• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktualisasi Pendidikan Seni Berperspektif Kebangsaan Dan Relevansinya Bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aktualisasi Pendidikan Seni Berperspektif Kebangsaan Dan Relevansinya Bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AKTUALISASI PENDIDIKAN SENI BERPERSPEKTIF KEBANGSAAN DAN

RELEVANSINYA BAGI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN

NASIONAL

Makalah ini disampaikan dalam Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan III Tahun 2016

bertemakan “Restorasi Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan untuk Peradaban Baru bangsa Indonesia”, Kerjasama Universitas Gadjah Mada dan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-DIY, Yogyakarta 3- April-2 Mei April-2016.

1

(2)

Prof. Dr. Hj. Yudiaryani, M.A.

Tantangan Bagi Pendidikan di Indonesia. Ketertinggalan pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak terkait dengan ilmu pengetahuan semata yang diberikan di lembaga pendidikan, tetapi terkait pula dengan ketertinggalan akses informasi seputar perkembangan IPTEK. Ketertinggalan akses ini secara fundamental disebabkan oleh dua hal, pertama penguasaan operasional perangkat teknologi informasi oleh pendidik,

kedua karena belum semua lembaga pendidikan mampu memenuhi ketersediaan perangkat teknologi informasi yang mampu memberikan akses informasi global yang memadai. Hal ini pun disebabkan oleh faktor fundamental lainnya, yaitu kualitas SDM dan ketersediaan finansial. Faktor pertama terkait dengan kesenjangan kemajuan teknologi dengan dunia pendidikan yang kemudian melahirkan persoalan yang kedua yaitu ketertinggalan prestasi pendidikan. Kondisi demikian dapat kita saksikan di pulau-pulau terluar, terdepan, dan tertinggal yang berhadapan langsung dengan negara lain. Banyak anak yang tidak sekolah karena kekurangan guru, sehingga sering prajurit TNI yang bertugas di pos-pos pengamanan membantu proses belajar mengajar anak-anak di wilayah tugasnya,

Ketertinggalan pendidikan terjadi juga pada elemen mendasar, yaitu cara hidup siswa didik. Jika dicermati, tampak bahwa masa kini masyarakat lebih mudah menginvestasikan kemampuan finansial dan cenderung menghabiskan waktu senggang pada pemenuhan ‘nafsu jalan-jalan’ dan tuntutan trend gaya hidup, daripada pengembangan kemandirian dan ilmu pengetahuan. Begitupun kemampuan siswa memecahkan masalah mengait juga pada kemampuan riset, karena riset di dalamnya mencakup kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan riset yang dimiliki oleh siswa akan sangat berpengaruh pada upaya melahirkan penemuan-penemuan baru yang datang dari dunia pendidikan. Maka proses pendidikan di negeri kita belum menekankan kemandirian dan perkembangan multidimensi individu. Perkembangan integral peserta didik seharusnya menjadi orientasi utama dalam pembenahan pendidikan. Selain negara juga harus berperan aktif mensinergikannya dengan kebijakan dan praktik pendidikan.

2

(3)

Globalisasi juga memberi dampak nyata bagi ketertinggalan pendidikan di Indonesia. Budaya bermasyarakat diwarnai oleh perubahan yang cepat dan sulit diprediksi. Perubahan-perubahan IPTEKS menyerbu dan membelokkan arah orientasi kepribadian bangsa. Di sinilah tantangan bagi kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang dianggap sebagai tradisional bertemu dengan kebudayaan dari manca negara, yaitu kebudayaan Barat. Kebudayaan asli Barat adalah kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa, seperti Perancis, Belanda, Finlandia, yang berkembang berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam sejarah sebuah bangsa. Produk budaya Barat ini merupakan revolusi berpikir yang membentang dari paham humanisme, rasionalisme, individualisme, hingga minat teknologis. Meskipun dengan cara dan sistemnya masing-masing, kebudayaan khas negara-negara tersebut merupakan kebudayaan khas modern dengan teknologis modern sebagai produknya. Produknya adalah hasil-hasil teknologi dan sains dalam kehidupan masyarakat keseharian: media komunikasi, sarana mobilitas transportasi canggih, peralatan listrik canggih, dan persenjataan modern . Bebas nilai dan netral merupakan budaya yang dianut dengan tanpa memiliki implikasi ideologis atau keagamaan. Kebudayaan teknologis modern ini sangat ampuh mewujudkan sistem nilai dan norma baru. Menghadapi kebudayaan teknologis modern mengakibatkan kebudayaan Indonesia menjadi modern. Pada dasarnya, kebudayaan Indonesia tradisional dapat berubah menjadi kebudayaan teknologis modern, asalkan adanya pemahaman yang sama bahwa kebudayaan teknologis modern diperlukan untuk memecahkan persoalan bangsa, yaitu penciptaan kondisi bagi kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Pada perjalanan waktu, kebudayaan Barat memiliki keturunan lain, yaitu kebudayaan modern tiruan, yang dikenal dengan kebudayaan semu atau pengetahuan semu, pseudosains. Kebudayaan tiruan tersebut “seolah” mencerminkan kegemerlapan teknologi modern, tetapi sebenarnya hanya memiliki simbol lahiriahnya saja, seperti kebudayaan supermarket, kebudayaan Coca Cola, pendidikan ranking dunia, duty free shop, dan lain-lain yang mencerminkan budaya artifisial. Anak kebudayaan artifisial adalah budaya konsumtif yang tidak menyumbangkan apapun pada identitas bangsa. Kita kehilangan kendali bagi diri kita dan kita tidak mampu menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Demikianlah persoalan muncul ketika kebudayaan Indonesia tradisional bertemu dengan kebudayaan teknologis semu. Kebudayaan semacam ini lah

3

(4)

yang mengancam bangsa Indonesia karena kebudayaan ini tidak sejati, tidak substansial. Magnis Suseno meneybut kebudayaan ini menjadikan manusia Indonesia tanpa kepribadian, terasing, kosong, dan manusia latah. Kebudayaan modern tiruan inilah yang menyebabkan kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, dan sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan. Kita menjadi masyarakat yang seolah-olah modern tetapi bukan orang modern.

Dengan demikian, kita dihadapkan dengan permasalahan: Apakah pendidikan nasional kita mampu mempertahankan identitasnya menghadapi budaya teknologis modern tiruan?

Pendidikan Nasional. Identitas pendidikan, sama halnya dengan identitas seseorang, bukan sesuatu yang statis tetapi suatu proses yang mengalami perubahan dan perkembangan. Jika pendidikan tidak berkembang sama sekali maka ia tidak identik dengan dirinya sendiri. Pendidikan tidak lagi hidup, tidak lagi aktual. Secara falsafati, pendidikan adalah suatu proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan harus memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 yang menyebutkan standard kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang mampu menerapkan ilmu, teknologi, dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Peraturan pemerintah tersebut menyatakan pula bahwa pendidikan Seni Rupa dan Seni Pertunjukan, seperti seni musik, seni tari, dan seni teater pada dasarnya merupakan pendidikan seni berbasis budaya yang berkarakter multilingual, multidimensional, dan multikultural.

4

(5)

Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak atau budi pekerti yg membedakan seseorang dengan yang lain. Pendidikan berkarakter berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun bangsa Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Pada saat kemerdekaan, negara kesatuan pun dipilih oleh pendiri bangsa. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang mencerminkan keberadaan watak pluralisme. Menurut Thomas Lickona, pendidikan berkarakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan. Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan berkarakter tidak akan efektif. Ki Hajar Dewantara mengusung gagasan tentang kebangsaan, kemandirian, pemerataan akses dan kesetaraan. Diskriminasi pendidikan harus dihapus sehingga setiap anak memperoleh pendidikan tanpa batas dan sesuai konteks kehidupannya. Dengan kata lain, pendidikan harus diberikan kepada rakyat secara nasional dan tidak terkotak-kotak.

Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan berkarakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan berkarakter menjadi penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

Nasionalisme. Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang merupakan wujud perlawanan ideologi terhadap segala bentuk penjajahan. Nasionalisme Indonesia harus dipahami dengan latar belakang sejarah penjajahan yang mengancam dan bahkan dapat mengarah kepada disintegrasi bangsa. Menurut B. Anderson, nasionalisme merupakan suatu bangunan, merupakan suatu perumus tindak dan memiliki konsekuensi yang serius, seperti bagaimana mempertahankan keutuhan kekerabatan dan bagaimana melindungi tanah air. Dalam arti bahwa ketika suatu nasionalisme dianggap sebagai sebuah bangunan—Bung Karno menyebutnya sebagai “bangunan rasa hidup”—maka bangsa merupakan orang-orang yang membangun bangunan tersebut yang kemudian membentuk negara. Di mana dalam suatu negara, bangunan adalah suatu sistem untuk mewujudkan tujuan bangsa itu sendiri. Bung Karno menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme Ke-Timur-an, yaitu nasionalisme yang hidup dalam roh.

5

(6)

Artinya bahwa nasionalisme merupakan kesadaran untuk membangun bangsa. Awalnya kesadaran lahir dari individu-individu, kemudian mereka digerakkan oleh sistem pemerintahan sebagai perkakas Tuhan yang bergerak untuk kepentingan bersama. Dari pengertian bangsa, maka lahir maksud dari kebangsaan, yaitu kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Setelah kesadaran itu ada dan terbentuk, maka lahirlah rasa kebangsaan yang mampu mewujudkan suatu bangsa sebagai bangunan yang dibangun dari roh sebagai perkakas Tuhan.

Kebangsaan. Kebangsaan merupakan mekanisme kehidupan kelompok yang beragam, dengan ciri-ciri persaudaraan, kesetaraan, kesetiakawanan, kebersamaan, dan kesediaan berkorban bagi kepentingan bersama. Bangsa dan tanah air harus merupakan satu kesatuan; negara yang dibentuk atas dasar itu disebut negara kebangsaan. Maka negara Indonesia terbentuk mengikuti konsep kebangsaan. Menjadi satu negara kebangsaan berbentuk republik dengan mengakui kekhasan daerah. Oleh karena itu konsepsi kebangsaan harus terus ditumbuhkan pada masyarakat bangsa dan dikembangkan secara terstruktur, yaitu berturut-turut pada tingkat kesadarannya, kemudian menjadikannya sebagai suatu paham, dan mengaktualisasikannya dalam semangat kebangsaan.

Dari tinjauan kebudayaan dan kewilayahan, ditemukan nilai–nilai integratif dalam diri bangsa Indonesia. Rangkaian nilai-nilai tersebut teraktualisasikan dalam konsep-konsep dasar kehidupan berbangsa Indonesia, yaitu konsep dasar pertama, bhineka tunggal ika, adalah konsep untuk mengintegrasikan keanekaragaman komponen bangsa. Kedua, persatuan dan kesatuan, adalah konsep untuk mengakumulasi kekuatan nasional. Ketiga, kebangsaan adalah konsep untuk mewujudkan keinginan untuk hidup bersama. Keempat, geopolitik adalah konsep untuk mewujudkan kedaulatan bangsa atas tanah airnya. Kelima, negara kebangsaan adalah konsep untuk menjadikan negara sebagai sarana perjuangan mewujudkan cita-cita bangsa. Keenam, negara kepulauan adalah konsep untuk mempertahankan keutuhan wilayah nasional.

Pergeseran Paradigma Pendidikan Seni. Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki ragam budaya. Pendidikan seni tidak dapat menghilangkan penggunaan ragam budaya yang tumbuh dan berkembang di tingkat pembelajaran, sehingga pendidikan

6

(7)

seni dapat menjadi arah orientasi pembelajaran dalam konteks pendidikan nasional. Peserta didik akan mengenali dan menghormati beragam budaya yang menjadi kekayaan bangsanya. Dalam standar kelulusannya pun peserta didik diharapkan mampu mengekspresikan dan mengapresiasi ragam budaya untuk menjadi dasar bagi cipta karya mereka. Sumber seni budaya tradisi dengan ekspresinya merupakan kekayaan yang tiada habisnya yang harus terus digali guna peningkatan pendidikan berkarakter kebangsaan.

Menempatkan seni pertunjukan (teater, tari, dan musik) sebagai titik awal membaca pendidikan seni di Indonesia akan memunculkan kenyataan bahwa seni pertunjukan hadir karena situasi kemasyarakatan. Masyarakat menonton seni pertunjukan dalam rangka mengalami kembali situasi sosial yang mereka hadapi. Apabila seni pertunjukan bermakna bagi pendidikan seni tanpa mengubah kebenaran subjek studinya secara sosiologis, maka seni pertunjukan memiliki kesamaan dengan masyarakat di mana bentuk merupakan bagian integral dari strukturnya, yaitu sebagai sebuah bentuk interaksi sosial.

Seni pertunjukan hidup dalam lingkungan dua alam budaya. Pada satu pihak, ditumbuhkan oleh suatu kebudayaan tertentu yang dalam konteks kebangsaan disebut kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah mempunyai sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi. Pada pihak lain, diwujudkan kembali oleh adanya kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas yang tidak semata-mata menganut cita-cita daerah asalnya. Ketergantungan seni pertunjukan pada konteks menyebabkan kehadirannya juga tergantung pada kebutuhan masyarakat. Tata nilai masyarakat bergeser, wujud keseniannya pun bergeser, dan akhirnya identitas seni pertunjukan seni pertunjukan pun bergeser. Seni pertunjukan di Indonesia yang pada awalnya hadir karena kehendak kelompok pendukung kebudayaan tertentu, masa kini mereka yang berasal dari daerah lain pun didorong untuk memiliki rasa kepemilikan seni tersebut. Dengan demikian, terjadi pertumbuhan kebudayaan daerah yang menyebabkan seni pertunjukan di Indonesia yang berasal dari suatu kebudayaan daerah tertentu memperoleh pemasukan citarasa dari kebudayaan lain.

Dengan menggeser karakter seni pertunjukan Indonesia dari yang kedaerahan menjadi baru, berarti seni pertunjukan membuka ruang-ruang pembebasan pada nilai kedaerahannya. Proses pembebasan tersebut dianggap Umar Kayam sebagai

7

(8)

’pembebasan budaya-budaya daerah’ dan Rendra menyebutnya dengan ’mempertimbangkan tradisi’, sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya dengan ’budaya tanding’. Proses ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan daerah dengan karakternya yang cair, plastis, dan dinamis, bergulat dalam rangka menemukan jati dirinya dalam suatu wajah dan kualitas seni pertunjukan Indonesia yang berkarakter modern dan bahkan kekinian. Ruang-ruang pembebasan di dalam seni pertunjukan Indonesia yang berkarakter daerah mendapat tempat di hati anggota masyarakat yang sedang mengalami perubahan atau transformasi nilai. Transformasi terjadi pada nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia, yaitu dari nilai-nilai budaya kedaerahan ke tatanan nilai-nilai budaya negara-kebangsaan dan nilai budaya Indonesia yang menggeser budaya agraris tradisi ke tatanan budaya industri modern. Dalam pengertian bahwa kata ”Indonesia” sendiri sudah mengandung karakternya yang modern, maka penyebutan istilah “Seni pertunjukan Indonesia” digunakan bagi semua wujud seni pertunjukan di Indonesia, baik yang berkarakter tradisi maupun modern.

Di sinilah kemudian tampak bagaimana pergeseran paradigma seni pertunjukan dari yang semula bersifat tradisional menjadi modern dikarenakan kehendaknya untuk mempersatukan seluruh seni daerah menjadi seni pertunjukan Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur kedaerahannya. Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi insan-insan seni pertunjukan bagaimana menggabungkan seni tradisional dengan ide-ide kreatif mereka yang telah bersinggungan dengan ide kreatif dari daerah lain dan bahkan dengan ide dari manca negara. Seni yang kontekstual dengan zamannya membutuhkan sikap aktif masyarakat karena menjadi penentu bagi pembentukan suatu kebudayaan. Menurut Piliang, kondisi tersebut bukanlah suatu perbincangan mengenai suatu kepastian, akan tetapi sebuah pilihan, sebuah perencanaan yang berkembang secara “sirkuler”, serta merupakan suatu jaringan hubungan yang kompleks antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang berlangsung secara holistik. Kebudayaan semacam ini tentu saja merupakan suatu wujud budaya yang dinamis dengan segala pemahaman hasil yang bisa optimis sekaligus pesimis. Optimis, karena budaya semacam ini membuka peluang bagi penciptaan gagasan dan wujud yang bernilai bagi kehidupan manusia. Pesimis, karena dengan sendirinya budaya semacam ini kemungkinan dapat menciptakan ketidakmerataan dan ketidaksetaraan di dalam setiap ungkapan wujud dan gagasan.

8

(9)

Rumusan Pilliang menyebutkan bahwa kehadiran sebuah masyarakat tercermin dari bagaimana komunikasi berlangsung di antara sesama anggotanya. Lebih tepatnya sebagai kontak di antara orang-orang yang melihat dirinya sendiri berbeda dari orang lain dalam hal budaya mereka. Pentingnya sikap dialogis tersebut adalah untuk menjaga hubungan yang seimbang atau hubungan simetris dalam interaksi antarbudaya. Pilliang menyebutnya sebagai “trans-estetik”, di mana interaksi dan komunikasi, baik dari pengguna nilai budaya maupun nilai-nilai itu sendiri membuat garis-garis penghubung (channel) antarbudaya. Membuat garis penghubung menyebabkan nilai-nilai budaya bergerak dan berubah. Artinya, satu nilai bergerak menuju ke tempat lain dan mengalami perubahan dari wujud satu ke wujud lain. Sesuai dengan konsep trans-estetik, seni pertunjukan tidaklah berkarakter statis, namun dapat diubah dan dikembangkan.

Dinamisasi nilai-nilai dalam kebudayaan memberi kesempatan bagi mereka, para pendidik untuk melacak lebih dalam, baik demi kepentingan kerukunan hidup bersama maupun penciptaan kreativitas berkesenian. Peran penting pendidikan seni adalah melestarikan dan merevitalisasi kualitas nilai budaya lokal yang terselenggara dalam bentuk mata kuliah yang terjabarkan di dalam penegasan kurikulum. Dalam pembelajaran seni pertunjukan membutuhkan suatu proses pendekatan yang bertahap, yaitu dari proses kreatif peserta didik beserta lingkungan berkeseniannya, hasil karya seninya, hingga peningkatan resepsi penontonnya. Kurikulum seni pertunjukan seharusnya mampu menjadi media yang menghantarkan perekaman ekspresi dan resepsi nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Eric Bentley via Brockett menyebutkan bahwa seni pertunjukan dibuat oleh A (seniman) menjadi B (karya seni) untuk C (penonton). Peristiwa-peristiwa aktual dan faktual dalam tradisi lisan dan narasi fiksi, misalnya, dibaca kembali oleh seniman menjadi seni pertunjukan baru. Seni pertunjukan masa kini mendapat kontribusi kreatif dari tradisi lisan. Kisah Mahabharata menjadi ide penulisan naskah drama dan pertunjukan seni pertunjukan, di antaranya Karno Tanding, yang merupakan kerja kolaborasi antara pendidik Seni pertunjukan dan Tari ISI Yogyakarta dan Yokohama Boat Theatre Jepang. Peter Brook memproduksi Mahabharata di tahun 1985 dengan menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi lisan dengan tampilan yang modern. Pertunjukan seni pertunjukan I La Galigo berdasarkan cerita lisan tentang La Galigo

9

(10)

dari budaya Bugis Kuna dipentaskan di beberapa negara tahun 2003. Kemudian pertunjukan seni pertunjukan Tusuk Konde yang merupakan salah satu dari Trilogi

Opera Jawa yang disutradarai Garin Nugroho merupakan tafsir bebas kontekstual dari epos besar Ramayana juga menjadi bukti keluwesan tradisi lisan. Terakhir adalah kisah Mangir-Pembayun digarap dengan judul Pilihan Pembayun (2015) oleh Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta dengan menggunakan bentuk Bedhayan, Mini Kata, Hip Hop, dan Mbarangan. Pertunjukan tersebut semakin meneguhkan gagasan bahwa seni pertunjukan adalah wilayah penyatuan beragam perbedaan yang muncul melalui wujud seni teater, tari, dan musik. Di Negara Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa diketahui siapa pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya menjadi drama trilogi, yaitu

Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh seniman masa kini dalam pesan-pesan kontekstual yang berbeda. Rendra mementaskan Oidipus Sang Raja di tahun 1960-an dan diulang kembali dengan tampilan berbeda di tahun 1970-an. Tahun 2007, cerita Oidipus kembali dipentaskan oleh mahasiswa Seni pertunjukan ISI Yogyakarta dan mahasiswa Austria dengan judul

Oidipus Tyrannos. Nilai-nilai tradisi lisan merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat yang berperan membantu memperlancar tumbuh kembangnya pribadi anggota masyarakat. Manusia membutuhkan nilai-nilai tradisi untuk memperbaiki hidup bermasyarakat. Itulah pentingnya kedudukan tradisi, yaitu sebagai ”pembimbing” pergaulan bersama di dalam masyarakat.

Masa kini menuntut cara berkesenian yang progresif, baik ekspresi maupun resepsinya. Pendidikan seni diharap untuk selalu meng up grade dan mengkritisi dirinya sendiri, sehingga mampu menjadi suatu representasi dari gaya seni yang transgresif dan progresif. Artinya, bahwa seni pertunjukan menjadi pembelajaran bagi pengenalan keterbatasannya di mana seni pertunjukan menggunakan masa lalu dengan sekaligus memberi tanda budaya bagi dirinya dengan cara yang berbeda. Seni pertunjukan masa kini dicirikan oleh penampilan bersama masa lalu dan masa kini dalam sebuah brikolase dengan menyandingkan tanda-tanda yang sebelumnya tidak berkaitan menjadi kode-kode makna baru. Brikolase sebagai gaya seni merupakan elemen inti dari budaya masa kini.

10

(11)

Peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia masa kini membutuhkan perubahan paradigma tentang pemikiran, persepsi, serta nilai dasar realitas yang berlaku. Visi realitas baru didasarkan atas kesadaran akan saling-terhubung dan saling-tergantung semua fenomena biologis, psikologis, teknologis, sains, sosial, dan seni. Kesemuanya terhubung menjadi suatu realitas sistemik yang, menurut Fritjof, merupakan suatu sistem biologi yang memandang suatu organisme sebagai suatu sistem hidup yang saling terhubung dan terintegrasi dalam suatu interaksi timbal balik. Sistem tersebut membuat jejaring yang kompleks yang layak untuk dilestarikan. Bukan pelestarian individu-individunya tetapi justru jejaring yang bertumbuh membentuk suatu organisme baru. Bagi seni pertunjukan masa kini, bentuk tampilannya sering disebut sebagai seni pertunjukan kolaborasi.

Implementasi pergeseran paradigma tersebut memberi inspirasi bagi perubahan-perubahan konvensi seni pertunjukan. Seni pertunjukan tidak lagi mengeksplorasi elemen artistik internal, tetapi sudah merambah pada elemen-elemen eksternal. Seni pertunjukan masa kini menjadi seni pertunjukan kolaborasi. Pada satu sisi, akan terungkap suatu jaringan atau sistem dari berbagai elemen kesenian, dan pada sisi lain, seni masa kini menjadi bentuk seni setelah seni modernis. Seni pertunjukan masa kini tidak meneruskan elemen di masa lalu tetapi lebih menekankan pada reinterpretasi konvensi secara menyeluruh. Terjadi pergeseran dari paradigma linear menjadi paradigma berkelok dan berlapis. Subyektivitas kreatif seniman dikembangkan dengan meregenerasikan elemen-elemen pertunjukan tanpa menghilangkan vitalitas kreatifnya. Hasilnya adalah beragam gelar seni feminis, seni antropologis, seni lingkungan, dan sebagainya. Demikian juga potensi kreatif penonton menjadi bagian merevitalisasi nilai-nilai budaya. Jumlah penonton seni pertunjukan masa kini membuktikan bagaimana estetika seni mulai diapresiasi dengan baik oleh penonton awam. Seni pertunjukan masa kini memungkinkan terjadinya suatu pergumulan, dan tarik menarik secara interteks kreativitas seniman dan resepsi penonton, dan terjadinya ketegangan terus menerus antara nilai kedaerahan dan nilai manca untuk membentuk nilai-nilai ke-Indonesiaan.

11

(12)

Pendidikan Seni Berperspektif Kebangsaan dan Pendidikan Nasional. Pergeseran paradigma tampilan seni pertunjukan—dari bentuk seni pertunjukan tradisi menuju seni pertunjukan modern hingga seni pertunjukan masa kini—mampu menjadi inspirasi bagi kehadiran pola pendidikan berperspektif kebangsaan. Pergeseran paradigma berlangsung secara kreatif, progresif, dan komprehensif. Jika diamati visi dan misi pendidikan nasional Indonesia yang termaktub dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, maka implementasinya dapat diselaraskan dengan pergeseran paradigma seni pertunjukan. Perubahan dan perkembangan kualitas pendidikan nasional meliputi beberapa pergeseran, yaitu pertama, pergeseran paradigma proses pendidikan dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran yang banyak memberi peran peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya. Seni pertunjukan memiliki sejarah panjang mengelola tema-tema cerita yang berkisah tentang perjuangan tanpa henti tokoh utama demi menemukan jati dirinya. Manusia yang sejati adalah sosok yang tidak mengikuti arus semata, tetapi teguh pada pendirian, ora mingkuh dalam tataran ma’rifat, karena dari perjalanan tokoh, peserta didik mampu menganalisis bagaimana meraih cita-cita ke depan dan bagaimana membebaskan diri dari semua hal yang menindas. Pendidikan seni menjadi daya dorong bagi peserta didik untuk bebas dan mampu memilih dan membandingkan antara yang baik dan buruk.

Kedua, pergeseran paradigma manusia dari berbagai sumber daya pembangunan bangsa menjadi subyek pembangunan bangsa secara utuh. Proses pembentukan manusia pada hakikatnya merupakan proses pendidikan yang membudayakan dan memberdayakan peserta didik sepanjang hayat. Karya seni hadir karena kehendak masyarakat pendukungnya. Tanggapan estetik dari penonton yang berlangsung secara terus menerus menjiwai semangat penciptaan karya seni. Demikian juga sebaliknya penghormatan pada nilai budaya luhur tradisi bermanfaat sebagai cermin bagaimana manusia memperbaiki diri dan hidupnya. Kecintaan pada akar budaya daerah akan membuat peserta didik tidak gamang menghadapi serbuan budaya luar. Nilai tradisi tidak akan menyebabkan peserta didik rendah diri, tetapi justru berani mengkolaborasikannya dengan nilai budaya lain secara kreatif, sehingga menghasilkan karya-karya baru tanpa kehilangan cita rasa tradisi. Karya-karya baru masa kini hasil ciptaan peserta didik tidak akan keluar dari acuan dasar pendidikan karena semua

12

(13)

kegiatan tersebut terdeskripsikan dalam kurikulum pembelajaran yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ketiga, pergeseran paradigma tentang keberadaan peserta didik dari puncak keberhasilan individual menuju pribadi yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya. Pemahaman diri peserta didik akan berada dalam tahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual. Seni masa kini, misalnya, menghubungkan secara trans-estetik kemampuan menganalisis dengan ketrampilan artistik yang dimiliki seniman. Unsur budaya masyarakat mengikuti alur pergeseran estetika kesenian. Seni pertunjukan masa kini membaca nilai-nilai yang pernah disampaikan di dalam bentuk karya seni pertunjukan sebelumnya. Karya seni pertunjukan kontekstual melekat pada perubahan semangat zaman. Namun demikian, pendidikan kontekstual tidak akan lepas dari bimbingan tekstualnya. Mereka diharapkan tetap berpegang teguh pada nilai lokal yang menjadi akar kepribadian mereka, serta mampu menjadi peserta didik yang bermutu yang mampu mengembangkan lingkungannya dengan cara yang kreatif dan dialogis. Maka peserta didika tidak gamang masuk ke dalam budaya global.

Keempat, pergeseran paradigma dengan mengikut sertakan konsep pendidikan seni yang progresif dan visioner dalam standar nasional pendidikan akan menjadi ukuran bagi terselenggaranya layanan pendidikan yang bermutu. Cita-cita dan tujuan nasional yang mengutamakan kemerdekaan individu yang sekaligus mengedepankan kebersatuan dan keberdaulatan bangsa, serta turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.. Kepentingan nasional Indonesia adalah kepentingan keamanan dan kepentingan kesejahteraan, berarti berupaya dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga mempertahankan persatuan serta kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.

Indonesia terbentuk mengikuti konsep kebangsaan. Menjadi satu negara kebangsaan berbentuk republik dengan mengakui kekhasan daerah. Rasa dan semangat kebangsaan seharusnya tertanam di dalam jiwa segenap rakyat Indonesia dan keadaan tersebut hanya dapat terwujud melalui upaya pendidikan yang dapat menyentuh kesadaran setiap pribadi. Dengan kesadaran kebangsaan yang mengakar kuat, setiap anggota masyarakat dengan sadar akan mengabdikan ilmu dan ketrampilan profesinya bagi kepentingan bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, pendidikan nasional pada hekekatnya adalah sebuah pendidikan kebangsaan, yang merupakan wahana

13

(14)

menyiapkan generasi bangsa yang mandiri, dalam arti generasi yang mencintai dan membela kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yg berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi menghadapi persaingan global.

Subyektivitas kreatif seniman dikembangkan dengan meregenerasikan elemen-elemen pertunjukan tanpa menghilangkan vitalitas kreatifnya. Demikian juga potensi kreatif penonton menjadi kredo yang menarik dalam rangka merevitaliasasi nilai-nilai budaya sezaman. Gaya seni pertunjukan masa kini memungkinkan terjadinya suatu pergumulan, tarik menarik, dan ketegangan terus menerus secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai keIndonesiaan.

Semoga berbagai wacana yang saya sampaikan terus berkembang dalam rangka mengaktualisasikan pendidikan seni berperspektif kebangsaan dan relevansinya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Pergeseran paradigma seni pertunjukan yang terus menerus terjadi mampu menjadi cara untuk membaca pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan seni di Indonesia diharapkan mampu beradaptasi terus menerus dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan peran aktif nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terbukti mampu menjadi tempat ziarah sekaligus membawa peserta didik berhasil memasuki lorong dari masa kini hingga ke aras masa depan dengan kreativitas yang progresif dan dinamis. Peran seniman saat ini telah diambil alih oleh peran penonton. Peran peserta didik harus menjadi unggulan perhatian pemerintah. Lembaga pendidikan seharusnya memusatkan perhatian pada citarasa peserta didik. Di sinilah dipertaruhkan kehendak memperbaiki akhlak mulia dan rasa kebangsaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. Imagined Communities. Terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: INSIST, 2001.

Barba, Eugènio. The Paper Canoe, A Guide to Theatre Antropology, London and New York: Rouledge, 1995.

Brockett, Oscar G. The Essential Theatre. Fourth Edition, Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1988.

Budiman, Hikmat. Pembunuhan Yang Selalu Gagal. Modernisme dan Krisis Rasionaitas Menurut Daniel Bell, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

14

(15)

Gurvitch, Georges. “The Sociology of the Theatre”, dalam Sociology Literature & Drama,

Great Britain: C.Nicholls & Company Ltd., 1973.

Kayam, Umar. “Pembebasan Budaya-Budaya Kita”, dalam Agus R. Sarjono, ed.,

Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Sejumlah Gagasan Di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta: PT Gramedia Utama dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, 1999.

Lichte, Erika Fischer. The Semiotics of Theatre, terj. Jeremy Gaines and Doris L. Jones, Bloomington Indianapolis: Indiana University Press, 1992.

Mack, Dieter. Pendidikan Musik. Antara Harapan dan Realitas , Bandung: UPI dan MSPI, 2001.

Magnis Suseno, Franz. Filasafat kebudayaan Politik. Butir-Butir Pemikiran Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Rendra, Mempertimbangkan Tradisi , Jakarta: PT Gramedia, 1984.

Sarjono, Agus R. ed. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Sejumlah Gagasan Di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta: PT Gramedia Utama dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, 1999.

Sedyawati,Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981. Suwignyo, Agus. “Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan”, dalam Mangunwijaya.

Kurikulum yang Mencerdaskan. Visi 2010 dan pendidikan Alternatif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

Turner, Victor. “The Anthropology of Performance”, dalam The Anthropology of Performance , New York: PAJ Publications, 1988.

Modul Wawasan Nusantara, Bidang studi Geopolitik dan Wawasan Nusantara, Lembaga Ketahanan Nasional RI Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLIX Tahun 2013

BIODATA

Nama : Prof. Dr. Hj. Yudiaryani, M.A. Pendidikan : S1 (Dra) Sarjana Sastra Perancis UGM. S2 (MA) Theatre and Film Studies, University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia. S3 (Dr) Seni Pertunjukan dan Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Jabatan/Golongan: Guru Besar/IVd. Agama: Islam. Alamat: Jln. Abimanyu B 20 Krikilan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Jalan kaliurang Km 8.5 Yogyakarta. Telp : (0274) 883970/ 0818268237/081227085556. Fax : (0274) 384108. E Mail: yudi_ninik@yahoo.co.id Pekerjaan: Staf Pengajar Jurusan Seni pertunjukan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Staf Pengajar Program Penciptaan dan Pengkajian Pascasarjana ISI

15

(16)

Yogyakarta. Staf Pengajar Pascasarjana STSI Bandung. Membimbing disertasi Doktor pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, Sekolah Pascasarjana UGM, dan ISI Surakarta. Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLIX/2013 Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) RI. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Resital

Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan,Fakultas seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Sebagai Pimpinan dan Artistic Director Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta. Menjadi Juri dalam Festival Seni pertunjukan. Menjadi Pimpinan Produksi Hibah Seni ISI Yogyakarta ke Manca Negara. Menjadi Instruktur dan narasumber dalam program workshop Penyutradaraan di kelompok seni di daerah-daerah. Pemakalah dan penulis artikel di beberapa Jurnal Seni dan Kebudayaan. Penulis buku seni pertunjukan. Penerjemah buku ajar dan naskah drama. Peneliti Seni Seni pertunjukan dalam program Penelitian DP2M/DIKTI KEMENDIKBUD. Anggota Asia Pacific Bureau Theatre Schools Festival and Director’s Conference. Anggota Komisi International Theatre Workshops in the Asia- Pacific Region, UNESCO Chair International Theatre Institute (ITI). Dewan Pakar Penyusunan Kamus Seni pertunjukan Majelis Bersama Brunei Darrusalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM). Penilai Buku Ajar Seni Seni pertunjukan untuk Siswa SMP dan SMA, BSNP, DEPDIKBUD, Jakarta. Penyusun ”Peta Konsep” Pendidikan Bidang Studi Seni Seni pertunjukan, Pusat Perbukuan, Badan Standard Nasional Pendidikan, DEPDIKBUD. Anggota tim Penilai Angka Kredit ISI Yogyakarta. Anggota tim Pembina dan Reviewer DP2M ISI Yogyakarta.

16

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran teman sebaya ( peers ) dengan kejadian kekerasan dalam pacaran di SMA N 1 Pundong Bantul

Hasil pendampingan sampai saat ini diketahui bahwa mesin pengupas kulit kacang dapat digunakan dengan baik di tingkat kedua UKM mitra karena penggunaannya yang mudah, mesin tahan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data pelanggan uji hilang dalam telekomunikasi menggunakan aplikasi Particle Swarm Optimization Backpropagation dan dalam pemilihan

Tidak adanya peristiwa CME yang teramati pada peristiwa kedua dan penjalaran gelombang EIT yang hanya tampak parsial ke arah tertentu menjadikan analisis lebih

Data menggambarkan suatu kejadian yang sedang berjalan, dimana data tersebut akan diolah dan diterapkan dalam sistem menjadi input yang lebih berguna dalam suatu

Menurut (Hutahaean, 2014: 13) Sistem informasi adalah “suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengelolaan transaksi harian, mendukung

Adapun makna dan simbol kembang setaman yang digunakan mandi ialah sebagai pembersihan diri dan pembersihan pusaka atas dosa dan kesalahan dalam perang , kembang