• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DOKTRIN SHINTO TENTANG PENTINGNYA MENJAGA

B. Peran Shinto Terhadap Lingkungan

1. Perwujudan Dewa-Dewa Pada Setiap Makhluk

Dalam Shinto semua gelaja alam di anggap sebagai perwujudan dewa-dewa. Semua benda baik yang hidup atau yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk berbicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.24

Dewa-dewa tersebut dikelompokkan menjadi; Dewa-Tanah, yaitu dewa yang dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik yang berupa tanah-tanah pertanian ataupun tanah-tanah lainnya, dan biasanya dipuja secara langsung. Ta-no-Kami yang berarti “dewa ladang-ladang padi” adalah dewa yang memberikan perlindungan terhadap hasil panen padi. Dewa tersebut turun dari gunung-gunung atau langit pada musim semi dan berubah menjadi dewa ladang, dan kembali lagi ke tempatnya semula pada musim gugur.

22George J. Tanabe (Ed), Religion Of Japan In Practice, h. 452.

23William George Aston, Shinto The Way of The God (New York: Longmans Green, 1905), h. 6.

40

Dewa Gunung, hampir setiap gunung dianggap sebagai dewa yang disebut dengan Yama-no-Kami “dewa-dewa gunung”. Dewa gunung terbagi menjadi dua macam, pertama adalah dewa yang memerintah gunung-gunung; dan kedua, dewa gunung yang ada hubungannya dengan tanah-tanah pertanian. Jenis pertama dipuja oleh para pemburu, pembuat arang, dan para penebang pohon. Adapun jenis yang kedua dipuja oleh para petani.

Dewa Laut, dewa laut disebut dengan Umi-no-Kami dan memegang kekuasaan atas lautan. Dewa laut dipuja untuk memperoleh keselamatan dalam pelayaran.

Dewa Air, dewa air disebut dengan Suijin dan dipuja di tempat-tempat aliran irigasi, danau-danau, kolam-kolam, mata air, sumber air minum dan sebagainya.

Dewa Api, di Jepang api itu sendiri sebenarnya tidak dipuja, tetapi berbagai macam dewa yang memiliki kekuasaan atas api dipuja dan disebut dengan Hino-Kami.

Dewa Pohon, pohon-pohon yang memiliki usia dan ukuran yang luar biasa pada umumnya dijadikan objek pemujaan. Di antara dewa-dewa pohon ini ialah Kukunochi yang berarti “ayah pohon”, dan dewa-dewa yang menguasai rerumputan dan dedaunan yang dipergunakan untuk obat-obatan yang disebut Kaya-no-Hime. Dewa-dewa ini dipuja sebelum menebang pohon yang akan dipergunakan untuk mendirikan bangunan atau ilalang yang dipergunakan untuk membuat atap.

Dewa Manusia, Di antara dewa-dewa Shinto yang jumlahnya tak terbatas terdapat pula dewa-dewa yang semula adalah manusia. Alasan utama mengapa manusia juga didewakan adalah karena, dalam pandangan agama shinto, jiwa (mi-tama) manusia yang sudah mati dan dipuja itu akan dapat meningkat menjadi Kami. Arwah para raja dan para anggota keluarganya, arwah para pahlawan bangsa, dan arwah orang-orang yang dianggap telah berjasa untuk kepentingan negara dan bangsa, semuanya dianggap sebagai Kami.25

2. Menjaga Lingkungan Sama Dengan Menghormati Tuhan

Berbeda dengan agama-agama monoteistik, Shinto tidak menekankan pada kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan yang mutlak dan tidak pula menerapkan perbedaan antara dewa dan manusia. Bagi kepercayaan tersebut, manusia, dewa dan alam membentuk suatu segitiga yang saling berhubungan secara harmonis.26 Jika ketiganya bisa saling menghormati dan berhubungan baik maka akan menciptakan kehidupan yang sejahtera. Shinto mempercayai bahwa Kami memancarkan spirit pada setiap makhluk sehingga orang Jepang berlomba untuk menjaga kebersihan lingkungan dan keberlangsungan hidup makhluk lainnya serta menciptakan harmonisasi sebagai tanda rasa hormat dan segan terhadap Kami tersebut. Bagi Shinto alam merupakan sesuatu yang disucikan, untuk dapat berhubungan dengan alam maka manusia harus dapat

25Djam’annuri, Agama Jepang, h. 59-60.

26Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 307.

42

berdekatan dengan Tuhan, itulah sebabnya objek alam dipuja sebagai roh suci.

Ise Teijo (1714-1784) dan Amano Nobukage (1660-1733) mengatakan bahwa Shinto merupakan sebuah cara untuk melayani Kami dari langit dan bumi. Sedangkan ulama Confucian-Shinto menganggapnya sebagai jalan sehari-hari atau jalan yang benar yang harus diikuti oleh semua manusia.27

Dalam mitologi Jepang, dewa Izanagi dan Izanami yang sangat dihormati, turun dari alam kayangan, menciptakan langit dan bumi, kemudian kepulauan yang indah dan cantik di lautan, beserta ragam tumbuh-tumbuhan dan ragam makhluk untuk hidup di dalamnya. Kemudian Izanagi dan Izanami naik kembali ke dalam kayangan dan pasangan itu melahirkan seorang puteri, yaitu Amaterasu Omi Kami, dan dua putera yaitu Tsuki Yomi dan Ssusa no Wo. Majlis para Dewa yang dihadiri oleh para murid memutuskan dan mengangkat Amaterasu Omi Kami (Dewi Matahari) untuk menguasai Langit pada siang hari (Kojiki, 43; Nihonji, 1:32); dan mengangkat Tsuki Yomi (Dewa Bulan) untuk menguasai Langit pada malam hari (Kojiki, 43-44); Nihonji, 1:32); dan mengangkat Ssusa no Wo (Dewa Topan) untuk menguasai angin ribut.

Perkawinan Amaterasu Omi Kami dengan Tsuki Yomi, (Nihonji, 1:19) melahirkan putera bernama Jimmu Teno, dan sidang majlis para dewa dalam alam kayangan memutuskan mengangkatnya untuk

menguasai Bumi dengan berdiam pada kepulauan yang indah dan cantik, (Kojiki, 106-107) dan ia pun turun pada puncak gunung Takachi di Tsukushi, (Kojiki, 5:111-112; Nihonji, 1:78-79).

Dari kutipan ayat tersebut, orang Jepang senantiasa menjalankan kehidupannya untuk menghormati dewa-dewa atau Kami pada setiap benda baik bernyawa maupun tidak dengan selalu menjaga bumi Jepang yang telah diwariskan kepada Jimmu Tenno, menghargai setiap makhluk, tidak merusak tumbuhan, menyakiti hewan, mengeksploitasi hutan secara masiv demi kepuasan pribadi, serta selalu menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal sebagai upaya yang paling sederhana.

Dari sikap cinta terhadap lingkungan, rakyat Jepang melakukannya sebagai upaya perilaku religius dengan melakukan apapun yang menyenangkan kekuatan superior, dan menahan diri dari tindakan yang dianggap menyinggung perasaan mereka.28 Oleh sebab itu, manusia dengan keimanannya dan rasa hormat kepada Kami harus dapat berinteraksi secara seimbang dan harmonis dengan alam semesta dan lingkungan sekitarnya.

Sebagai paham politeistik yang benar-benar murni, yang didasarkan pada pemujaan terhadap personifikasi gejala-gejala dan benda-benda alam. Orang Jepang menghormati Kami dikarenakan adanya garis kesinambungan antara Kami dan manusia, yang diungkapkan melalui istilah oyaka. Maksud istilah ini ialah, bahwa antara

44

Kami dan manusia terjalin suatu hubungan seperti hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenekmoyang dan keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra Kami.” Ungkapan ini memiliki dua macam arti; pertama, hidup manusia berasal dari Kami, sehingga dianggap suci; dan kedua, kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari Kami, oleh karena itu, kehidupan selayaknya harus dihormati dan dihargai. Manusia sering pula disebut dengan hito, yang berarti “tempat tinggal spirit”, dan dalam bahasa Jepang kuno, disebut aohito-gusa, “manusia-rumput hijau”, karena diibaratkan dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Selain itu, manusia dapat disebut pula ame no masu-jito, “manusia langit yang berkembang”, yang maksudnya adalah makhluk suci yang memiliki kemampuan tidak terbatas. Setiap pemeluk Shinto, idealnya wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang suci, jiwa yang suci, jasmani yang suci, dan tugas yang suci, dan harus hidup bekerjasama untuk membangun sebuah dunia yang sejahtera.29

Dunia Shinto mencakup semua hal, baik manusia, binatang, gunung, sungai, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan muncul berdasarkan keberadaan Kami, dan berkat keberadaan Kami tersebut, makhluk-makhluk yang ada di bumi harus berkontribusi pada kesejahteraan dunia karena hal itu dipenuhi dengan berkah dari Kami dan dapat berkembang melalui kekuatan harmoni dan kerjasama.30 Antara manusia dengan alam merupakan makhluk yang saling membutuhkan dan saling bekerjasama

29Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 256.

menciptakan kedamaian di dunia, alam memberikan kebutuhan hidup untuk manusia, maka manusia harus bersikap bijak dalam memperlakukan alam.

Di Jepang, meski kita hampir tidak menemukan orang yang mengatakan “agama saya Shinto” atau “agama orang itu adalah Shinto”. Artinya, tidak ada kesan bahwa orang Jepang adalah penganut agama Shinto. Tetapi banyak dari mereka yang lebih mempercayai Tuhan sebagai bentuk penghormatan. Orang Jepang sejak dahulu kala takut pada gunung, hutan, danau, batu, dan pohon yang dianggap sebagai hal yang suci, dan jika ada hal baik yang terjadi, mereka akan berterima kasih pada benda-benda itu. Jepang juga banyak terkena gempa bumi, topan, dan gunung berapi. Mereka sadar bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada manusia, karena itu setiap komponen alam jadi terlihat sebagai Tuhan/dewa.31 Dan sejak dahulu kala, orang Jepang (Shinto) takut akan kemarahan alam, maka mereka selalu menjaga kelestarian alam yang sudah ada.32 Ajaran Shinto menjadi cara pikir yang umum, dan menjadi adat istiadat, yang disebarkan lewat pergaulan ataupun ajaran orangtua. Dalam pemikiran Shinto, manusia dan kehidupan harus berjalan beriringan.33

Menurut penganut Shinto, alam semesta secara bertahap diciptakan melalui pekerjaan Kami dan persatuan di antara mereka, dan mereka

31Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 154.

32Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 155.

46

meyakini bahwa semua unsur-unsur alam seperti batu, sungai, binatang, pohon, bahkan manusia sekalipun dianugerahi aura keIlahian.34 Orang Jepang beranggapan bahwa Tuhan/dewa ada di mana-mana dan dalam “benda” apapun. Di dalam rumah juga ada. Di dapur ada dewa dapur, bahkan di toilet juga ada Tuhan yang disebut Tuhan toilet.35 Jika melakukan hal yang buruk, karena Tuhan selalu memperhatikan, orang Jepang selalu merasa yakin bahwa akan menerima hukuman.36

Karena rakyat Jepang hidup dalam lingkungan alam berupa kepulauan dan pegunungan yang masing-masing tidak menunjukkan kekuatan di satu pihak, tetapi juga keindahan di lain pihak, maka rakyat Jepang dibawa kepada keharusan untuk memperhatikan harmoni dalam kehidupan. Harmoni disini tidak terbatas antara sesama manusia, tetapi juga harmoni dengan alam sekelilingnya. Sebab itu, sekalipun dibelakang tiap-tiap benda alam, seperti batu, gunung dan lain-lain kelihatannya ada kekuatan yang diberi nama “Kami” atau dewa, tetapi rakyat Jepang merasa bahwa dengan mempersatukan diri dengan kekuatan tersebut, kehidupan akan selamat dari kekuatan itu.37

Bagi Shinto, alam merupakan suatu yang disucikan. Untuk dapat berhubungan dengan alam maka manusia harus dapat berdekatan dengan

34

Stuart, D.B. Picken, Essentials of Shinto, h. 61.

35Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 159.

36Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 161.

37Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari Jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang

Tuhan. Itulah sebabnya, objek alam dipuja sebagai roh suci.38 Manusia bergantung pada keberadaannya yang terus berlanjut baik pada alam dan masyarakat. Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa hidup dalam isolasi. Manusia berutang terima kasih kepada Kami dan nenek moyangnya atas hidupnya, dan untuk cinta mereka yang menyeluruh. Hidupnya penuh berkat dan karenanya dia harus menerima kewajibannya kepada masyarakat dan berkontribusi pada perkembangan semua hal yang dipercayakan kepadanya.39

Penghormatan terhadap Kami juga dilakukan dengan cara matsuri atau festival keagamaan. Jumlah matsuri sangat banyak, secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: festival musim semi (haru-matsuri), yaitu saat-saat menikmati keindahan bunga sakura yang bermekaran, tujuannya adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi panen yang melimpah; festival musim gugur (aki-matsuri), sebagai pernyataan terimakasih kepada dewa atas hasil panen yang diperoleh; festival tahunan (reisai) yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu; dan festival arak-arakan dewa (shinko-shiki) yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan dari berbagai macam penyakit.40

Setelah selesai melaksanakan upacara keagamaan, orang Jepang langsung membersihkan sisa-sisa sampah yang berserakan, karena tidak

38Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 341.

39Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 103.

48

etis bagi mereka setelah meminta rahmat kepada dewa kemudian meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan kotor.

C. Menjalani Kehidupan di Dunia Dengan Sebaik-baiknya

Bagi pemeluk Shinto, tujuan utama adalah kebahagiaan dalam kehidupan dunia. Selain itu, mereka percaya bahwa orang yang sudah meninggal dapat membantu mereka dalam menjalankan hidup ini dari abad ke abad.41

Menurut pandangan seorang ahli Shinto, agama Shinto termasuk tipe agama “lahir satu kali”, dalam arti memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Meski demikian, dalam pemikiran Shinto ada tiga macam dunia, yaitu:

1. Takamano-hara, berarti “tanah langit yang tinggi”, yaitu dunia suci yang menjadi tempat tinggal para dewa langit.

2. Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia, yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek dan menyengsarakan.

3. Tokoyono-kuni “kehidupan yang abadi”, “negeri yang jauh di seberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.

Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan Kakuriyo, yang berarti dunia yang tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia hidup disebut Utsushio, yang berarti dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka.42 Dalam mite disebutkan bahwa, ketika penciptaan sedang berlangsung, unsur-unsur alam yang halus dan ringan berubah menjadi langit, dan unsur-unsur yang berat dan kasar menjadi bumi. Di samping itu, langit dianggap suci. Oleh karena itu, Takamano-Hara dianggap sebagai sebuah dunia yang suci dan cemerlang yang segala sesuatunya lebih baik daripada dunia ini, dan menjadi tempat tinggal para dewa langit. Bertitik tolak dari pemikiran mitologis semacam ini, maka bangsa Jepang percaya bahwa para dewa turun dari langit untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di atas bumi ini. Akan tetapi, dikatakan pula bahwa hal tersebut bukan berarti bahwa dunia langit secara esensial berbeda dari dunia bumi, tetapi dunia langit hanya merupakan sebuah dunia yang lebih baik dari dunia manusia ini.43

Menurut Motoori Norinaga, dalam mite terdapat ketentuan dari Dewi Matahari mengenai suatu keabadian sejarah. Norinaga juga mengatakan bahwa dunia manusia ini akan senantiasa tumbuh dan berkembang serta berubah terus-menerus. Oleh sebab itu, Shinto tidak memiliki ajaran tentang hidup di hari kemudian, atau hidup setelah mati, meskipun percaya tentang adanya suatu dunia yang penuh kenikmatan dan kedamaian tempat tinggal arwah orang-orang yang hidupnya suci. Agama tersebut lebih menekankan

42Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 258.

50

pada pandangan yang lebih berorientasi kekinian dan keduniaan, apalagi dunia dianggap sebagai tempat tinggal manusia yang tidak akan pernah musnah. Berdasarkan pandangan semacam ini, maka saat-saat kehidupan manusia sekarang ini merupakan saat-saat yang penuh dengan nilai. Setiap pemeluk Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung dalam perkembangan dunia yang abadi itu, dan harus memanfaatkan setiap saat dalam kehidupannya semaksimal mungkin. Mental seperti ini, merupakan salah satu faktor yang telah membawa bangsa Jepang menuju tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidup di dunia.44

Dalam Shinto kuno, gagasan tentang dunia lain diungkapkan oleh konsep seperti dataran tinggi surga (takama-ga-hara), tempat tinggal Kami yang paling mulia, negara yang berlimpah, hidup yang kekal (tokoyo-no-kuni ), dan dunia hantu, roh jahat (magatsuhi) dan polusi, yaitu dunia kegelapan (yomi-no-kuni). Konsep metafisik semacam itu tidak secara langsung berhubungan dengan manusia, untuk memandang roh dunia lain dianggap tabu. Alih-alih mengembangkan penjelasan teoretis tentang dunia yang tak terlihat, tempat suci didirikan sebagai tempat dimana Kami dapat diundang dan manusia dapat merasakan kehadirannya.45

Dunia di mana kita hidup ini berkembang dari kekacauan ke ketertiban, dari kebingungan kontradiksi dengan keadaan harmonis dan kesatuan. Sehingga dalam masyarakat yang menciptakan tatanan baik akan berkembang sebagai hasil gotong royong dan kerja sama. Shinto percaya

44Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 258.

bahwa dunia ini menjanjikan pengembangan kekuatan hidup yang tak terbatas.46

52

BAB IV

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PEDULI LINGKUNGAN

DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG

A. Gaya Hidup Masyarakat Jepang Dalam Upaya Menjaga Lingkungan

Jepang merupakan salah satu negara terbersih di dunia. Perilaku kebiasaan orang Jepang dalam menjaga kebersihan lingkungan di dasarkan atas beberapa alasan:

Pertama, tidak adanya tempat sampah di area publik. Dengan tidak adanya tempat sampah di area publik bukan berarti mereka membuang sampah di sembarang tempat, melainkan menyimpannya dan membawanya ke tempat sampah terdekat atau membawanya pulang. Di Jepang, anak-anak di didik dari kecil untuk bertanggung jawab akan sampahnya. Membuang sampah di tempat sampah adalah perilaku yang baik, tetapi membawa sampah saat tidak ada tempat sampah akan jauh lebih baik.

Kedua, disetiap kursi pada bus untuk rute-rute jauh di Jepang selalu disediakan kantong plastik kecil untuk menyimpan botol bekas minuman dan dibawa untuk dibuang ke tempat sampah agar tidak sembarangan meninggalkannya di pojok kursi.

Ketiga, lingkungan sekitar bukan hanya tanggung jawab petugas kebersihan kota melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing penghuni rumah, gedung, perkantoran dan sebagainya.

Keempat, membedakan jenis sampah. Setiap rumah di Jepang diharuskan membedakan jenis sampah mereka, mana sampah yang bisa di daur ulang dan yang tidak bisa.

Kelima, lembaga kebersihan membantu kesadaran masyarakat akan sampah. Greenbird adalah sebuah organisasi yang menyebar di seluruh prefektur di Jepang, bertugas untuk mengajak warga menjaga kebersihan di area publik seperti di stasiun kereta api. Petugas ini juga membersihkan sampah di area-area yang tersembunyi dari pandangan mata, seperti misalnya puntung rokok di semak-semak, kertas-kertas kecil yang berserakan, dimana orang-orang dengan sengaja menyembunyikannya agar tidak terlihat.

Keenam, kebersihan dan kerapian area transportasi umum adalah keharusan.

Ketujuh, kebersihan jalan raya, setiap alat transportasi di Jepang terlihat sangat bersih, termasuk truk pengangkut sampah. Petugas kebersihan akan bergantian mencuci truk mereka setelah bertugas agar tidak mengotori jalanan.

Kedelapan, komunitas kebersihan, ketika seseorang hidup

bermasyarakat di Jepang, maka ia diharuskan masuk ke komunitas kebersihan yang ada di lingkungan masyarakat. Seperti gotong royong di lingkungan RW di Indonesia, berkumpul sepekan sekali untuk membersihkan lingkungan sekitar.1

1

Annonym, 8 Reasons Japan Is So Clean: The Wa Of Cleanliness,

http://en.rocketnews24.com/2016/09/19/8-reasons-japan-is-so-clean-the-wa-of-cleanliness/, di akses pada 08/07/2017, pukul 18.55 WIB.

54

Kondisi lingkungan yang bersih membuat Jepang menyandang gelar sebagai negara dengan tingkat kebersihan terbaik di dunia. Gelar ini tidak serta merta Jepang dapatkan dengan singkat, mengingat Jepang juga pernah berada pada posisi seperti Indonesia yang kotor dan kumuh di beberapa kotanya.

Warga Jepang sangat menghargai kebersihan sebagaimana yang telah diajarkan salah satu agama mayoritas di Jepang, yaitu Shinto. Ajaran Shinto beranggapan bahwa kebersihan adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga mereka penganut Shinto berlomba-lomba menjaga kebersihan dan menjadikan hal tersebut sebagai budaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Hal lain, selain faktor ajaran Shinto, kebersihan di Jepang juga merupakan kesadaran masing-masing masyarakatnya yang diperoleh dari didikan sejak kecil untuk berbudaya bersih dan memikirkan kenyamanan orang lain. Hal ini lambat laun menjadi kepribadian yang mengakar kuat dan cermin masyarakat Jepang di mata dunia sebagai negara dengan tingkat kebersihan paling baik.

Budaya bersih masyarakat Jepang sudah mendarah daging sehingga sulit dihilangkan karena masing-masing individu telah menyadari betapa pentingnya kebersihan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.2 Hal tersebut juga menjadi cara berkomunikasi dengan Kami secara langsung tanpa membentuk ide Kami secara konseptual atau teologis, karena mereka sendiri

2

Ajeng Endah Adriana, Budaya Bersih di Jepang, http://www.denpasar.id.emb-japan.go.jp/indonesia/.konnichiwa%2014/.konnichiwa14_041.html, di akses pada 08/07/2017 pukul 19.15 WIB.

tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai Kami. Mereka hanya menyadari secara intuitif tentang Kami ke dalam kesadaran mereka.3

Orang Jepang memiliki pola perilaku, pola pikir dan sikap mental yang baik. Pola perilaku merupakan perilaku yang sudah tersusun atau terpola yang dilakukan berulang kali. Demikian juga pola pikir atau mindset merupakan cara berpikir yang sudah tersusun atau terpola akibat perilaku yang sudah dilakukan berulang kali. Sedangkan sikap mental adalah cara mengomunikasikan atau mengekspresikan suasana hati atau watak kepada orang lain. Apabila hal tersebut dilakukan berulang kali oleh seseorang, akan menjadi kebiasaan orang tersebut. Namun, bila kebiasaan tersebut dilakukan

Dokumen terkait