• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILIHAN KODE PEDAGANG KAKI LIMA PENDATANG DAN PEDAGANG KAKI LIMA ASLI DEMAK DI ALUN-ALUN DEMAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMILIHAN KODE PEDAGANG KAKI LIMA PENDATANG DAN PEDAGANG KAKI LIMA ASLI DEMAK DI ALUN-ALUN DEMAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMILIHAN KODE PEDAGANG KAKI LIMA

PENDATANG DAN PEDAGANG KAKI LIMA ASLI DEMAK

DI ALUN-ALUN DEMAK

Rizka Pramudya

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro INTISARI

Pramudya, Rizka. 2013. “Pemilihan Kode Pedagang Kaki Lima Pendatang dan Pedagang Kaki lima Asli Demak di Alun-alun Demak”. Skripsi (SI) Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.

Pedagang kaki lima atau sering disingkat dengan PKL adalah istilah untuk menyebut pedagang yang menjajakan dagangannya menggunakan gerobak. Pedagang kaki lima adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti terotoar, pingir-pingir jalan umum, dan emperan toko. Para pedagang kaki lima ini setiap hari berjualan di sekitar Alun-alun Demak. PKL yang ada di Alun-Alun-alun tidak hanya dari Demak. Banyak PKL yang datang dari luar daerah, misalnya dari Kudus, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Madura. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu (1) Kode apa yang digunakan para pedagang kaki lima (PKL) pendatang dalam berinteraksi dengan pembeli di Alun-alun Demak; (2) Kode apa yang digunakan para pedagang kaki lima (PKL) asli Demak dalam berinteraksi dengan pembeli di Alun-alun Demak; (3) Gejala kebahasaan apakah yang paling menonjol dari tuturan atau pemilihan kode Pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Demak.

Tahap Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan wawancara. metode simak dilakukan dengan berbagai teknik yaitu meliputi teknik sadap, teknik simak libat cakap (SLC), teknik simak bebas libat cakap (SLBC), dan teknik rekam. Metode wawancara dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur. Tahap analisis data menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data yang dihasilkan berupa kata-kata dan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pedagang dan pembeli yang berinteraksi dalam proses jual-beli pedagang kaki lima di Alun-alun Demak. Tahap penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode informal untuk memaparkan analisis tentang wujud kode, alih kode, dan campur kode.

Hasil penelitian ini adalah (1) wujud kode yang digunakan pedagang kaki lima pendatang yaitu kode BI (bahasa Indonesia) dan B2 (bahasa Jawa), (2) wujud kode yang digunakan pedagang kaki lima asli Demak yaitu kode B2 (bahasa Jawa); (3) wujud gejala kebahasaan yang sering muncul dalam proses jual beli pedagang kaki lima di Alun-alun Demak adalah alih kode dan campur kode.

(2)

2 A. PENDAHULUAN

Masyarakat dalam berbicara tentu mempunyai pilihan bahasa sendiri untuk berkomunikasi. Pilihan bahasa dalam kajian sosiolinguistik dibagi menjadi tiga jenis yaitu alih kode (code switching), campur kode (code mixing), dan variasi bahasa yang sama. Appel (dalam Chaer dan Leoni Agustina 2010:107) mendefinisikan alih kode sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel, Hymes (dalam Chaer dan Leoni Agustina 2010:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antarragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Thealander (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2010: 115) menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Bila di dalam suatu peristiwa terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa-klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase tidak itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.

Peristiwa alih kode dan campur kode sebenarnya sering dijumpai. Bisa dilihat dimedia cetak maupun media elektronik. Peranan alih kode dan campur kode sendiri sangat penting, dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat yang bilingual ataupun multilingual, misalnya di lingkungan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima atau sering disebut dengan PKL dapat dikatakan memiliki keunikan tersendiri. PKL yang ada di alun-alun Demak ini terdiri dari beragam masyakat tutur. PKL ini tidak hanya dari Demak. Banyak PKL yang datang dari luar daerah, misalnya dari Semarang, Jepara, Jakarta, dan Bandung. Setiap hari mereka berjualan di sekitar Alun-alun Demak. Para PKL ini berjualan mulai pukul empat sore sampai tengah malam. Barang yang dijual beragam makanan sampai barang- barang kebutuhan sehari-hari. Beragamnya masyarakat tutur yang ada di Alun-alun Demak tersebut sangat menarik perhatian

(3)

3

peneliti untuk meneliti lebih dalam mengenai “Pemilihan Kode Pedagang Kaki Lima Pendatang dan Pedagang Kaki Lima Asli Demak di Alun-Alun Demak”.

B. LANDASAN TEORI 1. Kajian Sosiolinguistik

Menurut Criper dan Widdowson (dalam Sumarsono, 2008 : 4), sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam pemakaian dengan tujuan untuk menunjukan kesepakatan-kesepakatan atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa (yang disepakati oleh masyarakat), dikaitkan dengan aspek-aspek kebudayaan dalam masyarakat itu.

2. Kedwibahasaan

Kedwibahasaan merupakan istilah bahasa Indonesia dari bilingualisme yaitu kebiasaan seseorang dalam menggunakan dua bahasa atau lebih dalam berinteraksi dengan orang lain. Secara sosiolinguistik, menurut Mackey & Fishman (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2010:84) kedwibahasaan (bilingualisme) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa, seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

3. Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa menurut Fasold (via Rokhman 2009:3) adalah memilih “sebuah bahasa secara keseluruhan” dalam suatu komunikasi. Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya yang digunakan dalam interaksi sosial. Fasold (via Rokhman 2009:3) menyebutkan ada tiga kategori pilihan bahasa yang dapat digunakan :

a. Alih kode, yaitu menggunakan suatu bahasa pada suatu keperluan dan bahasa lain pada keperluan yang lain dalam satu peristiwa komunikasi.

b. Campur kode, yaitu menggunakan bahasa tertentu dengan dicampuri sebagian dari bahasa lain.

(4)

4 4. Faktor Pemilihan Bahasa

Groesjean (via Rokhman 2009:4) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.

5. Alih kode dan Campur Kode

Alih kode (code switching) merupakan salah satu wujud penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson via Arzhanti, 2012:7).

Menurut Istiati (via Mutmainnah 2008:46), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat kebahasaan.

C. Metode Penelitian

1. Tahap Pengumpulan Data

Objek dalam penelitian ini adalah tuturan para pedagang kaki lima pendatang dan pedagang kaki lima asli Demak yang berinteraksi dengan pembeli. Data yang dihasilkan adalah tuturan para penjual dan pembeli pedagang kaki lima di lingkungan Alun-alun Demak.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap (SLC), simak bebas libat cakap (SLBC), dan teknik rekam. Selain itu penulis juga menggunakan metode wawancara tidak terstrukur.

2. Tahap Analisis Data

Setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan analisis data. Data yang awalnya berupa tuturan dari pedagang kaki lima dan pembeli di Alun-alun Demak kemudian di transkripsi dalam bentuk tulisan. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih subjektif.

(5)

5 3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Data yang telah ditranskripsi tersebut kemudian disajikan dengan metode penyajian informal. Penerapan metode informal dalam penelitian ini diilakukan dengan menyajikan deskripsi khas verbal dengan menggunakan kata-kata. Dengan adanya metode informal ini bertujuan untuk memaparkan analisis tentang wujud kode, alih kode, dan campur kode.

D. PEMBAHASAN

1. Kode yang Digunakan Para Pedagang Kaki Lima (PKL) Pendatang dalam Berinteraksi dengan Pembeli di Alun-alun Demak

Pedagang kaki lima pendatang yang berjualan di Alun-alun Demak tidak hanya berasal dari Kabupaten Demak, tetapi berasal dari berbagai daerah misalnya dari Semarang, Jepara, Jakarta, dan Bandung. Dalam berkomunikasi para pedagang kaki lima pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pedagang kaki lima yang berasal dari Jakarta dan Bandung hanya menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan pembeli. Hal ini dikarenakan para pedagang kaki lima yang berasal dari Jakarta dan Bandung tidak menguasai bahasa asli masyarakat Demak yaitu bahasa Jawa. Sedangkan pedagang kaki lima pendatang lainnya yang berasal dari Jepara dan Semarang, mereka bisa menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi dengan pembeli yaitu B1 (bahasa Jawa) dan B2 (bahasa Indonesia). Bahasa Indonesia yang digunakan pedagang kaki lima pendatang adalah bahasa Indonesia yang tidak formal.

(1) Konteks : percakapan ini terjadi antara pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Bandung yang sedang berjualan sepatu Crocs dengan pembeli sepatu Crocs.

Pembeli : Crocs,e cowok gak ono Mas? ‘Crocsnya cowok ada tidak Mas? Penjual : (menggelengkan kepala)

Pembeli : Cewek pironan?

‘sepatu untuk perempuan berapa?’ Penjual : Delapan lima

Pembeli : Rak oleh kurang? ‘tidak boleh kurang?’

(6)

6

Penjual : Diobral aja delapan lima. (10 Oktober 2012 pukul 20.15 WIB) Dari contoh percakapan di atas terlihat para pedagang kaki lima pendatang ini tetap menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia) dalam berinteraksi dengan pembeli meskipun pembeli bertanya menggunakan kode B1 (bahasa Jawa). Hal ini terjadi karena para pedagang pendatang yang berasal dari Bandung tidak bisa menggunakan kode B1 (bahasa Jawa) untuk menjawab pertanyaan pembeli sepatu crocs, jadi mereka tetap menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia). Para pedagang kaki lima pendatang ini hanya mengerti sedikit apa yang diucapkan pembeli misalnya dalam kalimat Rak oleh kurang. Kata oleh dan kurang dalam bahasa Jawa hampir sama dengan bahasa Indonesia yang artinya ‘boleh’ dan ‘kurang’. Jadi para pedagang kaki lima pendatang ini hanya mengerti yang diucapkan pembeli, tetapi untuk menjawabnya dengan Kode B1 (bahasa Jawa) mereka tidak bisa.

Para pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Jepara dan Semarang menggunakan dua kode bahasa yaitu kode B1 (bahasa Jawa) dan kode B2 (bahasa Indonesia). bahasa Jawa yang digunakan para pedagang kaki lima pendatang ini masih khas dengan logat bahasa daerah masing-masing.

Percakapan berikut dapat digunakan sebagai contoh adanya penggunaan kode kode B1 (bahasa Jawa) dan B2 (bahasa Indonesia) yang dilakukan para pedagang kaki lima pendatang yang berinteraksi dengan pembeli.

(2) Konteks : percakapan ini terjadi antara pedagang kaki lima pendatang dari Jepara yang yang berjualan cassing handphone dengan pembeli cassing handphone.

Pembeli : lha piro ki pase? ‘Berapa pasnya?’ Penjual : Limolas bos

‘Lima belas bos.’ Pembeli : Wah rak ntuk kurang?

‘Tidak boleh kurang?’ Penjual : Lek ngontrak rak oleh

(7)

7 ‘Kontrakannya tidak boleh?’ Pembeli : Nonton sek yo?

‘Lihat dulu ya?’ (Tgl 31 Maret 2013 pukul 19.10)

Dari contoh di atas terlihat pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Jepara menggunakan kode B1 (bahasa Jawa). Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko. Logat bahasa Jawa yang digunakan pedagang kaki lima pendatang dari Jepara di atas berbeda dengan logat bahasa Jawa di Demak. Hal ini terlihat dalam kalimat lek ngontrak rak oleh. Kata-kata tersebut masuk dalam dialek Jepara.

2. Kode yang Digunakan Para Pedagang Kaki Lima (PKL) Asli Demak dalam Berinteraksi dengan Pembeli di Alun-alun Demak.

Dalam proses jual beli yang dilakukan oleh pedagang kaki lima asli Demak ini menggunakan dua kode yaitu kode B1 (bahasa Jawa) dan kode B2 (bahasa Indonesia) dalam berinteraksi dengan pembeli. Para pedagang kaki lima asli Demak lebih sering menggunakan bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama.

Percakapan berikut dapat digunakan sebagai contoh adanya penggunaan kode B1 (bahasa Jawa) para pedagang asli Demak dalam berinteraksi dengan pembeli. Pedagang kaki lima asli Demak ini menggunakan bahasa Jawa krama.

(3) Konteks : percakapan ini terjadi antara pedagang kaki lima asli Demak yang berjualan jaket dengan pembeli yang ingin membeli jaket.

Pembeli : Jakete pintenan niku Pak? ‘Jaketnya berapa Pak?’ Penjual : Setunggalatus

‘Seratus’

Pembeli : Nek niki, jersey niki? ‘Kalau ini, jersey ini?’

Penjual : Tigo gangsal, wonten tigang ndoso, kaleh ndoso tinggal gede kaleh kaene.

‘Tiga lima, ada yang tiga puluh, dua puluh tinggal besar sama bahannya.’

Pembeli : Tinggal bentene niku nggih? ‘Tinggal bedanya itu ya?’

(8)

8

Penjual : Nggih, benten kaen kaleh gedene. ‘ya, beda bahan sama ukuran.’ Pembeli : Nek niki sing panjang Pak?

‘Kalau yang panjang Pak?’ Penjual : Panjange kaleh likur

‘Panjangnya dua puluh dua.’ Pembeli : Dua-dua?

Penjual : Nggih.

‘Ya.’ (Tgl 28 Maret 2013 pukul 19.45)

(4) Konteks : percakapan ini terjadi antara pedagang kaki lima asli Demak yang berjualan tas dengan pembeli yang ingin membeli tas.

Penjual : Enam puluh ribu tinggal pilih, enam puluh ribu tinggal pilih. Pembeli : Enam puluh ribu bar bodo yo enam puluh ribu?

‘Enam puluh ribu selesei lebaran tetap enam puluh ribu?’ Penjual : Sami mawon-sami mawon nggih kantun milih.

‘Sama saja-sama saja tinggal pilih.’ Pembeli : Yo bedo toh yo.

‘Ya beda’ Penjual : Sami o’ Bu.

‘Sama Bu.’

Pembeli : Wong wis ra iso milih. ‘Sudah tidak bisa memilih.’

Penjual : Niki barange dereng dateng malih. Mboten diplastiki niki? ‘Ini barangnya belum datang lagi. Tidak dibungkus ini?’ (Tgl 31 Oktober 2012 pukul 19.00)

Dari contoh percakapan 3 dan 4 terlihat bahwa para pedagang asli Demak ini menggunakan kode B1 (bahasa Jawa) dalam berinteraksi dengan pembeli. Bahasa Jawa yang digunakan bahasa Jawa krama. Para pedagang kaki lima asli Demak ini menggunakan bahasa Jawa krama karena sudah menjadi kebiasaan pedagang setempat untuk menghormati pembeli agar pembeli senang dan tidak tersinggung.

3. Wujud Alih Kode dan Campur Kode Pada Tuturan Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Demak.

Dalam percakapan jual beli yang dilakukan oleh pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Demak juga cukup banyak terjadi adanya alih kode. Alih kode yang terjadi hanya alih kode intern yaitu berupa alih bahasa sendiri

(9)

9

mencakup peralihan dari Bahasa Indonesia (BI) ke dalam Bahasa Jawa (BJ), dan Bahasa Jawa (BJ) ke dalam Bahasa Indonesia (BI). Berikut ini uraian dari masing-masing wujud alih kode intern. Alih kode hanya terjadi pada pedagang kaki lima yang berasal dari Semarang, Jepara dan Demak.

1. Alih Bahasa dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa

(5) Konteks : Percakapan ini dilakukan oleh pedagang kaki lima asli Demak yang berjualan tas dengan pembeli tas.

Penjual : Enam puluh ribu tinggal pilih, enam puluh ribu tinggal pilih. Pembeli : Enam puluh ribu bar bodo yo enam puluh ribu?

‘Enam puluh ribu selesei lebaran iya enam puluh ribu?’ Penjual : Sami mawon-sami mawon nggih kantun milih.

‘Sama saja-sama saja ya tinggal memilih.’ Pembeli : Yo bedo toh yo.

‘Ya beda’ Penjual : Sami o’ bu.

‘Sama bu.’

Pembeli : Wong wis ra iso milih. ‘Sudah tidak bisa memilih.

Penjual : Niki barange dereng dateng malih. Mboten diplastiki niki? ‘ini barangnya belum datang lagi. Tidak dibungkus ini?’ (31 Oktober 2013 pukul 19.00)

Dalam percakapan di atas terdapat adanya alih kode yang dilakukan oleh pedagang kaki lima asli Demak dengan pembeli tas. Semula penjual menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia) untuk menawarkan barang daganganya dengan kalimat enam puluh ribu tinggal pilih, enam puluh ribu tinggal pilih, tetapi setelah pembeli datang dan menggunakan kode B1 (bahasa Jawa) dengan kalimat enam puluh ribu bar bodo yo enam puluh ribu, penjual tas juga ikut menggunakan kode B1 (bahasa Jawa). Bahasa Jawa yang digunakan di sini bahasa Jawa tingkat tinggi (krama). Dapat disimpulkan bahwa dalam percakapan di atas, pedagang kaki lima asli Demak dan pembeli tas melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama. Hal ini dilakukan pedagang untuk lebih mengakrabkan suasana dan menghormati pembeli karena usia pembeli lebih tua.

(10)

10

2. Alih Bahasa dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia

(6) Konteks : Percakapan ini dilakukan oleh pedagang kaki lima asli Demak yang berjualan tas dengan pembeli tas.

Penjual : Niki barange dereng dateng malih. Mboten diplastiki niki? ‘Ini barangnya belum datang lagi. Tidak dibungkus ini?’ Pembeli 1 : (menggelengkan kepala)

Penjual : Nggih mpun ‘Iya sudah’

Pembeli 2 : Enam puluh semua ini?

Penjual : Itu ada harganya Mbak, macem-macem kalau yang itu. ‘itu ada harganya Mbak, macam-macam kalau yang itu.’ (31 Oktober 2013 pukul 19.00)

Dari contoh percakapan di atas terjadi adanya alih kode yaitu dari B1 (bahasa Jawa) ke dalam B2 (bahasa Indonesia). Pedagang kaki lima asli Demak yang awalnya menggunakan kode B1 (bahasa Jawa) dalam berinteraksi dengan pembeli 1, kemudian ada pembeli 2 datang yang bertanya dengan menggunakan kode B2 (Bahasa Indonesia) dengan kalimat enam puluh semua ini? dan penjual juga ikut menjawab dengan kode B2 (bahasa Indonesia) dengan kalimat itu ada harganya mbak, macem-macem kalau yang itu. Alih kode ini dilakukan karena pedagang kaki lima asli Demak ini beranggapan bahwa pembeli 2 bertanya dengan menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia) dan untuk menghargainnya maka pedagang kaki lima asli Demak yang berjualan tas juga menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia). Dengan demikian terjadi adanya alih kode yaitu dari B1 (bahasa Jawa) ke dalam B2 (bahasa Indonesia).

3. Wujud Campur Kode dari Tuturan Pedagang Kaki Lima

Dalam tuturan proses jual beli yang dilakukan para pedagang kaki lima di Alun-alun Demak ditemui juga adanya campur kode. Campur kode yang dilakukan meliputi campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam adalah campur kode yang unsur-unsurnya bersumber dari bahasa asli atau serumpun. Sedangkan campur kode ke luar unsur-unsurnya bersumber dari bahasa Asing. Bahasa asing disini meliputi bahasa Inggris dan bahasa Arab. Bahasa asing yang banyak ditemui hanya pada penyebutan merk barang.

(11)

11

(7) Konteks : percakapan ini terjadi antara pedagang kaki lima yang berjualan pakaian bola dengan pembeli yang ingin membeli pakaian bola.

Pembeli 1 : Portugal item nggak ada ya Pak? ‘Portugal hitam ada tidak Pak? Penjual : O. belum keluar

Pembeli 1 : Belum keluar ya? Pembeli 3 : Seven star?

Penjual : Seven star dua ukuran lho Mas. Semono karo kae. ki paling cilik, kae pol gede.

‘Seven star dua ukuran lho Mas. Seperti itu sama yang itu. Ini paling kecil, itu yang paling besar.

Pembeli 3 : Ki kecilik’en kok.

‘Ini kekecilan.’ (Tgl 28 Maret pukul 19.45)

Dari contoh percakapan di atas terlihat adanya campur kode yang dilakukan pedagang kaki lima asli Demak. Pedagang kaki lima asli Demak melakukan campur kode keluar yaitu menggunakan bahasa Inggris yang menyebutkan merek barang daganganya pada kalimat seven star dua ukuran lho mas. Semono karo kae. ki paling cilik, kae pol gede. Jadi, campur kode yang ada dalam percakapan di atas campur kode keluar karena menggunakan unsur-unsur bahasa asing.

E. SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut:

1. Kode yang digunakan para pedagang kaki lima pendatang, berbeda dengan kode yang digunakan para pedagang asli Demak. Para pedagang pendatang yang berasal dari Jakarta dan Bandung menggunakan kode B2 yaitu bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan pembeli. Para pedagang kaki lima yang berasal dari Jakarta dan Bandung ini juga tetap menggunakan kode B2 (bahasa Indonesia) meskipun pembelinya menggunakan kode B1 (bahasa Jawa). Hal ini dilakukan pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Jakarta dan Bandung karena mereka hanya menguasai kode B2 (bahasa Indonesia) dan tidak bisa menggunakan kode B1 (bahasa Jawa) dalam berkomunikasi. Sedangkan pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Semarang dan

(12)

12

Jepara menggunakan kode B1 dan B2 yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dalam proses jual beli di Alun-alun Demak. Hal ini terjadi karena pedagang kaki lima pendatang yang berasal dari Semarang dan Jepara menguasai dua bahasa.

2. Kode yang digunakan pedagang kaki lima asli Demak yaitu kode B1 (bahasa Jawa )dan B2 (bahasa Indonesia) dalam proses jual beli di Alun-alun Demak. Tetapi yang sering dilakukan pedagang kaki lima asli Demak dalam berinteraksi dengan pembelinya menggunakan bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama. Hal ini dilakukan karena bahasa Jawa merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Demak.

3. Dalam proses jual beli di Alun-alun Demak, muncul adanya berbagai gejala kebahasaan seperti alih kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode hanya terjadi pada pedagang kaki lima yang menguasai dua bahasa yaitu pedagang kaki lima yang berasal dari Semarang, Jepara dan Demak. Alih kode yang terjadi dalam proses jual beli di Alun-alun Demak hanya alih kode intern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri seperti (1) dari bahasa Indonesia (BI) ke bahasa Jawa (BJ) atau sebaliknya, (2) dari bahasa Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama atau sebaliknya, (3) dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ngoko atau sebaliknya dan, (4) dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama atau sebaliknya. Hal ini terjadi kerena mereka mempunyai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa (dwibahasawan) yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Muncul juga adanya campur kode dalam proses jual beli pedagang kaki lima di Alun-alun Demak. Campur kode yang terjadi yaitu campur kode ke dalam dan ke luar. Campur kode ke dalam terjadi antara (1) bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, (2) antara bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko. Campur kode ke luar terjadi adanya penggunaan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Campur kode keluar kebanyakan digunakan untuk penyebutan merek barang yang dijual.

(13)

13 F. SARAN

Saran yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut :

Hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan dan memberi penjelasan tentang wujud penggunaan kode dan adanya gejala kebahasaan yang muncul pada tuturan pedagang kaki lima di Alun-alun Demak. Disarankan supaya penelitian berikutnya tidak hanya dianalisis secara sosiolinguistik, tetapi bisa dianalisis menurut bidang linguistik yang lain agar mendapatkan hasil deskripsi yang lebih jauh dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Irsyad. 2009. “Alih kode dan campur kode”. http://wwwirsyadafrianto.blog Spot.com/2009/10/alih-kode-dan-campur-kode.html (diunduh 13 maret 2013) Arzhanti, Meilan. 2012. “Alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau

dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dengan konteks multicultural di Wisma Laswi Semarang”. Meylanarzhanti.blogspot.com/2012/09/alih-kode-dan-campur-kode-pada.html (diunduh 21 Oktober 2012)

BAPPEDA. 2011. “Tentang Kabupateen Demak”.http://www.demakkab.go.id/index. php/tentang-demak( diunduh 21 Maret 2013)

Chaer,Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguitik Perkenalan Awal. Jakarta: IKAPI.

Green, Harmony. 2012. “Sejarah Alun-alun Demak” http://harmonys2dio. blogspot.com/2012/07/sejarah-alun-alun-demak.html (21 maret 2013)

Jatmiko, Rosdiana. 2011. “Penggunaan Alih Kode dan Campur kode dalam MasyarakatMultilingual”.http://agsjatmiko.blogspot.com/2011/12/penggu naan-alih-kode-dan-campur-kode.html (diunduh 29 November 2012) Mutmainnah. 2008. Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian

Sosiolinguistik Pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Rokhman, Fathur. 2009. “Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual: Paradigma Sosiolinguistik”. http://fathurrokhmancenter. wordpress

(14)

14

Santoso, Budi. 2009. “Alih Kode yang Terjadi Pada Masyrakat Tutur Bilingual dalam Wacana Jual Beli Peralatan Camping”. www.infodiknas.com/189/ (diunduh 21 Oktober 2012)

Sudaryanto. 1988. Metode linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

PEMANFAATAN PUPUK HAYATI MIKORIZA UNTUK MENINGKATKAN TOLERANSI KEKERINGAN PADA TANAMAN NILAM. OLEH:

Aplikasi ini juga dibuat untuk memudahkan dalam proses komunikasi dengan konsumen karena di dalamnya terdapat halaman hubungi kami untuk menghubungi kami secara on line.Dan aplikasi

Tittle : Sleep Quality and Sleep Distrubances Factors of Patients with Hypertension at the Work Area of Teladan Medan Community Health Center.. Name : Dwi Putriana Lubis

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

karena itu, diperlukan sebuah sistem baru dengan tingkat ketelitian yang melebihi sistem yang ada sekarang ini, yang bisa menawarkan kemudahan dan keakuratan dalam pendataanya

Kawasan Pantai Sanur merupakan sebuah kawasan daya tarik wisata mix-used waterfront bagi wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara yang memiliki fasilitas

“ Pernikahan dini adalah pernikahan dengan usia di bawah Undang- Undang, tetapi bila melihat perkembangan jaman, pernikahan dini adalah pernikahan bagi mereka

41/KK/IX/2017 tanggal 26 SEPTEMBER 2017, maka sesuai aturan sebelum kami mengusulkan perusahaan saudara sebagai calon pemenang dengan ini dimintakan kepada