BAB IV PENAFSIRAN SURAH AL-SYŪRĀ AYAT 38
B. Penafsiran Surah al-Syūrā Ayat 38 Menurut Beberapa
1. Tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’an al-
Tafsir al-Ibrīz merupakan tafsir karya seorang tokoh Kyai Haji bernama Bisri bin Zainal Mustofa dari Rembang, Jawa Tengah. Kitab tafsir al-Qur’an lokal ini terjemahannya menggunakan model makna gandul Arab pegon, dan ditulis lengkap terdiri dari juz 1 sampai juz 30. Memiliki karakter tradisionalis khas pesantren salaf di Indonesia dengan paduan corak fiqih, tasawuf, dan sosial, khas warga nahdliyin.10
Qs. al-Syūrā/42: 38;
7 Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 57.
8
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, 618.
9 Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 946.
10 Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri
ا َّم ِم َو ْمُهَنْيَب ى َر ْو ُش ْم ُهُرْمَاَو َةوَلَّصلا اوُماَقَاَو ْمِهِ بَرِل اْوُباَجَت ْسا َنْيِذَّلاَو
. َن ْو ُق ِفْنُي ْم ُهاَنْق َزَر
“Dan orang-orang yang mereka memenuhi seruan kepada Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka dimusyawarahkan antar mereka, dan sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada mereka nafkahkan.”11Berikut penafsiran Bisri Mustofa:
“Lan uga tumerep wong-wong kang pada nyendikani (ngayahi)
marang dawuh-dawuhe Allah Ta’ala, lan kang pada ngelangkangake tumindak solat, lan wong kang urusane tansah dirembuk sak kanca-kancane (ora gerusah-gerusuh), lan wong kang pada nyokongake sebagian sangking rizki peparinge Pengeran kanggo keperluan taat marang Pengeran.”12
Maksud penafsiran di atas bahwa, ayat ini menyebutkan sebagaimana orang yang taat kepada seruan Allah. Yaitu mereka yang melaksanakan shalat, zakat, dan mereka yang yang menyelesaikan urusannya dengan bermusyawarah agar tidak gegabah, dan yang senantiasa menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah.
Dari hasil terjemahnya, kata syūrā diterjemahkan dengan kata “rembuk - rembukan”, yang mana bila dalam bahasa Indonesia sama bermakna ‘musyawarah’. Secara Bahasa, Bisri Mustofa tidak menjelaskan rincian arti makna syūrā. Ia hanya menjelaskan ayat yang berkaitan dengan syūrā tersebut secara ijmali, bahkan terkesan apa
11 Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 783.
12 Artinya: Dan bagi orang-orang yang mengikuti perintah-perintah dari Allah Ta’ala. dan juga melaksanakan shalat, dan orang yang segala urusan persoalannya senantiasa selalu di musyawarahkan dengan teman-temannya (tidak terburu-buru), dan juga orang yang senantiasa menafkahkan sebagian rezekinya untuk berbuat ketaatan kepada Tuhan. Bisri Mustofa, al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’an al-‘Aziz, jilid 3 (Kudus: Menara Kudus, t.th.), 1757.
adanya sesuai dengan teks ayat tersebut. Hal tersebut, berarti penafsiran lebih dominan pada penetapan makna teks.
Begitu pula dalam ayat ini, untuk kajian historis dan implikatif juga dinilai kurang, namun bila dilihat pada surah Āli-Imrān ayat 159 mengenai musyawarah, dijelaskan pula konteks historis ayat tersebut turun sesaat setelah peristiwa perang Uhud.
2. Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl
Tafsir al-Iklīl merupakan tafsir karya seorang tokoh Kyai Haji, pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh, Bangilan, Tuban, Jawa Timur, bernama Misbah bin Zainal Mustafa, lahir di Rembang, Jawa Tengah. Merupakan adik beda ibu dari Kyai Bisri pengarang tafsir al-Ibrīz. Kitab tafsir al-Qur’an lokal ini juga terjemahannya menggunakan model makna gandul Arab pegon, dan ditulis lengkap terdiri dari juz 1 sampai juz 30. Memiliki karakter tradisionalis khas pesantren salaf di Indonesia, dengan paduan corak fiqih, tasawuf, dan sosial, khas warga nahdliyin. Tidak jauh beda dengan pendahulunya yaitu tafsir al-Ibrīz, namun dalam segi penjelasannya bisa dibilang lebih luas.13
Qs. al-Syūrā/42: 38;
َو ْم ُهَنْيَب ى َر ْو ُش ْم ُهُر ْمَا َو َةوَل َّصلا او ُماَقَا َو ْم ِهِ بَرِل اْوُبا َجَت ْسا َنْي ِذَّلاَو
ا َّم ِم
َن ْو ُق ِفْنُي ْم ُهاَنْق َزَر
“Dan orang-orang yang mereka memenuhi seruan kepada Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka
13 Jazuli Hasan, “Tafsir Pondok Pesantren: Karakteristik Tafsir Taj al-Muslimin min Kalam Rabb al-‘Alamin Karya KH. Misbah bin Zainal Musthafa” (Tesis S2., Program Pascasarjana UNSIQ Wonosobo, 2016), 1-12.
dimusyawarahkan antar mereka, dan sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada mereka nafkahkan.”14
Berikut penafsiran Misbah Mustofa:
Ia memulainya dengan menetapkan makna ayat 38;
“Lan wong-wong kang padha nyembadani pengerane, lan pada
nyenengake sholat, lan pada musyawarah gandeng karo persoalan kang merluake musyawarah; tegese perundingan utawa tukar pikiran, lan pada nanjakake sebagian sangking apa kang ingsun paringke marang dheweke”.15
Kemudian ia menerangkan historis dari turunnya ayat 38 tersebut;
Ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Ansor yang diajak beriman kepada Rasulullah, kemudian mereka menepati. Lalu Rasulullah, s.a.w, mengangkat kepala kelompok sebanyak 12, dari sahabat Anshar itu. Sahabat Ansor tersebut, sebelumnya didatangi Nabi, s.a.w, di kota Madinah jika mereka berkeperluan apapun untuk bermusyawarah. Lalu mereka melaksanakan apa yang disepakati setelah musyawarah. Kemudian Allah memuji sahabat Ansor, sebab melakukan musyawarah, dan memerintahkan Rasulullah, s.a.w, agar musyawarah seperti mereka demi kemaslahatan bersama.16
Misbah Mustofa juga memberikan penjelasan implikasi terkait musyawarah;
14
Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 783.
15 Artinya: Dan orang-orang yang mereka menaati Tuhannya, dan mereka mendirikan shalat, dan mereka musyawarah bersamaan dengan persoalan yang memerlukan musyawarah, maksudnya perundingan atau tukar pikiran, dan mereka menafkahkan sebagian dari apa yang kami berikan kepada mereka. Misbah bin Zainal Musthafa, al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl (Surabaya: al-Ihsan, t.th.), 4018.
16 Misbah bin Zainal Musthafa, Iklīl fī Ma’ānī Tanzīl (Surabaya: al-Ihsan, t.th.), 4019.
Ruang lingkup musyawarah dikaitkan dengan ayat 159 surah Āli Imrān “
ِرملأا يف م ُهرِواَ َشو
”. Yakni; musyawarahlah dalam berbagai urusan, tetapi perintah musyawarah ini ada di masalah-masalah ijtihadiyah, masalah-masalah yang membutuhkan ijtihad. Seperti masalah perang dan sebagainya. Rasulullah tidak musyawarah dengan para sahabat bila mengenai hukum agama. Karena hukum-hukum agama itu diturunkan dari Allah Ta’ala. Setelah Nabi s.a.w, wafat, mereka para sahabat bermusyawarah dalam masalah-masalah yang penting, baik masalah agama atau masalah dunia. Hal itu bermula pada kejadian musyawarah di kalangan sahabat Anshar, ketika terdapat persoalan Khilafah, yaitu masalah kedudukan menjadi khalifah. Karena Nabi s.a.w, tidak menentukan siapa yang menjadi penggantinya, sehingga timbul perdebatan antara para sahabat. Kemudian mereka berkumpul dan mereka bermusyawarah. Ketika itu Umar bin Khaṭṭab mengatakan: kita ridho atas agama kita apa yang diridhoi oleh Nabi kita. Akhirnya mereka para sahabat setuju mengangkat Abu Bakar al-Ṣiddiq menjadi Khalifah.17Penafsiran pada tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl ini lebih luas dan terang, karena mencakup keterangan-keterangan yang diperlukan dalam interpretasi teks, yaitu: penegasan makna teks, historis teks, dan implikasi teks.
3. Tafsiral-Quran Majid An-Nuur
Tafsir an-Nuur merupakan karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy salah seorang ulama atau pendidik dalam kalangan pejabat,
lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara. Kitab tafsir al-Qur’an lokal ini menggunakan Bahasa Indonesia beserta aksaranya. Ditulis lengkap terdiri dari juz 1 sampai juz 30. Memiliki karakter modernis, khas pergerakan pembaharuan pemikiran Islam seperti Muhammadiyah.18
Qs. al-Syūrā/42: 38;
َو َةوَل َّصلا او ُماَقَا َو ْم ِهِ بَرِل اْوُبا َجَت ْسا َنْي ِذَّلاَو
ا َّم ِم َو ْمُهَنْيَب ى َر ْو ُش ْم ُهُرْمَا
َن ْو ُق ِفْنُي ْم ُهاَنْق َزَر
“Dan orang-orang yang mereka memenuhi seruan kepada Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka dimusyawarahkan antar mereka, dan sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada mereka nafkahkan”.19Berikut penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy:
Ia mulai dari mengutip penggalan ayat “wa amruhum syuura
bainahum”, dengan terjemahnya “Sedangkan urusan mereka
dimusyawarahkan di antara mereka.” Kemudian ia memberikan penetapan maknanya; “Apabila mereka menghadapi suatu pekerjaan yang sangat penting, mereka pun merundingkan urusan itu lebih dahulu, terutama urusan-urusan mengenai peperangan”.20
Lalu ia memberi tanggapan dari segi historis, tetapi mengarah pada implikasinya, bukan sebab turunnya ayat;
“Rasulullah kerap kali bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam urusan yang penting, namun tidak dalam urusan menetapkan hukum. Sebab penetapan hukum itu turun dari Allah. Para sahabat juga selalu bermusyawarah tentang cara
18 Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), 45-46.
19 Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 783.
20 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Quran Majid an-Nuur (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 3714.
mengambil keputusan hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Permulaan musyawarah dilakukan para sahabat secara resmi untuk menentukan siapa khalifah dan permusyawaratan mengenai peperangan untuk menghadapi orang-orang yang murtad sesudah Nabi wafat. Begitulah para sahabat besar sering bermusyawarah. Umar pernah bermusyawarah dengan Hurmuzan ketika dia datang menyerahkan diri kepada umar”.21
Dalam segi implikasi sendiri, selain memberikan pelajaran sejarah pengalaman Nabi s.a.w, dan para sahabatnya seperti tersebut di atas, ia juga memberikan pengertian syura secara kontekstual dengan bahasa kontemporer; “syura adalah salah satu prinsip Islam yang menentang kediktatoran dan sistem pemerintahan otoriter”.22
4. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Tafsir al-Mishbāh merupakan karya seorang yang sudah terkenal pakar dalam bidang tafsir al-Qur’an di Indonesia, ia bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan. Kitab tafsir al-Qur’an lokal ini menggunakan Bahasa Indonesia beserta aksaranya. Ditulis lengkap dari juz 1 sampai juz 30, terdiri dari 15 volume. Memiliki karakter modernis, mufassir menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan modern.23 Qs. al-Syūrā/42: 38;
ا َّم ِم َو ْمُهَنْيَب ى َر ْو ُش ْم ُهُرْمَاَو َةوَلَّصلا اوُماَقَاَو ْمِهِ بَرِل اْوُباَجَت ْسا َنْيِذَّلاَو
َن ْو ُق ِفْنُي ْم ُهاَنْق َزَر
21Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Quran Majid an-Nuur, 3714.
22 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Quran Majid an-Nuur, 3714.
23 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 363.
“Dan orang-orang yang mereka memenuhi seruan kepada Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat dan urusan mereka dimusyawarahkan antar mereka, dan sebagian dari apa yang kami rezekikan kepada mereka nafkahkan”.24
Berikut penafsiran Quraish Shihab:
Secara historis, ia menyampaikan sebab turunnya ayat tersebut turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi s.a.w, dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abū Ayyūb al-Anṣārī. Ketika Rasulullah s.a.w, mengajak mereka untuk beriman, kemudian mereka pun menyambut dengan baik ajakan Nabi s.a.w.25
Dari rangkaian ayat tersebut ia menyampaikan penetapan makna, bahwa ayat di atas menyatakan:
“Dan kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka dan mereka mendirikan sholat secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun dan Syaratnya juga dengan khusyu’ kepada Allah. Dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka adalah musyawarah diantara mereka yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada diantara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya dan disamping itu mereka juga dari sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka baik harta atau lainnya mereka senantiasa menafkahkan secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah”.26
Selain itu, ia juga memberikan uraian terkait makna dari beberapa kata penting dalam ayat ini, seperti mengenai kata syūrā;
24
Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 783.
25 M. Quraish Shihab, al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 177.
“Kata (
ىروش
) syūrā terambil dari kata (روش
) syaur. Kata syūrā berarti mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat lain. Kata ini terambil dari kalimat (لسعلا ترش
) syirtu al-‘asal yang bermakna saya mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu dan musyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun dia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikan”.27Dalam hal implikasi dari ayat tersebut, tafsir ini menjelaskan, bahwa;
“Kata (
مهرمأ
) amruhum ‘urusan mereka’ menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu, masalah ibadah mahdhah/murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Disisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika diajak oleh yang berwenang karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antara mereka.” 28Kemudian dijelaskan teknis musyawarah, bahwa;
“al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana bentuk syura yang dianjurkan. Ini untuk memberi kesempatan pada masyarakat menyusun bentuk syura yang mereka inginkan sesuai perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing”.29
C. Hermeneutika Musyawarah dalam Penafsiran Surah al-Syūrā Ayat 38 Bakri Syahid dalam Tafsir al-Huda
1. Konteks Kajian Tafsir
27 Quraish Shihab, al-Mishbāh, 512.
28 Quraish Shihab, al-Mishbāh, 512.
Perkembangan hermeneutika sebagai metode tafsir dengan ciri kajian konteks ruang dan waktu atau faktor internal dan eksternal seorang pengarang dan pembaca.30 Secara historis al-Qur’an dapat dibaca bersama dengan realitas tempat dan waktu diturunkannya, maka dalam implikasinya pembaca mampu mendialektikkan tafsir al-Qur’an dengan analisis realitas mufassir itu sendiri. Dalam istilah tokoh-tokoh hermeneutika al-Qur’an seperti: Amin Abdullah, Farid Esack, Naṣr Ḥāmid Abu Zayd, dll disebut sebagai al-qirā’ah al-muntijah atau dalam konsep Gadamerian disebut productive hermeneutics.31
Karakteristik tafsir al-Qur’an di Indonesia terutama abad ke-20, banyak yang melibatkan bahasa lokal, bahkan konteks keindonesiaan, baik sudut sosial, budaya, dan politik sebagai ruang dialektika atau konsekuensi masyarakat lingkungannya yang tidak sama dengan bahasa kitab sucinya. Salah satu karya tersebut seperti yang penulis bahas, yaitu Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid yang ditulis dengan aksara Roman dan bahasa Jawa.32
Bakri Syahid merupakan salah satu orang yang masih aktif terlibat dalam sistem pemerintahan. Ia berkarir menjadi Komandan Kompi, Wartawan Perang No. 6-MTB, Kepala Staf Batalyon STM-Yogyakarta, Kepala Perawatan Rohani Islam Angkatan Darat, Wakil Kepala Pusroh Islam Angkatan Darat, dan Asisten Sekretaris Negara Republik Indonesia.33 Setelah karirnya sebagai purnawirawan, ketika menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Bakri
30 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1998), 43.
31 Syamsul Wathani, ”Tafsir al-Qur’an dan Kekuasaan Politik di Indonesia (Perspektif Analisis Wacana dan Dialektika)”. Nun, vol. 2, no. 1, (2016): 178.
32 Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika”.
Nun, vol. 1, no. 2 (2015): 3-4.
Syahid merampungkan karya tafsirnya sebagai kebutuhan Muslim Jawa Indonesia maupun Suriname. Karena kebutuhan kolega-koleganya akan karya tafsir, maka al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi ini berbahasa Jawa dengan aksara Latin.34
Abad 20, tepat pada masa Orde Baru ketika kepemimpinan Soeharto (1966-1998) merupakan dimana awal masa populernya konsep Demokrasi Pancasila. Istilah konsep tersebut lahir dari pemikiran yang kontra terhadap konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno. Jadi, secara tidak langsung, pemberlakuan Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru adalah suatu upaya delegitimasi terhadap konsep Demokrasi Terpimpin. Pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto memberikan pengertian bahwa, Demokrasi Pancasila adalah demokrasi berkedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila dalam Pancasila.35 Dalam buku
Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, karya Mahfud MD, disebutkan bahwa
Demokrasi Pancasila mengutamakan musyawarah untuk mufakat.36 Bahkan dalam karya-karya tafsir yang terbit pada masa Orde Baru, seperti tafsir Bahasa Jawa milik Bakri Syahid ikut serta dalam mempromosikan adanya konsep Demokrasi Pancasila.
Tafsir al-Huda termasuk tafsir yang hadir pada masa pemerintahan Orde Baru, yaitu orde dimana mulai terbentuknya partai politik, kebebasan pers, kebebasan mimbar, mengeluarkan pendapat
34 Gusmian, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 21.
35 Ajat Sudrajat, “Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Sejarah” (Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Program Studi Ilmu Sejarah UNY, 15 Oktober 2015): 13-14.
36 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang
dan lain-lain.37 Bakri Syahid dalam tulisannya ia mengatakan bahwa Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia adalah Demokrasi Pancasila.38 Akan tetapi sangat disayangkan sekali, karena dalam praktiknya konsep baik tersebut mengalami banyak penyelewengan oleh kenegaraan dan pemerintahan sendiri. 39
Mengenai pengertian demokrasi berdasarkan Pancasila menurut Bakri Syahid, inti terpentingnya dari setiap demokrasi adalah ikut sertanya rakyat secara efektif dalam menentukan garis-garis haluan negara. Pengawasan rakyat secara efektif terhadap pelaksanaan haluan negara oleh pemerintah, dan ikut serta melaksanakan serta bertanggung jawab atas segala putusan yang diambil oleh Rakyat itu sendiri. Dalam hal ini, maka Rakyat itu dicerminkan dalam perwakilan-perwakilan/melalui Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat dan pembahasan masalahnya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.40
Perkembangan Demokrasi Pancasila, menurut Bakri Syahid masih mengarah kepada sifat dan ciri-cirinya yang belum menyeluruh. Tetapi yang pasti ialah, bahwa Indonesia berpegang teguh pada beberapa nilai-nilai pokok Pancasila. Hal tersebut telah cukup jelas terdapat dalam UUD 1945 sebagai dasar konstitusional. Diantaranya mencakup pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan yang
37
Bakri Syahid, Pertahanan Keamanan Nasional (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1976), 138.
38 Bakri Syahid, Ilmu Kewiraan (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1976), 119-120.
39 Gama Prabowo, “Demokrasi Indonesia Masa Demorasi Pancasila
(1966-1998), 2020.” Diakses, 14 Juli, 2021,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/22/130156569/demokrasi-indonesia-masa-demorasi-pancasila-1966-1998
berbunyi “Berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan atau perwakilan”.41
Dalam tafsir yang ditulis Bakri Syahid terlihat di bidang politik, ideologi Pancasila misalnya, dikontestasikan dalam bentuk dukungan sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Peran agama dalam pembangunan bangsa, memberikan dukungan kepada Pancasila. Ia menegaskan terkait perihal tersebut dalam beberapa uraian, seperti berikut;
Ketika menafsirkan Qs. al-Nisā’/4 ayat: 83 perihal Ūlu al-Amr. Bakri Syahid menulis,
“...zaman sapunika Ulil Amri punika Pemerintahan cara Demokrasi, mboten tebih kados tata negari ing Indonesia cara Demokrasi Pancasila naminipun”.42
Artinya:
...untuk kontek sekarang, Ūlu al-Amr itu pemerintah yang menjalankan sistem demokrasi, seperti pemerintah Indonesia yang menerapkan sistem Demokrasi Pancasila namanya.
Terkait Qs. Yunus/10 ayat: 7, Bakri Syahid menulis,
“...Faham secularisasi punika cengkah kaliyan piwulang Agami Islam ugi boten saged dipun trapaken wonten Negari Pancasila ing Indonesia, sabab falsafah lan ideologi Pancasila punika anetepaken wonten Undang-Undang Dasar 1945, ing Bab XI, fasal 29, ‘Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan yang Maha Esa’, artosipun masyarakat utawi Negari ingkang dados idham-idhamanipun punika ingkang sosialis-religius, inggeh punika masyarakat adil makmur ingkang anyakup materiil lan spirituil,
41 Syahid, Ilmu Kewiraan, 120.
lahiriyah lan batiniyah, Donya lan Akherat ingkang tansah angsal Karidlaning Allah Subhanahu wata’aala!”.43
Artinya:
...Paham sekularisasi itu berlawanan dengan ajaran Agama Islam dan juga tidak bisa diterapkan di negeri Pancasila Indonesia. Sebab, falsafah dan ideologi Pancasila itu menetapkan di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bab IX Pasal 29, bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Artinya, masyarakat atau negara yang dicita-citakan pemerintah Indonesia adalah sosialis-religius. Yaitu masyarakat adil makmur yang mencakup materiil dan spirituil, lahiriah dan batiniah, dan dunia dan akhirat. Inilah masyarakat yang diridhai Allah Ta,ala.
Dalam paragraf selanjutnya ia melanjutkan;
“...bilih Negara Republik Indonesia punika Negara Kesatuan lan Negara Hukum, serta Negara Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Boten Negari atheis, sanes Negari secularis lan boten Negari Islam (ingkang leres Negari ingkang masyarakatipun 90% angrungkebi Agami Islam)”.44
Artinya:
...bahwa Negara Republik Indonesia itu Negara Kesatuan dan Negara Hukum, serta Negara berKetuhanan Yang Maha Esa. Bukan negara atheis, serta negara sekuler dan negara Islam.
Tulisnya ketika menafsiri Qs. al-Nūr/24 ayat: 28;
“...Bangsa Indonesia boten gadhah cita-cita ambangun
Masyarakat sekuler (masyarakat tanpa Agami),
nangingMasyarakat Pancasila!”.45
Artinya:
...Bangsa Indonesia tidak memiliki cita-cita membangun masyarakat sekuler (masyarakat tanpa Agama), melainkan masyarakat Pancasila!.
43 Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, 364.
44 Syahid, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, 364.
Bakri Syahid juga menguraikan tentang Sumpah Pemuda yang merupakan bagian dari nilai jiwa Demokrasi Pancasila di Indonesia, ketika menafsirkan Qs. al-Ra’d/13 ayat: 21. Menurutnya, Sumpah Pemuda berawal dari perjumpaan atau silaturahim anak-anak muda yang ketika itu peduli pada nasib bangsa.
“...lajeng dados ikrar: Satunggal Nusa, satunggal Basa, lan Satunggal Bangsa, estu-estu punika syarat mutlak badhe kiyating Ketahanan Nasional”.46
Artinya:
...Lalu menjadi ikrar: Satu Nusa, Satu Bahasa, dan Satu Bangsa. Jujur saja, ini syarat mutlak kekuatan Ketahanan Nasional.
Bakri Syahid menyampaikan pesan bahwa, berdasarkan UUD 1945 pasal 30; seluruh lapisan warga negara Indonesia wajib untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut tertuang dalam tafsir al-Huda tepatnya ketika ia menafsirkan Qs. al-Ḥujurāt/49 ayat: 6,
“Intelijen Negara lan Stabilitas Keamanan menika kewajibanipun Pamarentah ka bantu masyarakat...”.47
Artinya:
Intelijen negara dan stabilitas keamanan itu kewajiban pemerintah dibantu masyarakat....
Bakri Syahid juga menulis pada Qs. al-Ḥujurāt/49 ayat: 6-7 ini, bahwa di zaman modern berbicara perihal Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) untuk kontek NKRI. Di Negara Demokrasi, yaitu Negara kita yang berdasarkan Pancasila, intelijen negara dan stabilitas
46 Syahid, al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi, 448.