya atau merasa asing terhadap teks tersebut. Ketiga, adanya pengantara atau penafsir,

4 Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015), 290.

5 Faiz, Hermeneutika Qur’ani, 18.

6 Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 289. 7 Faiz, Hermeneutika Qur’ani, 19-20.

(39)

yang berusaha menafsirkan isi teks agar dapat dimengerti sesuai daya paham penerima pesan.8

Bila melihat tiga unsur di atas maka merujuk dari Fahruddin Faiz, bahwa hermeneutika bisa didefinisikan secara terminologi sebagai tiga hal:

1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata atau teks, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.

2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.

3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.9

Menurut sejarah perkembangannya, hermeneutika dikembangkan oleh beberapa tokoh di antaranya;

Pada awal abad XIX, yang secara spesifik berbicara tentang teori penafsiran, terutama penafsiran terhadap teks kitab suci. Dimulai oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834), yang pada masa itu pandangan pemikiran masih bersifat romantik, yaitu perkembangan pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu sejarah, sastra, filsafat (Yunani-Romawi), dan filologi klasik seperti teks-teks kitab suci berbahasa Ibrani dan Yunani. Schleiermacher dikenal dengan hermeneutika yang kembali ke teks dan pengarang asli, karena ia yakin bahwa teks adalah ungkapan jiwa atau proses mental dari pengarangnya.10

Untuk mengenali suatu teks yang masih asing, seorang pembaca dapat mengatasi keterasingan tersebut dengan cara memahami

8 Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 289. 9 Faiz, Hermeneutika Qur’ani, 19.

(40)

pengarang teksnya. Mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya, atau berempati dengannya secara psikologis sehingga dapat mereproduksi pengalaman pengarang.11

Kemudian muncul Wilhelm Dilthey (1833-1911), dengan gagasan tentang perbedaan kata “mengerti” dan “menjelaskan”. Menurut Dilthey, “menjelaskan” (erklaren, to explain) adalah metode yang khas bagi ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Sedang “mengerti” (verstehen, to understand) merupakan metode yang menandai ilmu-ilmu manusia (geisteswissenschaften). Hal ini dianggap cukup penting, karena antara naturwissenschaften dan

geisteswissenschaften semakin menegaskan bahwa antara ilmu alam

dan ilmu manusia memiliki perbedaan metode. Penjelasan Dilthey mengenai verstehen tersebut, kemudian menandai terbentuknya hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga dirasa cukup berpengaruh bagi perkembangan hermeneutika sebagai suatu aliran filsafat. Terutama juga untuk memahami berbagai bidang pengetahuan tentang manusia serta norma dan aturannya, akan ikut berkontribusi.12

Mengenai psikologisme Schleiermacher tentang reproduksi keadaan psikis pengarang, ia mempunyai pendapat lain, bahwa peristiwa-peristiwa yang termuat dalam teks-teks kuno itu harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, maka yang direproduksi adalah makna peristiwa-peristiwa sejarahnya itu.

11

Fransisco Budi Hardiman, “Seni Memahami: Hermeneutika dari

Schleiermacher sampai Gadamer” (Makalah dipresentasikan pada kelas Filsafat,

Serambi Salihara, 04 Februari 2014): 3.

(41)

Meskipun demikian, Dilthey dan Schleiermacher sama-sama memiliki paham hermeneutika sebagai penafsiran yang reproduktif.13

Kemudian pembahasan khusus “mengerti” yang pernah disebut oleh Dilthey dengan bahasa verstehen, bernilai cukup penting bagi manusia sebagai subjek filsafat hermeneutik, sehingga menarik perhatian Heidegger. Menurut Martin Heidegger (1889-1976), “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia.14

Pemahaman melekat pada manusia sendiri, dan menjadi bagian dari eksistensinya. Manusia adalah cakrawala bagi pemahaman dirinya dalam memahami dunianya dan sejarahnya. Suatu objek bisa nampak ketika dalam satu keseluruhan makna, dan setiap pengertian tentang objek baru terjadi karena adanya pemahaman yang mendahuluinya atau prapaham sebagai kemungkinan. Gagasan ini disebut lingkaran hermeneutis.15

Kemudian bersamaan konsep “prapaham dan lingkaran hermeneutis” Heidegger, muncul Hans-Georg Gadamer (lahir 1900). Ia melontarkan kritiknya terhadap hermeneutika Romantik yang dirintis oleh Schleiermacher dan Dilthey. Menurutnya, kesenjangan waktu antara kita dan pengarang justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawala-cakrawala pemahaman. Cakrawala pemahaman dapat diperkaya dengan cara membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang.16

13

Budi Hardiman, “Seni Memahami, 3.

14 Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 291. 15 Budi Hardiman, “Seni Memahami, 3-4.

(42)

Gadamer menekankan tentang pentingnya prapengertian untuk sampai pada pengertian. Misalnya, untuk mengerti suatu teks, maka harus ada prapengertian tentang apa yang dibicarakan dalam teks tersebut. Tanpa prapengertian tidak akan mungkin sampai pada pengertian yang dimaksud suatu teks. Dengan membaca teks maka prapengertian itu akan mewujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Heidegger dan Gadamer dinamakan sebagai “lingkaran hermeneutik”. Lingkaran inilah yang menandai eksistensi manusia yang senantiasa berupaya untuk “mengerti” tentang dunia dengan prapengertian tentang dunia dan manusia itu sendiri.17 Oleh karena itu, suatu penafsiran makna teks tidak harus bagi pengarangnya atau hanya bersifat reproduktif belaka, melainkan juga produktif, yaitu makna bagi kita yang hidup di zaman ini.18

Kemudian muncul Paul Ricoeur (1913-2005), seorang filsuf Perancis yang mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoperasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Hermeneutika sebagai cara untuk mengenali dunia teks dan dunia yang di bahasakan oleh teks, bukan mendapatkan kembali maksud pengarang teks, tetapi memperluas cakrawala dunia selain yang ada dalam teks.19

Hermeneutika adalah sistem pemaknaan mendalam yang dapat diketahui di balik kandungan makna yang nampak. Teks sebagai objek interpretasi berarti secara luas, bisa berupa simbol-simbol seperti

17

Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 291.

18 Budi Hardiman, “Seni Memahami, 4.

19 Widia Fithri, “Kekhasan Hermeneutika Paul Ricoeur,” Tajdid 17, no. 2

(43)

dalam mimpi atau mitos-mitos yang membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna dan signifikansi.20

Perihal konflik interpretasi, ia membuat mediasi antara teori-teori hermeneutika yang dikembangkan hingga kini, dengan mempertimbangkan ketetapan rekonstruktifnya tentang arti objektif dan apropriasi eksistensial atas arti yang diwariskan, sebagai hal yang sama-sama dibenarkan dan beroperasi pada arah strategis yang berbeda. Ia juga tidak mempermasalahkan proses pengaruh-mempengaruhi antara “penjelasan” dan “pemahaman” pada saat seseorang membaca teks. Sebab pada praktiknya, keduanya dapat menjadi metode yang tumpang tindih dan saling mengisi. Perbedaannya, dalam penjelasan kita menguraikan atau membuka ruang lingkup proposisi-proposisi dan arti-arti. Sedang dalam pemahaman, kita menangkap atau mengerti sebagai suatu keseluruhan mata rantai arti-arti parsial dalam suatu kegiatan sintesis.21 Konsepsi utama dalam pandangan Ricoeur bahwa, makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa hermeneutika merupakan ilmu dan teori tentang penafsiran yang hasilnya menuju kepada pentakwilan. Juga sebagai upaya awal, untuk menjelaskan teks mulai dari ciri objektifnya (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subjektif (maksud pengarangnya).22 Dengan pengertian ini maka hermeneutika penting sebagai teori untuk

20 Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,

1999), 109

21 Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, 292-293.

22 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000),

(44)

memahami teks-teks dalam kitab suci, perilaku seseorang, dan substansi perkataan dalam konteksnya masing-masing.

1. Hermeneutika Kitab Suci al-Qur’an

Dalam tradisi Islam, hermeneutika dapat berkaitan dengan konsep tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra'yi serta bi al-isyari,23 yang

mana dari ketiganya mempunyai ciri bentuk tersendiri sebagai dasar dalam menafsirkan al-Qur’an. Tiga konsep itu sama-sama digunakan untuk menafsirkan teks ayat-ayat al-Qur’an.

Sebagai teori penafsiran, terasa sekali bahwa hermeneutika sangat dibutuhkan karena selalu ada jarak antara penulis, teks, dan kita yang memahami teks pada masa kini. Jarak itu dapat berupa bahasa, konsep atau ide, budaya, waktu, dan geografis. Adanya jarak inilah yang menjadikan kita tidak dapat langsung memahami gagasan, pemikiran, atau konsep yang ada dalam suatu teks. Adanya jarak itu harus diatasi agar tidak terjadi kendala atau kesenjangan antara teks dan kita. Dengan menggunakan hermeneutika kita di masa kini ketika membaca teks dapat mengupayakan penjelasan dan pemahaman terhadap teks pada masa lampau.24

Pada era kontemporer seperti sekarang ini terjadi perkembangan paradigma tafsir dalam kajian kitab suci, oleh para cendikiawan muslim seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Naṣr Ḥāmid Abu Zayd,

23 Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an: Mengungkap Makna-Makna

Tersembunyi al-Qur’an (Ciputat: Al-Ghazali Center, 2010), 413-414.

(45)

Mohammed Arkoun, Muḥammad Syahrur dan sebagainya, dengan berlandaskan atas asumsi-asumsi,25 di antaranya sebagai berikut:

1. Qur’an kitab yang ṣālih li kulli zamān wa al-mākān.

Asumsi ini, beranggapan bahwa al-Qur’an perlu ditafsirkan terus-menerus, sehingga tidak kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman.

2. Teks yang statis dan konteks yang dinamis.

Karena problem yang muncul di era kontemporer begitu kompleks dan tidak terbatas, maka suatu keniscayaan bagi para penafsir kontemporer untuk tidak selalu berusaha mengaktualkan dan mengkontekstualisasikan pesan-pesan universal yang terkandung dalam al-Qur’an ke dalam konteks partikular era kontemporer.

3. Penafsiran bersifat relatif dan tentatif.

Kebenaran penafsiran al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif, karena tafsir adalah respons seorang mufassir yang memiliki latar belakang perspektif cultural background dan prejudice-prejudice atau corak dari latar keilmuan, konteks sosial Politik dan tujuan, ketika memahami teks kitab suci, serta situasi dan problem sosial yang dihadapinya.

Nuansa hermeneutis sangat mewarnai paradigma penafsiran al-Qur’an pada era modern dan kontemporer. Bila dahulu para penafsir hanya mengandalkan perangkat keilmuan seperti nahwu sharaf, ushul fiqih, balaghah, ilmu hadis dan lain-lain, di era modern kontemporer

25 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka

(46)

ini juga melibatkan ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi, sains, sejarah dan sebagainya.26

Metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu pun sangat diharapkan sekali untuk mampu menjawab isu dan gagasan-gagasan dari luar dewasa ini, seperti tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralisme dan sebagainya, serta memperjelas efektifitas peranan teks, pengarang dan pembaca, dengan demikian otoritarianisme penafsiran dapat dieliminasi dan produk-produk tafsir menjadi tidak otoriter karena lebih berorientasi pada spirit al-Qur’an, daripada hanya sekedar kesakralan nilai suatu kitab suci.27

Ada beberapa alasan kenapa untuk konteks ruang dan waktu pemahaman al-Qur’an, dirasa cukup penting melibatkan gagasan-gagasan hermeneutika.Hal ini disebabkan karena: 28

Pertama, satu hal yang tidak dapat diingkari adalah proses

penurunan al-Qur’an yang terikat dengan ruang dan waktu, sedangkan peradaban masyarakat selalu berkembang. Karena itu menjadi suatu kewajiban untuk melakukan kontekstualisasi dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.

Kedua, pada satu sisi, bahasa apapun memiliki keterbatasan yang

bersifat lokal sebagai cerminan realitas budaya, termasuk bahasa Arab. Sedangkan pada sisi yang lain pesan-pesan atau muatan-muatan kitab suci lebih bersifat universal, melampaui ruang dan waktu. Hal inilah yang kemudian membentuk cakrawala hubungan tarik menarik antara

26

Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, 86-87.

27 Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, 87.

28 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme: Dalam Pemikir Tokoh Islam

(47)

realitas bahasa Arab sebagai kitab suci yang bersifat lokal dengan pesan-pesan kitab suci yang bersifat universal. Karena bahasa kitab suci telah mencapai kesempurnaan kultur sastra bahasa dan hal ini sangat menguji kemampuan akal, dalam memahami pesan-pesan universal tersebut.

Ketiga, ketika bahasa agama disakralkan oleh umatnya, maka

bisa memunculkan berbagai hal paling tidak dua yakni: adakalanya bahasa agama menjadi terpelihara dengan baik, namun ada kalanya makna dan pesan kitab suci tersebut menjadi terkekang oleh teks yang disakralkan.

Keempat, selain sebagai kodifikasi hukum Allah, kitab suci

dalam realitasnya juga merupakan hasil dari rekaman dialog antara Allah yang diwakili oleh Rasul-Nya dengan realita sejarah. Apabila proses dialog tersebut terdokumentasi secara tertulis, maka mungkin ada terjadi proses reduksi dari kalam Allah tersebut, terutama dari segi kronologi susunan atau perselisihan bacaan.

Pada perkembangannya hermeneutika dapat diklasifikan dalam dua model. Pertama, hermeneutika objektif yang digagas oleh tokoh-tokoh awal. Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarang beserta sejarahnya, sebab apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa keadaan pengarangnya yang menjadi historis, sehingga juga disebutkan dalam hal ini, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita, melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.29

29 Nur Fuadi Rahman, “Hermeneutika al-Quran,” Jurnal Transformatif

(48)

Sedangkan dalam dunia Islam, sebagaimana pemetaan oleh Fazlur Rahman, hermeneutika aliran objektif adalah aliran dengan tipikal menjelaskan konteks kehidupan manusia sebagai subjek, terserap ke dalam al-Qur’an sebagai objek pemahaman. Hermeneutika digunakan untuk mempertimbangkan pengalaman kekinian manusia, tanpa masuk dalam pengalaman subjektif-eksistensial manusia sebagai prapemahaman. Sejarah teks al-Qur’an dipahami secara objektif dan tidak terjebak ke dalam kekhususan konteks masa lalunya. Aliran ini dikembangkan oleh Rahman dan Shahrur.30

Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh

tokoh-tokoh modern. Menurut model yang kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis, seperti yang diasumsikan dalam model hermeneutika objektif, melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Titik tekan model kedua ini adalah isi teks itu sendiri secara mandiri, bukan pada ide bawaan si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis.31

Sedangkan dalam dunia Islam, sebagaimana pemetaan oleh Fazlur Rahman, hermeneutika aliran subjektif adalah aliran dengan tipikal menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai objek pemahaman, terserap dalam konteks kehidupan manusia sebagai subjek. Hermeneutika diarahkan pada usaha pemecahan problem sosial seperti,

30 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme, 58. 31 Fuadi Rahman, “Hermeneutika al-Quran”, 191.

(49)

pembebasan dari penindasan, dan pembebasan kaum perempuan. Konteks pengalaman kekinian yang subjektif-eksistensial dengan manusia menjadi pusat. Penganut aliran ini diantaranya Hasan Hanafi, Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud.32

B. Tinjauan Umum Tentang Musyawarah

Kata musyawarah dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Dipakai juga selain kata musyawarah kata perundingan dan perembukan, mempunyai makna yang sama.33

Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab

ة َر َواش ُم

merupakan bentuk masdar dari kata kerja yang tersusun dari tiga huruf

ش

,

dari asal kata tersebut maka bentuk fi’ilnya adalah

-

رواشي

رواش

ةرواشم

yang berarti “menjelaskan, mengatakan, mengambil sesuatu, dan saling bertukar pendapat”, seperti pada kalimat

ىر ْمأ يف اًنَلا ُف ُت ْر َوا َش

“aku mengambil pendapat si fulan mengenai urusanku”.34

Ada pendapat lain mengatakan kata musyawarah berasal dari kata اروش– روشي– راش, yang berarti mengambil madu dari tempatnya.35 Makna tersebut berarti lebih luas, mencakup berbagai hal yang dapat dikeluarkan dari yang lain termasuk seperti pendapat. Musyawarah

32 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme, 58.

33 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 603.

34

Abū Ḥusain Aḥmad, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, Juz 3 (t.t: Dār al-Fikr, t.th), 226.

35 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia

(50)

seharusnya dengan tujuan yang baik dan menghasilkan kebaikan pula seperti madu.36

Agama Islam memiliki landasan syar’i dalam hal musyawarah bagi umat muslim. Terdapat riwayat hadis menyebutkan keutamaan dalam bermusyawarah, di antaranya;

نم َباخ ام : ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاق لاق ك ِلام نب ِس

َّنَأ نع

َم ِدَن امو َراخَت ْسا

يناربطلا هاور( َد َصَتْقا نم َلاع لاو َراشَت ْسا نم

).

“Dari Annas ibn Malik berkata, telah berkata rasulullah s.a.w, tidak akan kecewa orang yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang musyawarah dan tidak akan sengsara orang yang berhemat”. (HR. al-Ṯabrani).37

Ada tiga ayat dalam al-Qur’an yang akar katanya menunjukkan

Syūrā, yang berarti musyawarah. Secara eksplisit perihal musyawarah

terdapat dalam tiga ayat, yaitu pada Qs. al-Baqarah/2: 233 yang termaktub dengan kata

ر ُواش

َت

, Qs. Āli Imrān/3: 159 dengan kata

ْرِواش

, dan Qs. al-Syūrā/42: 38 dengan kata

ى َروش

. Dari tiga ayat tersebut, surah al-Syūrā ayat 38 merupakan yang pertama diturunkan dan masuk dalam kelompok Makiyyah, sedangkan yang dua tersebut Madaniyyah semua.

Beberapa penjelasan musyawarah menurut sebagian ulama, seperti; Fakhruddīn al-Razī, mengatakan bahwa setiap orang yang ikut musyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik

36

M. Quraish Shihab, al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 312.

37 Sulaimān bin Aḥmad bin Ayyūb Abū al-Qasim al-Ṭabranī, Mu’jam al-

Referensi

Dokumen terkait

Teori Produksi :  ­  Untuk melihat hubungan antar input (faktor produksi)  ­  Dan, output (hasil poduksi)  Teori produksi diharapkan : 

Sementara, Ilmu pendidikan Islam Fannu al-Tadris, tujuan mengajarkan al-Qur‟an kepada murid-murid adalah sebagai berikut: (a) untuk menjelaskan asas utama syari‟at

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

Berbasis Perintah Tunggal 3 Dialog Berbasis Bahasa Pemrograman 4 Antarmuka Berbasis bahasa Alami 5 Sistem Menu 6 Dialog Berbasis form - filling 7 Antar Muka Berbasis Ikon 8

Selanjutnya Maulana (Isrok’atun, 2018) mengemukakan salah satu karakteristik RME yaitu proses pembelajaran matematika dilakukan secara interaktif, artinya terdapat

Karena agama merupakan hubungan antara seorang makhluk dengan sang Khalik, selain itu Allah sebagai sang pencipta memerintahkan kepada kita makhluk-Nya untuk tidak

2. Lihat juga al-Suyūṭī, al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. Lihat juga al-Suyūṭī, al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h.. Nama-nama surah dan nama lainnya yang

Keenam, skripsi yang ditulis oleh Aghis Nikmatul Qomariyah dengan judul Penafsiran Bakri Syahid Terhadap Ayat-ayat al-Qur‟an dan Kewajiban Istri dalam Tafsir al-Huda