• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SHINTO: AJARAN DAN PERKEMBANGANNYA

C. Asal-Usul dan Perkembangan Shinto di Jepang

Asal usul kemunculan Shinto berjalan secara beriringan dengan latar belakang sejarah munculnya negara dan bangsa Jepang, hal tersebut didasarkan atas penemuan benda-benda kuno dan legenda kuno. Pada awalnya masyarakat Jepang tidak menyebut kepercayaan mereka dengan sebutan Shinto sebagaimana yang dikenal saat ini. Shinto pada mulanya adalah kepercayaan alam yang merupakan perpaduan antara paham animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara yang sangat sederhana, masyarakat Jepang kuno menganggap semua benda, baik benda yang hidup atau mati, dianggap memiliki ruh atau spirit. Semua ruh atau spirit tersebut dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya tersebutlah yang akhirnya disebut Kami.12

12

Ninian Smart, The Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner‟s Sons, 1977), Cet. III, h. 211.

20

Kata Shinto merupakan istilah modern yang digunakan untuk kepercayaan terhadap Kami. Kepercayaan asli masyarakat Jepang pada awalnya disebut dengan nama Kami no Michi, yang berarti Jalan Para Dewa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk masyarakat Jepang, bukan datang ataupun pengaruh dari luar.13

Sekitar abad ke-13, Buddhisme dan Konfusianisme mulai menyebar di Jepang, pada saat itu penamaan Kami no Michi di ubah menjadi Shinto yang bertujuan untuk membedakan antara kepercayaan tradisional Jepang dengan kepercayaan Buddhisme dan Konfusianisme. Kata Shinto sendiri terdiri dari dua ideograf yaitu shin (神), yang disamakan dengan istilah asli Kami yang berarti dewa, dan do atau to (道), yang disamakan dengan istilah michi, yang berarti "jalan".14 Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa nama Shinto merupakan perubahan dari kata Tien-Tao yang bermakna Jalan Langit ketika terjadi benturan dengan kebudayaan Tiongkok yang sudah memiliki kepercayaan terorganisir seperti agama Tao, Konfusius, dan Buddha,15 sampai saat ini kata tersebut masih digunakan

Pemberian nama Shinto tidak menjadikan kepercayaan tersebut bersifat tertutup dan menolak pengaruh ajaran yang datang dari luar, tetapi menerimanya untuk memperkaya kehidupan kultural dan spiritual tanpa menghilangkan tradisi asli Jepang. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli dan kepercayaan dari luar telah membawa kelahiran suatu

13Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), Cet. III, h. 208.

14

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 2.

kepercayaan baru yang disebut Shinto, meskipun namanya baru dikenal pertama kali setelah agama Konfusius dan Buddhisme memasuki Jepang pada abad ke-6, menurut tradisi, Shinto adalah kepercayaan asli Jepang yang usianya telah mencapai lebih dari 2000 tahun.16 Selain itu, Shintoisme juga dipandang oleh rakyat Jepang sebagai suatu kepercayaan tradisional warisan nenek moyang, yang telah berabad-abad hidup di Jepang, ajarannya berakar dalam masyarakat, sehingga tidak mudah ditumbangkan oleh agama-agama lain yang datang dari luar.17

Sejarah perkembangan Shinto di Jepang dapat dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 SM sampai tahun 552 M, di dalam masa dua belas abad lamanya.18

Dengan kemenangan yang diperoleh suku Yamato pada abad ketiga atau keempat Masehi, legenda-legenda dan dewa-dewanya juga dianggap lebih unggul dibandingkan dengan legenda dan dewa suku-suku lainnya. Kepala suku Yamato tidak saja bertindak sebagai pemimpin sebuah negara tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh bangsa. Legenda suku Yamato lambat laun menjadi dasar utama adanya kepercayaan terhadap asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang. Demikian, sekitar abad kelima Masehi, kultus dan tradisi keagamaan yang beranekaragam itu sedikit demi sedikit dipersatukan dan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk pemerintahan

16Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 208.

17

HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT GoldenTeravon Press, 1997), h. 7.

22

agama dengan suatu sistem peribadatan yang dipusatkan pada Dewi Matahari.19

Kedua, masa agama Buddha dan ajaran Kongfutzu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang dalam masa dua setengah abad itu Shinto mendapat saingan berat. “Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan mengenyampingkan Kami No Michi”, (Nihonji, 2:195), “Pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi dunia dan megenakan pakaian rahib.” (Nihonji, 2:302).20

Sebenarnya di kalangan para pemimpin dan rakyat umum ada yang menentang terhadap masuknya agama Buddha ini. Mereka tidak setuju jika kaisar memeluk agama tersebut sebab khawatir hal itu akan menyebabkan timbulnya kemurkaan dari para dewa. Akan tetapi kalangan orang-orang Jepang yang berfikiran liberal merasa tertarik oleh kelebihan agama baru itu dibandingkan dengan agama bangsa sendiri. Perbedaan sikap ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang diakhiri dengan kemenangan pihak liberal.21

Persaingan antar agama terus berlanjut, ketika di masa Tokugawa ada penolakan dan larangan penyebaran agama Kristen tampaknya agama Buddha lebih diperhatikan oleh Shogun, sedangkan Shinto oleh lingkungan Tenno Heika karena ia merupakan pendeta tertinggi dan sebagai keturunan langsung dari Dewi Matahari Amaterasu Omikami. Ketika itu kekuasaan (termasuk kekuatan keuangan) ada di tangan Shogun, maka agama Buddha lebih

19Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 20.

20Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 209.

menonjol pada periode tersebut, kemudian Restorasi Meiji yang menempatkan Tenno Heika kembali sebagai penguasa utama dan menghilangkan kekuasaan Shogun, dan mengunggulkan agama Shinto. Sejak restorasi Meiji hingga Jepang ditaklukkan pada akhir Perang Dunia II, Shinto menjadi agama negara.22

Ketika agama Buddha masuk ke Jepang dan terjadi persaingan dengan kepercayaan Shinto, perkembangan agama Buddha sangat ditentukan oleh sikap penguasa terhadapnya, sehingga pada akhirnya rakyat Jepang dapat menggunakan kepercayaan Shinto dan Buddha sekaligus sebagai keperluan yang sama pentingnya.23

Pada masa Buddhisme dan Kongfusianisme memasuki Jepang, pemimpin Shinto tidak membiarkan begitu saja upaya agama asing ini untuk menyerap kepercayaan asli, sehingga pada saat bersamaan pada abad ke-13 dan 14 sebuah reaksi terbentuk, yang menghasilkan beberapa gerakan kontra yang bertujuan menempatkan Shinto dalam posisi tertinggi. Salah satunya adalah Yui-Itsu atau Yoshida Shinto, yang pertama kali muncul pada awal abad ke-13, namun belum sepenuhnya berkembang sampai abad ke-15 ketika Kanetomo Yoshida menjadi pendukungnya dan membuat slogannya: "Kami, primer, Buddha sekunder". Selain itu, kuil Ise Shinto yang juga dikenal sebagai Watarai Shinto menekankan kemurnian dan ketulusan sebagai kebajikan tertinggi, dengan setia menjaga kemurnian tradisinya, dan dengan

22

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup (Jakarta: UI-Press, 1987), Cet.II, h. 196.

23

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 12.

24

tegas menolak gagasan bahwa dewa-dewa Buddhis adalah manifestasi utama dari Tuhan.24

Ketiga, masa sinkronisasi secara berangsur antara agama Shinto dengan Tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai 1700 M, yang dalam masa sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto (Shinto-Paduan). Dibangun oleh Kobo Daishi (774-835 M) dan Kitabatake Chikafuza (1293-1354 M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M) dan lainnya.25

Pada masa sebelumnya terjadi ketegangan antara Buddhism dan Shinto, baik karena alasan politis maupun doktrinisasi, kemudian pada masa dinasti Heian (794-1160) ini muncul berbagai usaha untuk merukunkan kedua agama tersebut, antara lain melalui dua tokoh terkenal yaitu Saicho (767-822) yang mendirikan sekte Tendai pada tahun 805 dan Kukai (774-835) yang mendirikan sekte Shingon pada tahun 809. Ajaran kedua sekte tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan spiritual bangsa Jepang selama berabad-abad, bukan hanya mengemukakan konsep baru yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam dan lebih dapat diterima oleh mereka yang hendak tetap memegang teguh tradisi asli, namun juga karena bangunan filsafatnya cukup luas dan luwes, berusaha memadukan ajaran dan pemikiran keagamaan yang beranekaragam. Misalnya, kedua tokoh tadi berusaha memunculkan dewa-dewa yang terdapat dalam Shinto berdampingan dengan dewa-dewa-dewa-dewa agama Buddha. Usaha semacam ini sebetulnya telah ada pada masa Nara, namun

24

Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 87.

baru berhasil pada masa Heian. Setelah meninggal dunia masing-masing dari kedua tokoh tadi terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi dan Kobo Daishi.26

Pada abad ke delapan tercapai sebuah kompromi yang menghasilkan pengajaran bahwa Kami senang menerima sutra para Buddha sehingga banyak kuil Buddhis yang didirikan di samping tempat-tempat suci Shinto, seolah-olah untuk memuaskan Kami.27

Saicho, sebagai tokoh pendiri sekte Tendai mengajarkan bahwa dewa-dewa agama Buddha sebenarnya sama dengan dewa-dewa-dewa-dewa dalam Shinto. Para dewa tersebut bersama-sama mengembangkan kedua agama tadi. Ajaran semacam ini juga diajarkan oleh aliran Tendai Shinto, suatu cabang dari kepercayaan Shinto yang didirikan atas dasar pengajaran Saicho. Kukai mengetengahkan suatu teori inkarnasi baru yang mengajarkan bahwa untuk menyelamatkan umat manusia Buddha selalu muncul dalam aneka kewujudan di berbagai tempat yang berbeda-beda. Menurut teori ini, dewa-dewa Shinto pada hakikatnya adalah penjelmaan dari para Buddha tersebut. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap dewa-dewa Buddha dengan pemujaan terhadap dewa-dewa Shinto. Lebih lanjut dikatakan bahwa Buddha Gautama adalah sama dengan Dewi Matahari, sementara para dewa Buddha yang lebih rendah tingkatannya adalah sama dengan dewa-dewa Shinto yang tingkatannya juga lebih rendah. Kombinasi atau sinkretisme antara paham Buddhisme dan Shinto ini dikenal dengan istilah Ryobu Shinto, yang berarti

26Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 241.

27

26

Shinto yang beraspek ganda. Kukai biasanya dianggap penemu atau pendirinya.28

Sinkretisme tersebut bukan dalam bentuk peleburan dua buah organisasi keagamaan menjadi satu buah sekte tersendiri, tetapi merupakan perpaduan antara dua macam pemikiran keagamaan, sehingga memungkinkan keduanya tetap hidup berdampingan tanpa mengorbankan salah satunya. Shinto menerima agama Buddha dengan cara menambahkan dewa-dewa agama ini ke dalam panteon dewanya sendiri; dan agama Buddha menyatakan bahwa dewa-dewa Shinto sebenarnya adalah penjelmaan dari dewa-dewa dalam agama Buddha. Lambat laun para dewa itu dianggap sama saja sehingga segala macam perbedaan akhirnya dihilangkan.29 Sebagai akibat dari perpaduan tersebut, perbedaan antara Shinto dan agama Buddha hampir tidak tampak lagi, orang Jepang sendiri mengakui bahwa agama Buddha telah memperdalam dan memperhalus Shinto.30

Para pendeta agama Buddha kemudian juga memperoleh keleluasaan dalam jinja-jinja31 Shinto. Bahkan pengaruh agama Buddha juga semakin bertambah kuat, sehingga upacara-upacara dan perayaan keagamaan Shinto, juga hiasan dalam jinja dan patung-patung dewa agama tersebut banyak ditentukan berdasarkan keinginan para pendeta agama Buddha. Walaupun demikian, percampuran antara kedua kepercayaan tersebut tidak sempurna

28

Joseph M Kitagawa, Religion in Japanese History (New York: Columbia University Press, 1966), h. 68.

29Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 242.

30

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 197.

31

Jinja adalah kata yang digunakan untuk menyebut kuil, dalam bahasa Inggris diartikan sebagai Shrine yang memiliki symbol berupa gerbang kayu yang dinamai dengan torii.

betul. Di kalangan rakyat umum tetap ada semacam pembagian tugas dan fungsi antara keduanya, yang masih tetap berlanjut hingga sekarang. Shinto membimbing urusan keduniaan, sementara agama Buddha bertanggungjawab dalam persoalan kematian. Oleh karena itu agama Buddha di Jepang sering disebut dengan “agama orang yang sudah mati.”32

Pada tahun 1484, dibawah dinasti Ashikaga muncul suatu aliran dalam Shinto yang mengajarkan kesatuan antara Shinto, Buddhisme dan Konfusianisme.33 Aliran ini disebut Yoshida Shinto, yang didirikan oleh Yoshida Kanetomo (1435-1511). Kesatuan antara ketiga agama tersebut digambarkan sebagai: “Agama Buddha dianggap sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan (Dharma) yang ada di alam ini; agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya; dan Shinto sebagai akar dan batangnya.” Aliran ini, di samping menganggap Kami sebagai kewujudan yang berada di luar manusia, juga menganggapnya menempati dalam jiwa seseorang.34

Pada akhir kekuasaan dinasti Tokugawa muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Agama Buddha, yang sudah menjadi agama negara, memperoleh kesan buruk, sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat. Pada penghujung masa Tokugawa, perasaan anti Buddha ini tumbuh meluas di kalangan masyarakat, yang mengakibatkan banyak kelenteng ditutup dan para pendetanya meninggalkan pos-pos mereka. Di lain pihak, berbagai macam kelompok agama baru yang mulai banyak

32Djam‟annuri, Agama-Agama Di Dunia, h. 243.

33

Di Jepang, Konfusianisme, juga Taoisme, tidak pernah membentuk suatu organisasi keagamaan yang formal seperti yang dilakukan oleh Shinto dan Buddhisme.

28

bermunculan. Misalnya, Kurozumi Munetada (1780-1850) mendirikan sekte Kurozumikyo. Ia adalah seorang pendeta Shinto. Pada usianya yang ke-33, kedua orangtuanya meninggal dunia akibat penyakit menular. Peristiwa ini memberikan pukulan batin yang menyebabkannya jatuh sakit selama lebih kurang tiga tahun. Suatu ketika ia sedang memuja dewi matahari, tiba-tiba ia merasa mendapatkan pengetahuan bahwa dewa dan manusia pada hakikatnya adalah satu. Dalam kesatuan ini, tidak ada kelahiran atau kematian melainkan semata-mata kehidupan yang abadi. Para pengikut sekte yang didirikannya percaya bahwa spirit dewi matahari merasuki seluruh alam, dan orang harus berusaha untuk menyatukan diri dengan spirit dewi ini agar dapat merasakan dan menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber utama kebahagiaan hidupnya.35

Usaha untuk menghidupkan kembali Shinto "murni" hanya sebagian berhasil. Dalam seribu tahun sinkretisme, hubungan Shinto dengan Buddhisme menjadi sangat dekat. Pengaruh Buddhisme pada arsitektur Shinto tentu saja tidak dapat diatasi., namun sebagian besar elemen Buddhis seperti patung-patung berhasil disingkirkan dari kuil Shinto.36

Setelah masuknya agama Buddha melalui Cina dan Korea yang terjadi pada abad ke-enam, saat ini kehidupan keagamaan orang Jepang pada umumnya tidak hanya beragama Shinto atau Budha saja, melainkan menganut keduanya, bahkan sering ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Contoh kehidupan beragama

35Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 245.

36

orang Jepang saat ini yaitu seperti, perkawinan dilakukan dalam cara Shinto, tetapi kemudian ada upacara seperti Kristen, sedangkan upacara pemakaman dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah daerah pedesaan bisa saja terdapat altar Shinto dan Buddha sekaligus, atau orang yang pergi ke kuil Shinto mungkin juga akan pergi ke kuil Buddha atau ke gereja.37

Shinto, meski telah mengalami banyak persaingan dengan masuknya agama lain ke Jepang namun pada akhirnya Shinto tetap menjadi kepercayaan yang paling diminati oleh kalangan masyarakat Jepang. Berdasarkan info dari Kementerian Pendidikan Jepang, jumlah penganut Shinto sekitar 107 juta orang, agama Buddha sekitar 89 juta orang, Kristen dan Katolik sekitar 3 juta orang, serta agama lain-lain sekitar 10 juta orang, dengan total seluruh penganut agama yaitu 290 juta orang.38

37

Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup, h. 196.

38

The Daily Japan, https://thedailyjapan.com/pandangan-masyarakat-jepang-terhadap-agama/, di akses pada 23/10/2017, pukul 11:59 WIB.

30

Dokumen terkait