II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Lindung
2.1.1 Definisi kawasan lindung
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Menurut Keppres Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dinyatakan bahwa kawasan lindung
adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai
sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
2.1.2 Kriteria dan klasifikasi kawasan lindung
Berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung, kawasan lindung terbagi atas :
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahnya yaitu:
1) Kawasan hutan lindung
2) Kawasan bergambut
3) Kawasan resapan air
b. Kawasan perlindungan setempat
1) Sempadan sungai
2) Sempadan pantai
3) Kawasan sekitar danau
4) Kawasan sekitar mata air
c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya yaitu:
1) Kawasan suaka alam
2) Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya
3) Kawasan pantai berhutan bakau
4) Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
5) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
d. Kawasan rawan bencana alam, yaitu kawasan yang diidentifikasi sering dan
berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi,
gempa bumi, dan tanah longsor.
MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa macam ciri suatu kawasan
yang dapat ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik atau keunikan ekosistem
b. Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan atau terancam
c. Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies
d. Landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan
e. Fungsi perlindungan hidrologi, tanah, air dan iklim lokal
f. Tempat peninggalan budaya
g. Fasilitas untuk rekreasi alam.
2.1.3 Pengelolaan kawasan lindung
Banyak masalah kawasan dilindungi di negara sedang berkembang sebagai
akibat konsep kawasan dilindungi sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (Basuni
2001). Penetapan bentuk-bentuk kawasan lindung diharapkan dapat membawa
dampak positif terhadap kawasan-kawasan lainnya. Ragam dan intensitas usaha
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan pada kawasan lindung seharusnya
lebih tinggi daripada kawasan-kawasan lainnya karena kerusakan yang terjadi atas
kawasan lindung disamping menimbulkan kemerosotan jumlah, ragam dan mutu
sumberdaya alam yang ada di dalamnya juga dapat merugikan atau bahkan
membawa bencana di kawasan-kawasan lainnya (Iftitah 2005). Menurut
Barborak (1995) dalam Basuni (2001) salah satu dari beberapa alasan
kawasan-kawasan dilindungi di negara maju telah demikian berhasil adalah karena
kawasan-kawasan tersebut benar-benar ada sebagai bentuk yang paling ketat dari
regulasi penggunaan lahan.
Menurut Firdaus (2007) untuk mewujudkan kawasan lindung legal formal
pemerintah harus menunjuk instansi yang bertanggung jawab secara langsung
dalam penetapan dan pengelolaan kawasan perlindungan setempat dan kawasan
rawan bencana alam. Andriyani (2007) menambahkan bahwa faktor kebijakan
berupa arahan penggunaan lahan (kawasan lindung dan budidaya) juga
berpengaruh nyata dalam menurunkan peluang perubahan penggunaan lahan
menjadi permukiman. Kawasan lindung legal formal tidak efektif untuk
diterapkan secara langsung sebagai kawasan lindung sehingga kawasan lindung
legal formal perlu ditata kembali dengan cara menyatukan kawasan yang memiliki
luas minimal 25 ha ditarik dari garis terluar kawasan (Firdaus 2007). Upaya
pengelolaan yang menjadi prioritas utama dalam manajemen pengelolaan
kawasan lindung yang paling efektif adalah sosialisasi, kejelasan status hukum
kawasan, partisipasi masyarakat, penyuluhan dan penataan ruang (Hernawati
2003).
2.1.4 Arti penting kawasan lindung
Misi inti kawasan dilindungi adalah melindungi sumberdaya untuk jangka
panjang dan menghasilkan aliran berkelanjutan dari jasa-jasa lahan liar bagi
bangsa (Basuni 2001). Kawasan yang dilindungi memiliki sumbangan yang besar
bagi pelestarian sumberdaya alam dan kelangsungan pembangunan diantaranya
memelihara stabilitas lingkungan wilayah sekitarnya, sehingga mengurangi
intensitas banjir dan kekeringan, melindungi tanah dari erosi serta mengurangi
iklim ekstrim setempat. Selain itu juga memelihara kapasitas produktif ekosistem,
sehingga menjamin tersedianya air serta produksi hewan dan tumbuhan secara
terus menerus (MacKinnon et al. 1993). Kanowski et al. (1999) menambahkan
bahwa kawasan lindung memberikan kontribusi yang fundamental terhadap
konservasi sumberdaya alam dan sumberdaya budaya dunia. Nilai yang dilindungi
yaitu bentang alam, keterwakilan ekosistem, keanekaragaman hayati, jasa
lingkungan dan warisan budaya.
2.2 Penggunaan dan Penutupan Lahan
Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia dalam bidang
lahan tertentu sedangkan penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan
yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer 1990). Menurut Lo (1995)
terdapat tiga kelas data dalam penutupan lahan diantaranya :
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia
3. Tipe-tipe pembangunan
Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu
wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan
diinterpretasi sehingga menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan
dalam klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan (Lo 1995). Sistem klasifikasi
penggunaan dan penutupan lahan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sistem klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan yang digunakan
dalam penginderaan jauh menurut USGS
No. Tingkat I Tingkat II
1 Perkotaan atau lahan perkotaan
a. Permukiman
b. Perdagangan dan jasa c. Industri
d. Transportasi e. Kompleks industri
f. Perkotaan campuran atau lahan bangunan g. Perkotaan atau lahan bangunan lainnya
2 Lahan pertanian a. Tanaman
b. Daerah buah-buahan c. Lahan tanaman obat d. Lahan pertanian lainnya
3 Lahan peternakan a. Lahan pengembalaan terkurung
b. Lahan peternakan dan semak belukar c. Lahan peternakan campuran
4 Lahan hutan a. Lahan hutan gugur daun musim
b. Lahan hutan selalu hijau c. Lahan hutan campuran
5 Air a. Sungai dan kanal
b. Danau c. Waduk
d. Teluk dan muara
6 Lahan basah a. Lahan hutan basah
b. Lahan basah bukan hutan
7 Lahan gundul a. Dataran garam
b. Gisik (pantai) c. Daerah berpasir
d. Tambang sungkapan gundul e. Tambang terbuka
8 Padang rumput a. Padang lumut semak belukar
b. Padang lumut tanaman obat c. Padang lumut daerah gundul d. Padang lumut daerah basah e. Padang lumut daerah campuran 9 Es dan salju abadi a. Lapangan salju abadi
b. Glaiser
Sumber: Lillesand & Kiefer (1990)
2.3 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang
gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi itu dapat dipahami
secara penuh (Lo 1995). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi, obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau
fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990).
Citra landsat merupakan citra satelit untuk penginderaan sumberdaya bumi.
Thematik Mapper (TM) adalah suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi
pada cahaya tampak dan inframerah (Lo 1995). Menurut Sutanto (1986) citra
landsat dapat disajikan dalam bentuk peta maupun sistem informasi manual dan
dapat dibedakan kedalam tujuh kategori penutupan lahan dengan menggunakan
paduan warna berskala 1:250 000, ketujuh kategori tersebut yaitu air, hutan, lahan
pertanian, lahan rawa, lahan perdagangan, lahan permukiman dengan bangunan
bertingkat tinggi dan lahan permukiman dengan bangunan bertingkat rendah.
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) analisis citra landsat dikelompokkan
kedalam beberapa tahapan yaitu:
1. Pemulihan citra (image restoration), meliputi berbagai distorsi radiometrik
dan geometrik yang ada pada data citra asli
2. Penajaman citra (image enhancement), dilakukan sebelum menayangkan data
citra untuk analisis visual teknik, penajaman dapat diterapkan untuk
menguatkan kontras diantara kenampakan dalam citra
3. Klasifikasi citra (image classification), hal yang dilakukan yaitu pengamatan
tiap pixel untuk dievaluasi dan diterapkan pada suatu kelompok informasi
dengan mengganti arsip data citra dengan suatu matriks jenis kategori yang
ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/VB atau digital
number/DN) pixel yang bersangkutan.
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.4.1 Pengertian SIG
Sistem Informasi Geografis adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini
menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan
data atribut dan spasial (Prahasta 2002). Sedangkan menurut Chrisman (1997)
dalam Prahasta (2002) menyatakan bahwa sistem informasi geografis adalah
sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data, manusia
(brainware), organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menganalisa dan menyebarkan informasi-informasi mengenai
daerah-daerah di permukaan bumi.
2.4.2 Komponen SIG
Gistut (1994) dalam Prahasta (2002) menyebutkan bahwa SIG memiliki
komponen yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), data dan informasi geografi, dan manajemen data. Perangkat keras
untuk SIG antara lain adalah computer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan
scanner. Perangkat lunak terdiri dari word processing, sphread (mengolah angka)
data, database presentation dan aplikasi-aplikasi SIG lainnya.
Menurut Jaya (2002) data vektor adalah struktur data yang berbasis pada
sistem koordinat yang umum digunakan untuk menyajikan feature peta. Data
raster adalah data dimana semua obyek disajikan secara sekuensial pada kolom
dan baris dalam bentuk sel-sel atau yang sering dikenal dengan picture element
yang selanjutnya disingkat pixel.
2.4.3 Analisis data SIG
Analisis spasial adalah proses pemodelan, pengujian dan interpretasi hasil
dari model (Jaya 2002). Prahasta (2002) menyebutkan bahwa secara umum
terdapat dua fungsi analisis yaitu fungsi analisis atribut dan analisis spasial.
a. Fungsi analisis atribut terdiri dari:
1. Operasi Dasar Sistem Pengelolaan Basis Data (DBSM)
a) Membuat dan menghapus basis data
b) Membuat dan menghapus tabel basis data
c) Mengisi dan menyisipkan data ke dalam tabel
d) Membaca dan mencari data dari tabel basis data
e) Mengubah dan mengedit data yang terdapat di dalam tabel basis data
f) Membuat indeks untuk setiap tabel basis data.
2. Perluasan operasi basis data
b. Analisis spasial terdiri dari:
1. Klasifikasi yaitu mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut)
menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu
2. Network yaitu fungsi ini merujuk data spasial titik-titik atau garis sebagai
suatu jaringan yang tidak dipisahkan
3. Overlay yaitu fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data
spasial yang menjadi masukannya
4. Buffering yaitu fungsi yang akan menghasilkan data spasial baru yang
berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial
masukannya
5. 3D analisis yaitu fungsi ini berhubungan dengan presentasi data spasial dalam
bentuk 3 dimensi
6. Digital emage processing yaitu fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang
berbasiskan raster.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan
atribut-atributnya didalam satuan-satuan yang disebut layer. Kumpulan layer akan
membentuk basis data SIG (Prahasta 2002). Operasi menggabungkan feature dari
dua layer ke dalam layer baru serta menggabungkan secara relasional tabel atribut
feature-nya disebut overlay spasial (Jaya 2002).
Prahasta (2002) membagi SIG menjadi beberapa subsistem, yaitu:
a. Data input yaitu data yang akan diinput ke dalam sistem. Bentuk data tersebut
diantaranya tabel, laporan, pengukuran lapang, peta, citra satelit, foto udara
dan data digital lain
b. Data output yaitu hasil dari pengolahan data dapat berupa peta, tabel, laporan
dan informasi digital
c. Data manajemen yaitu mengorganisasikan baik data atribut maupun data
spasial ke dalam sebuah basis data sehingga mudah untuk diperbaharui atau
dikoreksi
d. Data manipulasi dan analisis yaitu melakukan manipulasi dan pemodelan data
untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
Aplikasi SIG dalam Penelitian-penelitian yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Aplikasi SIG dalam penelitian
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil
1. Julinda Hernawati 2003 Kawasan Lindung di Kabupaten Sukabumi
Pandangan Para Pihak Terkait (Stakeholders) dalam Penentuan Kebijakan
Pengelolaan Kawasan
Lindung
1. Berdasarkan hasil pengolahan AHP kriteria yang paling menentukan dalam memilih institusi yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan kawasan lidung saat ini adalah kebijakan dan peraturan perundangan (KPPU). Prioritas selanjutnya adalah SDM dilanjutkan dengan koordinasi dan integrasi, dana teknologi dan sarana prasarana.
2. Hasil analisis dengan menggunakan AHP juga menunjukan bahwa institusi yang sampai saat ini memiliki kompetensi dalam pengelolaan kawasan lindung di Kabupaten Sukabumi adalah pusat (BTNGGP, BTNGH, BKSDA).
3. Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup memiliki kesamaan pandangan dalam menentukan prioritas dalam memilih institusi yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan kawasan lindung.
4. Prioritas utama dalam aspek manajemen pengelolaan kawasan lindung yang efektif adalah pengorganisasian, dilanjutkan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
5. Upaya pengelolaan yang menjadi prioritas utama dalam manajemen pengelolaan kawasan lindung yang efektif adalah sosialisasi, kejelasan status hukum kawasan, partisipasi masyarakat, penyuluhan dan penataan ruang. 2. Diah Irawati Dwi Arini 2005 DTA Cipopokol Sub DAS Cisadane Hulu, Kab. Bogor
Aplikasi sistem Informasi
Geografis (SIG) dan
Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi Answer dalam Memprediksi Erosi dan Sedimen
1. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dapat dikombinasikan ke dalam model Hidrologi ANSWERS untuk mempermudah dalam memperoleh data masukan.
2. Kelas penutupan lahan berupa perkebunan dan pertanian lahan kering memiliki luas yang terbesar terhadap kehilangan tanah atau erosi masing-masing sebesar 41,12Ha dan 74,88Ha, sedangkan penutupan lahan berupa semak belukar seluruhnya mengalami pengendapan atau sedimen.
Tabel 2 Aplikasi SIG dalam Penelitian (Lanjutan)
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil
3. Diah Retno
Minarni
2005 Kota Bontang Zonasi Pengelolaan
Wilayah Pesisir Kota
Bontang dengan
Menggunakan Pendekatan SIG dan Spasial Statistik (Cluster Analisis)
1. Tiponomi kawasan pesisir kota Bontang yang paling jelas terlihat karakteristik wilayahnya adalah pada tiga kelompok wilayah.
2. Secara garis besar zonasi pengelolaan wilayah pesisir terbagi dalam tiga wilayah pengelolaan yaitu zona lindung, zona penyangga, zona pemanfaatan. 4. Hengki Purwonegoro 2005 Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur
Evaluasi Kawasan Lindung dengan Citra Satelit Landsat ETM dan Sistem Informasi Geografis
1. Berdasarkan hasil klasifikasi citra landsat ETM 2002, wilayah Kabupaten Bondowoso dikelompokkan menjadi 10 kelas penggunaan penutupan lahan yaitu hutan alam, hutan tanaman, perkebunan, semak belukar, lahan pertanian, kebun campuran, permukiman, lahan kosong, tubuh air, dan kelas tidak ada data.
2. Kawasan lindung di Kabupaten Bondowoso terdiri dari TWA Kawah Ijen Merapi Unggup-Unggup, CA Kawah Ijen Merapi Unggup-Unggup, CA Ceding, SM Satwa Dataran Tinggi Yang, Hutan Lindung.
3. Kawasan lindung Ideal yang diperoleh berdasarkan kriteria faktor fisik dengan luas 45.466,11 Ha (29,23% dari luas Kabupaten).
4. Hutan alam yang masih tersisa sebesar 19.087,47 Ha (41,98% dari luas kawasan Ideal)
5. Alokasi ruang untuk kawasan lindung aktual TGH (33.488,64 Ha) lebih kecil daripada kawasan lindung ideal (45.466,11 Ha). Perbedaan ini ditimbulkan karena adanya gap peruntukan sebagai kawasan lindung seperti sempadan sungai, sempadan waduk dan kemiringan lereng lebih dari 40%.
5. Edwine Setia
Purnama
2006 Propinsi Riau Pemodelan Spasial
Kerawanan Kebakaran
Hutan dan Lahan
Menggunakan Teknologi Sistem Informasi Geografis (Sig) dan Penginderaan Jauh
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau adalah curah hujan, indeks vegetasi, indeks kebasahan, jarak dari pusat-pusat penduduk, jarak dari jaringan jalan, jarak dari jaringan sungai dan penggunaan lahan.
2. Pendekatan secara kuantitatif memberikan hasil verifikasi model jauh lebih teliti (90,877%) dibandingkan dengan pendekatan kualitatif (15,679%).
Tabel 2 Aplikasi SIG dalam Penelitian (Lanjutan)
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil
6. Ghaniyy Fahmi Basyah 2007 Das Citanduy, Kab. Ciamis Optimalisasi Penggunaan Lahan Menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Model Answers di Daerah Tangkapan Air (DTA) Ciseel, Sub DAS
Citanduy, Kabupaten
Citanduy, Kabupaten
Ciamis-Kota Banjar Jawa Barat
1. Di DTA Ciseel telah terjadi perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu 1991-2003. Perubahan besar yang terjadi adalah dari hutan menjadi permukiman. Hutan berkurang 35,4% (2.362,5 Ha) dan permukiman meningkat 34,2% (2350 Ha)
2. Erosi dan sedimentasi dalam kurun waktu 1991-2003 meningkat. Laju erosi pada tahun 2003, 29 kali lebih besar dari laju erosi yang diperbolehkan. 3. Bentuk penggunaan lahan yang dapat mereduksi laju erosi menjadi ≤ 2,5
mm/ha/th adalah melakukan tindakan konservasi tanah dan air di lahan pertanian dan permukiman, serta menghutankan kembali seluruh kebun campuran
7 Edwar Firdaus 2007 Kabupaten
Garut
Evaluasi Kawasan Lindung di Kabupaten Garut dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG)
1. Luas kawasan lindung aktual di Kabupaten Garut sebesar 89.382,51 Ha (29,2%).
2. Luas kawasan lindung legal formal yang dihasilkan dengan menggunakan kriteria yang ditetapkan dalam Keppres No. 32 tahun 1990 dan SK Mentan No. 837 tahun 1980 seluas 96.428,88 Ha (31,5% dari luas total Kabupaten Garut), penutupan lahan yang masih berupa hutan alam seluas 35.388,81 Ha. Sisanya merupakan kawasan budidaya dan semak belukar.
3. Dari segi manajemen pengelolaan, kawasan lindung legal formal tidak efektif untuk diterapkan secara langsung sebagai kawasan lindung, sehingga kawasan lindung legal formal perlu ditata kembali dengan cara menyatukan kawasan yang memiliki luas minimal 25 ha ditarik garis dari garis terluar kawasan. 4. Kawasan lindung ideal yang memenuhi kriteria legal formal dan kriteria
ekologis di Kabupaten Garut adalah gabungan antara kawasan lindung aktual dengan kawasan legal formal seluas 130.504,05 Ha (42,58% dari luas total Kabupaten Garut)
5. Untuk mewujudkan kawasan lindung legal formal, pemerintah harus menunjuk instansi yang bertanggungjawab secara langsung dalam penetapan dan pengelolaan kawasan perlindungan setempat dan kawasan rawan bencana alam.
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil 8 Andriyani 2007 Kabupaten Serang, Propinsi Banten Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan
Lahan dan Faktor-Faktor Penyebabnya di Kabupaten Serang Propinsi Banten
1. Selama kurun waktu 1992-2003 di Kabupaten Serang telah terjadi perubahan luasan penggunaan lahan yaitu pengurangan luasan penggunaan hutan, sawah, kebun campuran, semak belukar dan tambak/penggaraman. Penggunaan permukiman dan ladang mengalami penambahan luasan yang cukup besar. 2. Faktor fisik yang secara signifikan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
menjadi permukiman adalah kelerengan.
9 Suherman 2007 Kabupaten
Sumedang
Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (Sig) dan
Penginderaan Jarak Jauh untuk Pemetaan Lahan Kritis Lokasi Pertambangan Pasir
1. Penutupan lahan lokasi pertambangan pasir di Kabupaten Sumedang terdiri dari tipe permukiman 7,82 Ha (2,59%) kebun campuran 46,53 Ha (15,41%) alang-alang 223,80 Ha (74,10%) dan lahan kosong 23,88 Ha (7,91%)
2. Tingkat kekritisan lahan lokasi pertambangan pasir di Kabupaten Sumedang terbagi menjadi tiga kelas kritis yaitu kelas “tidak kritis” 36,77 Ha 912,18%), kelas “kritis sedang” 242,06 Ha (80,14%) dan kelas “kritis” 23,29 Ha (7,68%). 3. Prosedur standar operasional (SOP) perijinan kegiatan pertambangan pasir di
Kabupaten Sumedang dinilai kurang tepat karena kegiatan pertambangan tersebut menyebabkan lahan kritis.
10 Fauziah Alhasanah 2006 Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat
Pemetaan dan Analisis
Daerah Rawan Tanah
Longsor serta Upaya
Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis
1. Penyebab utama pemicu terjadinya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas tiga faktor yaitu kelerengan, jenis tanah dan penggunaan lahan, selain itu juga curah hujan.
2. Wilayah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah yang rawan terhadap longsor, yaitu seluas 8.460 Ha (65,51%)
3. Wilayah desa atau kelurahan yang memiliki potensi bahaya longsor pada tingkat sangat rawan paling luas adalah desa Ciherang (480 Ha), Sukaraja (416 Ha), Pasanggrahan (360 Ha) dan Citengah (271 Ha).
4. Sekitar 7.962 Ha (61,67 dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan) merupakan daerah yang kurang beresiko terhadap tanah longsor. Luas daerah yang beresiko adalah 3,496 Ha (27,08 Ha), tidak beresiko seluas 883 Ha (6,84%) dan sangat beresiko seluas 568 Ha (4,40%). Tingkat resiko tanah longsor ditentukan berdasarkan nilai resikonya yang dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor dari properti (jalan, infrastruktur dan penggunaan lahan).
5. Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki resiko tanah longsor dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat kerawanan longsor dengan
memperhatikan faktor utama pemicu bahaya tanah longsor.
13
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil 11. Anis Susanti Aliati 2007 Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat
Kajian Kawasan Lindung untuk Penataan Ruang yang Ramah Lingkungan
1. Berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 menunjukkan bahwa kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bogor adalah 113.110 Ha (37 ,83%) dari keseluruhan wilayah Kabupaten Bogor. Sedangkan kawasan lindung yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 adalah seluas 38.490 Ha (12,87%) dari keseluruhan wilayah Kabupaten Bogor.
2. Sebesar 20,99% kawasan lindung hasil analisis berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 telah dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010. Sedangkan sisanya (79,91%) dialokasikan tidak sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990. Besarnya ketidaksesuaian tersebut sebagai akibat belum dialokasikannya kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat, dan kawasan rawan bencana dalam peta RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010.
3. Sebesar 5,70% dari seluruh kawasan lindung yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010 dimanfaatkan menyimpang dari perencanaannya. Lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk permukiman, sawah, semak dan tanah terbuka.
4. Sebesar 21,12% dari luasan kawasan lindung hasil analisis berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 saat ini dimanfaatkan tidak sebagai kawasan lindung lahan-lahan tersebut dimanfaatkan sebagai kebun campuran, permukiman, perkebunan, rumput, sawah, semak dan tanah terbuka.
5. Seluas 21.060 Ha (7,04% dari luas wilayah Kabupaten Bogor atau 18,64% dari luas kawasan lindung hasil analisis berdasarkan Keppres 32 tahun 1990) harus diprioritaskan untuk segera ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kawasan tersebut saat ini penggunaan lahan eksistingnya masih berupa hutan, namun belum dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010.
6. Sebesar 61,98% kawasan lindung hasil analisis berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 berada di wilayah-wilayah yang mempunyai indikasi tekanan penduduk (indeks tekanan penduduk > 1)
14
Tabel 2 Aplikasi SIG dalam Penelitian (Lanjutan)
No. Peneliti Tahun Lokasi Judul Keterangan/Hasil
12. Eko
Nurwijayanto
2008 Kabupaten
Deli Serdang
Analisis Kawasan Hutan
dan Kawasan Lindung
dalam Rangka Arahan
Penataan Ruang di
Kabupaten Deli Serdang
1. Kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah 50,009 ha (20,02%) dari luas wilayah Kabupaten Deli Serdang.
2. Hasil analisis kawasan lindung berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 menunjukkan bahwa kawasan yang harus dipertahankan sebagai kawasan lindung adalah seluas 96.764 Ha (38,74%) dari luas wilayah Kabupaten Deli Serdang.
3. Hasil analisis kemungkinan penyimpangan kawasan lindung menunjukkan bahwa:
a. Berdasarkan RTRW dengan kondisi eksisting terdapat penyimpangan pemanfaatan kawasan lindung sebesar 28,47% dari luas kawasan lindung dalam RTRW Propinsi Sumatera Utara dan 30,96% dalam RTRW Kabupaten Deli Serdang
b. Berdasarkan RTRW dengan kawasan lindung sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990, kawasan yang belum ditetapkan dan dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam RTRWP adalah 44,89% dari luas kawasan lindung sedangkan dalam RTRWK kawasan yang belum ditetapkan dan dialokasikan sebagai kawasan lindung adalah 45,27% dari luas kawasan lindung
c. Berdasarkan kondisi eksisting dengan kawasan lindung sesuai Keppres No. 32 tahun 1990, terdapat penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan lindung sebesar 34,95% dari luas kawasan lindung yang dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya
4. Berdasarkan hasil analisis tekanan penduduk dari 403 desa yang ada di wilayah Kabupaten Deli Serdang, terdapat 312 Desa yang mempunyai indeks tekanan penduduk > 1, yang berpotensi untuk mendorong penduduk dalam melakukan perluasan lahan pertanian dalam kawasan lindung.