• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

MEI MARLINA

1113032100054

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

Mei Marlina

Doktrin Shinto Tentang Konservasi Lingkungan

Studi ini membahas pandangan Shinto tentang konservasi lingkungan di Jepang. Shinto merupakan salah satu agama yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan rakyat Jepang, serta mempengaruhi cara hidup orang Jepang dari masa sejarah kemunculan bangsa Jepang hingga sekarang. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Shintoisme tentang lingkungan dan implementasinnya dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dalam menjawab permasalahan penelitian kepustakaan ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis dengan cara melihat fenomena yang nampak dan berusaha memahami agama tersebut dengan menanggalkan dan meluruhkan segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya, dan membiarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat diketahui dengan benar dan jelas inti sari objek tersebut.

Sepanjang penelusuran dan pembahasan data dan fakta yang didapat, penelitian ini menemukan bahwa sikap peduli lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Jepang dibangun atas dasar kepercayaan yang ada dalam Shintoisme. Agama tersebut meyakini banyaknya dewa atau Kami yang mendiami setiap makhluk baik yang bernyawa ataupun tidak bernyawa, sehingga masyarakat Jepang selalu bersikap hormat terhadap apapun karena dikhawatirkan Kami yang mendiami benda atau tempat tertentu akan marah apabila diperlakukan dengan tidak baik dan tidak menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan di bumi.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah semata yang semoga senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Segala syukur harus senantiasa penulis panjatkan atas segala nikmat sehat dan beragam nikmat lainnya. Dengan syukur kepada Yang Maha Esa maka nikmat sekecil apapun akan manis dirasa. Salah satu nikmat yang tak boleh penulis ingkari adalah dapat menyelesaikan skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan. Tanpa izin-Nya maka apalah arti langkah, mungkin tak akan terarah.

Shalawat beriring salām pun semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Agung Muhammad SAW yang telah dianugerahkan agama rahmatan li-al-‘ālamīn ini. Semoga penulis senantiasa dapat mempelajari akan arti agama yang diajarkannya dengan bijaksana. Karena sungguh hal yang tak mungkin jika seorang utusan mengajarkan kepada umatnya berupa keburukan yang akan menjerumuskannya ke dalam lembah hitam nan kelam.

Hal yang harus penulis lakukan pula adalah ucapan terima kasih kepada semua pihak yang senantiasa membimbing dan mendoakan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Kedua orangtua yang senantiasa mendoakan kesuksesan penulis dalam tiap detiknya, terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan dan kesabarannya dalam mendidik putrinya, seorang Ibu yang luar biasa dan terima kasih pula kepada Ayah penulis, yang dengan sabar dan tabahnya

(7)

vii

mencari nafkah untuk putrinya. Terima kasih kepada kedua pahlawanku ini yang atas kuasa-Nya telah menghantarkan penulis pada bangku kuliah. Semoga kesehatan senantiasa atas mereka.

2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Media Zainul Bahri, MA selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dra. Halimah SM, M.Ag Selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing skripsi.

6. Prof. Ridwan Lubis, selaku dosen penasehat akademik.

7. Siti Nadroh MA., dosen yang selalu memberi semangat dan selalu jadi tempat untuk curhat.

8. Seluruh dosen diprogram Studi Agama-agama yang telah mendidik penulis dan mencurahkan segala ilmunya.

9. Seluruh staff di Jurusan Studi Agama-agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Himpunan Mahasiswa Islam dan Korps HMI-Wati di Cabang Ciputat 2014.

(8)

viii

12. Teman-teman Studi Agama-Agama kelas A dan B angkatan 2013. 13. Untuk sahabat Penulis Anifah Ayu Fitriyah, Heni Aulia, Oktavia

Damayanti, Respita Prameswari, Desti Karmawan dan Sadawi yang telah membantu proses penyusunan skripsi.

14. Perpustakaan Japan Foundation Jakarta, yang buku-bukunya menjadi inspirasi dan referensi penulis.

15. Teman-teman di kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) Edelweis 2016. 16. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Jakarta, 23 Oktober 2017

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

LEMBAR PERNYATAAN ………... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………. iii

LEMBAR PENGESAHAN ………... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Kerangka Teori ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II SHINTO: AJARAN DAN PERKEMBANGANNYA A. Pengertian Shinto ... 14

B. Ajaran-Ajaran Shinto ... 15

1. Ajaran Tentang Tuhan ... 17

2. Ajaran Tentang Manusia ... 17

C. Asal-Usul dan Perkembangan Shinto di Jepang ... 19

BAB III DOKTRIN SHINTO TENTANG PENTINGNYA MENJAGA LINGKUNGAN A. Kepercayaan Terhadap Kami ... 30

B. Peran Shinto Terhadap Lingkungan ... 34

(10)

x

2. Menjaga Lingkungan Sama Dengan Menghormati Tuhan .... 41 C. Menjalani Kehidupan di Dunia Dengan Sebaik-baiknya ... 48

BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PEDULI LINGKUNGAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG

A. Gaya Hidup Masyarakat Jepang Dalam Upaya Menjaga

Lingkungan ... 52 B. Manfaat Mengaplikasikan Ajaran Shinto Tentang Menjaga

Lingkungan ... 55 C. Masa Depan Ajaran Shinto di Jepang ... 61 D. Catatan Kritis ... 63

1. Ayat-Ayat Shinto dan Islam Yang Berkaitan Tentang

Konservasi Lingkungan ... 63 2. Perbedaan Pengaplikasian Dalam Kehidupan Masyarakat

Jepang Dengan Masyarakat Indonesia ... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Harapan Penulis ... 84

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini manusia sedang mengalami krisis lingkungan yang mengakibatkan kerusakan pada alam, masalah lingkungan hidup ini telah menjadi isu global karena menyangkut berbagai sektor dan kepentingan umat manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya isu-isu kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin krusial, diantaranya efek rumah kaca, lapisan ozon yang terus menipis, kenaikan suhu udara, mencairnya es di kutub, dan lain sebagainya. Tentu saja krisis lingkungan ini menjadi ancaman yang sangat besar, serius dan nyata bagi kehidupan sekarang ini yang akan berdampak bagi kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yang ada di bumi.

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menguraikan bukti-bukti bahwa perubahan iklim memang sudah terjadi. Suhu bumi meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Tiga dekade terakhir ini secara berturut-turut kondisinya lebih hangat daripada dekade sebelumnya. Berdasarkan skenario pemodelan, diperkirakan pada akhir 2100, suhu global akan lebih hangat 1.8-4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Jika dibandingkan periode pra-industri (1750), kenaikan suhu global ini setara dengan 2.5-4.7°C. Proses pemanasan global terutama disebabkan oleh

(12)

2

masuknya energi panas ke lautan (kurang lebih 90% dari total pemanasan), dan terdapat bukti bahwa laut terus menghangat selama periode ini.1

Dampak perubahan iklim secara global telah menjadi perhatian masyarakat dunia dan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki berbagai sumber daya alam dan keanekaragaman yang tinggi, memiliki potensi yang besar terkena dampak negatif perubahan iklim. Banjir dan longsor yang terjadi terus menerus setiap tahun dengan korban jiwa ribuan orang adalah peristiwa yang nyata terjadi.

Kerusakan yang terjadi pada alam bisa diakibatkan dari gejolak alam itu sendiri atau dari tingkah laku buruk manusia. Kerusakan alam yang berasal dari pergeseran alam dengan relung waktu yang lama itu akibat dari kehendak alam itu sendiri,2 seperti fenomena alam yang tidak dapat di terka dan seringkali di luar logika kita. Peristiwa yang terjadi sangat beragam, diantaranya tsunami, gempa bumi, petir dan letusan gunung berapi. Selain itu, bencana alam juga bisa terjadi karena adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti banjir, kekeringan yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia, ekonomi, sosial, dan ekosistem. Keserakahan manusia yang mengeksploitasi alam secara terus menerus juga dapat mengakibatkan bencana tanah longsor, pencemaran udara, pencemaran air yang mengakibatkan berkurangnya produksi air bersih. Manusia seharusnya dapat berperilaku lebih bijak terhadap alam karena manusia hidup

1Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan

Nationally Determined Contribution (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), h. 1.

(13)

bergantung pada keadaan lingkungan sekitarnya yaitu berupa sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan terjadi karena disebabkan kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya.3 Hal ini senada dengan salah satu paham yang dikemukakan oleh Sonny Keraf tentang etika lingkungan hidup yang sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yaitu paham antroposentrisme, paham yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Sikap manusia yang menganggap bahwa hanya dirinya yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Manusia dan kepentingannya di anggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga segala sesuatu yang ada di alam semesta hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Alam hanya di anggap sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia, sehingga tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.4 Pandangan antroposentrisme ini menimbulkan sikap rakus dan menghantarkan manusia untuk suka mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan sehingga terjadilah kerusakan dan pencemaran.5

3Soedarto Kartodihardjo, Model Eco-Pesantren Dalam Perspektif Konservasi Hutan

(Serang: A-Empat, 2005), h. 61.

4Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.

47.

5Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Al-Quran (Jakarta:

(14)

4

Manusia sejatinya memiliki kewajiban moral terhadap alam tidak hanya terhadap sesama manusia, lingkungan yang sehat dan terjaga akan terwujud apabila hubungan manusia dan lingkungannya dalam kondisi harmonis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan hubungan manusia dengan alam, sekaligus menyebabkan sikap eksploitasi dan tidak peduli terhadap alam. Disinilah peran agama menjadi penting agar perbuatan manusia tidak melawati batas wajar dan menyalahi aturan.

Upaya pengembangan kesadaran lingkungan sebetulnya sudah dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik pendekatan ilmiah yang dirumuskan dalam ilmu ekologi, pendekatan politis yang mengukir sejarah Konferensi Lingkungan Internasionl tahun 1972, pendekatan budaya yang mengembangkan budaya-budaya ramah lingkungan, pendekatan sosial yang berusaha membangun masyarakat sadar lingkungan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan, dan sebagainya. Demikian pula dengan pendekatan teknologi yang berusaha mengembangkan teknologi ramah lingkungan. Namun pendekatan-pendekatan tersebut tampaknya belum menyentuh hati dan keyakinan.6

Dalam skripsi ini, pendekatan keagamaan sebagai upaya peduli lingkungan merupakan salah satu strategi untuk memberikan pengertian tentang pentingnya lingkungan hidup dengan mudah karena dalam agama

6Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan; Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan

(15)

apapun mengajarkan prinsip-prinsip yang mengatur keselarasan hidup manusia dengan alam bahkan larangan dan peringatan pun telah disampaikan oleh Allah SWT yang tertuang dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sehingga sebagai umat beragama, sebenarnya telah diajarkan hal-hal yang harus dipelihara terhadap alam, termasuk larangan untuk tidak melakukan perusakan terhadap alam semesta.

Dari sini penulis merasakan kegelisahan terhadap kelangsungan hidup manusia yang sudah terancam akibat ulah manusia itu sendiri. Penulis mengambil contoh negara Jepang, dimana rakyatnya sangat menjaga kebersihan lingkungan dan kelestarian alam. Selain kekaguman penulis terhadap negara Jepang yang begitu bersih dan masyarakatnya yang beretika baik terhadap lingkungan, penulis juga melihat bahwa agama Shinto memiliki peranan dan pengaruh yang besar di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas bagaimana kepercayaan Shinto sebagai agama asli Jepang yang sangat fokus terhadap kehidupan duniawi, namun mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang yang sangat menghormati alam dan lingkungan sekitarnya. Shinto hidup dalam masyarakat yang maju, namun ajarannya tidak begitu saja ditinggalkan meskipun orang Jepang sudah banyak yang menganut agama selain Shinto seperti agama Buddha dan Kristen. Kepercayaan yang ada dalam agama Shinto tetap dijalani, terutama yang berhubungan dengan alam, khususnya keselarasan antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, dalam penulisan ini membahas bagaimana peran agama Shinto dalam menjaga

(16)

6

kelestarian lingkungan di Jepang, melalui skripsi yang berjudul, “Doktrin

Shinto Tentang Konservasi Lingkungan”.

B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah

Kajian dan penjelasan dalam skripsi ini dibatasi agar tidak meluas pembahasannya, hanya mengenai penelitian tentang peran agama Shinto terhadap budaya masyarakat Jepang yang sangat menghormati alam dan lingkungan hidup. Karena itu penulis memberikan rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana pandangan Shintoisme tentang lingkungan dan Bagaimana implementasi nilai-nilai peduli lingkungan dalam kehidupan masyarakat Jepang?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah di uraikan di atas, dapat diketahui tujuan dan manfaat penulisan.

Tujuan dari penulisan yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Shintoisme tentang lingkungan 2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi nilai-nilai peduli lingkungan

dalam kehidupan masyarakat Jepang

Adapun manfaat dari penulisan ini antara lain adalah:

1. Manfaat teoritis, memberikan sumbangan nilai-nilai eco-spiritual dalam Shintoisme bagi lingkungan.

(17)

2. Manfaat praktis, menjadi cerminan bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.

3. Manfaat akademis, sebagai salah satu persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 (S1).

D. Tinjauan Pustaka

Tujuan adanya tinjauan pustaka yaitu untuk membuktikan orisinalitas penelitian dan menguraikan penelitian sebelumnya yang memiliki objek penelitian dan kajian yang relevan dengan penelitian ini.

Selama penulis melacak karya ilmiah sebelumnya, penulis tidak menemukan pembahasan yang fokus mengkaji ajaran agama Shinto mengenai konservasi lingkungan di Jepang.

Adapun karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, di antaranya yaitu sebagai berikut:

Pertama, yaitu Skripsi yang berjudul Peran Manusia Terhadap Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Agama Islam dan Hindu karya Herman Teguh Irawan, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Perbandingan Agama tahun 2016. Meskipun sama-sama membahas tentang peranan manusia terhadap lingkungan hidup, namun yang membedakan antara karya tersebut dengan karya penulis yaitu penulis tidak hanya menyajikan teori-teori tentang anjuran untuk melestarikan alam dan kewajiban manusia menjaga lingkungan hidup sebagaimana yang di ajarkan oleh setiap agama, tetapi penulis lebih memberikan bukti konkrit bagaimana ajaran suatu agama

(18)

8

berhasil membuat penganutnya mencintai lingkungannya yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jepang.

Kedua, yaitu tesis yang berjudul “Wacana Konflik Lingkungan Dalam Teks Film Animasi Mononoke Hime Karya Hayao Miyazaki” karya Ida Ayu Widiastuti, mahasiswi pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Udayana. Tesis ini membahas tentang konflik lingkungan dimana dalam film animasi Mononoke Hime tersebut terdapat dua kelompok yang berlawanan yaitu kelompok manusia yang merusak lingkungan dengan kelompok Kami yang menjaga lingkungan.

Di samping itu buku yang digunakan penulis sebagai buku primer yaitu, Dr. Sokyo Ono dengan bukunya yang berjudul Shinto the Kami Way dan Stuart D.B. Picken dengan buku yang berjudul Essentials of Shinto. Selain itu masih banyak lagi buku-buku lainnya yang digunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini.

E. Kerangka Teori

Dalam skripsi ini penulis menyebut Shinto sebagai agama alamiyah atau agama pribumi yang terbentuk dari kebudayaan sekelompok manusia yang khusus di anut oleh masyarakat Jepang. Penulis mendefinisikan agama berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain: Harun Naustion, yang mengatakan agama adalah suatu sistem kepercayaan

(19)

dan tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan yang ghaib.7 Sedangkan Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supranatural, dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan

absolute yang disebut Tuhan.8

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa Shinto bisa dikatakan sebagai agama karena Shinto juga memiliki kepercayaan pada hal ghaib seperti kepercayaan terhadap Kami yang memiliki kekuatan lebih daripada manusia dan adanya hubungan antara manusia dengan sesuatu yang di anggap supernatural tersebut.

Adapun pengertian lingkungan hidup yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.9

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian yang besumber dari data kepustakaan

7

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), Cet V, h. 16.

8Abu Ahmadi, Sejarah Agama (Solo: CV. Ramadhani, 1984), h. 14.

9Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: Djambatan, 2009),

(20)

10

berupa buku, jurnal, ebook dan sebagainya yang berisi tentang persoalan kepedulian lingkungan dalam agama Shinto.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan data penelitian secara langsung.10 Sumber data primer ini merupakan sumber utama, berupa karya yang di tulis langsung oleh orang Jepang atau penganut Shintoisme itu sendiri maupun yang di tulis oleh orang yang ahli dalam bidangnya.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.11 Sumber data ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer yang berisi tentang kajian-kajian pokok yang relevan atau yang berhubungan dengan tema yang di angkat. Data sekunder ini berupa buku, artikel atau jurnal ilmiah, majalah atau media lain yang mendukung.

10Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), h. 117.

11Hadari Nawawi & Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada

(21)

3. Teknik Pengumpulan Data Studi Kepustakaan

Penulis menggunakan buku-buku pustaka yang berisi teori-teori tentang agama Shinto yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Buku-buku tersebut merupakan buku yang di tulis oleh orang Jepang atau penganut Shinto sebagai sumber primer, dan juga buku-buku yang di tulis oleh orang lain yang bukan orang Jepang maupun penganut Shinto tetapi ia memiliki pengetahuan tentang agama tersebut sebagai sumber sekunder. Adapun penulis mengumpulkan data baik dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Japan Foundation Jakarta dan sumber yang lainnya.

4. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).12

Pendekatan fenomenologi berusaha memahami agama orang lain, dengan cara masuk ke dalam, menanggalkan dan meluruhkan segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya mengenai agama yang hendak dipahami, dan membiarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat diketahui dengan benar dan jelas inti sari objek.13

12Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2015), h.

23.

(22)

12

5. Analisis Data

Setelah data penelitian terkumpul, maka langkah selanjutnya penulis melakukan analisis data. Analisis data adalah proses penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan.14 Metode analisis yang digunakan ialah Content Analysis (analisis isi), yaitu upaya menafsirkan ide atau gagasan tentang “kepedulian lingkungan” dalam masyarakat Shinto, kemudian ide-ide tersebut dianalisis secara mendalam dan seksama guna menjawab permasalahan krisis lingkungan yang terjadi saat ini.

6. Teknik Penulisan

Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada standar penulisan skripsi yang bersandarkan pada buku “Pedoman Akademik” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini di susun secara sistematis dan terperinci, terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:

Bab I, yaitu terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, yaitu berisi pengertian Shinto, ajaran-ajaran Shinto, serta asal-usul dan sejarah perkembangan agama Shinto.

14H. Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h.

(23)

Bab III, yaitu doktrin Shintoisme tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dalam bab ini akan menjelaskan tentang kepercayaan terhadap Kami, penghormatan Shinto terhadap lingkungan yang mencakup perwujudan dewa-dewa pada setiap makhluk serta menjaga lingkungan sama dengan menghormati Tuhan/dewa, dan menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya.

Bab IV, yaitu implementasi nilai-nilai peduli lingkungan dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dalam bab ini akan menjelaskan gaya hidup masyarakat Jepang dalam upaya menjaga lingkungan, manfaat mengaplikasikan ajaran Shinto tentang menjaga lingkungan, masa depan ajaran Shinto di Jepang dalam menjaga pelestarian lingkungan, dan catatan kritis mengenai ayat-ayat Shinto dan Islam serta praktiknya dalam kehidupan.

(24)

14

BAB II

SHINTO

AJARAN DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Shinto

Shinto merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang yang tumbuh secara alami dan telah menyatu dengan budaya. Shinto diyakini lebih dari sekedar agama, melainkan gabungan antara sikap, gagasan dan cara melakukan sesuatu yang telah menjadi bagian integral dari cara hidup orang Jepang. Shinto dianggap sebagai kepercayaan pribadi terhadap Kami1 dan cara hidup bersama menurut pikiran Kami.2

Dasar pokok agama rakyat adalah agama asli Jepang yang mempercayai adanya kekuatan-kekuatan dalam berbagai gejala alam, binatang, benda dan manusia yang dianggap mempunyai sifat-sifat istimewa. Kekuatan-kekuatan tersebut disebut dengan Kami dan diyakini dapat mempengaruhi kehidupan manusia, mendatangkan keuntungan atau menyebabkan timbulnya kesengsaraan. Pada angin dan hujan, api dan air, guntur dan kilat, batu-batu, hutan-hutan, gunung-gunung, dan gejala alam lainnya, dirasa ada suatu kekuatan spiritual yang menumbuhkan perasaan segan dan takut dan secara

1

Kami adalah istilah asli Jepang yang digunakan untuk menyebut “sebuah kekuatan” yang ada dibalik segala sesuatu seperti angin, petir, gunung, pohon, sungai, kesuburan tanah, binatang dan sebagainya. Juga biasa diartikan sebagai „Tuhan‟ atau „Dewa‟. Digambarkan dengan kanji 神 yang dibaca kami jika berdiri sendiri namun dapat berubah menjadi shin atau jin jika dikombinasikan dengan kata yang lain semisal Shinto (jalan kami) atau jinja (tempat tinggal kami). Lihat Sokyo Ono, Shinto : The Kami Way (Tokyo : Charles E. Tuttle Comp., 1999), h. 6.

2

(25)

langsung atau tidak langsung memaksa seseorang untuk memujanya baik karena mengharapkan rahmatnya ataupun karena takut dan menghindarkan diri dari hukumannya.3

B. Ajaran-Ajaran Shinto

Shinto pada dasarnya tidak memiliki kitab suci, seperti yang ditemukan di agama-agama lain, misalnya, Islam yang memiliki kitab suci Al-Qur‟an, Kristen yang memiliki kitab suci Bibble. Shinto hanya memiliki beberapa catatan kuno yang dianggap berwibawa dan memberikan dasar historis dan spiritual. Ada dua kitab utama yang tertua disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM), pertama yaitu Kojiki (catatan sejarah kuno) merupakan catatan sejarah Jepang tertua yang disusun oleh tatanan kekaisaran pada tahun 712 M4 yang menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dewi sampai kepada Amaterasu Omi Kami (Dewi Matahari) Tsuki Yomi (Dewa Bulan) yang diangkat menguasai Langit dan puteranya Jimmu Tenno (660 SM) yang diangkat menguasai “tanah yang indah dan subur” (Jepang) di Bumi, juga silsilah keturunan Kaisar Jepang dan riwayat hidup orang Jepang.5 Kedua, yaitu Nihongi atau Nihon Shoki (kronik Jepang), yang muncul delapan tahun kemudian setelah Kojiki. Nihongi lebih rinci daripada Kojiki; karena beberapa mitologi atau versi disajikan dalam bentuk beberapa kejadian dan memiliki nilai khusus yang kurang dimiliki

3

Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 121.

4

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 10.

(26)

16

oleh Kojiki.6 Kedua kitab tersebut menggambarkan dua buah pemikiran keagamaan yang sangat penting: pertama, asal-usul kedewaan atau semi dewa, Jepang dan rakyatnya; kedua, perkembangbiakan Kami yang berkaitan dengan negeri dan orang-orang Jepang.7

Selain kedua kitab diatas, ada juga kitab Yengishiki dan Manyoshiu yang berisikan doa-doa keagamaan yang dibutuhkan dalam upacara-upacara keagamaan, kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal-usul kedewaan, asal-usul kepulauan Jepang dan Kerajaan Jepang. Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang kehidupan para dewa dewi dalam kayangan di langit.8

Tulisan-tulisan dari kitab yang dimiliki Shinto tidak ada satu pun yang dianggap sebagai tulisan suci sebagaimana kitab suci Al-Qur‟an yang digunakan dalam agama Islam dan Bibble yang digunakan dalam agama Kristen. Catatan sejarah tersebut digunakan selain untuk kepentingan politik atau dinasti orang Jepang, juga untuk mewujudkan bentuk kuno iman kepada

Kami.9 Meskipun Shinto tidak memiliki kitab yang disucikan, namun kitab

Nihongi dan Kojiki merupakan sumber utama pemikiran keagamaan yang terdapat dalam kepercayaan Shinto sejak dahulu hingga sekarang.10 Adapun ajaran Shinto mengenai Tuhan, manusia dan alam yaitu sebagai berikut:

6

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 10.

7Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.

239.

8

Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013) h. 65.

9

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 11.

(27)

1. Ajaran Tentang Tuhan

Shinto bukanlah suatu kepercayaan yang hanya memiliki satu objek Tuhan yang harus disembah, melainkan Tuhan atau yang disebut dengan Kami diyakini berada disetiap makhluk hidup yang bernyawa ataupun makhluk yang tidak bernyawa, sehingga banyak sekali dewa-dewa dalam agama Shinto yang merupakan manifestasi dari kekuatan Kami tersebut.

Menurut orang yang menganut agama monotheisme, kepercayaan kepada kekuatan ghaib di luar kekuatan Tuhan sebagai bentuk keagamaan dianggap bertentangan karena hanya Tuhan lah yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mutlak, tapi sebaliknya bagi orang Jepang, mereka menganggap bahwa penganut monotheisme yang tidak mengakui kekuatan-kekuatan lain dalam alam semesta berpandangan sempit.11

2. Ajaran Tentang Manusia

Kehidupan manusia bermula dengan penerimaan tama yaitu jiwa atau ruh, tama tersebut diterima pada saat kelahiran, dan kematian adalah disebabkan oleh berpisahnya tama dari badan manusia. Ruh orang yang masih hidup disebut dengan seirei yang berarti “ruh yang hidup”, dan jiwa orang yang sudah meninggal dunia disebut dengan

11

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 198.

(28)

18

shirei atau “ruh yang mati”. Agar ruh orang yang sudah mati ini memperoleh ketentraman maka sanak keluarga yang ditinggalkannya harus menyelenggarakan upacara kematian dan upacara-upacara peringatan kematiannya pada masa-masa yang sudah ditentukan.

Dalam bahasa Jepang kata tama tersebut memiliki dua pengertian yaitu:

1. Suatu permata yang indah, atau suatu batu yang misterius. Dalam arti yang demikian ini, pagar suci yang mengelilingi sebuah jinja disebut dengan tama-gaki; batu ajaib yang menambah daya kekuatan hidup disebut dengan iku-tama; dan permata ajaib yang dapat mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah disebut dengan taru-tama.

2. Ruh atau jiwa, terutama ruh atau jiwa yang suci, baik yang terdapat pada dewa, manusia, tanah dan lain sebagainya.

Dalam pengertian yang kedua ini, ada yang disebut dengan shikon yang berarti “empat ruh”, yaitu:

1. Ara-mi-tama, yaitu ruh atau spirit yang memiliki kekuasaan untuk memerintah.

2. Nigi-mi-tama, yakni ruh yang membawa menuju kepada kesatuan dan keharmonisan.

3. Kushi-mi-tama, yaitu ruh yang menyebabkan terjadinya berbagai macam perbuatan yang misterius, dan

(29)

4. Saki-mi-tama, yaitu ruh atau spirit yang bertugas memberikan rahmat dan karunia.

Hubungan antara Tuhan dan manusia seperti hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya. Dengan demikian manusia adalah putra Tuhan/Kami. Ungkapan ini memiliki dua macam arti yaitu pertama, kehidupan manusia berasal dari Kami, sehingga dianggap suci, kedua kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari Kami.

C. Asal-Usul dan Perkembangan Shinto di Jepang

Asal usul kemunculan Shinto berjalan secara beriringan dengan latar belakang sejarah munculnya negara dan bangsa Jepang, hal tersebut didasarkan atas penemuan benda-benda kuno dan legenda kuno. Pada awalnya masyarakat Jepang tidak menyebut kepercayaan mereka dengan sebutan Shinto sebagaimana yang dikenal saat ini. Shinto pada mulanya adalah kepercayaan alam yang merupakan perpaduan antara paham animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara yang sangat sederhana, masyarakat Jepang kuno menganggap semua benda, baik benda yang hidup atau mati, dianggap memiliki ruh atau spirit. Semua ruh atau spirit tersebut dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya tersebutlah yang akhirnya disebut Kami.12

12

Ninian Smart, The Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1977), Cet. III, h. 211.

(30)

20

Kata Shinto merupakan istilah modern yang digunakan untuk kepercayaan terhadap Kami. Kepercayaan asli masyarakat Jepang pada awalnya disebut dengan nama Kami no Michi, yang berarti Jalan Para Dewa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk masyarakat Jepang, bukan datang ataupun pengaruh dari luar.13

Sekitar abad ke-13, Buddhisme dan Konfusianisme mulai menyebar di Jepang, pada saat itu penamaan Kami no Michi di ubah menjadi Shinto yang bertujuan untuk membedakan antara kepercayaan tradisional Jepang dengan kepercayaan Buddhisme dan Konfusianisme. Kata Shinto sendiri terdiri dari dua ideograf yaitu shin (神), yang disamakan dengan istilah asli Kami yang berarti dewa, dan do atau to (道), yang disamakan dengan istilah michi, yang berarti "jalan".14 Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa nama Shinto merupakan perubahan dari kata Tien-Tao yang bermakna Jalan Langit ketika terjadi benturan dengan kebudayaan Tiongkok yang sudah memiliki kepercayaan terorganisir seperti agama Tao, Konfusius, dan Buddha,15 sampai saat ini kata tersebut masih digunakan

Pemberian nama Shinto tidak menjadikan kepercayaan tersebut bersifat tertutup dan menolak pengaruh ajaran yang datang dari luar, tetapi menerimanya untuk memperkaya kehidupan kultural dan spiritual tanpa menghilangkan tradisi asli Jepang. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli dan kepercayaan dari luar telah membawa kelahiran suatu

13Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), Cet.

III, h. 208.

14

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 2.

(31)

kepercayaan baru yang disebut Shinto, meskipun namanya baru dikenal pertama kali setelah agama Konfusius dan Buddhisme memasuki Jepang pada abad ke-6, menurut tradisi, Shinto adalah kepercayaan asli Jepang yang usianya telah mencapai lebih dari 2000 tahun.16 Selain itu, Shintoisme juga dipandang oleh rakyat Jepang sebagai suatu kepercayaan tradisional warisan nenek moyang, yang telah berabad-abad hidup di Jepang, ajarannya berakar dalam masyarakat, sehingga tidak mudah ditumbangkan oleh agama-agama lain yang datang dari luar.17

Sejarah perkembangan Shinto di Jepang dapat dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 SM sampai tahun 552 M, di dalam masa dua belas abad lamanya.18

Dengan kemenangan yang diperoleh suku Yamato pada abad ketiga atau keempat Masehi, legenda-legenda dan dewa-dewanya juga dianggap lebih unggul dibandingkan dengan legenda dan dewa suku-suku lainnya. Kepala suku Yamato tidak saja bertindak sebagai pemimpin sebuah negara tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh bangsa. Legenda suku Yamato lambat laun menjadi dasar utama adanya kepercayaan terhadap asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang. Demikian, sekitar abad kelima Masehi, kultus dan tradisi keagamaan yang beranekaragam itu sedikit demi sedikit dipersatukan dan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk pemerintahan

16Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 208. 17

HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT GoldenTeravon Press, 1997), h. 7.

(32)

22

agama dengan suatu sistem peribadatan yang dipusatkan pada Dewi Matahari.19

Kedua, masa agama Buddha dan ajaran Kongfutzu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang dalam masa dua setengah abad itu Shinto mendapat saingan berat. “Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan mengenyampingkan Kami No Michi”, (Nihonji, 2:195), “Pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi dunia dan megenakan pakaian rahib.” (Nihonji, 2:302).20

Sebenarnya di kalangan para pemimpin dan rakyat umum ada yang menentang terhadap masuknya agama Buddha ini. Mereka tidak setuju jika kaisar memeluk agama tersebut sebab khawatir hal itu akan menyebabkan timbulnya kemurkaan dari para dewa. Akan tetapi kalangan orang-orang Jepang yang berfikiran liberal merasa tertarik oleh kelebihan agama baru itu dibandingkan dengan agama bangsa sendiri. Perbedaan sikap ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang diakhiri dengan kemenangan pihak liberal.21

Persaingan antar agama terus berlanjut, ketika di masa Tokugawa ada penolakan dan larangan penyebaran agama Kristen tampaknya agama Buddha lebih diperhatikan oleh Shogun, sedangkan Shinto oleh lingkungan Tenno Heika karena ia merupakan pendeta tertinggi dan sebagai keturunan langsung dari Dewi Matahari Amaterasu Omikami. Ketika itu kekuasaan (termasuk kekuatan keuangan) ada di tangan Shogun, maka agama Buddha lebih

19Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 20.

20Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 209. 21Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 23.

(33)

menonjol pada periode tersebut, kemudian Restorasi Meiji yang menempatkan Tenno Heika kembali sebagai penguasa utama dan menghilangkan kekuasaan Shogun, dan mengunggulkan agama Shinto. Sejak restorasi Meiji hingga Jepang ditaklukkan pada akhir Perang Dunia II, Shinto menjadi agama negara.22

Ketika agama Buddha masuk ke Jepang dan terjadi persaingan dengan kepercayaan Shinto, perkembangan agama Buddha sangat ditentukan oleh sikap penguasa terhadapnya, sehingga pada akhirnya rakyat Jepang dapat menggunakan kepercayaan Shinto dan Buddha sekaligus sebagai keperluan yang sama pentingnya.23

Pada masa Buddhisme dan Kongfusianisme memasuki Jepang, pemimpin Shinto tidak membiarkan begitu saja upaya agama asing ini untuk menyerap kepercayaan asli, sehingga pada saat bersamaan pada abad ke-13 dan 14 sebuah reaksi terbentuk, yang menghasilkan beberapa gerakan kontra yang bertujuan menempatkan Shinto dalam posisi tertinggi. Salah satunya adalah Yui-Itsu atau Yoshida Shinto, yang pertama kali muncul pada awal abad ke-13, namun belum sepenuhnya berkembang sampai abad ke-15 ketika Kanetomo Yoshida menjadi pendukungnya dan membuat slogannya: "Kami, primer, Buddha sekunder". Selain itu, kuil Ise Shinto yang juga dikenal sebagai Watarai Shinto menekankan kemurnian dan ketulusan sebagai kebajikan tertinggi, dengan setia menjaga kemurnian tradisinya, dan dengan

22

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup (Jakarta: UI-Press, 1987), Cet.II, h. 196.

23

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 12.

(34)

24

tegas menolak gagasan bahwa dewa-dewa Buddhis adalah manifestasi utama dari Tuhan.24

Ketiga, masa sinkronisasi secara berangsur antara agama Shinto dengan Tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai 1700 M, yang dalam masa sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto (Shinto-Paduan). Dibangun oleh Kobo Daishi (774-835 M) dan Kitabatake Chikafuza (1293-1354 M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M) dan lainnya.25

Pada masa sebelumnya terjadi ketegangan antara Buddhism dan Shinto, baik karena alasan politis maupun doktrinisasi, kemudian pada masa dinasti Heian (794-1160) ini muncul berbagai usaha untuk merukunkan kedua agama tersebut, antara lain melalui dua tokoh terkenal yaitu Saicho (767-822) yang mendirikan sekte Tendai pada tahun 805 dan Kukai (774-835) yang mendirikan sekte Shingon pada tahun 809. Ajaran kedua sekte tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan spiritual bangsa Jepang selama berabad-abad, bukan hanya mengemukakan konsep baru yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam dan lebih dapat diterima oleh mereka yang hendak tetap memegang teguh tradisi asli, namun juga karena bangunan filsafatnya cukup luas dan luwes, berusaha memadukan ajaran dan pemikiran keagamaan yang beranekaragam. Misalnya, kedua tokoh tadi berusaha memunculkan dewa-dewa yang terdapat dalam Shinto berdampingan dengan dewa-dewa-dewa-dewa agama Buddha. Usaha semacam ini sebetulnya telah ada pada masa Nara, namun

24

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 87.

(35)

baru berhasil pada masa Heian. Setelah meninggal dunia masing-masing dari kedua tokoh tadi terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi dan Kobo Daishi.26

Pada abad ke delapan tercapai sebuah kompromi yang menghasilkan pengajaran bahwa Kami senang menerima sutra para Buddha sehingga banyak kuil Buddhis yang didirikan di samping tempat-tempat suci Shinto, seolah-olah untuk memuaskan Kami.27

Saicho, sebagai tokoh pendiri sekte Tendai mengajarkan bahwa dewa-dewa agama Buddha sebenarnya sama dengan dewa-dewa-dewa-dewa dalam Shinto. Para dewa tersebut bersama-sama mengembangkan kedua agama tadi. Ajaran semacam ini juga diajarkan oleh aliran Tendai Shinto, suatu cabang dari kepercayaan Shinto yang didirikan atas dasar pengajaran Saicho. Kukai mengetengahkan suatu teori inkarnasi baru yang mengajarkan bahwa untuk menyelamatkan umat manusia Buddha selalu muncul dalam aneka kewujudan di berbagai tempat yang berbeda-beda. Menurut teori ini, dewa-dewa Shinto pada hakikatnya adalah penjelmaan dari para Buddha tersebut. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap dewa-dewa Buddha dengan pemujaan terhadap dewa-dewa Shinto. Lebih lanjut dikatakan bahwa Buddha Gautama adalah sama dengan Dewi Matahari, sementara para dewa Buddha yang lebih rendah tingkatannya adalah sama dengan dewa-dewa Shinto yang tingkatannya juga lebih rendah. Kombinasi atau sinkretisme antara paham Buddhisme dan Shinto ini dikenal dengan istilah Ryobu Shinto, yang berarti

26Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 241. 27

(36)

26

Shinto yang beraspek ganda. Kukai biasanya dianggap penemu atau pendirinya.28

Sinkretisme tersebut bukan dalam bentuk peleburan dua buah organisasi keagamaan menjadi satu buah sekte tersendiri, tetapi merupakan perpaduan antara dua macam pemikiran keagamaan, sehingga memungkinkan keduanya tetap hidup berdampingan tanpa mengorbankan salah satunya. Shinto menerima agama Buddha dengan cara menambahkan dewa-dewa agama ini ke dalam panteon dewanya sendiri; dan agama Buddha menyatakan bahwa dewa-dewa Shinto sebenarnya adalah penjelmaan dari dewa-dewa dalam agama Buddha. Lambat laun para dewa itu dianggap sama saja sehingga segala macam perbedaan akhirnya dihilangkan.29 Sebagai akibat dari perpaduan tersebut, perbedaan antara Shinto dan agama Buddha hampir tidak tampak lagi, orang Jepang sendiri mengakui bahwa agama Buddha telah memperdalam dan memperhalus Shinto.30

Para pendeta agama Buddha kemudian juga memperoleh keleluasaan dalam jinja-jinja31 Shinto. Bahkan pengaruh agama Buddha juga semakin bertambah kuat, sehingga upacara-upacara dan perayaan keagamaan Shinto, juga hiasan dalam jinja dan patung-patung dewa agama tersebut banyak ditentukan berdasarkan keinginan para pendeta agama Buddha. Walaupun demikian, percampuran antara kedua kepercayaan tersebut tidak sempurna

28

Joseph M Kitagawa, Religion in Japanese History (New York: Columbia University Press, 1966), h. 68.

29Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 242. 30

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 197.

31

Jinja adalah kata yang digunakan untuk menyebut kuil, dalam bahasa Inggris diartikan sebagai Shrine yang memiliki symbol berupa gerbang kayu yang dinamai dengan torii.

(37)

betul. Di kalangan rakyat umum tetap ada semacam pembagian tugas dan fungsi antara keduanya, yang masih tetap berlanjut hingga sekarang. Shinto membimbing urusan keduniaan, sementara agama Buddha bertanggungjawab dalam persoalan kematian. Oleh karena itu agama Buddha di Jepang sering disebut dengan “agama orang yang sudah mati.”32

Pada tahun 1484, dibawah dinasti Ashikaga muncul suatu aliran dalam Shinto yang mengajarkan kesatuan antara Shinto, Buddhisme dan Konfusianisme.33 Aliran ini disebut Yoshida Shinto, yang didirikan oleh Yoshida Kanetomo (1435-1511). Kesatuan antara ketiga agama tersebut digambarkan sebagai: “Agama Buddha dianggap sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan (Dharma) yang ada di alam ini; agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya; dan Shinto sebagai akar dan batangnya.” Aliran ini, di samping menganggap Kami sebagai kewujudan yang berada di luar manusia, juga menganggapnya menempati dalam jiwa seseorang.34

Pada akhir kekuasaan dinasti Tokugawa muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Agama Buddha, yang sudah menjadi agama negara, memperoleh kesan buruk, sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat. Pada penghujung masa Tokugawa, perasaan anti Buddha ini tumbuh meluas di kalangan masyarakat, yang mengakibatkan banyak kelenteng ditutup dan para pendetanya meninggalkan pos-pos mereka. Di lain pihak, berbagai macam kelompok agama baru yang mulai banyak

32Djam‟annuri, Agama-Agama Di Dunia, h. 243. 33

Di Jepang, Konfusianisme, juga Taoisme, tidak pernah membentuk suatu organisasi keagamaan yang formal seperti yang dilakukan oleh Shinto dan Buddhisme.

(38)

28

bermunculan. Misalnya, Kurozumi Munetada (1780-1850) mendirikan sekte Kurozumikyo. Ia adalah seorang pendeta Shinto. Pada usianya yang ke-33, kedua orangtuanya meninggal dunia akibat penyakit menular. Peristiwa ini memberikan pukulan batin yang menyebabkannya jatuh sakit selama lebih kurang tiga tahun. Suatu ketika ia sedang memuja dewi matahari, tiba-tiba ia merasa mendapatkan pengetahuan bahwa dewa dan manusia pada hakikatnya adalah satu. Dalam kesatuan ini, tidak ada kelahiran atau kematian melainkan semata-mata kehidupan yang abadi. Para pengikut sekte yang didirikannya percaya bahwa spirit dewi matahari merasuki seluruh alam, dan orang harus berusaha untuk menyatukan diri dengan spirit dewi ini agar dapat merasakan dan menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber utama kebahagiaan hidupnya.35

Usaha untuk menghidupkan kembali Shinto "murni" hanya sebagian berhasil. Dalam seribu tahun sinkretisme, hubungan Shinto dengan Buddhisme menjadi sangat dekat. Pengaruh Buddhisme pada arsitektur Shinto tentu saja tidak dapat diatasi., namun sebagian besar elemen Buddhis seperti patung-patung berhasil disingkirkan dari kuil Shinto.36

Setelah masuknya agama Buddha melalui Cina dan Korea yang terjadi pada abad ke-enam, saat ini kehidupan keagamaan orang Jepang pada umumnya tidak hanya beragama Shinto atau Budha saja, melainkan menganut keduanya, bahkan sering ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Contoh kehidupan beragama

35Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 245. 36

(39)

orang Jepang saat ini yaitu seperti, perkawinan dilakukan dalam cara Shinto, tetapi kemudian ada upacara seperti Kristen, sedangkan upacara pemakaman dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah daerah pedesaan bisa saja terdapat altar Shinto dan Buddha sekaligus, atau orang yang pergi ke kuil Shinto mungkin juga akan pergi ke kuil Buddha atau ke gereja.37

Shinto, meski telah mengalami banyak persaingan dengan masuknya agama lain ke Jepang namun pada akhirnya Shinto tetap menjadi kepercayaan yang paling diminati oleh kalangan masyarakat Jepang. Berdasarkan info dari Kementerian Pendidikan Jepang, jumlah penganut Shinto sekitar 107 juta orang, agama Buddha sekitar 89 juta orang, Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, serta agama lain-lain sekitar 10 juta orang, dengan total seluruh penganut agama yaitu 290 juta orang.38

37

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 196.

38

The Daily Japan, https://thedailyjapan.com/pandangan-masyarakat-jepang-terhadap-agama/, di akses pada 23/10/2017, pukul 11:59 WIB.

(40)

30

BAB III

DOKTRIN SHINTO TENTANG PENTINGNYA

MENJAGA LINGKUNGAN

A. Kepercayaan Terhadap Kami

Shinto adalah sebuah kepercayaan yang memuja daya-daya kekuatan yang disebut dengan Kami. Arti dari Kami ini sulit ditentukan, namun memiliki maksud dengan “dewa”, Tuhan dan sebagainya. Kami memiliki pengertian yang jauh berbeda dari pengertian objek-objek pemujaan yang terdapat dalam agama-agama lain. Istilah ini dapat merujuk pada sesuatu yang tunggal dan jamak sekaligus. Meskipun jumlah dewa dalam kepercayaan Shinto tidak terbatas, sebagaimana diungkapkan dalam istilah “yaoyarozu no kami” yang berarti delapan juta dewa, Shinto justru memandang positif terhadap kepercayaan tentang banyaknya dewa. Menurut para pemeluknya, sebuah angka besar menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci, maha murah, dan sebagainya.1 Sebagaimana jumlah bilangan yang besar, maka bilangan itu sendiri menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan dewa.2

Kami adalah obyek pemujaan dalam Shinto. Istilah Kami merupakan kehormatan bagi roh mulia dan suci, yang menyiratkan rasa hormat atas kebajikan dan otoritas mereka. Semua makhluk memiliki semangat seperti Kami, jadi dalam arti semua makhluk bisa disebut Kami atau dianggap

1Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia (Jogjakarta: Belukar, 2012) h. 331. 2Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 254.

(41)

berpotensi menjadi Kami. Namun, karena istilah itu bersifat kehormatan, tidak bisa diterapkan pada individu atau makhluk biasa.3 Yang dijadikan objek sebagai Kami adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan, dan produksi; Fenomena alam, seperti angin dan guntur; benda alam, seperti matahari, gunung, sungai, pepohonan dan bebatuan; beberapa hewan; dan roh leluhur. Dalam kategori terakhir adalah roh nenek moyang kekaisaran, nenek moyang keluarga bangsawan, dan dalam arti semua roh leluhur. Selain mereka, yang juga dianggap sebagai Kami adalah roh penjaga tanah, pekerjaan, dan keterampilan; Semangat pahlawan nasional, orang-orang yang memiliki prestasi atau kebajikan yang baik, dan orang-orang yang telah berkontribusi pada peradaban, budaya, dan kesejahteraan manusia; mereka yang telah meninggal untuk negara atau masyarakat dianggap telah menjadi Kami.4

Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan-kekuatan dan objek-objek kepercayaan tertentu, tanpa membeda-bedakan apakah objek tersebut merupakan benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Apapun yang di anggap luar biasa, memiliki kekuatan superior atau yang menakjubkan disebut Kami. Keunggulan di sini tidak hanya mengacu pada superioritas kemuliaan, kebaikan atau perbuatan baik. Hal-hal yang jahat dan misterius, jika mereka luar biasa dan mengerikan, juga disebut Kami.5

Motoori norinaga, seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman modern, memberikan penjelasan dan maksud istilah Kami dalam kalimat

3

Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 6.

4Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 7.

5Ian Reader, Esben Andreasen & Finn Stefansson, Japanese Religion Past and Present

(42)

32

sebagai berikut: “Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci tempat mereka dipuja. Di samping itu, bukan hanya manusia, tetapi burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda langit, apapun bentuknya, yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luar biasa, semuanya disebut Kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti”.

Dari kutipan di atas dapat diketahui adanya empat hal yang mendasari konsep kedewaan dalam Shinto, yaitu: dewa-dewa tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam; dewa-dewa tersebut dapat pula berupa manusia; dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia; dan pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik tolak dari perasaan segan dan takut.6 Oleh karena itu, bagi pemeluk Shinto sangat menghormati apapun yang ada di bumi termasuk benda-benda atau makhluk bernyawa maupun tidak bernyawa di sekitar lingkungannya karena mereka takut Kami yang berada ditempat tersebut akan marah dan memberikan pengaruh buruk yang mengakibatkan kesengsaraan bagi hidup manusia dan bumi.

(43)

Konsep Kami saat ini mencakup gagasan tentang keadilan, ketertiban, dan nikmat Ilahi (blessing), dan menyiratkan prinsip dasar bahwa Kami berfungsi secara harmonis dalam kerja sama satu sama lain dan bersukacita atas bukti harmoni dan kerjasama di dunia ini.7

Jumlah dewa yang sangat banyak dan beranekaragam, semuanya dianggap hidup damai bersatu dalam sebuah panteon kedewaan. Di antara dewa-dewa ini ada Dewi Matahari. Nama Jepang untuk dewi ini adalah Amaterasu omi-Kami, yang berarti “dewi langit yang agung dan bersinar” atau Amaterasuhi-Rume “putri langit matahari bersinar” atau Amaterasumi-Oya, “ibu langit yang agung dan bersinar”. Dewi ini memperoleh perhatian yang paling banyak dari penganut Shinto karena dapat memberikan cahaya kehidupan di bumi dan membantu proses penyuburan di bidang pertanian. Meskipun demikian, ia bukanlah yang tertinggi, karena persoalan-persoalan penting tidak ditentukan oleh dewi tersebut, melainkan oleh keputusan majlis dewa. Pemikiran tentang dewa tertinggi tidak dikenal dalam Shinto. Bahkan, antara dewa, manusia dan alam terdapat hubungan yang sangat dekat. Ketiganya membentuk suatu segitiga hubungan yang setiap sudutnya saling menentukan.8 Bahkan segala kewujudan yang menimbulkan perasaan segan dianggap mengandung kekuasaan Ilahy. Berbagai gejala alam terutama pohon-pohon, gunung-gunung dan gejala alam lainnya yang membangkitkan rasa takut dijadikan objek pemujaan. Semuanya itu diberi nama Kami.9

7Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 7. 8Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255. 9Djam’annuri, Agama Jepang, h. 20.

(44)

34

Dewi matahari sangat dihormati terutama karena diyakini sebagai leluhur kaisar Jepang. Ia memiliki simbol berupa sebuah cermin, disebut Yatakagami, yang berarti “cermin-tangan-delapan,” atau Higata no Kagami, “cermin berbentuk matahari,” yang disimpan dalam sebuah kotak di jinja utama Ise. Simbol tersebut dipuja sedemikian rupa, dan sering disebut dengan “dewa ise yang agung.”10

Karena perhatian masyarakat Jepang kuno terhadap kesuburan tanah dan hasil-hasilnya sangat besar, maka dewa-dewa yang ada hubungannya dengan hasil produksi atau makanan menempati kedudukan yang sangat penting setelah dewi matahari. Dewi Inari, misalnya, adalah satu di antara dewa-dewa makanan, yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir setiap desa dan keluarga mempunyai tempat untuk memuja dewi Inari, yang dianggap pula sebagai dewa yang memberikan kesuburan kepada lahan-lahan pertanian.11 Orang Jepang tidak pernah menyia-nyiakan makanan bahkan satu butir nasi pun ia hormati dan tidak boleh disisakan, kesuburan tanah juga menjadi hal penting sehingga masyarakat Jepang senantiasa menjaga kebersihan agar tidak terjadi pencemaran air dan kerusakan tanah yang mengakibatkan hasil produksi makanan menjadi buruk.

B. Peran Shinto Terhadap Lingkungan

Berbeda dengan agama lain seperti Islam dan Kristen yang memiliki kitab suci dan Tuhan yang harus di sembah. Kepercayaan ini hanya

10Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255. 11Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255.

(45)

mengajarkan manusia untuk lebih menyatu dengan dunia, dengan alam, dan lingkungan sekitar agar tercipta kehidupan yang harmonis. Ajaran Shinto menjadi pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya, bahkan dari sebelum diberi nama, Shinto sudah menjadi kultus masyarakat Jepang sebagai kegiatan ritual sehari-hari sebagai bagian dari hidup mereka.12

Peran Shinto di Jepang bukan hanya sebagai suatu kepercayaan, namun juga sebagai panduan hidup yang selaras dengan alam. Sebagai keyakinan yang dimiliki orang Jepang, Shinto telah mengakar dan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari, seperti hal nya dalam menjaga lingkungan sekitar. Hampir tidak ada sampah yang berserakan di jalan atau di sekitar lingkungan tempat tinggal.13

Motoori Norinaga berpendapat bahwa Shinto telah menjadi elemen penting yang membawa pengaruh besar antara agama dan ritual yang diserap oleh orang-orang Jepang ke dalam koeksistensi dan menjadi karakter bangsa Jepang.14

Disamping menjaga lingkungan sekitar, masyarakat Jepang juga sangat menghargai dan memanfaatkan dengan baik sumber daya alam yang ada, seperti mengelola air dengan benar agar tidak tercemar, dan menebang pohon seperlunya agar tidak terjadi bencana alam. Di Jepang, 71%

12Paula R. Hartz, World Religions: Shinto (New York: Chelsea House, 2009), Cet.III, h.

10.

13Syahbuddin Mangandaralam, Mengenal Dari Dekat Jepang, Negara Matahari Terbit

(Bandung: Remadja Karya CV Bandung, 1985), h. 9.

14George J. Tanabe (Ed), Religion Of Japan In Practice (Princeton University Press,

(46)

36

daratannya tertutup oleh pegunungan, lebih dari 532 di antara gunung-gunung tersebut memiliki ketinggian di atas 2.000 meter, tidak kurang dari 67 buah gunung api yang masih aktif, selain mengakibatkan munculnya bahaya-bahaya, juga memberi manfaat. Diantaranya dengan banyaknya ditemui sumber-sumber air panas diberbagai tempat. Mata air panas tersebut, di samping dimanfaatkan untuk pengobatan, juga merupakan daya tarik bagi para wisatawan, baik dalam negeri sendiri maupun wisatawan asing.15

Pemujaan gunung adalah salah satu pemujaan Shinto di zaman kuno, banyak gunung Jepang yang dianggap sakral salah satunya yang paling terkenal yaitu gunung fuji, namun saat ini kebanyakan mereka bukan lagi sebagai obyek pemujaan khusus. Gunung tersebut tidak disembah sebagai Kami, namun dianggap sebagai tempat suci yang layak untuk menyembah

Kami atau untuk melakukan perenungan rohani.16

Lingkungan juga berkaitan dengan keindahan alam, karena kecintaan orang Jepang terhadap alam, tempat suci atau kuilnya selalu berkaitan dengan keindahan alam. Peribadatan di kuil berhubungan erat dengan perasaan yang tajam akan keindahan, rasa mistik alam yang memainkan peran penting dalam memimpin pikiran manusia dari duniawi ke dunia Ilahi yang lebih tinggi dan lebih dalam dan menjadikan sebuah pengalaman hidup. Tidak ada keindahan buatan yang mampu menggantikan keindahan alam.17 Bagi orang Jepang, kuil suci tempat beribadah tidak seperti tempat-tempat ibadah dalam agama lain

15Syahbuddin Mangandaralam, Mengenal Dari Dekat Jepang, Negara Matahari Terbit, h.

10.

16Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 100. 17Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 97.

(47)

yang terletak di sekitar lingkungan tempat tinggal umatnya, kuil Shinto bisa ditemukan di seluruh pelosok tempat terpencil, di puncak bukit, gunung, bahkan di gua atau tengah hutan. Konsep pendirian kuil Shinto tidak hanya untuk berdoa tetapi juga menunjukkan rasa hormat dan kecintaannya pada apa yang di puja atau dikagumi, bisa Tuhan atau keindahan alam. Shinto merupakan Jalan Kami yang artinya banyak jalan menuju Kami atau Tuhan, jadi dimanapun manusia berada disitu terdapat Kami.

Keindahan alam dianggap sebagai elemen penting untuk tempat-tempat suci. Meski terdapat juga beberapa kuil di kota, tidak mengubah fakta fundamental yang idealnya tempat pemujaan harus berada di tempat yang bisa membuat manusia mendekatkan diri dengan alam. Oleh karena itu, untuk melakukan pemujaan di kuil, perlu mempertimbangkan lokasi yang berada di tengah hutan, yang tidak terpengaruh oleh kota modern.18

Selain kuil, Pemujaan pohon juga sangat umum dilakukan di Shinto, baik tempat suci yang ada di tengah hutan kecil pinggir jalan atau di dalam batas-batas kota, atau desa yang ramai, pemuja akan menemukan adanya pohon sebagai perantara pendekatannya kepada Kami. Hubungan erat antara pohon dan tempat suci ini dapat dilihat dalam penggunaan kata kuno yang berarti "hutan" (mori) untuk menunjuk sebuah tempat suci, dan kata yang berarti "tempat tinggal Kami" (kannabi) untuk hutan sekitarnya.19

18Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 97. 19Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 98.

(48)

38

gunung yang lebat, seperti rumpun dan hutan, juga berperan penting dalam menciptakan suasana bermartabat bagi tempat-tempat suci.20

Benda alam lainnya, seperti batu dan gua, juga dihormati sebagai tempat tinggal Kami. Misalnya, gua di pulau Enoshima dekat Kamakura di anggap sakral, disana memuja Kami dengan cara membungkuk. Gua suci terbesar dan paling terkenal di Jepang ada di prefektur Miyazaki dimana tempat suci kuil Udo berdiri di dalam gua tersebut. Objek pemujaan ditujukan kepada Jimmu Tenno, kaisar pertama Jepang yang konon telah lahir di gua ini. Tempat suci Suwa di prefektur Nagano memiliki batu karang sebagai objek pemujaannya; Kuil Theukushima di prefektur Hiroshima memuja pulau tersebut tempat Miya Jima berada; Dan kuil Kumano di prefektur Wakayama didedikasikan untuk menyembah air terjun Nachi.21

Shinto telah lama dianggap sebagai elemen penting dalam agama Jepang yang memberinya kekhasan dan individualitas. Pandangan umum tentang Shinto biasanya mencakup asumsi berikut: Shinto mengandung karakteristik yang jelas dari agama primitif, termasuk penyembahan alam dan tabu terhadap kagare (kotoran), namun tidak memiliki sistem doktrin; hal tersebut ada dalam bentuk beragam sebagai kepercayaan rakyat namun pada saat yang sama memiliki ciri-ciri tertentu dari agama terorganisir, misalnya, ritual dan intitusi seperti kuil; Ini juga memainkan peran penting dalam mitologi kuno Jepang dan memberikan dasar bagi pemujaan leluhur dan

20Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 99. 21Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 101.

(49)

kaisar. Singkatnya, Shinto dipandang sebagai agama asli Jepang, berlanjut dalam garis yang tidak terputus dari masa prasejarah hingga saat ini.22

Shinto pada dasarnya adalah agama syukur dan cinta23. Oleh karena itu, Shinto sangat berperan bagi kehidupan masyarakat Jepang dalam menjaga kebersihan lingkungan dan pelestarian alam sekitar sebagaimana terlihat dari cara penghormatan mereka terhadap sesuatu.

1. Perwujudan Dewa-Dewa Pada Setiap Makhluk

Dalam Shinto semua gelaja alam di anggap sebagai perwujudan dewa-dewa. Semua benda baik yang hidup atau yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk berbicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.24

Dewa-dewa tersebut dikelompokkan menjadi; Dewa-Tanah, yaitu dewa yang dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik yang berupa tanah-tanah pertanian ataupun tanah-tanah lainnya, dan biasanya dipuja secara langsung. Ta-no-Kami yang berarti “dewa ladang-ladang padi” adalah dewa yang memberikan perlindungan terhadap hasil panen padi. Dewa tersebut turun dari gunung-gunung atau langit pada musim semi dan berubah menjadi dewa ladang, dan kembali lagi ke tempatnya semula pada musim gugur.

22George J. Tanabe (Ed), Religion Of Japan In Practice, h. 452.

23William George Aston, Shinto The Way of The God (New York: Longmans Green,

1905), h. 6.

(50)

40

Dewa Gunung, hampir setiap gunung dianggap sebagai dewa yang disebut dengan Yama-no-Kami “dewa-dewa gunung”. Dewa gunung terbagi menjadi dua macam, pertama adalah dewa yang memerintah gunung-gunung; dan kedua, dewa gunung yang ada hubungannya dengan tanah-tanah pertanian. Jenis pertama dipuja oleh para pemburu, pembuat arang, dan para penebang pohon. Adapun jenis yang kedua dipuja oleh para petani.

Dewa Laut, dewa laut disebut dengan Umi-no-Kami dan memegang kekuasaan atas lautan. Dewa laut dipuja untuk memperoleh keselamatan dalam pelayaran.

Dewa Air, dewa air disebut dengan Suijin dan dipuja di tempat-tempat aliran irigasi, danau-danau, kolam-kolam, mata air, sumber air minum dan sebagainya.

Dewa Api, di Jepang api itu sendiri sebenarnya tidak dipuja, tetapi berbagai macam dewa yang memiliki kekuasaan atas api dipuja dan disebut dengan Hino-Kami.

Dewa Pohon, pohon-pohon yang memiliki usia dan ukuran yang luar biasa pada umumnya dijadikan objek pemujaan. Di antara dewa-dewa pohon ini ialah Kukunochi yang berarti “ayah pohon”, dan dewa-dewa yang menguasai rerumputan dan dedaunan yang dipergunakan untuk obat-obatan yang disebut Kaya-no-Hime. Dewa-dewa ini dipuja sebelum menebang pohon yang akan dipergunakan untuk mendirikan bangunan atau ilalang yang dipergunakan untuk membuat atap.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis terhadap data kredit diperlukan dengan tujuan untuk meminimalisasi risiko nasabah yang terlambat membayar kredit, kegiatan ini sangatlah penting karena salah satu

Diharapkan kepada petani padi sawah di Kecamatan Peureulak Timur untuk dapat meningkatkan pendapatan usahatani yang dikelolanya dengan cara pengelolaan yang baik

Hasil penelitian Damayani (2015) yang menganalisis faktor pengetahuan dan sikap ibu terhadap ketepatan pemberian MP-ASI di Kelurahan Tiga Balata Kabupten

Latar belakang penelitian ini yaitu bahwasanya program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka

Google Adword merupakan fitur yang dikeluarkan google untuk kita bisa mengiklankan produk kita di blog atau website yang menjadi publisher Google Adsense...

Berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Th. 2004 Nomor

Dalam rangkaian Rancang bangun alat pengendali interval nyala lampu sebagai pemanipulasi efek gerakan dengan output berupa LED sebanyak 16 buah ini selain berfungsi sebagai penanda

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja Pada Pabrik Gula adalah karya saya dengan arahan dari