• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN MUḤAMMAD

2. Mengakui Agama-agama lain

a. Menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī

Al-Sya„rāwī berpendapat bahwa keimanan merupakan fitrah yang diturunkan ketika Allah menurunkan Adam Alaihi Salām. ke muka bumi. Seiring berjalannya waktu muncul-lah agama-agama yang membuat manusia menjadi kafir (mengingkari) yang telah dibinasakan dari muka bumi seperti, kaum nabi Nūḥ, kaum nabi Lūṭ, Fir„aun dan sebagainya. Kemunculan agama-agama tersebut masih diikuti hingga saat ini yang biasa disebut sebagai Yahudi, Nasrani, dan Ṣabi„īn, dengan maksud dan tujuan bahwa Allah ingin mengumpulkan agama-agama tersebut pada risalah (ajaran) Nabi Muḥammad

Ṣallallahu alaihi wa salam. Disamping itu rasulullah diturunkan ke muka bumi untuk menghapus keyakinan-keyakinan yang membuat manusia menjadi kufur tersebut.46

Melalui Qs. al-Baqarah/ 2: 62 yang berbunyi:

ِوَّللاِب َنَمآ ْنَم َيَِّئِباَّصلاَو َّٰىَراَصَّنلاَو اوُداَى َنيِذَّلاَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َّفِإ

ْمُهَلَػف اًِلحاَص َلِمَعَو ِرِخ ْلآا ِـْوَػيْلاَو

َفوُنَزَْيَ ْمُى َلاَو ْمِهْيَلَع ٌؼْوَخ َلاَو ْمِِّبَِر َدْنِع ْمُىُرْجَأ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka

46

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada

mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Qs. al-Baqarah/ 2:62.

Al-Sya„rāwī menyebutkan dalam tafsirnya bahwa, ayat ini telah memberikan informasi kepada kita bahwa ajaran-ajaran (agama) yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya terdahulu sebelum Nabi Muhammad telah selesai dan semua manusia dituntut agar beriman kepada Nabi Muhammad. Selain itu Nabi juga telah mengajarkan kepada semuanya untuk beriman kepada risalahnya, sekalipun masih tersisa orang-orang yang pernah hidup di zaman Nabi Ādam, Idrīs, Nūh, Ibrāhīm, Hūd dan yang lainnya mereka juga dituntut untuk mengimani dan membenarkan satu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad

Ṣallallahu alaihi wa salam yakni agama Islam.

Karena sesungguhnya Islam telah menghapus kepercayaan-kepercayaan terdahulu dan Islam menjadi agama satu-satunya yang ada di bumi, barangsiapa yang beriman kepadanya, maka tidak akan merasa ketakutan dan tidak akan merasa gelisah namun sebaliknya barangsiapa yang tidak beriman maka baginya rasa takut dan gelisah.47

Penjelasan di atas memberikan gambaran mengenai pengakuan al-Sya„rāwī terhadap agama-agama lain di luar Islam, yang menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang benar saat ini. Meskipun adanya ajaran agama lain sebelum Islam datang yang dibawa oleh rasul-rasul terdahulu tetapi al-Sya„rāwī menganggap ajaran-ajaran tersebut semuanya telah selesai dan semuanya dianjurkan untuk beriman serta mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad Ṣallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa al-Sya„rāwī mengakui akan adanya ajaran agama-agama lain yang berkembang di luar ajaran Islam, tetapi mengenai kebenaran terhadap ajaran agama tersebut, menurut penulis al-Sya„rāwī hanya mengakui Islam adalah satu-satunya agama yang benar saat ini hingga hari akhir.

b. Menurut Muḥammad Sayyid Tanṭāwī

47

Tanṭāwī berpendapat bahwa kaum yang belum sampai kepadanya dakwah Islam, dan mereka masih berpegang pada ajaran yang benar yang pada dasarnya mengajarkan tentang iman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebaikan sesuai dengan petunjuk ajaran agamanya maka yang demikian itu ia akan mendapatkan balasan dari Tuhannya. Sedangkan bagi kaum yang telah sampai kepada mereka dakwah Islam, namun mereka tidak menerima ataupun mengabaikannya, maka mereka tidak akan selamat dari ażab Allah, karena mereka beriman kepada selain Allah disamping itu syari‟at Islam telah

menghapus ajaran-ajaran sebelumnya.48

Tanṭāwī juga mengakui bahwa agama Islam adalah agama yang ḥaq (benar), adapun agama-agama lain di luar Islam merupakan kesesatan dan kekufuran, karena sudah nampak jelas sebab-sebab yang menyeru agar memeluk agama Islām. Tetapi bagi mereka yang tetap mengingkarinya maka akan

mendapatkan ganjaran dan akibat dari apa yang mereka ingkari.49 Berdasarkan

apa yang dijelaskan di atas, penulis melihat bahwa mengenai pengakuan terhadap agama-agama lain di luar Islam, kedua Ulama tersebut baik al-Sya„rāwī dan Tanṭāwī memiliki kesamaan pendapat dan pengakuan dengan menyatakan bahwa agama yang benar saat ini hanyalah agama Islam dengan argumen bahwa Islam telah menghapus sekaligus menyempurnakan ajaran-ajaran agama terdahulu.

Namun dari kedua penjelasan ulama tersebut, penulis menemukan perbedaan mengenai pendapat kedua ulama mengenai sikap terhadap orang yang belum memeluk Islām. Mengenai seseorang yang belum memeluk Islam menurut al-Sya‟rawī, semua orang yang ada dimuka bumi dituntut agar memeluk agama Islam dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad

Ṣallallahu alaihi wa salam. Tanpa terkecuali, meskipun masih terdapat

48

Sayyid Tanṭāwī, Tafsīr al-Wasīṭ, 202.

49

orang yang masih mengikuti ajaran-ajaran nabi-nabi terdahulu, mereka diharuskan untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad

Ṣallallahu alaihi wa salam. Yaitu agama Islam, karena Islam telah menghapus ajaran-ajaran terdahulu dan Allah ingin mengumpulkan ajaran-ajaran tersebut menjadi satu yaitu pada ajaran Islam.

Sedangkan Tanṭāwī berpendapat berbeda mengenai orang yang belum masuk Islam. Menurutnya orang yang belum sampai kepadanya dakwah tentang Islam dan mereka masih memegang ajaran yang dibawa oleh nabi terdahulu yang mengajarkan tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebaikan sesuai dengan petunjuk ajaran agamanya maka mereka tetap berada dalam lindungan Tuhannya. Namun sebaliknya bagi mereka yang telah sampai kepada mereka dakwah Islam tetapi ia berpaling dan tidak menerimanya. Maka tidak akan selamat dari azab Allah serta mereka akan mendapatkan akibat dari apa yang mereka ingkari.

3. Menghormati Keyakinan orang lain a. Menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī

Menghormati keyakinan orang lain yang tidak seiman dengan kita merupakan hal sangat penting dalam hidup bermasyarakat di zaman modern saat ini. Berdasarkan penafsiran al-Sya„rāwī dalam Qs. al- Baqarah/ 2: 256 yang berbicara bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”, dapat dilihat bahwa berdasarkan ayat tersebut selain memberikan aspek kebebasan beragama, memberikan aspek untuk menghormati keyakinan orang lain di luar Islam.

لا (

هاركإ

فِ

نيدلا

(

نىعمو

ةيلآا هذى

فإ

، نيد ىلع مهقلاخ وىو وقلخ هركُي ل وّللا

فاكو

نم

نكملدا

فأ

داملجا و تابنلا و فاويلحا و ضرلأا و تاومسلا رهق امك ،راتخلدا فاسنلإا رهقي وّللا

عيطتسي دحأ لاو ،

فأ

هرمأ ىصعي

Menurut al-Sya‟rawī, “Allah tidak memaksa makhluk-Nya (manusia) meskipun Ia yang menciptakan mereka untuk beragama, padahal bisa saja Allah memaksa seseorang tertentu sebagaimana hal itu terjadi pada

makhluk-Nya yang lain seperti langit, bumi, hewan, tumbuhan dan

benda-benda mati yang tidak ada satupun yang mampu melawan perintah-Nya.”50

Pendapat tersebut memberikan arti bahwa mengenai keimanan kepada-Nya, Allah memberikan keistimewaan ataupun sebuah kehormatan kepada manusia dibandingkan makhluk-Nya yang lain, yakni kebebasan dalam memilih apakah ia ingin beriman ataukah mengingkari-Nya?. Meskipun Ia mampu menjadikan seluruh manusia untuk beriman kepada-Nya. disamping itu pendapat tersebut memberikan gambaran kepada kita umat muslim untuk tidak memaksa orang lain agar mengikuti apa yang kita yakini dengan arti menghormati pilihan orang lain terhadap suatu keyakinan yang mereka yakini.

Karena agama merupakan hubungan antara seorang makhluk dengan sang Khalik, selain itu Allah sebagai sang pencipta memerintahkan kepada kita makhluk-Nya untuk tidak memaksa orang lain memasuki suatu agama (agama Islam). Maka sudah seharusnya kita sebagai makhluk-Nya dan sekaligus menjadi umat Islam mengikuti apa yang diperintahkan kepada kita yaitu tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam sekaligus menghormati keyakinan orang lain yang berbeda keyakinan. Dengan cara membiarkan orang lain pada keyakinannya namun bukan berarti membenarkan keyakinan tersebut. karena sungguh telah jelas antara jalan yang benar dan yang salah.

b. Menurut Muḥammad Sayyid Tanṭāwī Telah disebutkan dalam tafsirnya bahwa:

لىولأا ةلملجاف

يىو

ولوق

لىاعت

فِ ؿوخدلا ىلع رابجلإا ىفنت : ) نيدلا فِ هاركإ لا ( :

،وئارو نم ةدئاف لا رابجلإا اذى فلأ ،نيدلا

ذإ

نيدتلا

فاعذإ

لىا حراولجا و سفنلاب هاتجا و ،بىلق

ركأ اذإف ،ةراتمخ ةرح ةدارإب يَّلداعلا بر وّللا

و هاركلإاف .ونم اًروفن و ول اىرك دادزإ فاسنلإا ويلع ه

.رخلآل ةرثم اهم دحا فوكي فا نكيِ لاو ،فاعمتيج لا فاضيقن نيدتلا

“Adapun kalimat yang pertama pada firman Allah yaitu: lā ikrāha fī

al-Dīn : menafikan (meniadakan) paksaan untuk masuk Islam, karena

50

paksaan tidak ada manfaatnya dari sisi mana pun. Jika beragama harus diiringi dengan kemantapan hati, penyerahan jiwa dan raga serta mengarahkan diri kepada Allah (Tuhan penguasa semesta alam) dengan kehendak dan pilihan yang bebas. Sedangkan memaksakan orang lain dapat menambah kebencian (orang yang dipaksa) dan membuatnya berpaling darinya (kebenaran). Oleh sebab itu paksaan dan keberagamaan merupakan dua hal berbeda yang tidak bisa dipersatukan, dan tidak mungkin salah satu dari keduanya dapat memberikan manfaat bagi yang lain”.51

Berdasarkan pendapat tersebut penulis menganalisa bahwa maksud dari penjelasan di atas selain menjadi informasi larangan paksaan dalam beragama, juga menjadi perintah untuk menghormati keyakinan agama lain. Dengan menyatakan bahwa paksaan hanya akan membuat orang lain (yang berbeda keyakinan) menjadi benci dan berpaling dari kebenaran. Hal tersebut justru akan menimbulkan perpecahan antar umat beragama bahkan konflik atas nama agama. Maka dari itu, demi mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai, saling menghormati sesama umat beragama menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat di era modern saat ini. disisi lain adanya sikap saling menghormati dapat memberikan dampak positif bagi sesama umat beragama. Yaitu menjadikan orang yang berbeda keyakinan dengan kita respek terhadap kita sehingga orang tersebut dapat melihat adanya sebuah kebenaran yang tercermin pada diri kita. Dengan demikian hidup akan menjadi damai dan tentram sekalipun berada di tengah-tengah perbedaan.

Mengenai sikap menghormati terhadap keyakinan orang lain yang berada di luar Islam, kedua mufasir sepakat untuk menghormati keyakinan orang lain yang berbeda keyakinan, namun bukan berarti mengikuti ataupun mengakui kebenaran terhadap apa yang mereka (di luar Islam) yakini. Karena kedua mufasir sepakat bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dalam urusan keberagamaan mereka dan disamping itu Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dipandang

51

sebagai ayat perintah larangan yang harus diterapkan dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan masyarakat majemuk agar terciptanya kehidupan yang rukun dan damai meskipun berada ditengah-tengah perbedaan.

D. Korelasi Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dengan Konteks Masyarakat Modern Penting dikemukakan bahwa dalam perkembangan zaman dan dinamika masyarakat tidak sedikit orang yang memeluk Islam bukan karena pilihan sadar yang bersangkutan dan bukan juga karena paksaan dari luar, melainkan karena bentukan lingkungan dimana ia tinggal dan dibesarkan. Dalam masyarakat tradisional, kepenganutan seseorang atas suatu agama atau keyakinan biasanya dipengaruhi oleh agama yang dianut orang tua yang bersangkutan. Sehingga agama tersebut akan terserap dan ternetralisir oleh sang anak tanpa proses pemaksaan. Disini seorang anak mula-mula menerima suatu agama secara taken

for granted melalui proses alamiah kultural bukan proses

akademik-intelektual.52

Pada era modern saat ini fenomena untuk melakukan perpindahan agama masih sering terjadi baik dari non muslim menjadi muslim ataupun sebaliknya. Fenomena tersebut seringkali menimbulkan pertanyaan bagi umat Islam saat ini, pertanyaan yang muncul mengenai kebebasan beragama dalam al-Qur‟an ialah, jika Qur‟an membebaskan seseorang untuk masuk Islam, maka apakah

al-Qur‟an membebaskan orang Islam untuk keluar dari agama Islam?.53

Berpindahnya seorang muslim kepada agama di luar Islam biasa disebut dengan istilah murtad. Jika melihat pendapat kedua mufasir di atas, baik al-Sya„rāwī ataupun Tanṭāwī keduanya nampak sependapat mengenai kebebasan seseorang untuk masuk Islam, namun bukan untuk keluar dari Islam. Karena terkait perihal orang yang keluar dari Islam (murtad) para ulama tidak merujuk pada Qs.

52

Abd. Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif Tentang Tafsir Ayat La Ikrāh fi al-Din, 231.

53

Abd. Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif Tentang Tafsir Ayat La Ikrāh fi al-Din, 232.

Baqarah/ 2: 256, melainkan merujuk pada hadiṡ yang berbunyi, “man badal

dīnah faqtuluhu” (“barangsiapa yang pindah agama, maka bunuhlah”).

Terkait dengan murtad, tidak ada ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa ada sanksi hukum duniawi terhadap pelaku murtad. Menurut M. Hasim Kamali, bahwa al-Qur‟an tidak menyebutkan kematian adalah hukuman bagi orang murtad (keluar dari Islam). Ia juga menyebutkan bahwa hadits tersebut yang menunjukan hukum bunuh bagi orang murtad terdapat beberapa kelemahan dalam sanadnya, yang menjadikan hadis tersebut tergolong pada kategori hadis

ahad.54 al-Sā„idī menjelaskan bahwa, orang murtad yang boleh dibunuh adalah

yang memerangi umat Islam. Pada saat itu, orang murtad dianggap memerangi umat Islam, karena umat Islam pada masa Nabi berada dalam keadaan perang. Dan orang-orang murtad itu tidak tinggal di rumah, tetapi ikut bergabung dengan musuh-musuh Islam, dan ikut menyerang. Sehingga perintah untuk membunuh orang murtad dikarenakan persekutuan mereka pada musuh-musuh

Islam.55

Dengan demikian nampak jelas terlihat bahwa Islam adalah agama yang mendukung kebebasan manusia dalam beragama. Maka dari itu kebebasan beragama dan respek terhadap kepercayaan orang lain bukan hanya penting bagi masyarakat majemuk, tetapi bagi orang Islam, karena hal tersebut merupakan ajaran Qur'an. Membela kebebasan beragama tersebut diantaranya, dalam al-Qur'an disimpulkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan,

seperti biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid.56

54

M. Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Freedom of Expression in

Islam), terj. Eva Y. Nukman dan Fathiyah Basri (Bandung: Mizan, 1996), 127-127.

55

„Abdul-Muta„āl Sā„idī, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Hurriyat Fikr fi

al-Islam), terj. Ibnu Burdah (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999), 101.

56

75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam skripsi ini, penulis menyimpulkan dari hasil penelitian dengan tema “Kebebasan Beragama Analisis terhadap Kajian Tafsīr al-Sya„rāwī Khawātiri

Ḥaula al-Qur‟ān al-Karīm dan Tafsīr Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm”. Dalam

penafsiran terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256 terdapat persamaan dan perbedaan diantara kedua mufasir.

Adapun persamaan diantara keduanya. Pertama, kedua ulama tersebut sama-sama sepakat dan mendukung kebebasan dalam beragama seperti memberikan kebebasan bagi orang lain untuk masuk Islam, mengakui agama-agama di luar Islam dan menghormati keyakinan orang lain yang berbeda keyakinan. Kedua, mengakui bahwa agama yang paling benar saat ini hanyalah Islam sedangkan agama di luar Islam saat ini merupakan kekeliruan.

Sedangkan perbedaannya ialah pertama, mengenai pandangan terhadap orang non-muslim. Menurut al-Sya„rāwī saat ini semua manusia dituntut untuk beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan Tanṭāwī berpandangan bahwa bagi orang yang belum menerima dakwah Islam ia masih berada dalam lindungan Allah, sedangkan bagi orang yang sudah menerima dakwah Islam tetapi ia menolak dan mengingkari hal tersebut maka ia dianggap sebagai orang yang kafir dan akan menerima ganjarannya kelak. Karena keduanya memiliki pendapat yang sama yakni ajaran-ajaran terdahulu telah dihapus oleh ajaran Islam yang dibawa oleh nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad

Ṣallallahualaihiwasallām.

B. Saran

Studi tafsir tidak akan pernah berhenti karena al-Qur‟an sendiri tidak akan pernah habis untuk dikaji. Pengkajian atas al-Qur‟an salah satunya adalah

penafsiran. Para ulama juga berusaha untuk mencari metodologi baru dalam menafsirkan al-Qur‟an sehingga dinamika penafsiran senantiasa berubah. Studi tafsir komparasi bukanlah kajian baru dalam dunia penafsiran. Meskipun demikian, penelitian yang telah penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademik.

Penelitian yang dilakukan penulis bukanlah penelitian yang sudah final, sehingga masih memberikan ruang untuk penelitian lebih lanjut dengan kajian yang berbeda. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk mengkaji lebih lanjut toleransi beragama dalam al-Qur‟an dengan menggunakan kajian yang berbeda, seperti dengan kajian tafsir tematik, atau masih dengan kajian tafsir komparasi tetapi dengan penafsir yang berbeda, atau juga dengan kajian dan tafsir yang sama dengan penulis, peneliti dapat mencari permasalahan yang memerlukan penelitian lebih lanjut.

77

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Maskuri. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam

Keagamaan. Jakarta: Buku Kompas, 2001.

Achmad. “Mutawallī al- Sya„rāwī dan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al- Mā‟idah Ayat 27-34.” al-Daulah. vol. 1, no. 2 (Juni 2013).

al-„Ainan, Sā„id Abū. al- Sya„rāwī Anā Min Sulālat Ahl al- Bait. Kairo: Akhbar al- Yaum, 1995.

---. Al-Sya‟rawi Allażī Lā Na„rifu. Kairo: Akhbar al-Yaum, 1995.

Aḥmad, al-Ḥusain Abū. Mu„jam al-Maqāyyis al-Lugah, jilid 5, cet. I. Beirut: Dār al-Fikr, 1979.

Anwar, Rosihon. „Ulumul Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia, 2006. Arafat, Muhammad Husni. “Kemerdekaan Beragama Dalam Pandangan Al-Qur‟an: Sebuah Studi Kritis Atas Qs. al-Baqarah/ 2: 256”. Istidlal, vol. 3, no.1 (Januari-Juni 2016).

Arab, Bahasa Departemen. Al-Mu„jam al-Wasīṭ, cet. IV. Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyah, 2004.

Armayanto, Harda. “Etika Al-Qur‟an Terhadap Non-Muslim”.

Tsaqafah, vol. 9, no.2, (November 2013).

Azra, Azyumardi. Sejarah dan „Ulum al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Badr, Asyraf. Asrār Sya„rāwī. Kairo: Dār Ulum al-„Arabiyyah, 1988.

Baidhawi, Zakiyudin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005.

Basyar, M. Hamdan. “Bagaimana Militer Menguasai Mesir.”

Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Dinata, Muhammad Ridho. “Konsep Toleransi Beragama”.

Esensia, vol. 13, no. 2 (Januari 2012).

al- Farmawī, Abdu al- Hayy. al- Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‟i, terj. Rosihon Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Fathoni, Abdurrahman. Metodologi Penelitian dan Teknik

Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.

Fithrotin. “Metodologi Tafsīr al-Wasīṭ Sebuah Karya Besar Grand Syeikh Muḥammad Sayyid Tanṭāwī”. al-Furqan, vol. 1, no.1, (Juni 2018).

Ghazali, Abd. Moqsith. Argumentasi Pluralisme Agama:

Membangun Toleransi Berbasis al-Qur‟an. Depok:

KataKita, 2009.

---. “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāha Fī al-Dīn”. Islamica, vol. 8, no.1, (September 2013).

Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar, juz 28. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

Harahap, Syahrim. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011. Harmouzi, Nouh El dan Linda Whetstone. Islam dan Kebebasan:

Argumen Islam Untuk Masyarakat Bebas. Suara

Kebebasan, 2016.

Hidayat, Nasrul. “Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya„rāwī .” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016.

Ichwan, M. Nor. Studi Ilmu-Ilmu al- Qur'an. Semarang: RaSAIL Media Group, 2008.

Is, Muhammad Fadlan. “Analisis Istinbat al-Aḥkam Fatwa Sayyid Tanṭāwī yang Kontroversial.” Tesis S2., Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2013.

Iyāzī, Muḥammad „Ali. al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa

Manhājuhum. Teheran: Muassasah al-Ṭaba„ah wa al-Nasir,

1372 H.

Jamaluddin, Adon Nasrullah. Agama dan Konflik Sosial: Studi

Kerukunan Umat Beragama, Radikalisme dan Konflik Antar Umat Beragama. Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Jauḥar, Aḥmad Mursī Ḥusain. Al-Syaikh Muḥammad

al-Mutawallī al-Sya„rāwî (Imâm al-„Ashr). Kairo: Nahdlah,

1990.

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun

Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta:

Paramadina, 1995.

al-Marāgī, Aḥmad Muṣṭafa. Terjemah Tafsīr al-Marāgī, juz 30. Semarang: Toha Putra Semarang, 1986.

---. Tafsīr al-Marāgī, terj. Hery Noer Aly. Semarang: Toha Putra, 1988.

Manżūr, Ibn. Lisān al-„Arāb, cet. I. Kairo: Daar al-Ma‟ārif, 1119.

Malkan. “Tafsīr Al-Sya„rāwī: Tinjauan Biografi dan

Metodologis.” Al-Qalam. vol. 29, no. 2 (Mei- Agustus 2012).

Misrawi, Zuhairi. Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme,

Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah, 2007.

---. Kepiawaian Berdialog Para Nabi dan Figur-Figur

Terpilih. Jakarta: Azan, 2001.

Mohammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad

Mujetaba. “Toleransi Beragama dalam Perspektif al-Qur‟an.”

Toleransi, vol. 7, no. 1 (April 2015).

Nasrudin, Abdul Bari. “Pemahaman Intelektual Muslim

Indonesia Atas Ayat-Ayat Hubungan antar Umat

Beragama.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Nazir, Moh. Metode Penelitian, jilid 1, cet. VII. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Pasha, Hikmatiar. “Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī”. Studia

Quranika, vol. 1, no.2 (Januari 2017).

Quṭb, Sayyid. Tafsīr Fī Ẓilāl Qur‟an (Di Bawah Naungan al-Qur‟an), jilid 12. Jakarta: Gema Insani Press, 2001

al-Qardawi, Dr. Yusuf. Kita dan Barat: Menjawab Berbagai

Pertanyaan yang Menyudutkan Islam, terj. Arif Munandar

Riswanto, Yadi saeful Hidayat. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

Rāzī, Fakhr Dīn. Mafātiḥ Gaib, jilid 4. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Budaya Lokal: Belajar

Memahami Realistas Agama dalam Masyarakat.

Yogyakarta: Teras, 2009.

RI, Departemen Agama. Tafsir al-Qur‟an Tematik: Hubungan antar Umat Beragama, jilid 1. Jakarta: Departemen Agama, 2008.

---. al-Qur‟an dan Tafsirnya, jilid 10. Jakarta: Departemen Agama RI, 2010.

Sadat, Anwar. Jalan Panjang Menuju Revolusi: Sebuah Catatan

di Lembah Sungai Nil. Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.

Salim, Abdul Mun‟in. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Shihab, M. Quraish Shihab. Membumikan al-Quran Fungsi dan

Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:

Mizan, 2002.

---. Ayat-ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di tengah

Purbasangka. Jakarta: Lentera Hati, 2008.

Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan

Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan,

2006.

al-Syuyūṭī, al-Imām Jalāl al-Dīn Abd al-Raḥmān bin Abū Bakr.

Jāmi„al-agīr, Jilid 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

---. Asbāb al-Nuzūl: Sebab Turunnya Ayat al-Qur‟an, terj.

Dokumen terkait