KEBEBASAN BERAGAMA
(ANALISIS TERHADAP KAJIAN TAFSῙR AL-SYA‘RĀWῙ DAN TAFSĪR AL-WASĪṬ LI AL-QUR’ĀN AL-KARῙM TERHADAP QS.
AL-BAQARAH / 2: 256)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Rinaldi Kesuma Putra
11140340000092
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021 M/1442 H
iii
KEBEBASAN BERAGAMA
(ANALISIS TERHADAP KAJIAN TAFSῙR AL-SYA ‘RAWῙ DAN TAFSĪR AL-WASῙṬ LI AL-QUR’ĀN AL-KARῙM TERHADAP QS.
AL-BAQARAH/ 2: 256)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Rinaldi Kesuma Putra NIM: 11140340000092
Pembimbing,
Syahrullah Iskandar, MA NIP: 19780818 200901 1 016
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rinaldi Kesuma Putra
Nomor Induk Mahasiswa : 11140340000092
Program Studi : Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas : Ushuluddin
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Maret 2021
Rinaldi Kesuma Putra NIM 11140340000096
ix
ABSTRAK
Rinaldi Kesuma Putra, Kebebasan Beragama (Analisis terhadap Kajian Tafsīr al-Sya‘rāwī dan Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur’ān al-Karīm terhada Qs. al-Baqarah / 2: 256).
Skripsi ini mengkaji ayat tentang kebebasan beragama yang terdapat dalam Qs. Baqarah/ 2: 256 menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī. Pertanyaan yang akan dibahas adalah bagaimana penafsiran Qs. Baqarah/ 2: 256 dalam kitab Tafsīr
al-Sya„rāwī dan Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur‟an al-Karīm.
Penelitian ini termasuk dalam kategori kepustakaan (library
research) dan sifatnya adalah deskriptif-komparatif. Sumber utama data
adalah kitab Tafsīr al-Sya„rāwī dan Tafsīr al-Wasīṭ, ditambah dengan literatur terkait lainnya seperti jurnal, tesis, desertasi, buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Adapun pendekatan yang digunakan adalah muqaran (perbandingan), yaitu dengan pengumpulan data dan mengadakan telaah terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang ada sehingga memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah tema kajian ini. Al-Sya„rāwī berpendapat bahwa Qs. al-Baqarah/ 2: 256 sebagai bentuk penolakan dari klaim yang menyatakan bahwa Islam dibangun dengan pedang atau Islam pro terhadap pemaksaan dan kekerasan. Sedangkan Tanṭāwī menyebutkan ada sebagian kelompok yang beranggapan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat jihad dalam Qs. al-Taḥrīm/ 66: 9. Anggapan tersebut bertolak belakang dengan pemikiran Tanṭāwī yang berpendapat bahwa ayat ini tidak dimansukh oleh ayat lain karena Qs. al-Baqarah/ 2: 256 merupakan ayat muhkam.
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa dalam menafsirkan ayat lā
ikrāha fī al-dīn, al-Sya„rāwī dan Tanṭāwī sama-sama mendukung bahwa
tidak diperbolehkan memaksa orang lain dalam memeluk suatu agama. Namun keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda, al-Sya„rāwī memaknainya dengan pengertian bahwa Allah sebagai sang pencipta, tidak memaksa manusia pada agama-Nya meskipun Ia yang menciptakannya. Sedangkan Tanṭāwī memaknai ayat ini sebagai bentuk
nahyī (larangan) untuk memaksa seseorang dalam beragama.
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas segala rahmat, karunia, taufiq, dan hidayat-Nya yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muḥammad SAW, rasul pilihan yang membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan. Semoga untaian doa tetap tercurahkan kepada keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Alhamdulillâh, penulis bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini melalui
upaya dan usaha selama menyusun skripsi ini. Meskipun dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa terselesaikan skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun berkat bantuan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA. Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir. Juga kepada Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH. Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berterima kasih, karena beliau telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi S1. Semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan dari setiap langkah beliau.
3. Bapak Syahrullah Iskandar, MA, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan arahan untuk segera terselesaikannya skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur, dan murah rejeki. 4. Bapak Hasanuddin Sinaga, MA. Pembimbing akademik yang telah memberi
saran dan masukan penulis selama perkuliahan S1 di UIN Jakarta.
5. Bapak Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag. Dosen konsultasi yang telah memberikan saran dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga bapak dan keluarga sehat selalu, panjang umur dan murah rejeki. 6. Segenap seluruh Dosen Program Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir , penulis
mengucapkan banyak terima kasih karena telah sabar dan ikhlas mendidik serta banyak memberikan berbagai macam ilmu kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat dunia dan akhirat.
7. Segenap Kepala dan Staff karyawan serta staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta staff perpustakaan Iman Jama‟, Perpustakaan Daerah Jakarta Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas pelayanan pustaka dalam penulisan skripsi ini.
8. Bang Ulul Azmi, bang Dedi, bang Ali Akbar dan bang Muhammad Rifa‟i yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam menulis karya ilmiah ini. Semoga abang-abangku selalu diberikan kesehatan dan keberkahan.
9. Keluarga besar alm. Oman Komarudin Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas suport dan motivasinya. Terutama kepada bi Ina, mang Ujang, dan bi Nonong.
10. Teman-teman terdekat penulis Muftie Arief, Samtoni, Naryono, Ubaidillah, Irfan Maulana, Muhammad Firmansyah, Khubab Fairus, Hadi Asrori, Dendara, Riki, Mirza, Irwan, Adib, Toni, Agung Prasetyo, Siti Hutami, alm. Iqbal, Syifa, Rizkia (key), Mahmud Sadad Widad, Muslih, Arif Maulan, dll.
11. Teman-teman penyemangat dalam penulis menyusun Skripsi; Rofiqoh, Rika, Laili, Umdah, Jemi, Qotrun, Ica, Winda Ayu, Nafis dll.
12. Kawan-kawan Fakultas Ushuluddin angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang rela berbagi ilmu, tawa, canda serta support kepada penulis.
Teruntuk orang tuaku ayahanda Agus Kuswandi dan ibunda Alm. Imas Jumirah yang selalu memberikan arahan dan dukungan baik berupa moril maupun materil serta doa yang tiada henti dari keduanya. Sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan sampai lulus. Kepada kaka penulis yang bernama Retno Kinanti Ningrum beserta suaminya dan Ade Ratna Oktari beserta suaminya, serta kepada tante yanti yang selalu membantu penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm-Nya kepada mereka. Āmīn Yā Rabbal‟ālamīn.
Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti masih sedikit, bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan mohon dimaafkan. Akan tetapi peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan memberikan motivasi kepada para pembaca, serta memberikan kontribusi yang signifikan bagi penelitian selanjutnya.
Jakarta, 25 Maret 2021
Rinaldi Kesuma Putra NIM 1114034000092
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543/U/1987
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf latin dapat dilihat pada tabel berikut:
No Huruf Arab Huruf Latin Keterangan 1. ا Tidak dilambangkan 2. ب b be 3. ت t te
4. ث ṡ es dengan titik atas
5. ج j je
6. ح ḥ h dengan titik bawah
7. خ kh ka dan ha
8. د d de
9. ذ ż z dengan titik atas
10. ر r er
11. ز z zet
12. س s es
13. ش sy es dan ya
14. ص ṣ es dengan titik di bawah
15. ض ḍ de dengan titik di bawah
17. ظ ż zet dengan titik di bawah
18. ع koma terbalik di atas hadap kanan
19. غ g ge 20. ف f ef 21. ق q ki 22. ك k ka 23. ل l el 24. م m em 25. ن n en 26. و w we 27. ي h ha 28. ء ˋ apostrof 29. ي y ye
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‟).
a. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti dalam vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ a fatḥah
َ i Kasrah
Adapun untuk vokal rangkap bahasa Arab, yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ا ai fatḥah dan ya
و ا au fatḥah dan wau
b. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ات ā a dengan garis di atas
ي ت ī i dengan garis di atas
و ت ū u dengan garis di atas
c. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad- dāwān.
d. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydìd َ )) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (ةرورضنا) tidak ditulis ad-ḍarūrah melainkan al-ḏarūrah, demikian seterusnya.
e. Ta Marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut di alih aksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1
ةقيرط
Ṭarīqah2
ةيملاسلإا ةعمالجا
al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah3
دوجولا ةدحو
Waḥdat al-wujūdf. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
g. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l) , kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan di atas.
Kata Arab Alih Aksara
ذاتسلأا بىذ
żahaba al-ustādzuرجلأا تبث
ṡabata al-ajruتّيرصعلا تكرلحا
al-ḥarakah al-asriyyahفا دهشأ
للها ّلاإ ولإ لا
asyhadu an lā ilāha illā Allāhللها مكرثؤي
Yu‟aṡṡirukum Allāhتيلقعلا رىاظلدا
Al-maẓāhir al-„aqliyyahPenulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu di alih aksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmān.
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv
DAFTAR ISI ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Permasalahan ... 8 1. Identifikasi Masalah ... 8 2. Batasan Masalah ... 8 3. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka ... 9
E. Metode Penelitian ... 13
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA DALAM AL-QUR’AN ... 19
A. Pandangan para Mufasir, Cendikiawan dan intelektual muslim ... 19
B. Prinsip-Prinsip Kebebasan beragama ... 22
C. Urgensi Sikap Kebebasan beragama ... 24
D. Unsur-Unsur Kebebasan beragama ... 26
BAB III SKETSA BIOGRAFI MUḤAMMAD MUTAWALLῙ AL-SYA‘RAWῙ DAN MUḤAMMAD SAYYID TANṬᾹWῙ ... 29
A. Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī ... 29
2. Latar Belakang Politik ... 31 3. Kecenderungan Mażhab Fikih dan Aliran Kalam ... 32 4. Pandangan Para Tokoh ... 33 5. Karya-karyanya ... 34 6. Tinjauan Kitab Tafsīr Sya„rāwī ... 36 B. Muḥammad Sayyid Tanṭāwī ... 37 1. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan ... 37 2. Latar Belakang Politik ... 39 3. Kecendrungan Mażhab Fikih dan Aliran Kalam ... 39 4. Pandangan Para Tokoh ... 39 5. Karya-karyanya ... 40 6. Tinjauan Kitab Tafsīr al-Wasīṭ Li al-Qur‟ān al-Karīm ... 42
BAB IV PENAFSIRAN MUḤAMMAD MUTAWALLI AL-SYA’RAWĪ DAN MUḤAMMAD SAYYID TANṬĀWĪ TERHADAP QS. AL-BAQARAH/ 2: 256 ... 45
A. Analisis Semantik Qs. al- Baqarah/ 2: 256 ... 45 B. Tafsir Qs. al- Baqarah/ 2: 256 ... 57 1. Asbabun Nuzul ... 57 2. Munasabah Ayat ... 59 C. Aspek Kebebasan Beragama dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 256 ... 64 1. Memberikan Kebebasan dalam Beragama ... 64 a. Menurut Muḥammad Mutawallī al- Sya„rāwī ... 64 b. Menurut Muḥammad Sayyid Tanṭāwī ... 65 2. Mengakui Agama-agama lain ... 66 a. Menurut Muḥammad Mutawallī al- Sya„rāwī ... 66 b. Menurut Muḥammad Sayyid Tanṭāwī ... 68 3. Menghormati Keyakinan orang lain ... 69
a. Menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī ... 69 b. Menurut Muḥammad Sayyid Tanṭāwī ... 70 D. Korelasi Qs. al- Baqarah/ 2: 256 dengan Masyarakat Modern ... 72
BAB V PENUTUP ... 75 A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan Beragama adalah istilah yang sangat akrab di telinga masyarakat apalagi di Indonesia. Kata ini bahkan sudah dianggap inheren dalam jiwa bangsa Indonesia karena jauh sebelum berdirinya negara ini. Kata ini sudah menjadi kearifan dan cara hidup masyarakat di Nusantara. Sebagaimana kita ketahui, Nusantara adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan ras. Kemajemukan ini telah lama hadir sebagai realitas empirik yang tak terbantahkan. Indonesia kemudian dikenal sebagai bangsa dengan sebutan “mega
cultural diversity”, dikarenakan Indonesia terdapat tidak kurang dari 250
kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang berbeda.1
Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal dengan keanekaragaman masyarakatnya. Selain itu, Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yang didalamnya terdapat bermacam-macam agama, budaya, dan etnis. Meskipun demikian dalam kemajemukan tersebut seringkali terjadi konflik dari beberapa pihak yang belum bisa menerima akan adanya perbedaan tersebut khususnya
dalam hal berkeyakinan.2
Berkaitan dengan beberapa perbedaan di masyarakat, seringkali agama menjadi peran utama yang memicu adanya konflik sosial di masyarakat. Sehingga pandangan orang terhadap nilai moral agama tidak terlihat harmonis lagi di setiap antar agama, agama yang dianggap pedoman yang suci bagi penganutnya kemudian berkembang menjadi kesan yang menimbulkan isu-isu yang bersifat
1
Yenny Zannuba Wahid, Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 12.
2
Muhammad Ridho Dinata, “Konsep Toleransi Beragama”. Esensia, vol.13, no.2 (Januari, 2012): 86.
emosional.3 Tragedi atas nama agama yang terus berlangsung di berbagai negara membuat agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, melainkan telah menjadi bencana.
Bagi umat Islam al-Qur‟an adalah petunjuk dari Allah untuk hamba-Nya, jika dipelajari akan membantu manusia untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan dapat dijadikan pedoman serta sandaran untuk menyelesaikan berbagai konflik. Dalam kehidupan, apabila al-Qur‟an dihayati, diamalkan dan dijadikan pedoman akan menjadikan pikiran, rasa dan karsa yang mengarahkan kita pada realitas keimanan. Tentunya yang dibutuhkan bagi stabilitas hidup pribadi dan masyarakat. Munculnya perbedaan dalam masalah agama tidak menjadi
penghambat dalam menciptakan hubungan baik kepada sesama umat beragama.4
Menjadi pemeluk suatu agama merupakan pilihan, karena setiap manusia berhak dan bebas menentukan kehendaknya untuk memilih agama yang benar menurut keyakinannya. Maka hak asasi dalam beragama itu harus dihormati dan dijunjung tinggi sehingga setiap orang dilarang memaksakan agama dan keyakinannya kepada orang lain, khususnya orang yang telah beragama.
Kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Tuhan,
karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya.5 Tentu
tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Adapun tidak dibolehkannya memaksa suatu agama karena manusia mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan serta memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
3
Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam Al-Quran”. Ushuluddin, vol.21, no.2 (Juli, 2014): 170.
4
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qu‟ran Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), 95.
5
Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Hubungan antar Umat Beragama, jilid 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2008), 30.
Al-Qur‟an dapat menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan manusia apabila kandungan isi dari al-Qur‟an telah dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Untuk memudahkan memahami kandungan al-Qur‟an, dibutuhkan usaha lanjut yaitu dengan penafsiran terhadap al-Qur‟an. Tafsir adalah kunci utama untuk menyingkapi apa yang terdapat dalam konsep Tuhan, yang terdapat dalam kalam-kalam-Nya. Tanpa kunci tersebut jangan berharap dapat meraih simpanan mutiara, permata yang ada di dalam al-Qur‟an.
Menurut Sayyid Tanṭāwī, Tafsir al-Qur‟an adalah sebuah kunci untuk membuka dan memahami hidayah- hidayah, hikmah- hikmah, dan hukum- hukum yang ada di dalam al-Qur‟an. Dengan tanpa Tafsir yang ilmiah, mustahil
tujuan-tujuan tersebut bisa dicapai.6 Ayat al-Qur‟an yang disinyalir berbicara mengenai
kebebasan bagi manusia dalam memeluk suatu agama terdapat dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 256
ِنيِّدلٱ ِفِ َهاَركِإ َلا
َ
ِّيَغلٱ َنِم ُدشُّرلٱ ََّيََّػبَّػت دَق
َ
رُفكَي نَمَف
ؤُيَو ِتوُغََّّٰطلٱِب
نِم
َ
َػف ِوَّللٱِب
َكَسمَتسٱ ِدَق
اََلذ َـاَصِفنٱ َلا َّٰىَقثُولٱ ِةَورُعلٱِب
َ
ٌميِلَع ٌعيَِسَ ُوَّللٱَو
“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 256)
Para Mufasir baik pada masa klasik maupun kontemporer, dalam menafsirkan ayat ini seringkali mengalami perbedaan diantaranya. Meskipun pada kesimpulannya hampir rata-rata sepakat bahwa tidak bolehnya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama. Tetapi yang menjadi menarik dari pembahasan ini
6
Muhammad Sayyid Tanṭāwī, Tafsīr Wasīṭ li Qur‟ān Karīm, jilid 1 (Kairo: Dar al-Sa‟adah, 2008), 8.
adalah perbedaan argumentasi dalam menafsirkan ayat tersebut. Salah satu perbedaan penafsiran yang terjadi di masa kontemporer yang akan menjadi tema pada penelitian ini adalah penafsiran Muḥammad Mutawallī al- Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256.
Menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī lafadz (Ikrāh) dalam ayat ini adalah mendorong orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kebaikan menurut akal sehat. Maksud ayat ini adalah bahwa Allah SWT, tidak memaksa makhluknya (meskipun ia pencipta nya) pada agama-Nya. Sangat mungkin bagi-Nya memaksa manusia sebagaimana hal itu terjadi pada penciptaan-Nya yang lain seperti langit, bumi, tumbuhan, dan benda mati. Selain itu menurut al-Sya„rāwī ayat ini berkaitan hanya dengan persoalan aqidah dan tidak
menyangkut persoalan hukum yang konsekuensinya untuk menjalankan syari‟at.7
Dalam menafsirkan ayat ini al-Sya„rāwī menggunakan naluri berfikirnya mengenai kekuasaan Tuhan sebagai pencipta terhadap makhluk yang diciptakannya tanpa melepaskan kaitannya dengan ayat lainnya seperti dalam Qs. an-Naml/ 27: 125 yang mengajarkan tentang dakwah dengan cara berdialog.
Senada dengan al- Sya„rāwī, Muḥammad Sayyid Tanṭāwī di dalam Tafsirnya mendukung pendapat yang mengatakan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam beragama (Islam). Menurut Tanṭāwī, ayat ini dikarenakan ayat sebelumnya (ayat kursi) telah memuat dan menjelaskan tentang keesaan dan keagungan Allah SWT, sehingga orang-orang yang memiliki hati dan akal yang sehat, setelah memperhatikan dan mendalami ayat ini, pasti akan beriman kepada Allah SWT dan menjalankan syari‟at Islam tanpa paksaan.
Tanṭāwī menegaskan bahwa pemaksaan dalam memeluk agama tidak akan mendatangkan faedah. Menurutnya, keterpaksaan dan sifat keberagamaan adalah
7
Muhammad Mutawallī al-Sya‟rawī, Tafsīr al-Sya„rāwī Khawāṭir Ḥaula al-Qur‟an (Jakarta: PT. Khazanah Nusantara Agung, 2011), 459.
dua hal yang berbeda, apabila keduanya digabungkan, keduanya tidak akan
bermanfaat bagi yang lain, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan.8 Dalam
menafsirkan ayat tersebut Tanṭāwī menafsirkannya dengan bersumber pada tafsīr
bil ma‟tsur, tanpa melepaskan ayat yang berkaitan. Berbeda dengan al-Sya„rāwī
yang menafsirkan ayat tersebut dengan ra‟yu yakni melakukan ijtihād untuk mengungkap makna kata dalam ayat tersebut berdasarkan keahliannya dalam bidang kebahasaan lalu mengaitkan ayat yang memiliki korelasi pada tema yang dibahas.
Jawdāt Saīd memberikan pendapat mengenai ayat tersebut yang terdiri dari tiga poin. Pertama, memberikan jaminan kebebasan kepada orang lain agar tidak mendapatkan paksaan dari seseorang termasuk dalam hal beragama, orang tua saja dilarang memaksa anaknya untuk mengikuti agama yang dianutnya, apalagi orang lain. Kedua, ayat tersebut bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalām inṣā‟ī) dan juga bisa menjadi kalimat informatif (kalām ikhbārī). Sebagai perintah yakni menyuruh seseorang agar tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain. Sedangkan sebagai kalimat informatif yakni memberitahu bahwa seseorang yang dipaksa untuk masuk ke dalam suatu agama sedangkan hatinya menolak, maka tidak bisa dikatakan orang itu telah memeluk agama tersebut. Karena perihal agama merupakan kemantapan hati bukan hanya dalam ungkapan lisan.
Ketiga, ayat tersebut turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama dan juga melarang hukum bunuh bagi orang yang berpindah agama (murtad). Sependapat dengan Jawdāt Saīd, Abd. Moqsith Ghazali mengemukakan pandangannya mengenai hukum bunuh terhadap orang murtad. Menurutnya ayat ini adalah teks yang akurat untuk mengharamkan hukum bunuh bagi orang murtad. Pendapat yang menyatakan bahwa orang murtad harus dibunuh memang cukup
8
M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, Sekelumit Keadaban Islam di tengah Purbasangka, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 67.
populer. Tapi, tidak berarti pendapat yang populer itu benar. Popularitas tidak bisa
dijadikan sebagai rujukan hukum.9
Tentang ayat di atas para ulama terbagi ke dalam enam pendapat, diantaranya: kelompok pertama memandang ayat lā Ikrāha fī al-Dīn telah dimansūkh (dihapus) oleh Qs.al-Taubah/ 9: 73.
مِهيَلَع ظُلغٱَو َيَِّقِفََّٰنُلدٱَو َراَّفُكلٱ ِدِهََّٰج ُِّبَِّنلٱ اَهُّػيَأَي
َ
ُمَّنَهَج مُهَّٰػىَوأَمَو
َ
ُيرِصَلدٱ َسئِبَو
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”. (Qs. al-Taubah/ 9: 73)
Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat tersebut tidak dimansukh oleh surah al-Taubah. Ayat ini secara khusus hanya diturunkan kepada Ahlu al-Kitāb.
Ahlu al-Kitāb tidak membenci Islam dengan bukti mereka masih membayar jizyah.
Sedangkan, Qs. al-Taubah/ 9: 73 itu ditujukan kepada para penyembah berhala karena mereka membenci Islam.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa setiap orang boleh memilih sesuai dengan kehendaknya untuk menolak atau menerima Islam sebagai agamanya. Pendapat keempat menyatakan bahwa Allah telah melarang untuk menghukumi seseorang yang telah menjadi muslim sedangkan ia dibawah ancaman pedang secara paksa dan penuh kebencian.
Adapun pandangan yang terakhir menyatakan dua hal, yakni bahwa terhadap
Ahlu al-Kitāb, kaum muslimin dilarang memaksa agar mereka memilih Islam
sebagai agamanya jika mereka sudah dewasa. Sedangkan terhadap kaum Majusi
9
Abd. Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāha Fī Al-Dīn ”. Islamica, vol.8, no.1, (September 2013): 233.
baik masih kecil maupun sudah dewasa dan para penyembah berhala, kaum muslim boleh memaksa mereka agar masuk Islam.
Secara keseluruhan inti dari pandangan-pandangan tersebut hanya terbagi ke dalam dua kelompok yakni mereka yang sepakat bahwa ayat lā Ikrāha fī al-Dīn telah terhapus karena tidak berlaku lagi. Dan kelompok yang sepakat bahwa ayat
tersebut tidak pernah dihapus oleh ayat lain dalam al-Qur‟an.10 Dari pemaparan
diatas penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam pemikiran kedua tokoh Mufasir kontemporer yang memiliki pengaruh bagi dunia peradaban islam yakni Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dalam karyanya Tafsīr al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī dalam karyanya Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256.
Alasan penulis memilih judul karena pada dasarnya Islam memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam urusan keberagamaan seseorang baik ia ingin memilih untuk beriman ataupun tidak beriman. Disamping itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qs. al-Baqarah/ 2: 256 telah dimansukh (dihapus) oleh ayat qitāl (perang) yakni Qs. al-Taubah/ 9: 73. Pendapat tersebut memberikan pengaruh bahwa Islam tidak memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam hal keimanan seseorang, dengan kata lain seluruh umat manusia diharuskan untuk memeluk agama Islam, jika tidak mereka boleh diperangi. Maka dari itu penulis tertarik untuk memilih tema kebebasan beragama berdasarkan Qs. al-Baqarah / 2: 256.
Adapun alasan pemilihan tokoh dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada penafsiran kedua tokoh yakni, Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī. Jika dilihat dari riwayat pendidikan keduanya memiliki status hubungan guru dan murid karena mengenyam pendidikan di tempat yang sama
10
Zakiyudīn Baidhawi, Kredo Kebebasan Beragama (Jakarta:PSAP Muhammadiyah, 2005), 27-29.
yakni Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Keduanya sama-sama memiliki karya tafsīr tetapi dengan metodologi yang berbeda dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. al-Sya„rāwī terlihat lebih cenderung menggunakan metode tafsīr bil ra‟yī dengan keahliannya dalam bidang bahasa. Sedangkan Tanṭāwī terlihat lebih cenderung menggunakan metode tafsīr bil ma‟ṡūr dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Disamping itu dalam tafsīr al-Wasīṭ memaparkan pandangan-pandangan ulama baik yang memiliki kesamaan pendapat ataupun berbeda. Serta penjelasan yang disajikan dalam kitab tersebut cukup ringkas, sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Perbedaan metodologi tersebut membuat penulis tertarik untuk merujuk kepada kedua tokoh tersebut dalam penelitian ini. Meskipun dari segi metodologi penafsiran keduanya terlihat berbeda tetapi memberikan kesimpulan yang sama yakni, sama-sama memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam urusan keyakinan.
Keduanya merupakan tokoh mufassir kontemporer yang memiliki pemikiran yang sangat terbuka. Disamping itu penulis merasa mengenai tema toleransi menjadi salah satu strategi dakwah dalam Islam dengan demikian al-Sya„rāwī sebagai Dai perlu dijadikan rujukan dalam kajian ini karena kebebasan beragama bertujuan untuk membangun hubungan eksternal antar keyakinan. Dan merujuk pada Tanṭāwī karena ia adalah mufti mesir dan sekaligus Grand Syaikh al-Azhar yang mana pada saat itu ia menjadi kunci penentu bagi kebijakan-kebijakan al-Azhar, dimana al-Azhar menjadi pusat bagi khazanah keilmuan Islam.
A. Permasalahan
Sebagaimana latar belakang permasalahan di atas, maka untuk mempermudah dalam penulisan, penulis akan memberi identifikasi, pembatasan serta perumusan masalah yang akan dibahas.
Dari latar belakang permasalahan di atas, ada beberapa identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian, sebagai berikut:
a. Perbedaan agama seringkali menimbulkan klaim kebenaran (truth claim) dalam masyarakat.
b. Perbedaan pandangan dikalangan ulama dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 256.
c. Ayat tersebut dijadikan legitimasi seseorang untuk berpindah agama. 2. Batasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, dikarenakan banyaknya kitab tafsir kontemporer. Maka, penulis membatasi masalah hanya pada dua kitab tafsir yakni Tafsīr Sya„rāwī karya Muḥammad Mutawallī Sya„rawī dan Tafsīr
Wasīṭ li Qur‟ān Karīm karya Muḥammad Sayyid Tanṭāwī mengenai Qs.
al-Baqarah/ 2: 256.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana penafsiran Muḥammad Mutawallī Sya‘rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dan Relevansinya dalam konteks modern ?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini diharapkan untuk :
a. Memberikan sumbangsih terhadap kajian kitab tafsir khususnya mengenai Tafsir Qs. al-Baqarah/ 2: 256.
b. Memahami dan mengetahui penafsiran Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dalam konteks sosial-masyarakat modern.
a. Memberikan sumbangan dalam perkembangan penafsiran al-Qur‟an kontemporer, khususnya dalam kajian tema-tema penting dalam al-Qur‟an.
b. Diharapkan dapat menambah khazanah dan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan studi ilmu-ilmu al-Qur‟an khususnya mengenai Tafsir al-Qur‟an Kontemporer.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan akademis dalam upaya menyelesaikan tugas akhir di Fakultas UShuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
C. Tinjauan Pustaka
Mengenai tema pembahasan dalam penelitian ini, sebelumnya Abd. Moqsith pernah menulis terlebih dahulu terkait tema pembahasan ini dalam Jurnal Islamica yang berjudul Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāha Fī al-Dīn. Dalam kajian ini menjelaskan argumen-argumen para Mufāsir klasik dan modern serta cendikiawan muslim mengenai Qs. al-Baqarah/ 2:
256.11 Kajian tersebut berbeda dengan kajian yang akan penulis lakukan, karena
penulis akan menjelaskan secara spesifik mengenai tafsir Qs. al-Baqarah/ 2: 256 yang hanya terfokus pada dua tokoh mufassir kontemporer yakni Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dalam Kitab Tafsīr al-Sya„rāwī dan Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm.
Selain itu dalam Jurnal Tsaqafah yang ditulis Harda Armayanto berjudul Etika al-Qur‟an Terhadap Non-Muslim. Dalam jurnal ini dijelaskan terkait prinsip kebebasan beragama yang terdapat pada Qs. al-Baqarah/ 2: 256. Bahwa kebebasan beragama tercermin dari tidak adanya kewajiban bagi umatnya memaksa orang lain agar memeluk agama Islam dan beriman kepada Allah SWT. Islam hanya
11
Abd. Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāha Fī Al-Dīn ”, Islamica, vol.8, no.1 (September 2013).
mewajibkan kepada umatnya untuk berdakwah dengan cara yang baik. Perihal
dakwah itu diterima atau tidak merupakan urusan Allah SWT.12
Penelitian selanjutnya telah diselesaikan dalam bentuk Tesis yang berkaitan dengan tema penelitian ini, yakni sebuah tesis yang ditulis oleh Muhammad Fadlan Is yang berjudul Analisis Istinbat al-Ahkam Fatwa Muḥammad Sayyid Tanṭāwī yang kontroversial. Tesis ini menjelaskan beberapa Fatwa Muḥammad Sayyid Tanṭāwī yang menimbulkan kontroversial di kalangan umat Muslim di antara fatwanya adalah bolehnya menyumbang untuk pembangunan gereja, bolehnya berinteraksi dengan bank konvensional dan bolehnya pelajar perempuan di perancis untuk melepas jilbabnya. Dari fatwa berikut terlihat jelas bahwa beliau lebih mengedepankan aspek maslahat ketika berbenturan antara maslahat dan mudharat. Tanṭāwī juga lebih mementingkan maslahat daripada nas dengan tujuan untuk menjaga maqāṣid syariah ḍarruriyāt yang mu„tabarah. Yang sesuai dengan
nilai-nilai universal yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Hadis.13
Penelitian berikutnya ialah Jurnal Studi Hukum Islam yang ditulis oleh Muhammad Husni Arafat, dengan judul Kemerdekaan Beragama dalam pandangan al-Qur‟an Sebuah Studi Kritis atas Qs. al-Baqarah/ 2: 256. Dalam tulisan ini membahas tentang kebebasan beragama pada konteks modern. Bahwa umat Islam dilarang untuk memaksa non muslim untuk memeluk Islam dan menganjurkan kepada masing-masing pemeluk agama lain untuk berpegang teguh pada
keyakinannya masing-masing.14
Selanjutnya Jurnal Studia Qur‟anika yang ditulis oleh Hikmatiar Pasha yang berjudul Studi Metodologi Tafsīr al-Sya„rāwī. Kajian ini menjelaskan mengenai
12
Harda Armayanto, “Etika Al-Qur‟an Terhadap Non-Muslim”. Tsaqafah, Institute, vol.9, no.2 (November 2013).
13
Muhammad Fadlan Is, “Analisis Istinbath al-Ahkam Fatwa Sayyid Tanṭāwī yang Kontroversial” (Tesis S2., Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2013).
14
Muhammad Husni Arafat, “Kemerdekaan Beragama Dalam Pandangan Al-Qur‟an: Sebuah Studi Kritis Atas Qs. al-Baqarah/ 2: 256”. Istidlal, vol.3, no.1 (Januari-Juni 2016).
metodologi penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Sya„rāwī bahwa metode yang digunakan adalah metode taḥlīli dan bil ra‟yi dengan corak i„jaz dan adabī. Sedangkan yang menjadi sumber penafsirannya adalah Qur‟an dengan al-Qur‟an. Di samping itu kajian ini menyebutkan bahwa al-Sya„rāwī memberikan
pengaruh yang luar biasa terhadap kajian tafsir al-Qur‟an.15
Selain dalam Jurnal, kajian sebelumnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini adalah skripsi yang ditulis oleh Euis Sri Wahyuni yang berjudul Toleransi Beragama Dalam Al-Qur'an (Studi Komparatif Tafsīr Ibnu Kāṡir dan Tafsīr al-Marāgī). Dalam skripsi ini menjelaskan perbandingan antar tafsir Ibnu
Kāṡir dan tafsīr al-Marāgī terhadap ayat yang berbicara toleransi beragama
diantaranya Qs. al-Baqarah/ 2: 256.16
Skripsi yang ditulis oleh Abdul Bari Nasrudin yang berjudul Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia Atas Ayat-Ayat Hubungan Antar Umat Beragama. Dalam skripsi ini terdapat persamaan dan perbedaan pendapat antar intelektual muslim di Indonesia, Mufassir klasik dan modern terkait hubungan antar umat beragama yang terfokus pada tiga ayat yakni Qs. Baqarah/ 2: 256, Qs.
al-Baqarah/ 2: 62 dan Qs. al-An‟ām/ 6: 8.17
Jurnal yang ditulis oleh Kartika Nur Utami dengan judul Kebebasan Beragama dalam Perspektif al-Qur‟an. Kajian ini menekankan tentang kebebasan beragama dalam al-Qur‟an dan kaitannya dengan HAM. Disamping itu peneliti mengutip beberapa pendapat Mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut seperti
15
Hikmatiar Pasha, “Studi Metodologi Tafsīr al-Sya„rawī”. Studia Quranika, vol.1, no.2, (Januari 2017).
16
Euis Sri Wahyuni, “Toleransi Beragama Dalam al-Qur‟an Studi Komparatif Tafsīr Ibnu Kaṡīr dan Tafsīr al-Marāgī” (Skripsi S1.,Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin, 2017).
17Abdul Bari Nasrudin, “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia Atas Ayat-Ayat
Ibnu Kaṡīr dan Muṣṭafā al-Marāgī, lalu memberikan korelasi kebebasan beragama
dalam al- Qur‟an dengan Hak Asasi Manusia (HAM) di era modern.18
Sebuah buku yang ditulis oleh Nouh El Harmouzi dan Linda Whetstone yang berjudul Islam dan Kebebasan: Argumen Islam Untuk Masyarakat Bebas. Buku ini berkaitan dengan Tema penelitian ini, karena dalam buku ini berbicara persoalan kebebasan beragama dalam islam yang terdapat pada Qs. al-Baqarah/ 2: 256. Dalam buku ini mengutip pendapat Ibnu Kaṡīr terkait Qs. al-Baqarah / 2: 256 yang mengatakan bahwa “jangan memaksa siapa pun untuk menjadi muslim karena Islam mudah diterima dan dipahami. Lalu dalam buku ini menjelaskan bahwa ayat sebelumnya yakni ayat kursi semakin memperkuat pentingnya ayat tidak ada
paksaan dalam beragama Islam.19
Jurnal al-Furqan yang ditulis oleh Fithrotin dengan berjudul Metodologi
Tafsīr al-Wasīṭ Sebuah Karya Besar Grand Syeikh Muḥammad Sayyid Tanṭāwī.
kajian ini menjelaskan metodologi penafsiran dalam kitab tafsīr Wasīṭ li
al-Qur‟ān al-Karīm dengan menyebutkan bahwa metode yang digunakan dalam kitab
tafsir tersebut adalah metode tafsīr taḥlīli dengan sumber tafsīr bil ma„ṡur dan
corak adabi al-Ijtimā‟i.20
D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), merupakan penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya dari berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber yang ditulis oleh orang lain mengenai yang
18
Kartika Nur Utami, “Kebebasan Beragama Dalam Perspektif al-Qur‟an”. Kalimah, vol.16, no.1 (Maret 2018).
19
Nouh El Harmouzi, Linda Whetstone, Islam dan Kebebasan: Argumen Islam Untuk
Masyarakat Bebas (Suara Kebebasan, 2016).
20
Fithrotin, “Metodologi Tafsīr al-Wasīṭ Sebuah Karya Besar Grand Syeikh Muhammad Sayyid Tanṭāwī”. al-Furqan, vol.1, no.1 (Juni 2018).
ditelitinya. Karena penelitian ini bertujuan menelaah atau mengkaji penafsiran kedua tokoh mufssir mengenai Qs. al-Baqarah/ 2: 256, maka jenis penelitian yang
sesuai adalah penelitian pustaka yang bercorak deskriptif- komparatif.21
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua sumber data yakni sekunder dan primer.
a. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpan original dari data
sejarah.22 Adapun sumber data Primer dalam penelitian ini merujuk kepada
al-Qur‟an. Sedangkan literatur pokoknya adalah Kitab Tafsīr al-Sya„rāwī karya Muḥammad Mutawallī Sya„rāwī dan Kitab Tafsīr Wasīṭ li
al-Qur‟ān al-Karīm karya Muḥammad Sayyid Tanṭāwī.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber sekunder adalah catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari
sumber orisinil.23 Adapun data sekunder dalam penelitian ini merujuk pada
ensiklopedi, buku-buku, jurnal, tesis, disertasi, dan artikel yang berkaitan denga tema penelitian yang akan dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Maka teknik pengumpulan data yang akan peneliti lakukan yaitu
dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
21
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006), 95-96.
22
Moh. Nazir, Metode Penelitian, jilid 1, cet. VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 50.
23
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah mengumpulkan data-data dari sumber primer dan sekunder, penulis ingin mencoba mengolah data tersebut dengan menggunakan metode muqaran (komparatif). Melalui metode ini penulis mencoba memaparkan bagaimana penafsiran Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dalam Kitab Tafsīr al-Sya„rāwī karya Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Tafsīr Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm karya Muḥammad Sayyid Tanṭāwī. Lalu memberikan kesimpulan dari penafsiran kedua tokoh tersebut.
5. Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini ada lima langkah yang harus ditempuh oleh peneliti yaitu:
a. Menentukan Judul, Permasalahan, dan Tujuan penelitian
Dalam langkah ini penulis menentukan judul penelitian terlebih dahulu dari sebuah ketertarikan terhadap pemikiran kedua Mufassir kontemporer mengenai kebebasan beragama yang terdapat dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 256, yang sebelumnya disetujui dalam bentuk proposal skripsi ke tahap penulisan skripsi. Setelah menentukan judul, penulis mengidentifikasi, membatasi dan merumuskan masalah dalam penelitian ini. Lalu menyebutkan tujuan dan manfaat adanya penelitian ini.
b. Mengumpulkan Data
Untuk mengetahui jawaban dari rumusan dan tujuan penelitian ini maka perlu mengumpulkan data-data yang relevan. Dalam hal ini penulis mengumpulkan kitab-kitab, ensiklopedi, buku-buku, jurnal, dan artikel lepas yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
c. Menganalisa Data
Setelah data dikumpulkan melalui studi pustaka, kemudian merangkum dan menyeleksi data berdasarkan pada pokok permasalahan yang telah
ditetapkan dan dirumuskan sebelum kegiatan penelitian berlangsung, sekaligus mencakup proses penyusunan data ke dalam berbagai fokus, kategori atau permasalahan yang sesuai.
d. Menyajikan Data
Setelah proses data, selanjutnya data diolah atau dianalisis kembali dengan menyusun atau menyajikannya dalam bentuk uraian dan dideskripsikan secara sistematis.
e. Pengambilan Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data dan proses penyajian data, penulis akan menemukan jawaban dari permasalahan mengenai tema penelitian ini dan memberikan kesimpulan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini. 6. Teknik Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini sepenuhnya mengacu pada buku pedoman akademik yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Kecuali transliterasi penulisan Arab latin, penulis merujuk pada pedoman transliterasi SKB 2 Menteri. Dan mengenai ayat al-Qur‟an penulis mengutip dari aplikasi al-Qur‟an in word milik LPMQ. Rujukan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan Kitab Tafsīr al-Sya„rāwī, karya Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan kitab Tafsīr al-Wasīṭ li al- Qur‟ān al- Karīm, karya Muḥammad Sayyid Tanṭāwī.
E. Sistematika Penulisan
Agar skripsi yang disusun tersusun rapi dan mudah dipahami, penulis membuat sistematika penulisan sesuai dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan. Pada Bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang diteliti, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Tinjauan Umum tentang Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dan kaitannya dengan kebebasan beragama, serta pandangan para Mufassir, cendekiawan dan intelektual muslim pada masa klasik dan kontemporer terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256.
Bab ketiga, biografi kedua tokoh yakni Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī dan gambaran umum tentang Tafsīr al-Sya„rāwī dan
Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm, biografi pengarang, karya-karya pengarang,
metode dan corak, serta latar belakang penulisan kedua kitab tersebut.
Bab keempat, Penafsiran dan Analisis terhadap penafsiran Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256 beserta Asbabun Nuzul, Munasabah ayat, dan korelasinya dengan Konteks masyarakat modern.
Bab kelima merupakan penutup yang mencakup pokok pokok penelitian sekaligus menjadi jawaban bagi permasalahan dan menjadi inti dari kajian ini, dengan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperlukan.
Setelah bab ini peneliti menyajikan daftar pustaka sebagai pertanggung jawaban referensi atas penelitian ini.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM KEBEBASAN BERAGAMA DALAM AL-QUR’AN
A. Pandangan Para Mufasir, Cendekiawan, dan Intelektual Muslim
Kebebasan beragama merupakan sesuatu yang melekat pada setiap individu dalam menentukan ataupun memilih suatu kepercayaan atau agama yang benar menurut kepercayaan mereka serta membawa keselamatan tanpa adanya paksaan
ataupun penghalang dari sisi manapun.1 Dalam kamus hukum yang ditulis oleh
Marwan, M dan Jimmy P, kebebasan diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur dalam undang-undang. Artinya setiap individu mempunyai hak untuk bebas selama hak- hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada pada hukum. Adapun yang dimaksud dengan larangan disini ialah larangan yang memperhatikan asas
proporsionalitas dan non diskriminasi.2
Agama secara etimologi memiliki banyak arti, antara lain diartikan sebagai: peraturan, undang-undang, tata cara, syariat, taat dan lain sebagainya. Sedangkan menurut terminologi umumnya ialah, pengakuan manusia tentang adanya sesuatu yang dianggap suci, lalu manusia tersebut insyaf, bahwa yang dianggap suci
demikian mempunyai kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan yang ada.3
Menurut Buya Hamka semua manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk memeluk agama apapun tanpa adanya paksaan. Begitu pula umat Islam dipersilahkan untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling tolong-menolong,
1
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 22.
2
Marwan. M dan Jimmy. P, Kamus Hukum (Surabaya: Reality Publisher, 2009), 24.
3
Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer (Malang: UMM Pres, 2009), 273.
bersikap adil dan jujur kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika pemeluk agama lain hendak memusuhi, memerangi dan mengusir umat Islam, maka semua yang
diperbolehkan itu menjadi terlarang.4
Zuhairi Misrawi berpendapat bahwa toleransi dan tidak ada paksaan dalam beragama merupakan sikap akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan kebudayaan pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya keadilan dan kemanusiaan, maka dalam menyikapi keragaman agama dan upaya-upaya penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat agar suatu agama tidak saling
bertentangan antara satu sama lain.5
Senada dengan Musṭafā al-Marāgī kebebasan beragama merupakan kebebasan seseorang dalam menentukan dan memilih keyakinan, dengan tidak ada paksaan dalam memeluk agama yang ditentukan, karena dalam memeluk suatu keyakinan harus dibarengi dengan keimanan, bahkan keimanan juga harus diikuti dengan rasa taat, patuh dan tunduk. Agar dapat membedakan mana antara jalan yang benar dan jalan yang salah, oleh karena itu hal tersebut tidak akan terwujud jika terdapat unsur paksaan di dalamnya. Akan tetapi ketika seseorang telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya artinya orang tersebut sudah terikat oleh kewajiban dan tuntunan Islam hal tersebut bukan merupakan keterpaksaan, lalu tidak ada toleransi untuk meninggalkannya karena itu adalah suatu bentuk
kemurtadan.6
Sayyid Quṭb berpendapat bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia, karena keyakinannya itulah dia layak disebut manusia. Maka orang yang
4
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 28, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), 105.
5
Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 253.
6
Ahmad Muṣṭafā al-Maraghī, Terjemah Tafsir al-Maraghi, juz 30 (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), 575.
melucuti manusia dari kebebasan berkeyakinan, dijamin pula kebebasan ber i'tiqad, dijamin pula kebebasan untuk mendakwahkan akidah ini, dan dijamin keamanannya dari gangguan dan fitnah. Jika tidak demikian kebebasan dan
kemerdekaan hanyalah slogan kosong yang tidak ada relasinya dalam kehidupan.7
Ibrahim al-Hafnawi mengemukakan pendapatnya bahwa kebebasan beragama atau toleransi merupakan prinsip dasar ajaran Islam, sehingga tidak ditemukan dalam
al-Qur‟an atau hadis yang bertentangan dengan prinsip dasar ajaran ini.8
Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kebebasan beragama bukanlah ide yang menyatakan semua agama itu sama dengan ajaran ataupun aqidah yang dianut. Tetapi kita semua menyadari dan mengakui bahwa, setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Karena perbedaan itu penting, perbedaan bukanlah alasan untuk menebarkan benih konflik, melainkan perbedaan dapat dijadikan alat untuk mempercepat pemahaman anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk
membangun sebuah keharmonisan dan toleransi.9
B. Prinsip- Prinsip Kebebasan Beragama
Ajaran agama merupakan ajaran yang benar, walaupun demikian memaksa seseorang untuk beragama itu tidak dibenarkan. Bahkan rasulullah saw, diberikan tugas oleh Allah hanya untuk menyampaikan risalah dari-Nya, bukan untuk memaksa orang lain mengikutinya sekalipun sesuatu yang disampaikannya
merupakan kebenaran.10 Suatu ketika Nabi sebagai manusia pernah tergoda untuk
7
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur‟an (Di Bawah Naungan al-Qur‟an), jilid 12, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 362.
8
Abd. Moqsith,” Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif Tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāh fī al-Dīn”. Islamica, vol.8, no.1 (September 2013): 224.
9
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 135.
10
memaksa orang lain untuk mengikuti ajaran yang disampaikannya, lalu Allah memperingatinya melalui firman-Nya :
َ
اًعْػيَِجَ ْمُهُّلُك ِضْرَْلاا ِفِ ْنَم َنَمََّٰلا َكُّبَر َءۤاَش ْوَلَو َْيَِّنِمْؤُم اْوُػنْوُكَي َّّٰتَّح َساَّنلا ُهِرْكُت َتْنَاَفَا
“ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yūnus/ 10: 99).Maka dari itu prinsip kebebasan beragama merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam kehidupan manusia baik dalam tatanan sosial ataupun politik.11
Dalam ajaran Islam setidaknya ada tiga prinsip mengenai kebebasan beragama, diantaranya: pertama, kebebasan meyakini suatu agama dan larangan memaksa untuk beragama. Maksudnya ialah tidak ada seorangpun yang dapat dipaksa untuk melepaskan agama yang sedang dianutnya kemudian untuk memeluk agama
Islam.12
Kedua, Islam memberi kebebasan untuk diskusi ataupun dialog mengenai perihal keagamaan. Artinya Islam mengesahkan kebebasan kepada setiap individu untuk menyebarkan agama dengan penjelasan yang baik. Oleh sebab itu al-Qur‟an mengajarkan umat Islam agar senantiasa menggunakan kalimat yang lemah lembut dalam mengajak dan menyeru manusia untuk memeluk agama Islam. Ketiga, keimanan harus didasari dari kemantapan dan keyakinan, bukan atas dasar tradisi ataupun ikut-ikutan dengan mengorbankan kebebasan berpikir dan kepercayaan pribadi.13
11
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 56.
12Muh. In‟amuzzahidin, “Konsep Kebebasan Dalam Islam”. At-Taqaddum, vol.7,
no.2(November 2015): 267.
13
Larangan melakukan paksaan dalam beragama terhadap orang lain dapat dimaklumi, karena Allah membekali manusia sebuah akal. Dengan akalnya manusia
dapat berpikir dan memilih agama yang terbaik untuk dirinya.14 Sebagaimana
firman Allah:
َ
ْمُكِّبَّر ْنِم ُّقَْلحا ِلُقَو
ۚ
ْرُفْكَيْلَػف َءۤاَش ْنَمَّو ْنِمْؤُػيْلَػف َءۤاَش ْنَمَف
“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir”. (Qs. al- Kahfi/18: 29).
Oleh karena itu, ayat ini menjadi penegasan terkait dengan kebebasan beragama seseorang dengan menunjukan bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki wewenang untuk menilai dan mencampuri keimanan seseorang. Hanya Tuhan yang berhak menilai benar atau tidaknya iman seseorang dan hal tersebut
akan dilakukan-Nya di akhirat nanti.15
C. Urgensi Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan, karena setiap individu mempunyai hak untuk mempercayai bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang benar. Dengan demikian setiap individu harus saling menghormati kepercayaan dan pilihan orang lain yang berbeda dengannya. Selain sebagai salah satu prinsip ajaran Islam, dapat juga memberikan manfaat yakni menciptakan kerukunan dan ketentraman di tengah-tengah perbedaan manusia dalam berkeyakinan. Kerukunan yang sebenarnya yaitu kerukunan yang dilandasi penghargaan pada nilai-nilai rohani yang dimiliki agama
14
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur‟an (Depok: KataKita, 2009), 225.
15
lain dan mengakui realitas agama-agama lain. Berikut arti penting toleransi beragama:
1. Menghindari perpecahan
Berdasarkan Qs. al-Baqarah/ 2: 256 yang berbicara mengenai tidak ada paksaan dalam beragama, maka hal ini menjadi jaminan keamanan dan ketentraman dalam menjalankan keyakinan masing-masing. Keamanan dan ketentraman dapat terwujud jika setiap pemeluk agama menjalankan ajaran agamanya atas dasar kerelaan hati, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Namun sebaliknya jika batasan tersebut dilanggar akan menimbulkan konflik atas nama agama yang berakibat perpecahan, saling caci maki dan kedengkian satu sama lain. Perdamaian dan kerukunan antar umat beragama merupakan tanggung jawab kita semua yang harus dijaga dengan cara menyebarkan nilai-nilai toleransi, seperti saling menghormati dan menghargai perbedaan antar umat beragama.
2. Menerima Perbedaan dan Mempererat Silaturahmi
Selain menghindari perpecahan antar umat beragama, tetapi dapat menambah rasa solidaritas dalam hubungan masyarakat, saling bertukar pikiran, saling menghormati perbedaan, misalnya ketika ada umat lain yang sedang beribadah tetap menjaga ketenangan umat yang sedang beribadah dan tidak membuat kegaduhan.
3. Hidup Bermasyarakat lebih Tentram
Memberikan kebebasan bagi pemeluk agama lain untuk melakukan ritual peribadatannya dapat menciptakan kehidupan yang rukun dan saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sehingga setiap umat beragama merasa memiliki tempat yang sama, di samping itu menjauhkan mereka dari rasa keterbelakangan, cemburu sosial serta saling belajar keunggulan dari pihak lain demi mencapai
tujuan bersama.16 Yūsuf al-Qarḍāwī berpendapat, bahwa dunia ini adalah kampung yang kecil, dan kewajiban penduduknya adalah bertemu, berdialog, serta
tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan permusuhan.17
Lebih lanjut disampaikan pula oleh Budi Munawar Rachman menyatakan, “kita diajarkan oleh al-Qur‟an untuk tidak terlalu memastikan bahwa diri kitalah yang benar”. Sebagai konsekuensinya, “Kita dituntut orang lain untuk selalu
mempunyai sikap cadangan dalam batin kita bahwa mungkin orang lain benar”.18
Maka dari itu kebebasan beragama akan menjadi sangat penting dalam menyikapi segala bentuk perbedaan keyakinan yang ada di dunia ini. Dan demi menciptakan kehidupan yang rukun, damai dan tentram dalam lingkungan kehidupan modern yang mana memiliki perbedaan dalam segala bentuk khususnya dalam hak berkeyakinan.
D. Unsur-Unsur Kebebasan Beragama
Mengenai kebebasan dalam beragama terdapat unsur-unsur yang perlu ditekankan dalam merealisasikannya terhadap orang lain baik dalam intern agama ataupun ekstern agama. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kebebasan dalam beragama
Setiap manusia diberikan kebebasan oleh Allah Subḥāna Wa Ta„āla. Untuk berfikir, bergerak dan berkehendak termasuk dengan memilih keyakinan (beragama). Manusia bebas dan berhak memilih satu agama tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Kebebasan yang diberikan kepada manusia berlaku dari ia dilahirkan hingga nanti ia meninggal. Kebebasan tersebut tidak bisa digantikan atau
16
Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), 21.
17Dr. Yūsuf al-Qarḍāwī, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan
Islam, terj. Arif Munandar Riswanto, Yadi Saeful Hidayat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 277.
18
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Budaya Lokal: Belajar Memahami Realitas Agama
direbut oleh siapa pun dan dengan cara apapun. Karena kebebasan itu diberikan oleh Tuhan, maka harus dijaga dan dilindungi. Bahkan setiap negara melindungi kebebasan setiap manusia baik dalam Undang- Undang maupun peraturan yang ada.
2. Mengakui agama lain
Setiap manusia mempunyai haknya masing-masing termasuk hak dalam memilih agama yang diyakininya, maka sudah seharusnya di tengah-tengah perbedaan setiap manusia mengakui bahwa tidak semua manusia memiliki keyakinan yang sama. Jika tidak demikian kehidupan dalam bermasyarakat akan
menimbulkan konflik dalam persoalan agama.19
3. Menghargai dan menghormati keyakinan orang lain
Demi mencapai kerukunan antar umat beragama maka yang harus dilakukan adalah saling menghormati keyakinan orang lain. Tidak merasa paling benar sehingga memandang orang lain itu salah. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firmannya: Qs. al-Kāfirūn/ 109: 6.
ِنيِد َِلَِو ْمُكُنيِد ْمُكَل
“ Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”
Ayat di atas menegaskan bahwa dalam urusan keyakinan tidak dibenarkan jika ada orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya terhadap orang lain untuk mengikutinya. Dengan kata lain bahwa persoalan keyakinan merupakan urusan masing-masing.
4. Saling memahami dan mengerti
19
Masykuri Abdillah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan (Jakarta: Buku Kompas, 2001), 13.
Sikap saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain tidak akan terwujud dalam sebuah lingkungan yang plural tanpa adanya sikap saling mengerti dan memahami satu sama lain. Seperti dalam Qs. al-Hujurāt/ 49: 13.
ُعُش ْمُكاَنْلَعَجَو َّٰىَثْػنُأَو ٍرَكَذ ْنِم ْمُكاَنْقَلَخ اَّنِإ ُساَّنلا اَهُّػيَأ اَي
اوُفَراَعَػتِل َلِئاَبَػقَو اًبو
َ
ِوَّللا َدْنِع ْمُكَمَرْكَأ َّفِإ
ْمُكاَقْػتَأ
َ
ٌيرِبَخ ٌميِلَع َوَّللا َّفِإ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa manusia diciptakan dalam perbedaan mulai dari jenis kelamin, suku dan bangsa untuk saling mengenal dan hidup berdampingan satu sama lain. Oleh karena itu sikap saling memahami dan mengerti perlu diekspresikan dalam lingkungan masyarakat majemuk ini.