• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

A. Latar Belakang Masalah

Kebebasan Beragama adalah istilah yang sangat akrab di telinga masyarakat apalagi di Indonesia. Kata ini bahkan sudah dianggap inheren dalam jiwa bangsa Indonesia karena jauh sebelum berdirinya negara ini. Kata ini sudah menjadi kearifan dan cara hidup masyarakat di Nusantara. Sebagaimana kita ketahui, Nusantara adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan ras. Kemajemukan ini telah lama hadir sebagai realitas empirik yang tak terbantahkan. Indonesia kemudian dikenal sebagai bangsa dengan sebutan “mega

cultural diversity”, dikarenakan Indonesia terdapat tidak kurang dari 250

kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang berbeda.1

Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal dengan keanekaragaman masyarakatnya. Selain itu, Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yang didalamnya terdapat bermacam-macam agama, budaya, dan etnis. Meskipun demikian dalam kemajemukan tersebut seringkali terjadi konflik dari beberapa pihak yang belum bisa menerima akan adanya perbedaan tersebut khususnya

dalam hal berkeyakinan.2

Berkaitan dengan beberapa perbedaan di masyarakat, seringkali agama menjadi peran utama yang memicu adanya konflik sosial di masyarakat. Sehingga pandangan orang terhadap nilai moral agama tidak terlihat harmonis lagi di setiap antar agama, agama yang dianggap pedoman yang suci bagi penganutnya kemudian berkembang menjadi kesan yang menimbulkan isu-isu yang bersifat

1

Yenny Zannuba Wahid, Mengelola Toleransi dan Kebebasan Beragama (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), 12.

2

Muhammad Ridho Dinata, “Konsep Toleransi Beragama”. Esensia, vol.13, no.2 (Januari, 2012): 86.

emosional.3 Tragedi atas nama agama yang terus berlangsung di berbagai negara membuat agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, melainkan telah menjadi bencana.

Bagi umat Islam al-Qur‟an adalah petunjuk dari Allah untuk hamba-Nya, jika dipelajari akan membantu manusia untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan dapat dijadikan pedoman serta sandaran untuk menyelesaikan berbagai konflik. Dalam kehidupan, apabila al-Qur‟an dihayati, diamalkan dan dijadikan pedoman akan menjadikan pikiran, rasa dan karsa yang mengarahkan kita pada realitas keimanan. Tentunya yang dibutuhkan bagi stabilitas hidup pribadi dan masyarakat. Munculnya perbedaan dalam masalah agama tidak menjadi

penghambat dalam menciptakan hubungan baik kepada sesama umat beragama.4

Menjadi pemeluk suatu agama merupakan pilihan, karena setiap manusia berhak dan bebas menentukan kehendaknya untuk memilih agama yang benar menurut keyakinannya. Maka hak asasi dalam beragama itu harus dihormati dan dijunjung tinggi sehingga setiap orang dilarang memaksakan agama dan keyakinannya kepada orang lain, khususnya orang yang telah beragama.

Kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Tuhan,

karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya.5 Tentu

tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri. Adapun tidak dibolehkannya memaksa suatu agama karena manusia mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan serta memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah.

3

Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam Al-Quran”. Ushuluddin, vol.21, no.2 (Juli, 2014): 170.

4

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qu‟ran Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), 95.

5

Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Hubungan antar Umat Beragama, jilid 1 (Jakarta: Departemen Agama, 2008), 30.

Al-Qur‟an dapat menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan manusia apabila kandungan isi dari al-Qur‟an telah dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Untuk memudahkan memahami kandungan al-Qur‟an, dibutuhkan usaha lanjut yaitu dengan penafsiran terhadap al-Qur‟an. Tafsir adalah kunci utama untuk menyingkapi apa yang terdapat dalam konsep Tuhan, yang terdapat dalam kalam-kalam-Nya. Tanpa kunci tersebut jangan berharap dapat meraih simpanan mutiara, permata yang ada di dalam al-Qur‟an.

Menurut Sayyid Tanṭāwī, Tafsir al-Qur‟an adalah sebuah kunci untuk membuka dan memahami hidayah- hidayah, hikmah- hikmah, dan hukum- hukum yang ada di dalam al-Qur‟an. Dengan tanpa Tafsir yang ilmiah, mustahil

tujuan-tujuan tersebut bisa dicapai.6 Ayat al-Qur‟an yang disinyalir berbicara mengenai

kebebasan bagi manusia dalam memeluk suatu agama terdapat dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 256

ِنيِّدلٱ ِفِ َهاَركِإ َلا

َ

ِّيَغلٱ َنِم ُدشُّرلٱ ََّيََّػبَّػت دَق

َ

رُفكَي نَمَف

ؤُيَو ِتوُغََّّٰطلٱِب

نِم

َ

َػف ِوَّللٱِب

َكَسمَتسٱ ِدَق

اََلذ َـاَصِفنٱ َلا َّٰىَقثُولٱ ِةَورُعلٱِب

َ

ٌميِلَع ٌعيَِسَ ُوَّللٱَو

“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 256)

Para Mufasir baik pada masa klasik maupun kontemporer, dalam menafsirkan ayat ini seringkali mengalami perbedaan diantaranya. Meskipun pada kesimpulannya hampir rata-rata sepakat bahwa tidak bolehnya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama. Tetapi yang menjadi menarik dari pembahasan ini

6

Muhammad Sayyid Tanṭāwī, Tafsīr Wasīṭ li Qur‟ān Karīm, jilid 1 (Kairo: Dar al-Sa‟adah, 2008), 8.

adalah perbedaan argumentasi dalam menafsirkan ayat tersebut. Salah satu perbedaan penafsiran yang terjadi di masa kontemporer yang akan menjadi tema pada penelitian ini adalah penafsiran Muḥammad Mutawallī al- Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256.

Menurut Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī lafadz (Ikrāh) dalam ayat ini adalah mendorong orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kebaikan menurut akal sehat. Maksud ayat ini adalah bahwa Allah SWT, tidak memaksa makhluknya (meskipun ia pencipta nya) pada agama-Nya. Sangat mungkin bagi-Nya memaksa manusia sebagaimana hal itu terjadi pada penciptaan-Nya yang lain seperti langit, bumi, tumbuhan, dan benda mati. Selain itu menurut al-Sya„rāwī ayat ini berkaitan hanya dengan persoalan aqidah dan tidak

menyangkut persoalan hukum yang konsekuensinya untuk menjalankan syari‟at.7

Dalam menafsirkan ayat ini al-Sya„rāwī menggunakan naluri berfikirnya mengenai kekuasaan Tuhan sebagai pencipta terhadap makhluk yang diciptakannya tanpa melepaskan kaitannya dengan ayat lainnya seperti dalam Qs. an-Naml/ 27: 125 yang mengajarkan tentang dakwah dengan cara berdialog.

Senada dengan al- Sya„rāwī, Muḥammad Sayyid Tanṭāwī di dalam Tafsirnya mendukung pendapat yang mengatakan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam beragama (Islam). Menurut Tanṭāwī, ayat ini dikarenakan ayat sebelumnya (ayat kursi) telah memuat dan menjelaskan tentang keesaan dan keagungan Allah SWT, sehingga orang-orang yang memiliki hati dan akal yang sehat, setelah memperhatikan dan mendalami ayat ini, pasti akan beriman kepada Allah SWT dan menjalankan syari‟at Islam tanpa paksaan.

Tanṭāwī menegaskan bahwa pemaksaan dalam memeluk agama tidak akan mendatangkan faedah. Menurutnya, keterpaksaan dan sifat keberagamaan adalah

7

Muhammad Mutawallī al-Sya‟rawī, Tafsīr al-Sya„rāwī Khawāṭir Ḥaula al-Qur‟an (Jakarta: PT. Khazanah Nusantara Agung, 2011), 459.

dua hal yang berbeda, apabila keduanya digabungkan, keduanya tidak akan

bermanfaat bagi yang lain, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan.8 Dalam

menafsirkan ayat tersebut Tanṭāwī menafsirkannya dengan bersumber pada tafsīr

bil ma‟tsur, tanpa melepaskan ayat yang berkaitan. Berbeda dengan al-Sya„rāwī

yang menafsirkan ayat tersebut dengan ra‟yu yakni melakukan ijtihād untuk mengungkap makna kata dalam ayat tersebut berdasarkan keahliannya dalam bidang kebahasaan lalu mengaitkan ayat yang memiliki korelasi pada tema yang dibahas.

Jawdāt Saīd memberikan pendapat mengenai ayat tersebut yang terdiri dari tiga poin. Pertama, memberikan jaminan kebebasan kepada orang lain agar tidak mendapatkan paksaan dari seseorang termasuk dalam hal beragama, orang tua saja dilarang memaksa anaknya untuk mengikuti agama yang dianutnya, apalagi orang lain. Kedua, ayat tersebut bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalām inṣā‟ī) dan juga bisa menjadi kalimat informatif (kalām ikhbārī). Sebagai perintah yakni menyuruh seseorang agar tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain. Sedangkan sebagai kalimat informatif yakni memberitahu bahwa seseorang yang dipaksa untuk masuk ke dalam suatu agama sedangkan hatinya menolak, maka tidak bisa dikatakan orang itu telah memeluk agama tersebut. Karena perihal agama merupakan kemantapan hati bukan hanya dalam ungkapan lisan.

Ketiga, ayat tersebut turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama dan juga melarang hukum bunuh bagi orang yang berpindah agama (murtad). Sependapat dengan Jawdāt Saīd, Abd. Moqsith Ghazali mengemukakan pandangannya mengenai hukum bunuh terhadap orang murtad. Menurutnya ayat ini adalah teks yang akurat untuk mengharamkan hukum bunuh bagi orang murtad. Pendapat yang menyatakan bahwa orang murtad harus dibunuh memang cukup

8

M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, Sekelumit Keadaban Islam di tengah Purbasangka, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 67.

populer. Tapi, tidak berarti pendapat yang populer itu benar. Popularitas tidak bisa

dijadikan sebagai rujukan hukum.9

Tentang ayat di atas para ulama terbagi ke dalam enam pendapat, diantaranya: kelompok pertama memandang ayat lā Ikrāha fī al-Dīn telah dimansūkh (dihapus) oleh Qs.al-Taubah/ 9: 73.

مِهيَلَع ظُلغٱَو َيَِّقِفََّٰنُلدٱَو َراَّفُكلٱ ِدِهََّٰج ُِّبَِّنلٱ اَهُّػيَأَي

َ

ُمَّنَهَج مُهَّٰػىَوأَمَو

َ

ُيرِصَلدٱ َسئِبَو

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”. (Qs. al-Taubah/ 9: 73)

Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat tersebut tidak dimansukh oleh surah al-Taubah. Ayat ini secara khusus hanya diturunkan kepada Ahlu al-Kitāb.

Ahlu al-Kitāb tidak membenci Islam dengan bukti mereka masih membayar jizyah.

Sedangkan, Qs. al-Taubah/ 9: 73 itu ditujukan kepada para penyembah berhala karena mereka membenci Islam.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa setiap orang boleh memilih sesuai dengan kehendaknya untuk menolak atau menerima Islam sebagai agamanya. Pendapat keempat menyatakan bahwa Allah telah melarang untuk menghukumi seseorang yang telah menjadi muslim sedangkan ia dibawah ancaman pedang secara paksa dan penuh kebencian.

Adapun pandangan yang terakhir menyatakan dua hal, yakni bahwa terhadap

Ahlu al-Kitāb, kaum muslimin dilarang memaksa agar mereka memilih Islam

sebagai agamanya jika mereka sudah dewasa. Sedangkan terhadap kaum Majusi

9

Abd. Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang Tafsir Ayat Lā Ikrāha Fī Al-Dīn ”. Islamica, vol.8, no.1, (September 2013): 233.

baik masih kecil maupun sudah dewasa dan para penyembah berhala, kaum muslim boleh memaksa mereka agar masuk Islam.

Secara keseluruhan inti dari pandangan-pandangan tersebut hanya terbagi ke dalam dua kelompok yakni mereka yang sepakat bahwa ayat lā Ikrāha fī al-Dīn telah terhapus karena tidak berlaku lagi. Dan kelompok yang sepakat bahwa ayat

tersebut tidak pernah dihapus oleh ayat lain dalam al-Qur‟an.10 Dari pemaparan

diatas penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam pemikiran kedua tokoh Mufasir kontemporer yang memiliki pengaruh bagi dunia peradaban islam yakni Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dalam karyanya Tafsīr al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī dalam karyanya Tafsīr al-Wasīṭ li al-Qur‟ān al-Karīm terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256.

Alasan penulis memilih judul karena pada dasarnya Islam memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam urusan keberagamaan seseorang baik ia ingin memilih untuk beriman ataupun tidak beriman. Disamping itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qs. al-Baqarah/ 2: 256 telah dimansukh (dihapus) oleh ayat qitāl (perang) yakni Qs. al-Taubah/ 9: 73. Pendapat tersebut memberikan pengaruh bahwa Islam tidak memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam hal keimanan seseorang, dengan kata lain seluruh umat manusia diharuskan untuk memeluk agama Islam, jika tidak mereka boleh diperangi. Maka dari itu penulis tertarik untuk memilih tema kebebasan beragama berdasarkan Qs. al-Baqarah / 2: 256.

Adapun alasan pemilihan tokoh dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada penafsiran kedua tokoh yakni, Muḥammad Mutawallī al-Sya„rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī. Jika dilihat dari riwayat pendidikan keduanya memiliki status hubungan guru dan murid karena mengenyam pendidikan di tempat yang sama

10

Zakiyudīn Baidhawi, Kredo Kebebasan Beragama (Jakarta:PSAP Muhammadiyah, 2005), 27-29.

yakni Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Keduanya sama-sama memiliki karya tafsīr tetapi dengan metodologi yang berbeda dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. al-Sya„rāwī terlihat lebih cenderung menggunakan metode tafsīr bil ra‟yī dengan keahliannya dalam bidang bahasa. Sedangkan Tanṭāwī terlihat lebih cenderung menggunakan metode tafsīr bil ma‟ṡūr dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Disamping itu dalam tafsīr al-Wasīṭ memaparkan pandangan-pandangan ulama baik yang memiliki kesamaan pendapat ataupun berbeda. Serta penjelasan yang disajikan dalam kitab tersebut cukup ringkas, sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Perbedaan metodologi tersebut membuat penulis tertarik untuk merujuk kepada kedua tokoh tersebut dalam penelitian ini. Meskipun dari segi metodologi penafsiran keduanya terlihat berbeda tetapi memberikan kesimpulan yang sama yakni, sama-sama memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam urusan keyakinan.

Keduanya merupakan tokoh mufassir kontemporer yang memiliki pemikiran yang sangat terbuka. Disamping itu penulis merasa mengenai tema toleransi menjadi salah satu strategi dakwah dalam Islam dengan demikian al-Sya„rāwī sebagai Dai perlu dijadikan rujukan dalam kajian ini karena kebebasan beragama bertujuan untuk membangun hubungan eksternal antar keyakinan. Dan merujuk pada Tanṭāwī karena ia adalah mufti mesir dan sekaligus Grand Syaikh al-Azhar yang mana pada saat itu ia menjadi kunci penentu bagi kebijakan-kebijakan al-Azhar, dimana al-Azhar menjadi pusat bagi khazanah keilmuan Islam.

A. Permasalahan

Sebagaimana latar belakang permasalahan di atas, maka untuk mempermudah dalam penulisan, penulis akan memberi identifikasi, pembatasan serta perumusan masalah yang akan dibahas.

Dari latar belakang permasalahan di atas, ada beberapa identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian, sebagai berikut:

a. Perbedaan agama seringkali menimbulkan klaim kebenaran (truth claim) dalam masyarakat.

b. Perbedaan pandangan dikalangan ulama dalam menafsirkan Qs. al-Baqarah/ 2: 256.

c. Ayat tersebut dijadikan legitimasi seseorang untuk berpindah agama. 2. Batasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, dikarenakan banyaknya kitab tafsir kontemporer. Maka, penulis membatasi masalah hanya pada dua kitab tafsir yakni Tafsīr Sya„rāwī karya Muḥammad Mutawallī Sya„rawī dan Tafsīr

Wasīṭ li Qur‟ān Karīm karya Muḥammad Sayyid Tanṭāwī mengenai Qs.

al-Baqarah/ 2: 256.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana penafsiran Muḥammad Mutawallī Sya‘rāwī dan Muḥammad Sayyid Tanṭāwī terhadap Qs. al-Baqarah/ 2: 256 dan Relevansinya dalam konteks modern ?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dokumen terkait