• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI DI TINGKAT PETERNAK: Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI DI TINGKAT PETERNAK: Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU

DALAM NEGERI DI TINGKAT PETERNAK

:

Kasus Koperasi

Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat

Impact of World’s Dairy Price on Farmer’s Level Domestic Milk

Price: The Case of Cattle Farm Cooperative in Bandung Utara,

West Java

Atien Priyanti dan Ratna A. Saptati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Bogor

ABSTRACT

The increasing price of dairy lately has caused the increasing trend of dairy price at farmer’s level. A study has conducted to understand the development of world dairy price, in this case 1.25 percentof skim milk powder on dairy price at farmer’s level. Information on world price of dairy is obtained from Understanding Dairy Markets and that of at farmer’s level is obtained from Cattle Farmers’ Cooperative in Bandung Utara during the same period. The world dairy price is increasing sharply to 74 percent during the period of 2006-2007. This price level was responded domestically by the increasing price of dairy at farmer’s level by 22 percent. Using calculation on full cream milk powder that equal to 8 kg of fresh milk, the average price of fresh milk at farmer’s level is only 62 percent compared to the world price. This means that local price is competitive compared with international price, making the local farmers choose local markets and fulfill local industry demand. On the other hand, the supply price elasticity of fresh milk and concentrate price at farmer’s level is, respectively high with high response of milk production on the two variables. The price of fresh milk and price of concentrate are very much influencing milk production at farmer’s level. Since the concentrate price is also increase, the substitution component of feed raw materials to form concentrate is required. The farmers should not cover the compensation for the price increase this concentrate. The study suggests that within the increasing trend of dairy milk, the farmers should find out alternatives to substitute the normal concentrate with locally avaialble raw materials to form concentrate. Moreover, the farmers are encouraged to produce freh milk-based products which could directly consumed by the community.

Key words: milk price, concentrate price, price elasticity

ABSTRAK

Kenaikan harga susu di pasar internasional akhir-akhir ini juga telah mengakibatkan naiknya harga susu di tingkat peternak. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan harga susu dunia, dalam hal ini 1,25 persen skim milk powder, terhadap harga susu di tingkat peternak. Informasi harga susu dunia diperoleh dari

Understanding Dairy Markets, sedangkan harga susu di tingkat peternak diperoleh dari

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara pada periode yang sama. Harga susu dunia meningkat sangat tajam pada periode 2006-2007 mencapai 74 persen. Di dalam negeri, hal tersebut direspon dengan kenaikan harga susu di tingkat peternak yang hanya mencapai 22

(2)

persen. Dihitung atas dasar harga full cream milk powder setara dengan 8 kg susu segar, maka rata-rata harga susu segar di tingkat peternak baru mencapai 62 persen dibandingkan dengan harga dunia. Hal ini menunjukkan bahwa harga susu dalam negeri sangat kompetitif dibandingkan dengan harga susu dunia, sehingga industri pengolah susu saat ini lebih memilih pasokan susu dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Di sisi lain, elastisitas harga penawaran susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak masing-masing cukup tinggi, dimana produksi susu sangat responsif terhadap kedua variabel tersebut. Harga susu segar dan harga konsentrat sangat berpengaruh terhadap produksi susu di tingkat peternak. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu ternyata juga diimbangi kenaikan harga konsentrat, sehingga perlu upaya substitusi komponen bahan pakan penyusun konsentrat. Dalam hal ini peternak diupayakan untuk tidak harus menanggung kompensasi kenaikan harga konsentrat yang cukup besar. Disarankan dengan trend harga susu yang meningkat, maka peternak harus mencari alternatif penggunaan konsentrat dengan bahan baku lokal dan dapat melakukan diversifikasi pengolahan susu segar yang dapat di konsumsi secara langsung oleh masyarakat.

Kata kunci : harga susu, harga konsentrat, elastisitas harga

PENDAHULUAN

Produksi susu dalam negeri sebagian besar masih tergantung dari peternakan sapi perah rakyat, yang berjumlah sekitar 110 ribu peternak dengan jumlah sapi perah sebanyak 377 ribu ekor (Ditjen Peternakan, 2007) dan rata-rata produksi harian 1.185 ton susu segar yang dipasarkan ke industri pengolahan susu (IPS) melalui koperasi (Sulistiyanto, 2008). Pasar produk susu di Indonesia masih cukup besar, di mana perkembangan produksi meningkat sebesar 3,4 persen per tahun pada periode 2002-2006. Namun hal ini belum mampu memenuhi seluruh permintaan konsumen di dalam negeri karena perubahan peningkatan konsumsi susu relatif lebih cepat dibandingkan produksinya. Pada periode yang sama, konsumsi susu meningkat sebesar 4,7 persen per tahun. Jawa Timur merupakan pemasok utama produk susu dan mengalami peningkatan produksi secara bertahap sejak tahun 1996, sedangkan Jawa Barat telah kembali bangkit dari keterpurukannya akibat krisis moneter tahun 1997 dan saat ini menjadi produsen susu segar terbesar di Indonesia.

Indonesia masih mengimpor susu sekitar 70 persen untuk memenuhi kebutuhan nasional. Pada periode tahun 2002-2006 terjadi peningkatan volume impor sebesar 14,8 persen per tahun dengan nilai sebesar US$ 416 ribu pada akhir tahun 2006 (Ditjen Peternakan, 2007). Angka ini belum memperhitungkan impor produk susu lainnya, seperti mentega, keju dan yogurt. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat trend impor dan ekspor susu yang meningkat, sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Delgado et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan pola konsumsi produk hewani ini bukan hanya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi juga didorong oleh arus urbanisasi, serta kesadaran gizi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan mendorong permintaan terhadap produk peternakan melonjak, meningkat

(3)

dengan laju yang semakin pesat. Kondisi ini merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock

Revolution) di negara-negara sedang berkembang. Peluang ini harus dapat

dimanfaatkan oleh usaha peternakan sapi perah di dalam negeri, sehingga ke depan ketergantungan terhadap produk impor dapat diminimalkan.

Kenaikan harga susu segar akhir-akhir ini cukup menggairahkan para peternak di sentra produksi susu karena keuntungan yang diterima juga meningkat. Setiadi (2007) menyatakan bahwa kenaikan harga susu ini sudah saatnya, setelah selama 12 tahun stagnan. Para peternak sapi perah saat ini dapat menikmati kenaikan rata-rata sebesar Rp 700/liter, dimana harga susu saat ini berkisar antara Rp 3.500 sampai Rp 3.900 per liter, sedangkan sebelumnya hanya berkisar antara Rp 2.800 sampai Rp 3.600 per liter di tingkat koperasi. Kenaikan harga susu ini cukup bervariasi tergantung dari kualitas susu yang dihasilkan. GKSI Jawa Tengah menyatakan bahwa harga susu di tingkat peternak mencapai sekitar Rp 1.700 – Rp 2.100/liter, sedangkan harga tersebut di tingkat koperasi mencapai rata-rata sekitar Rp 2.300/liter1. Relatif rendahnya harga ini disebabkan oleh total solid rendemen atau kadar air susu yang dihasilkan oleh peternak baru mencapai sekitar 10,5 persen, padahal standar yang diperlukan oleh IPS mencapai 12 persen. Lebih lanjut disampaikan bahwa produksi susu di GKSI Jawa Tengah saat ini mencapai 110 ton/hari, sedangkan kebutuhannya mencapai 180 ton. Di Jawa Barat, rata-rata produksi per hari hanya sekitar 430 ton dan hanya memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional. Secara nasional, permintaan untuk memenuhi kebutuhan susu mencapai 2.253 ton/hari sedangkan pasokan produksi baru dapat memenuhi 1.184 ton/hari untuk 5 pabrik IPS (Sulistiyanto, 2008). Pasokan ini sebagian besar (76%) dihasilkan oleh produksi susu harian dari sapi perah yang berkisar antara 10 – 20 liter.

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah peternak belum dapat menikmati kenaikan harga susu di pasar internasional ini. Kenaikan harga susu di tingkat peternak sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi, mengingat saat ini IPS berkompetisi untuk mendapat pasokan susu segar di dalam negeri dikarenakan mahalnya bahan baku susu bubuk impor dan masih besarnya disparitas harga susu segar dalam negeri dan bahan baku susu eks-impor. Adanya kenaikan harga konsentrat yang merupakan komponen terbesar dari biaya produksi mengakibat-kan peternak belum dapat menikmati keuntungan yang optimum. Dengan kata lain harga susu dalam negeri belum proporsional dibandingkan dengan harga susu dunia. Harga susu di tingkat peternak yang lebih baik akan lebih memotivasi peternak untuk lebih mengembangkan usaha dan meningkatkan kualitas susu setidaknya mendekati ketentuan Standar Nasional Indonesia.

Kajian ini dilakukan untuk mengevaluasi seberapa besar dampak dari kenaikan harga susu internasional terhadap kenaikan harga susu di tingkat peternak. Hal ini sangat relevan dalam kaitannya dengan upaya menghasilkan produk susu di dalam negeri yang kompetitif, dan upaya mengurangi ketergan-tungan bahan baku susu dari luar negeri.

1

(4)

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Perkembangan usaha sapi perah dan produksi susu dalam negeri selama lebih dari dua dekade hampir tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan dapat dikatakan stagnan. Hal ini salah satunya dipicu oleh rendahnya harga susu yang diterima peternak selama ini dan tidak mampu merangsang peternak untuk mengembangkan usahanya. Walaupun telah terjadi kenaikan harga susu di tingkat peternak sejak pertengahan tahun 2007, namun hal ini belum dapat dinikmati oleh peternak, karena diikuti pula oleh kenaikan input produksi lainnya, salah satunya adalah kenaikan harga pakan konsentrat yang merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi.

Seharusnya kenaikan harga susu dunia mampu mendorong peternak untuk lebih meningkatkan produksinya karena saat ini harga susu di dalam negeri lebih kompetitif dibandingkan dengan susu impor. Bahkan ada IPS yang mencari susu segar langsung ke peternak melalui broker dengan harga beli yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di koperasi, agar memperoleh pasokan susu segar. Adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara susu segar di dalam negeri dan bahan baku susu impor merupakan peluang bagi peternak untuk memperoleh harga yang lebih baik. Idealnya harga susu dalam negeri adalah sekitar 80 persen dari harga susu dunia.

Data dan Pemilihan Responden

Kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh dari International Dairy Product Prices, Understanding Dairy Markets untuk harga 1,25% skim milk powder (SMP) dan 26% full cream milk powder (FCMP). Data ini merupakan informasi dua mingguan. Harga susu dalam negeri di tingkat peternak diperoleh dari Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) dalam 10 tahun terakhir (1999 – 2008). KPSBU Lembang saat ini merupakan salah satu koperasi susu yang terbaik dan dapat dijadikan contoh bagi koperasi susu lain di Indonesia. Saat ini KPSBU Lembang mampu membeli susu segar peternak dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan koperasi lain dan dengan kualitas susu yang semakin baik (total plate count, =TPC < 500 ribu).

Data dianalisis secara deskriptif untuk menghitung harga susu dunia setara dengan harga susu segar di dalam negeri. Formulasi yang digunakan mengikuti Erwidodo dan Sayaka (1998), dimana harga susu dunia dihitung atas dasar harga satu kg FCMP setara dengan delapan kg susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kg FCMP merupakan biaya susu segar dan ditambah dengan bea masuk sebesar lima persen dan biaya transpor serta bongkar muat dari pelabuhan ke lokasi IPS sebesar 2,5 persen. Nilai tukar yang digunakan adalah 1 US$ = Rp 9.200.

Kerangka Analisis

Elastisitas harga susu di dalam negeri diproksi melalui estimasi model persamaan penawaran susu. Model regresi linier sederhana dipergunakan untuk

(5)

mengidentifikasi dan menganalisis hubungan keterkaitan antara peubah produksi susu di dalam negeri terhadap faktor dan harga susu. Elastisitas harga susu diperoleh dari hasil estimasi persamaan tersebut.

Model persamaan regresi linier sederhana dalam kajian ini dapat dituliskan sebagai berikut:

PRODi = a0 + a1 HSUSU i + a2 HKONSi + ei (1)

dimana:

PROD : produksi susu (000 l) HSUSU : harga susu segar (Rp/liter) HKONS : harga konsentrat (Rp/kg)

e : error term

i = 1,2...10 : pengamatan tahun ke-i

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Harga Susu Dunia vs Dalam Negeri

Gambar 1 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 1999-2008, rata-rata harga 1,25 persen butter fat skim milk powder mengalami fluktuasi dengan trend yang meningkat. Sampai dengan bulan September 2007, harga susu ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada awal tahun 1999. Rata-rata pada tahun 1999 adalah US$ 1.330 per metric ton, dan hal ini mencapai US$ 5.225 pada minggu kedua bulan September 2007, atau rata-rata harga susu ini pada tahun 2007 mencapai US$ 4.400. Rata-rata kenaikan harga yang paling tinggi dicapai pada periode tahun 2006-2007 hingga mencapai 75 persen, sedangkan selama kurun waktu 1999 - 2006 dapat dinyatakan bahwa rata-rata kenaikan harga susu tersebut relatif stabil, serta sedikit mengalami penurunan pada periode tahun 2001-2006. Secara signifikan rata-rata kenaikan harga susu mencapai 16 persen per tahun.

Adanya kenaikan harga susu dunia pada awal tahun 2007, dimana kenaikannya pada lima bulan pertama mencapai 41 persen, telah membuat IPS beralih mencari pasokan susu segar dari dalam negeri. Harga skim milk powder (SMP) yang di awal 2006 hanya US$ 2.100 per metric ton telah bergerak naik dan mencapai harga US$ 5.450 per metric ton pada bulan Agustus 2007. Sedangkan untuk anhydrous milk fat (AMF) atau buffer fat kenaikannya lebih tinggi lagi dan hampir mencapai tiga kali lipat. Diawal tahun 2007, harga AMF hanya sekitar US$ 2.200 per metric ton, enam bulan kemudian harganya melonjak sampai US$ 6.000 per metric ton (Boediana, 2008). Kenaikan harga susu bubuk dunia tersebut dipicu oleh menyusutnya produksi internasional akibat kekeringan di sejumlah negara produsen serta adanya pengurangan subsidi dari pemerintah bagi peternak di masing-masing negara penghasil.

(6)

Gambar 1. Perkembangan Harga Susu Dunia, 1,25% Butter Fat Skim Milk Powder

Saat ini, rata-rata harga susu di pasar internasional mencapai US$ 3.442 per metric ton untuk SMP dan US$ 3.900 per metrik ton untuk AMF. Pada tingkat harga tersebut, ditambah dengan bea masuk sebesar 5 persen dan biaya-biaya lainnya, maka harga bahan baku susu impor setara susu segar menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga beli susu segar di tingkat peternak. Hal ini mendorong IPS untuk memburu susu segar dalam negeri, disamping alasan susu segar sangat penting untuk memberikan aroma dan rasa pada saat pencampuran dengan bahan baku susu impor (Boediana, 2008).

Gambar 2 menunjukkan bahwa perkembangan harga susu segar di tingkat peternak masih terus mengalami peningkatan yang cukup substansial. Pada periode yang sama, tahun 1999 – 2008, rata-rata harga susu di dalam negeri meningkat sebesar 14 persen per tahun. Kenaikan tertinggi justru dicapai ada periode tahun 2007 – 2008, sebesar 32 persen sedangkan tahun sebelumnya hanya meningkat sebesar 22 persen. Sebagai perbandingan, harga susu impor di negara asalnya mencapai Rp 4.500 per liter, dan di Indonesia harganya menjadi Rp 5.600 per liter. Harga susu segar bervariasi di tingkat IPS sekitar Rp 2.750 – Rp 3.450 per liter, sedangkan di tingkat koperasi, harga beli susu dari peternak lebih rendah lagi yaitu Rp 2.300 – Rp 2.500 per liter (Khairina, 2007). Hasil survei peternak sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY serta Jawa Timur menunjukkan bahwa rata-rata harga susu di tingkat peternak saat ini masing-masing adalah Rp 3.133; Rp 2.980 dan Rp 3.137 per liter.

Perkembangan harga susu dunia 1,25% BF Skim Milk Powder 1999 - 2008 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun H a rg a Harga Rata-rata

(7)

Perkembangan Harga Susu 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tahun H a rg a S u s u ( R p /l ) Harga Susu (Rp/l)

Gambar 2. Perkembangan Harga Susu Segar di Tingkat Peternak di Salah Satu Koperasi Susu di Jawa Barat

Perhitungan atas dasar satu kg FCMP setara dengan 8 kg susu segar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1999 - 2008, harga susu segar di dalam negeri relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan harga susu dunia. Dinyatakan bahwa dengan 80 persen biaya satu kg FCMP yang merupakan biaya susu segar ditambah dengan bea masuk impor sebesar 5 persen dan 2,5 persen biaya transport serta bongkar muat dari pelabuhan ke lokasi IPS mengakibatkan harga bahan baku susu impor setara susu segar menjadi lebih mahal.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata harga susu segar dalam negeri hanya sekitar 62 persen dari harga susu impor setara susu segar selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2007, dimana harga susu dunia meningkat cukup tinggi, harga susu segar di dalam negeri mengalami peningkatan yang tidak terlalu tinggi, sehingga imbangan antara harga susu segar di dalam negeri terhadap harga susu impor setara susu segar bahkan hanya mencapai 42 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu di pasar internasional belum direspon dengan baik oleh para peternak di dalam negeri.

Gambar 3 secara rinci menunjukkan adanya disparitas harga susu dalam negeri dengan estimasi harga bahan baku impor susu setara dengan susu segar. Selama periode tahun 1999 – 2008, harga susu dalam negeri menunjukkan peningkatan setiap tahun yang cukup substansial, sedangkan hal tersebut untuk harga bahan baku impor susu setara dengan susu segar berfluktuatif. Pada tahun 2001-2002, harga ini mengalami penurunan sedangkan harga susu di dalam negeri masih meningkat, sehingga rasio harga susu di dalam negeri lebih dari 90 persen terhadap harga bahan baku impor susu setara dengan susu segar. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2007-2008 dengan rasio harga sebesar 62 persen.

(8)

Tabel 1. Perkembangan Harga Susu Dalam Negeri dengan Harga Susu Impor Setara dengan Susu Segar

Tahun Harga FCMP (Rp/kg) Harga FCMP+bea masuk 5% Harga FCMP+bea masuk+ transpor 2,5% Harga setara susu segar (Rp/l) Harga susu dalam negeri (Rp/l) Rasio harga susu DN terhadap impor 1999 14.055 14.758 15.053 1.882 1.000 0,53 2000 17.020 17.871 18.228 2.279 1.137 0,50 2001 17.921 18.817 19.194 2.399 1.411 0,59 2002 12.882 13.526 13.796 1.725 1.562 0,91 2003 15.976 16.774 17.110 2.139 1.612 0,75 2004 19.927 20.923 21.342 2.668 1.647 0,62 2005 20.855 21.898 22.335 2.792 1.756 0,63 2006 21.779 22.868 23.326 2.916 1.988 0,68 2007 43.055 45.208 46.112 5.764 2.431 0,42 2008 38.815 40.756 41.571 5.196 3.200 0,62 Keterangan: 1 US$ = Rp 9.200

Perkembangan harga susu dalam negeri dengan harga susu impor setara dengan susu segar

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun H a rg a ( R p )

Harga setara susu segar (Rp/l) Harga susu dalam negeri (Rp/l)

(9)

Secara ekonomis, kenaikan harga susu di pasar internasional telah menempatkan produk susu segar dalam negeri memiliki bargaining power dan lebih kompetitif. Melihat disparitas harga susu segar di dalam negeri dengan bahan baku susu eks impor seharusnya peternak memiliki peluang untuk memperoleh harga yang lebih baik. Idealnya harga jual susu lokal sebesar 80 persen dari harga susu impor (Khairina, 2007). Disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak ini dikarenakan posisi tawar (bargaining position) peternak/koperasi terhadap IPS yang rendah. Harga susu lebih ditentukan oleh IPS berdasarkan standar baku mutu yang ketat seperti kandungan mikroba (TPC) dan total solid (TS) yang harus dipenuhi oleh koperasi. Di sisi lain banyak peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS, karena rendahnya kemampuan budidaya peternak. Harga susu yang diterima oleh koperasi sangat ditentukan oleh komponen-komponen tersebut. Hal ini dapat dipandang positif dalam memotivasi peternak untuk menghasilkan susu berkualitas, namun di sisi lain upaya ini juga perlu diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak.

Elastisitas Harga Susu Segar

Secara empiris, elastisitas harga penawaran susu menunjukkan proporsi perubahan penawaran yang akan terjadi apabila terjadi perubahan harga susu pada tingkat tertentu. Kajian ini mengemukakan perubahan penawaran atau produksi susu yang disebabkan oleh perubahan harga susu itu sendiri, atau sering disebut dengan elastisitas harga sendiri. Hasil pendugaan model pada studi ini cukup representatif menjelaskan kinerja ekonomi perilaku harga bahan baku pakan ternak terhadap harga susu segar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang menyusun model terhadap peubah terikat mampu menjelaskan variasi peubah sampai 96 persen. Pada derajat bebas masing-masing, uji F menghasilkan kesimpulan bahwa model regresi yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata 0,0001. Hasil uji t menunjukkan bahwa sebagian besar peubah penjelas dalam mode persamaan ini berpengaruh terhadap peubah terikatnya masing-masing pada taraf nyata 5 persen dengan arah sesuai harapan (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan bahwa harga susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak sangat berpengaruh terhadap produksi susu (P<0,05).

Tabel 2. Hasil Estimasi dan Perhitungan Elastisitas Harga Susu Peubah Parameter

dugaan Elastisitas Prob > | T | Intercep Harga susu Harga konsentrat 2371.0282 16.168*) - 27.051*) -1.450 - 1.014 0,0016 0,0497 0,0575 F value = 31.014 Prob > F = 0,0003 R-square = 0.8986 Adj R-square = 0.8696

(10)

Secara signifikan hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu segar dapat meningkatkan produksi susu di tingkat peternak. Menurunnya harga konsentrat juga dapat mengakibatkan naiknya produksi susu, namun pada kenyataannya harga konsentrat juga turut naik seiring dengan meningkatnya harga susu segar. Keuntungan peternak, yang seharusnya dapat diperoleh sebagai akibat kenaikan harga susu segar, tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh peternak. Kompensasi keuntungan peternak dialokasikan terhadap kenaikan harga bahan baku pakan, utamanya adalah konsentrat yang merupakan komponen terbesar dalam ransum sapi perah (Priyanti dan Mariyono, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat merupakan komponen dalam ransum sapi perah yang cukup penting dan pada akhirnya bermuara pada pendapatan maupun keuntungan peternak. Peningkatan mutu pakan konsentrat ini juga mempengaruhi terhadap kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan, sehingga harga susu segar juga meningkat.

Perhitungan elastisitas harga sendiri sebesar 1,45 menunjukkan bahwa produksi susu sangat responsif terhadap perubahan harga susu segar. Semakin tinggi harga susu, maka produksi susu juga semakin meningkat. Elastisitas harga susu yang cukup tinggi ini mengindikasikan bahwa produk susu masih dianggap sebagai komoditas pangan berharga mahal, padahal susu merupakan salah satu asupan bergizi yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain, seharusnya kenaikan harga susu ini dapat dimanfaatkan oleh peternak dalam upaya meningkatkan produksinya guna memenuhi kebutuhan nasional.

Kondisi KPSBU Jawa Barat yang dijadikan kasus dalam kajian ini diharapkan dapat menjadi benchmark untuk perkembangan koperasi-koperasi susu lain di Indonesia. Karakteristik KPSBU yang diindikasikan dengan perkembangan jumlah anggota, jumlah populasi sapi perah, kapasitas produksi dan kualitas susu yang dihasilkan dapat diacu oleh koperasi-koperasi lain untuk meningkatkan kinerja koperasi. Hal ini dilakukan secara bertahap diiringi sosialisasi yang konsisten dan terus menerus bagi peternak sapi perah sebagai anggota koperasi. Secara umum, penerapan standar kualitas susu oleh IPS yang bermuara pada penetapan harga jual di tingkat peternak sudah dapat dipenuhi oleh KPSBU. Sugandi et al. (2008) menyatakan bahwa adanya aturan pemberlakuan persyaratan kualitas susu oleh IPS dapat menjadi pemicu bagi kemampuan teknis peternak sapi perah dan kinerja usaha koperasi. Pembenahan manajemen internal perlu dilakukan, utamanya dalam hal peningkatan layanan kepada peternak sapi perah anggota koperasi dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kenaikan harga susu di pasar internasional juga menyebabkan naiknya harga susu segar di tingkat peternak. Harga susu dunia meningkat sangat tajam pada periode 2006-2007 mencapai 74 persen. Di dalam negeri, hal tersebut direspon dengan kenaikan harga susu di tingkat peternak yang hanya mencapai 22 persen. Dihitung atas dasar harga full cream milk powder setara dengan 8 kg susu segar, maka rata-rata harga susu segar di tingkat peternak baru mencapai 62

(11)

persen dibandingkan dengan harga susu impor setara susu segar. Hal ini menunjukkan bahwa harga susu dalam negeri sangat kompetitif dibandingkan dengan harga susu dunia.

Elastisitas harga penawaran susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak masing-masing cukup tinggi, dimana produksi susu sangat responsif terhadap kedua variabel tersebut. Harga susu segar dan harga konsentrat sangat berpengaruh terhadap produksi susu di tingkat peternak. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu segar ternyata juga diimbangi dengan kenaikan harga konsentrat, sehingga perlu upaya substitusi komponen bahan pakan penyusun konsentrat. Dalam hal ini peternak diupayakan untuk tidak harus menanggung kompensasi kenaikan harga konsentrat yang cukup besar.

Disarankan dengan trend harga susu di dalam negeri yang meningkat, peternak harus mencari alternatif penggunaan konsentrat dengan bahan baku lokal dan dapat melakukan diversifikasi pengolahan susu segar yang dapat di konsumsi secara langsung oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Boediyana, Teguh. 2008. Menyongsong Agribisnis Persusuan yang Prospektif di Tanah Air. Majalah Trobos No 108 September 2008 Tahun VIII.

Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui and C. Courbois. 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. Food, Agriculture, and the Environment Discussion paper 28. International Food Policy Research Institute, Washington, DC.

Ditjen Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta.

Erwidodo dan B. Sayaka. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi terhadap Industri Susu di Indonesia. Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan Analisis Dampak Krisis. Monograph Series No.18. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Khairina. 2007. Susu Sapi Juga Butuh Perhatian. http://64.203.71.11/kompas-cetak/

0707/21/Fokus/301562.htm. 21 Juli 2007.

Priyanti, A. dan Mariyono. 2008. Analisis Keseimbangan Rasio Harga Pakan terhadap Susu Segar pada Peternakan Rakyat. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Setiadi, D. 2007. Koperasi Susu: Kenaikan Harga Susu Wajar dan Gairahkan Peternak.

http://www.antara.co.id/.htm. 27 Maret 2007.

Sugandi, D., Budiman dan R. Tawaf. 2008. Dampak Penerapan Standar Kualitas Susu terhadap Kinerja Usaha Koperasi Susu di Kabupaten Bandung. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sulistiyanto. 2008. Prospek dan Pengembangan Usaha Agrobisnis (Usaha Persusuan bagi Koperasi). Makalah disajikan dalam Workshop Pengembangan Peternakan Dalam Bidang Usaha Agrobisnis Persusuan. Jakarta, 11 Maret 2008.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Harga Susu Dunia, 1,25% Butter Fat Skim Milk Powder
Gambar 2. Perkembangan  Harga  Susu  Segar  di  Tingkat  Peternak  di  Salah  Satu  Koperasi  Susu di Jawa Barat
Tabel 1. Perkembangan  Harga  Susu  Dalam  Negeri  dengan  Harga  Susu  Impor  Setara  dengan Susu Segar

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi komunikasi adalah proses bagaimana menyampaikan sebuah informasi atau pesan kepada objek yang dituju, teknologi komunikasi adalah cara menyampaikan pesan dalam

Yllä oleva esimerkki selventää ehkä parhaiten mitä ryhmänjohtajat saattavat käsittää tuella, mutta myös sitä kuinka kyseinen tuki ilmenee

Panitia Pengadaan Rehabilitasi Jalan dan Jembatan Nilai Diatas 200 Juta Rupiah dan Pengadaan Alat

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EVALUASI PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PT JAMSOSTEK (Kasus Pelatihan Penggunaan Mesin Jahit High Speed oleh PT Jamsostek

Terakhir, dalam aspek kesetaraan gender, maka yang dapat dilakukanadalah mengubah mindset masyarakat tentang kesetaraan gender menjadi keadilan gender melalui seminar –

“Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan

Indonesia menggunakan data satelit altimetri dan data pasut. Saat ini data permukaan laut dapat diperoleh dalam periode panjang. Salah satu teknologi yang dapat menyajikan