• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Komitmen Beragama Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Masyarakat Jakarta Usia Dewasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Komitmen Beragama Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Masyarakat Jakarta Usia Dewasa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Komitmen Beragama Dengan Kesejahteraan

Psikologis Pada Masyarakat Jakarta Usia Dewasa

Hapsarini Nelma

Alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Dini Rahma Bintari

Fivi Nurwiyanti

Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstract

This study focuses on the relationship between religious commitment to the psychological well-being. The research was done because of the increasing phenomenon of religious activity in the city as a result of the psychological burden caused by the problems in the city. This study used 124 subjects with a characteristic residence in Jakarta, the minimum high school education, aged 24-65 years. This study is a quantitative study using a correlation calculation to determine the relationship between two variables. The results of this study showed a significant relationship between religious commitment to the psychological well-being

Keywords: psychological Welfare, Religious Commitment, Community

Jakarta.

Kota Jakarta merupakan kota metropolitan dengan jumlah penduduk yang tergolong padat. Sebagai sebuah kota besar tentunya kota Jakarta juga mengalami permasalahan-permasalahan kota seperti banjir, pemukiman kumuh, kemacetan, dan sebagainya. Permasalahan – permasalahan kota menyebabkan adanya beban psikologis sendiri bagi warganya. Menurut Bastaman (2001) dikota-kota besar, beban psikologis ini sudah mulai lazim dirasakan dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Hal ini terungkap dalam berbagai keluhan seperti gelisah, serba tidak puas, perasaan serba ragu dan serba salah,

frustrasi, sengketa batin dan sengketa dengan orang lain, merasa hampa, kehilangan semangat hidup, munculnya berbagai penyakit psikosomatis dan lain-lain keluhan dan perilaku yang mencerminkan ketidaktenangan (Bastaman,2001). Beban Psikologis ini pada akhirnya dapat berujung pada gangguan jiwa. Data pasien gangguan jiwa di RSJ Soeharto Heerdjan Grogol, pada tahun 2007 berjumlah 17.124 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 20.040 orang pada tahun 2008 (meningkat 17%). Pada RSUP Cipto Mangunkusumo pasien gangguan jiwa berjumlah 11.816 orang pada tahun 2007 dan

(2)

meningkat menjadi 14.983 orang pada tahun 2008 (meningkat 26,8%). Sedangkan pada RS Persahabatan, jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2007 adalah 2.189 orang dan meningkat menjadi 2.386 orang pada 2008

(meningkat 8,9%)

(http://www.jawapos.co.id/halaman/index .php?act=detail& nid=65958 pada 23 Februari 2010). Namun, warga Jakarta yang sehat mental tetap mampu bertahan ditengah permasalahan kota. Kesehatan mental merupakan pondasi bagi well being dan fungsi efektif untuk individu maupun untuk masyarakat.

(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs 220/en/ pada 30 Maret 2010). Hal ini dapat diartikan bahwa bila well being seseorang terganggu maka ada indikasi bahwa kesehatan mentalnya juga terganggu. Bila kesehatan mentalnya terganggu maka orang tersebut akan sulit untuk menyadari kemampuannya, sulit menyesuaikan diri dengan tekanan dalam kehidupan sehari-hari, produktifitas terganggu dan pada akhirnya sulit untuk memberikan kontribusi pada masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa well being merupakan indikator dari kesehatan mental. Ryff (dalam Ryan & Deci,2001) menggambarkan well being sendiri sebagai usaha untuk mencapai kesempurnaan yang merepresentasikan potensi sesungguhnya dari seseorang. Menurut Ryff (1989) Well being terdiri dari beberapa fitur-fitur yang menunjukkan fungsi psikologis positif. Fungsi psikologis positif itu merupakan dasar dari aspek-aspek

kesejahteraan psikologis (Ryff,1989). Maka dapat diartikan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan indikator dari kesehatan mental.

Belakangan ini terdapat fenomena kebangkitan aktifitas keagamaan di Jakarta. Aktifitas keagamaan ini merupakan usaha untuk mengurangi beban psikologis yang dirasakan warga Jakarta. bila beban psikologis berkurang maka kemungkinan seseorang untuk mengalami gangguan kejiwaan berkurang. Hal ini berarti kesehatan mental membaik dan kesejahteraan psikologis pun membaik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa aktifitas keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Jakarta merupakan usaha untuk mengkatkan kesejahteraan psikologisnya.

Tinjauan Pustaka

Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis sendiri merupakan konsep yang memandang bahwa kebahagiaan tidak hanya sekedar tidak memiliki penyakit psikologis namun suatu kondisi positif yang membuat seseorang mampu memberdayakan potensi-potensi yang dimilikinya (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001). Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yaitu :

1. Penerimaan diri (Self Acceptance). Orang dengan penerimaan diri tinggi adalah orang yang memiliki sikap positif terhadap diri, mengetahui dan menerima aspek-aspek dalam diri baik kelemahan

(3)

maupun kelebihan, merasa positif terhadap kejadian dimasa lalu. Sedangkan orang dengan penerimaan diri rendah adalah orang yang tidak merasa puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan hal-hal yang telah terjadi dimasa lalu, memiliki masalah terkait kualitas diri tertentu, berharap untuk menjadi berbeda dari dirinya saat ini

2. Hubungan positif dengan orang lain. Orang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang tinggi adalah orang yang hangat, memuaskan, memiliki hubungan kepercayaan dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, memiliki empati, kedekatan, dan afeksi yang kuat, memiliki pemahaman akan adanya memberi dan menerima dalam hubungan dengan orang lain. sedangkan orang dengan hubungan positif dengan orang lain yang rendah adalah orang yang hanya sedikit memiliki hubungan dekat dan kepercayaan dengan orang lain, sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan memberikan perhatian pada orang lain, merasa terisolasi dan frustrasi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain, serta sulit berkompromi dengan orang lain dalam mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain.

3. Kemandirian (Autonomy).

Orang yang memiliki kemandirian yang tinggi adalah orang yang independen dan menentukan diri sendiri, dapat bertahan menghadapi tekanan sosial baik dalam tindakan maupun pikiran, mampu mengatur perilaku diri sendiri, mengevaluasi diri

dengan standard pribadi. Sedangkan orang yang memiliki autonomy rendah adalah orang yang memberikan perhatian terhadap harapan dan evaluasi dari orang lain, bersandar pada perkataan orang lain dalam pengambilan keputusan yang penting, mengikuti tekanan sosial baik dalam pikiran maupun tindakan.

4. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery).

Orang yang memiliki penguasaan lingkungan yang tinggi adalah orang yang merasa memiliki kemampuan untuk menguasai dan mengatur lingkungan, mengontrol hal-hal kompleks dalam berbagai aktivitas, efektif dalam menggunakan kesempatan yang ada dilingkungan, dapat memilih atau membuat konteks yang sesuai dengan nilai atau kebutuhan pribadinya. Sedangkan orang dengan penguasaan lingkungan rendah adalah orang yang memiliki kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau meningkatkan konteks lingkungan, tidak sadar terhadap kesempatan yang ada dilingkungan, kurang memiliki rasa mampu mengendalikan dunia luar.

5. Tujuan Hidup (Purpose in Life). Orang yang memiliki tujuan hidup adalah orang yang merasa memiliki kemampuan mengarahkan, memegang keyakinan yang memberikan tujuan bagi hidup, merasakan arti kehidupan saat ini maupun masa lalu, memiliki tujuan dan objektivitas untuk hidup. Sedangkan orang yang tidak memiliki tujuan hidup adalah

(4)

orang yang merasa hidup kurang bermakna, memiliki sedikit tujuan dalam hidupnya, merasa kurang mampu mengarahkan, tidak melihat tujuan dari kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang dapat memberikan makna bagi hidup.

6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Orang dengan pertumbuhan pribadi tinggi adalah orang yang merasa terus mengalami perkembangan, melihat dirinya sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, merasa mengetahui potensi dirinya, melihat adanya peningkatan diri dan perilaku dari waktu ke waktu, mengalami perubahan yang merefleksikan pengetahuan diri dan efektifitas. Orang yang pertumbuhan pribadi rendah adalah orang yang merasa dirinya mengalami stagnasi, merasa kurang adanya peningkatan dan perkembangan diri dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik terhadap hidup, merasa tidak memiliki kemampuan dalam mengembangkan sikap atau perilaku baru.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesejahteraan Psikologis

1. Status sosial ekonomi memang tidak memiliki hubungan dengan dimensi kesejahteraan psikologis. Walaupun sosial. ekonomi dapat memberikan akses kepada sumber-sumber yang dapat meningkatkan well being, namun hubungan kedua variabel tersebut lemah (Ryan & Deci,2001).

2. Kelekatan dan hubungan dengan orang lain. Nezlek (2000) menemukan bahwa bukan kuantitas interaksi seseorang dengan orang lain yang dapat memprediksi well being melainkan kualitas dari interaksi tersebut (Ryan & Deci, 2001).

3. Penelitian mengenai hubungan antara Big Five Traits OCEAN dengan dimensi kesejahteraan psikologis menunjukkan bahwa extraversion, conscientiousness, dan neuroticism rendah memiliki hubungan dengan dimensi self acceptance,environmental mastery, dan life purpose. Openness dan experience berhubungan dengan dimensi personal growth, agreeableness dan extraversion berhubungan dengan positive relationships, dan neuroticism rendah berhubungan dengan autonomy (Schmuttee & Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).

4. Penelitian lain menemukan bahwa ada hubungan antara komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis (Fatchuri, 2000).

5. Menurut Zika & Chamberlain (dalam Rathi & Rastogi, 2007) telah ditemukan bahwa makna hidup merupakan prediktor yang kuat dan konsisten terhadap kesejahteraan psikologis seseorang.

6. Penelitian lain menemukan adanya hubungan antara tekanan ekonomi dan gender dengan kesejahteraan psikologis. Pada wanita hubungan antara gender dengan kesejahteraan psikologis lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki

(5)

(Mills, Grasmick, Morgan, & Wenk, 1992).

7. Penelitian mengenai hubungan status pernikahan dengan kesejahteraan psikologis juga telah dilakukan. Hasil penelitian tersebut menyatakan orang yang sedang tidak terikat ikatan pernikahan (single, janda, duda) secara umum memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah daripada orang yang sedang dalam ikatan pernikahan dalam beberapa dimensi kesejahteraan psikologis (Marks, 1996).

8. Piedmont (dalam Shenesey, 2009) menemukan bahwa tingkat well being, kepuasan hidup, dan kesehatan secara signifikan berhubungan dengan spiritualitas.

Komitmen Beragama

Worthington (2003) mendefinisikan komitmen beragama sebagai tingkat kelekatan seseorang terhadap nilai, kepercayaan, tindakan agama mereka yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Worthington (1988) menyimpulkan setidaknya ada delapan cara yang biasa dilakukan untuk mengukur komitmen beragama yaitu dengan menentukan intensitas seseorang untuk hadir di rumah ibadah, keikutsertaan dalam aktivitas terkait rumah ibadah, kesetujuan terhadap teologi agama atau pun kebijakan pemimpin agama, frekuensi dalam membaca tulisan-tulisan suci yang dijadikan rujukan, self report terkait intensitas seseorang untuk

mengidentifikasikan diri terhadap agamanya, kegiatan ritual yang dilakukan individu, keterlibatan kepercayaan agama dalam pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari, keanggotaan formal dalam organisasi agama.

Worthington (1988) mengembangkan model yang terdiri dari 3 proposisi yaitu:

Proposisi 1 : orang dengan komitmen beragama tinggi biasanya mengevaluasi dunia mereka melalui 3 dimensi yaitu peran kitab suci atau doktrin, pemimpin agama, dan norma –norma kelompok agama mereka.

Proposisi 2 : Setiap individu dapat dinilai berdasarkan 3 dimensi yang biasanya digunakan oleh orang dengan komitmen beragama tinggi untuk mengevaluasi dunianya.

Proposisi 3 : individu memiliki perbedaan dalam batas toleransi terhadap 3 dimensi diatas

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Komitmen Beragama

1. Individu yang memiliki ikatan yang kuat terhadap komunitas agama tertentu akan memiliki komitmen beragama yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan ikatan lemah terhadap komunitasnya (Cornwall, 1987).

2. Sosialisasi agama ini juga menuntun terbentuknya pandangan subyektif religius individu tersebut terhadap dunia yang ada dihadapannya sehingga dapat mempengaruhi komitmen beragama pada orang dewasa (Cornwall, 1987).

(6)

3. Faktor demografi tidak memiliki porsi yang besar dalam mempengaruhi komitmen beragama individu (Cornwall, 1987). 4. Penelitian lain menunjukkan bahwa

komitmen beragama memiliki hubungan dengan kualitas hidup seseorang (Hadaway & Roof, 1978).

5. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan agama secara umum memberikan kontribusi terhadap well being (Ellison & Gay, 1990).

Metodologi Penelitian Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling yaitu incidental sampling. besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 124 orang.

Adapun karakteristik subyek yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu : 1. Masyarakat Jakarta yaitu individu-individu

yang bertempat tinggal dalam wilayah administratif DKI Jakarta. Subyek merupakan warga Jakarta yang telah lama tinggal di Jakarta walaupun orang tua subyek atau daerah asal subyek bukan dari Jakarta.

2. Pendidikan terakhir subyek adalah SMA. Dengan pendidikan minimal SMA diharapkan subyek dapat memahami pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner dengan baik.

3. Subyek berada dalam kategori dewasa. Pemilihan sampel kategori dewasa ini dikarenakan pada orang dewasa, secara

umum memiliki kepribadian trait yang stabil (dalam Traitwein & Husemann, 2009) sehingga pengaruh ketidakstabilan kepribadian sampel terhadap kondisi kesejahteraan psikologisnya dapat diminimalisir. Oleh karena itu, dalam penelitian ini usia subyek harus berada dalam rentang kategori dewasa. Menurut Sarwono (1989) untuk masyarakat Indonesia rentang usia remaja yaitu usia 11-24 tahun. Oleh karena itu, pada penelitian ini subyek yang digunakan berusia 24-65 tahun. Batas usia ini dipilih berdasarkan pembagian kategori dewasa menurut papalia (2007) yaitu dewasa muda dan dewasa madya. Dewasa muda dalam penelitian ini antara 24-40 tahun. Sedangkan dewasa madya antara 41-65 tahun. Pemilihan kedua kategori ini dikarenakan kedua kategori dewasa tersebut berada dalam usia produktif. Sedangkan dewasa lanjut tidak digunakan karena pada usia tersebut tantang hidup sudah berbeda dengan tantangan pada 2 kategori lainnya.

Analisis Data

Pengumpulan data akan dilakukan melalui self-report. Pada penelitian ini subyek akan diberikan alat ukur RCI-20 dan SPWB. Kedua alat ukur tersebut berbentuk kuesioner dan subyek diminta untuk memberikan respon terhadap pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi dirinya.

(7)

Berikut ini adalah hasil uji reliabilitas alat ukur setelah uji coba :

Reliabilitas Alat Ukur Kesejahteraan Psikologis Setelah Penghilangan Beberapa Item

Kesejahteraan Psikologis Reliabilitas

Penerimaan Diri 0,751

Hubungan Positif dengan

Orang Lain 0,765

Kemandirian 0,690

Tujuan Hidup 0,802

Pertumbuhan Pribadi 0,795 Penguasaan Lingkungan 0,818

Hasil Uji Coba Alat Ukur Komitmen Beragama

Reliabilitas

(skor ά) Item Yang Dihilangkan

0,875 5,9,12,13,10,15,18

Hasil Penelitian

Peneliti mencari hubungan antara komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis pada 124 subyek. Korelasi kedua variabel ini dicari dengan menggunakan perhitungan Pearson Correlation. Gambaran korelasi kedua variabel dapat dilihat pada tabel berikut :

Korelasi Komitmen Beragama dengan Kesejahteraan Psikologis Correlations SUM_RC SUM_PWB SUM_ RC PearsonCorrelation 1 .192 * Sig. (2-tailed) .033 N 124 124 SUM_ PWB PearsonCorrelation .192 * 1 Sig. (2-tailed) .033 N 124 124

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Dari hasil perhitungan korelasi diatas dapat diketahui :

Terdapat hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen beragama pada masyarakat Jakarta. Hal ini terlihat dari adanya hubungan yang signifikan antara skor total kesejahteraan psikologis dengan skor total komtimen beragama. Dari hasil ini maka hipotesis alternatif diterima dan hipotesis null ditolak. Indeks korelasi skort total komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis r = 0,192. Dari indeks 0.192 ini kemudian diproleh index of determinant sebesar (0,192)2

= 0,036. Artinya komitmen beragama menentukan kesejahteraan psikologis seseorang sebesar 3,6%.

Adapun hasil perhitungan multiple correlation diperoleh data sebagai berikut :

(8)

Multiple Correlation Komitmen Beragama

Dengan Kesejahteraan Psikologis

Model Summary

Model R R Square Adjusted RSquare

Std. Error of the Estimate

1 .290a .084 .037 8.76779

a. Predictors: (Constant), SUM_PWB_PL, SUM_PWB_K, SUM_PWB_PP, SUM_PWB_HP, SUM_PWB_TH, SUM_PWB_PD

Coefficientsa

Model

Unstandardized

Coefficients StandardizedCoefficients

T Sig.

Correlations

B ErrorStd. Beta Zero-order Partial Part

1 (Constant) 37.097 9.592 3.867 .000 SUM_PWB_PD -.082 .254 -.055 -.325 .746 .130 -.030 -.029 SUM_PWB_HP .167 .258 .079 .646 .520 .164 .060 .057 SUM_PWB_K .228 .231 .094 .985 .327 .124 .091 .087 SUM_PWB_TH .469 .294 .222 1.599 .113 .221 .146 .141 SUM_PWB_PP .320 .280 .141 1.142 .256 .221 .105 .101 SUM_PWB_PL -.281 .233 -.181 -1.205 .230 .075 -.111 -.107 a. Dependent Variable: SUM_RC

Dari hasil perhitungan diatas, diperoleh R square sebesar 0,084. Hal ini berarti 8,4% dari variabilitas komitmen beragama memiliki hubungan dengan variabilitas kesejahteraan psikologis. Sedangkan berdasarkan data diatas, hubungan komitmen beragama dengan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis tidak signifikan. Berdasarkan hasil ini, maka dapat dikatakan bahwa dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis baru dapat memiliki hubungan dengan komitmen beragama manakala dimensi-dimensi tersebut dihitung secara bersama. Sedangkan bila dihitung

masing-masing dimensi maka hasilnya tidak signifikan dengan komitmen beragama.

Diskusi

Dari penelitian ini diperoleh hasil adanya hubungan signifikan positif kedua variabel pada korelasi skor total komitmen beragama dengan skor total kesejahteraan psikologis, korelasi komitmen beragama dengan pertumbuhan pribadi dan korelasi komitmen beragama dengan tujuan hidup. Peneliti mengasumsikan korelasi positif antara komitmen beragama dengan dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup

(9)

kesejahteraan psikologis dikarenakan agama memiliki orientasi abstrak yang memberikan arahan bagaimana seseorang seharusnya melihat dunia, membantu seseorang mendefinisikan realita yang ada dihadapannya, serta memberikan makna sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Paloutzian (1996). Sedangkan, makna dalam hidup merupakan prediktor kuat dan konsisten bagi kesejahteraan psikologis (Zika & Chamberlain dalam Rathi & Rastogi, 2007).

Walaupun terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis, namun hubungan tersebut lemah. Hal ini dapat dilihat dari persentase komitmen beragama dalam menentukan kesejahteraan psikologis sebesar 3,6 %. Begitu pula dengan dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup dimana komitmen beragama memberikan kontribusi sebesar 4,8%. Hal ini menandakan banyak faktor-faktor lain yang turut menentukan kesejahteraan psikologis masyarakat Jakarta selain komitmen beragama.

Sedangkan pada dimensi-dimensi lain, peneliti mengasumsikan tidak adanya hubungan yang signifikan antara komitmen beragama dengan kemandirian lebih disebabkan karena faktor budaya Indonesia yang kolektif sehingga masyarakat Indonesia cenderung untuk ikut mempertimbangkan masukan-masukan yang diberi orang lain dalam pengambilan keputusan maupun tingkah lakunya. Selain itu, dimensi ini juga dapat disebabkan oleh sikap individualis yang

merupakan ciri masyarakat kota. Begitu pula dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain. Budaya Indonesia yang kolektif lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan dimana masyarakatnya diajarkan untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain baik orang tersebut memiliki komitmen beragama yang tinggi atau rendah. Dimensi penerimaan diri dalam asumsi peneliti tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen beragama dikarenakan faktor budaya kolektif Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam budaya kolektif penilaian orang lain terhadap diri menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Sedangkan pada dimensi penguasaan lingkungan, peneliti berasumsi tidak signifikannya korelasi dimensi penguasaan lingkungan dengan komitmen beragama dikarenakan karakteristik pendidikan subyek. Dalam penelitian ini subyek yang digunakan adalah subyek yang berada pada level pendidikan yang cukup tinggi (SMA – S3). Peneliti berasumsi bahwa orang yang mampu mengenyam pendidikan tinggi adalah orang yang mampu beradaptasi dengan beban akademis sehingga memiliki penguasaan lingkungan yang baik. Baik mereka memiliki komitmen beragama yang tinggi atau rendah.

Berdasarkan analisa tambahan yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mean yang signifikan terdapat pada perbedaan mean jenis kelamin signifikan pada dimensi kesejahteraan psikologis penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan

(10)

orang lain. pada kedua dimensi ini mean wanita lebih tinggi daripada mean laki-laki. Selain itu, perbedaan mean signifikan lainnya terdapat pada komitmen beragama antara orang yang mengikuti organisasi keagamaan dengan yang tidak. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa individu yang memiliki ikatan yang kuat terhadap komunitas agama tertentu akan memiliki komitmen beragama yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan ikatan lemah terhadap komunitasnya (Cornwall, 1987). Ikatan yang kuat ini menyebabkan individu dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang ada dikomunitasnya. Salah satu bentuk komunitas keagamaan tersebut adalah organisasi agama. Perbedaan mean yang signifikan juga terdapat pada hasil uji t-test komitmen beragama dengan usia. Perbedaan mean yang tidak signifikan terdapat pada perbedaan mean kesejahteraan psikologis berdasarkan usia, status sosio ekonomi, dan status pernikahan.

Kesimpulan

1. Bila dilihat dari adanya hubungan yang signifikan antara skor total kesejahteraan psikologis dengan skor total komtimen beragama. Dari hasil ini maka hipotesis alternatif diterima dan hipotesis null ditolak. Artinya, orang yang memiliki komitmen beragama yang tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula.

2. Bila ditinjau dari hubungan komitmen beragama dengan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis maka hasilnya tidak ada dimensi kesejahteraan psikologis yang berhubungan dengan komitmen beragama manakal dimensi-diemsni itu berdiri sendiri. Sedangkan bila dimensi-dimensi tersebut dihitung secara bersamaan maka korelasi dari kedua varibael tersebut menghasilkan nilai yang signifikan (kecuali dimensi kemandirian dengan dimensi hubungan positif) . Hal ini semakin menegaskan bahwa kesejahteraan psikologis adalah variabel yang memiliki hubungan yang erat antara dimensinya. Hubungan yang erat ini juga dibuktikan dengan hubungan yang signifikan antar dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.

Saran

Berikut ini adalah saran-saran untuk penelitian lebih lanjut :

1. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya rentang pendidikan diperlebar, tidak hanya pada pendidikan tinggi. Hal ini agar dapat terlihat apakah tingkat pendidikan juga memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis seseorang atau tidak.

2. Sebaiknya jumlah subyek berdasarkan agama yang dianut merata. Hal ini agar dapat diketahui apakah ada unsur-unsur agama tertentu yang memiliki hubungan dengan komitmen beragama seseorang. 3. Sebaiknya memperbesar jumlah sampel

(11)

dan lebih bervariasi. Hal ini dikarenakan masyarakat Jakarta yang multikultural dan multi etnik sehingga besar kemungkinan akan adanya bias budaya dalam penelitian. 4. Berdasarkan hasil penelitian ini dimana

kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen beragama, maka hal ini dapat menjadi masukan untuk promosi peningkatan kesejahteraan psikologis melalui pendekatan religius.

5. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Jakarta yang multikultural dan multietnis sehingga tidak didominasi oleh agama atau etnis tertentu. Sebaiknya penelitian

mengenai komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis ini dilakukan juga pada masyarakat multikultural di wilayah lain agar terlihat konsistensi dari korelasi-korelasi yang ada.

6. Sebaiknya dilakukan juga penelitian lanjutan dari analisa tambahan. Hal ini dikarenakan banyak hasil analisa tambahan yang berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan pada hasil analisa tambahan ini lebih banyak dikarenakan perbedaan budaya masyarakat multikultural Jakarta dengan subyek yang digunakan pada penelitian sebelumnya.

(12)

Daftar Pustaka

Cornwall, M. (1987). The Social Bases Of Religion : A Study Of Factors Influencing Religious Belief And Commitment. Review Of Religious Research , 29, 44-56.Bastaman, H. D. (2001). Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ellison, C. G., & Gay, D. A. (1990). Region,

Religious Commitment, And Life SatisfactionAmong Black Americans. The Sociological Quaterly , 123-147. Fatchuri. (2000). Hubungan Antara

Komitmen Beragama Dengan Psychological Well Being Masyarakat Betawi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Hadaway, C. K., & Roof, W. C. (1978). Religious Commitmen And The Quality Of Life In American Society. Review Of Religious Research , 295-307.

Marks, N. F. (1996). Flying Solo At Midlife. Journal Of Marriage And Family , 58, 917-932.

Mills, R. J., Grasmick, H. G., Morgan, C. S., & Wenk, D. (1992). The Effects Of Gender, Family Satisfaction, And Economic Strain On Psychological Well Being. Family Relations , 41, 440-445. Paloutzian, R. F. (1996). Invitation To The

Psychology Of Religion. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Rathi, N., & Rastogi, R. (2007). Meaning In Life And Psychological Well Being In Pre-Adolescents And Adolescents. Journal Of The Indian Academy Of Applied Psychology , 33, 31-38.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potensials: a

review of research on hedonic and eudaimonic well being. annual review , 141-66.

Sarwono, S. W. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Shenesey, J. W. (2009). An Examination Of Spirituality, Religious Commitment, Personality, and Mental Health. South Alabama: University Of South Alabama .

Trautwein, U., & Husemann, N. (2009). Goal And PersonlityTrait Development In A Transitional Period : Assessing ChangeAnd Stability In Personality Development. Personality And Social Psychology Bulletin , 428-441.

Worthington, E. L. (1988). Understanding the Values of Religious Clients: A Model and Its Application To Counseling. Journal Of Counseling Psychology , 35, 166-174.

Worthington, E. L., Wade, N. G., Hight, T. L., McCullough, M. E., Berry, J. T., Ripley, J. S., et al. (2003). The Religious Commitment Inventory-10: Development, Refinement, And Validation Of A Brief ScaleFor Research And Counseling. Journal Of Counseling Psychology , 50, 84-96. Jawa Pos. (n.d.) February 23, 2010.

http://www.jawapos.co.id/halaman/inde x .php?act=detail& nid=65958 World Health Organization. (2007). Mental health: strengthening mental health promotion. March 30, 2010. http://www.who.int/mediacentre/factshe ets /fs220/en/

Referensi

Dokumen terkait

Narasumber 1 menyebutkan bahwa untuk wanita yang mendaftar menjadi supir grab atau gojek ternyata tidak harus memiliki syarat khusus, syaratnya sama seperti pria juga, tetapi

yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan produksi ubi kayu atau ubi jalar.. karena berkaitan dengan potensi hasil

Simpulan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dikemukakan dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dikemukakan (i) hasil tanggapan/penilaian

Kenaikan ketimpangan juga terjadi pada sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara, ini berarti pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada periode 2000 – 2010 juga

Penelitian ini mengevaluasi pengelolaan limbah atau secara spesifik mengevaluasi Sistem Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Pupuk Kaltim berdasarkan Baku Mutu dan Perundang-undangan

Identity in Terms of Sexual Experience. In the context of sexual experience, the researcher analyzed Firdaus based on her internal conflicts that is combined with Freud’s theory of

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perbedaan Pengaruh

Segala puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan