• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2

Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya manusia di bidang penunjang. Strategi ini belakangan semakin banyak dilakukan oleh perusahaan demi efisiensi, efektivitas dan terutama dapat membuat organisasi lebih fokus pada bisnis utamanya. Pihak ketiga tersebut merupakan perusahaan outsourcing yang menangani sumber daya manusia khususnya para pekerja di sektor penunjang bisnis. Outsourcing menurut Moorhead dan Griffin (2013) adalah praktik mempekerjakan perusahaan lain untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan sendiri oleh organisasi tersebut. Praktik ini merupakan strategi yang semakin populer karena membantu perusahaan tetap fokus pada aktivitas inti mereka dan menghindari terganggunya perusahaan oleh aktivitas sekunder. Meski demikian, penggunaan jasa outsourcing kemudian diikuti oleh munculnya kekhawatiran dari para pekerja akan keberlangsungan pekerjaan mereka atau disebut juga dengan job insecurity.

Beberapa penelitian terdahulu juga telah menunjukkan bagaimana praktik outsourcing dapat memunculkan dampak negatif terhadap karyawan terutama terkait job insecurity mereka. Menurut Chambel dan Fontinha (2009) di salah satu hasil penelitiannya terhadap pekerja outsourcing bahwa job insecurity berhubungan negatif dengan pemenuhan kewajiban perusahaan outsourcing. Selain itu, Tyson (1996) juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa strategi outsourcing telah berkembang pesat dan memberi keuntungan bagi perusahaan, namun tidak dipungkiri strategi ini menurunkan penghasilan dan jaminan bagi para pekerjanya.

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 56 adalah dasar yang selama ini dijadikan payung hukum untuk kegiatan outsourcing. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri Undang-undang ini masih memiliki beberapa kelemahan yang kemudian pada beberapa kasus dijadikan celah bagi para pelaku bisnis untuk memanfaatkannya. Beberapa kejadian terkait lemahnya dasar hukum tersebut antara lain adanya pekerja yang dikontrak lebih dari empat tahun dengan cara mengganti perusahaan outsourcing. Kondisi ini membuat perusahaan pengguna dapat terus menggunakan tenaga pekerja selama

(2)

3

bertahun-tahun tanpa harus mengangkatnya menjadi karyawan tetap karena kontrak kerja yang selalu diperbarui dengan perusahaan outsourcing yang berbeda-beda. Selain itu meskipun dalam kontrak disebutkan bahwa upah minimum pekerja adalah sebesar UMK namun banyak terjadi pemotongan upah pekerja yang besarnya bervariasi. Belum lagi masa kerja dan pengalaman karyawan outsourcing yang biasanya tidak disesuaikan dengan upah yang mereka terima sehingga pekerja yang meskipun sudah bertahun-tahun bekerja tetapi gaji yang mereka dapatkan tetap tidak jauh dari UMK atau tidak signifikan peningkatannya. Para karyawan outsourcing juga biasanya sulit untuk bergabung dalam organisasi pekerja karena pada umumnya perusahaan outsourcing tidak memiliki serikat pekerja. Kondisi-kondisi tersebut adalah bentuk pemanfaatan celah hukum yang merugikan pihak pekerja outsourcing.

Di lain sisi, para karyawan dituntut untuk memenuhi persyaratan seperti jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang dengan masa kerja, dan tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi pekerja. Kondisi ini membuat hubungan yang terjadi antara pekerja outsourcing, perusahaan outsourcing, dan perusahaan pengguna adalah hubungan ketergantungan yang tidak seimbang. Ketergantungan ini lebih memposisikan para pekerja dalam keadaan yang terjepit.

Meskipun kondisi pekerja outsourcing dapat dikatakan terjepit namun jumlah pekerja outsourcing di Indonesia tidak bisa dikatakan sedikit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik di akhir Desember 2010 saja pekerja di Indonesia dengan status tetap hanya 35% dari total pekerja yang ada sisanya berstatus kontrak dan outsourcing. Jumlah ini diprediksi semakin meningkat di tahun-tahun setelahnya. Padahal hampir semua karyawan memiliki harapan akan kepastian status kerjanya. Sementara itu menurut wawancara salah satu situs berita online kepada Ketua Majelis Pengawas Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (MPO KSBSI), Rekson Silaban menyatakan bahwa di tahun 2012 jumlah pekerja outsourcing hampir mencapai 50% dari 33 juta pekerja formal dan

jumlah ini semakin meningkat setiap tahun.

(Sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/10/03/141851/Tenaga-Outsourcing-Separoh-Jumlah-Buruh-#)

(3)

4

Banyaknya jumlah pekerja outsourcing di Indonesia seringkali memunculkan gerakan protes dengan menyampaikan keluhan-keluhan yang mereka rasakan. Keluhan yang banyak disampaikan oleh para pekerja adalah mengenai tidak adanya jaminan akan keberlangsungan pekerjaan mereka karena penggunaan sistem kontrak. Keluhan ini timbul karena kondisi yang mereka rasakan lebih tidak nyaman dibandingkan pekerja tetap. Penelitian Silla, Gracia dan Peiro (2005) menunjukkan bahwa kepuasan hidup dan well-being pekerja kontrak lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Tidak adanya kepastian dan jaminan akan kelanjutan pekerjaan karyawan outsourcing ini tidak dapat mereka hindari karena biasanya hal tersebut sudah tercantum dalam kontrak kerja mereka. Para pekerja tidak dapat memastikan apakah kontrak kerja mereka akan diperpanjang atau tidak, bahkan jika masa kerja di kontrak terakhir sudah selesai mereka harus berpikir mengenai kemungkinan mencari pekerjaan baru. Kondisi ini menurut Greenhalgh & Rosenblatt (2010) disebut dengan job insecurity yaitu ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam termasuk di antaranya perubahan yang dialami oleh perusahaan.

Jika melihat sejarah penelitian mengenai job insecurity yang dipaparkan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt (2010), terlihat bahwa penelitian ini pada awalnya didasarkan pada teori job satisfaction dan teori motivasi dari Herzberg, Mausner, dan Synderman di tahun 1959 serta Maslow di tahun 1954. Teori Dua Faktor milik Herzberg menjelaskan mengenai Hygine Factors yang terkait dengan ketidakpuasan kerja. Salah satu yang termasuk dalam Hygine Factors adalah job security yang mencakup jaminan dan rasa aman dalam bekerja, gaji, status maupun jabatan. Teori Maslow di tahun 1954 tentang tingkatan kebutuhan manusia menggambarkan bahwa setelah kebutuhan dasar manusia (kebutuhan fisiologis) terpenuhi, maka tingkatan kedua setelah itu yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman yang dimaksudkan tidak hanya secara fisik tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual. Jika dilihat dari kedua teori di atas, tidak ada konstruk job insecurity yang dijelaskan secara lebih jauh. Oleh karena itulah Greenhalgh dan Rosenblatt mulai mengembangkan penelitiannya

(4)

5

mengenai job insecurity. Penelitian mengenai job insecurity lantas terus berkembang oleh peneliti-peneliti lain seperti De Witte (2005) yang mengungkapkan salah satu komponen job insecurity adalah adanya kecemasan terhadap keberlangsungan pekerjaan yang dikarenakan oleh munculnya ancaman akan kehilangan pekerjaan tersebut.

Ketidakpastian terhadap kelangsungan pekerjaan para karyawan outsourcing juga terjadi pada PT. X yang merupakan salah satu perusahaan alih daya (outsourcing) dengan sebagian besar kliennya adalah perusahaan multifinance. Menurut Kepala Cabang PT. X Yogyakarta kerentanan adanya job insecurity pada karyawan di PT. X terlihat pada kasus beberapa bulan yang lalu. Sejumlah karyawan diberhentikan secara tiba-tiba sebagai akibat dari adanya pemutusan hubungan kerjasama antara PT. X dengan perusahaan klien tempat para karyawan tersebut ditempatkan. Kondisi ini lantas menimbulkan rasa tidak nyaman dan protes dari para pekerja. Mereka yang kebanyakan sudah berkeluarga mengkhawatirkan cara menghidupi keluarganya jika diberhentikan secara mendadak seperti itu. Kasus tersebut tidak hanya terjadi di PT. X cabang Yogyakarta namun seluruh karyawan PT. X yang ditempatkan di perusahaan klien tersebut di seluruh Indonesia.

“terus karyawan kita yang disana ya harus diberhentikan semua. Nah itu infonya baru dikasih ke kita per tanggal 25 kemaren, padahal putusnya per tanggal 27, ngasih taunya ke karyawan itu yang pusing mbak kalo mereka harus di-cut tiba-tiba gitu. Tapi ya memang kesepakatannya gitu, ga bisa apa-apa” (R1, W1, 14-17)

“Lha iya mbak, mana ada yang siap coba. Mereka tiba-tiba diberhentikan, mereka ga bisa apa-apa wong namanya karyawan, terus ada kebijakan gitu dari perusahaan, mau apa lagi coba. Saya pribadi juga ngerti sih, tapi ya dari HO udah gitu, kita di cabang ya tinggal jalankan aja” (R1, W1, 28-31) “yang mereka proteskan ya salah satunya itu, pada bilang ‘keluarga saya gimana pak kalo saya tiba-tiba berhenti kerja gini’” (R1, W1, 33-34)

“Diberhentikan aja tiba-tiba gini gimana mau ditempatkan di tempat lain, kan belum tentu ada kebutuhan di tempat lain. Apalagi minta yang posisinya bagus, ya mana bisa” (R1, W1, 40-42)

(5)

6

Kasus tersebut dapat menjadi gambaran bagaimana ketidakpastian kerja yang dialami oleh karyawan outsourcing karena pemutusan hubungan kerja dapat terjadi sewaktu-waktu. Apabila pemberhentian tiba-tiba tersebut terjadi, maka tidak banyak yang dapat mereka lakukan padahal hampir semua pekerja memiliki harapan akan kepastian dan keberlanjutan pekerjaan mereka. Sistem kerja kontrak yang dialami oleh karyawan outsourcing menyebabkan perubahan sangat mungkin ia alami sehingga rasa tidak aman tersebut lantas muncul, padahal perubahan tidak dapat dihindari baik oleh perusahaan maupun karyawan. Persepsi karyawan akan ancaman kehilangan atau keberlangsungan pekerjaan serta kekhawatiran mereka terkait ancaman tentu berpengaruh pada aspek motivasi kerja yang berimbas pada produktivitas kinerja mereka dan akan pada akhirnya dapat berpengaruh pada kinerja organisasi (De Witte, 2005). Oleh karena itulah job insecurity yang terjadi pada karyawan outsourcing apabila tidak disikapi dengan tepat maka dapat berdampak negatif baik bagi karyawan yang bersangkutan maupun bagi perusahaan yang mempekerjakannya. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2010) yang memperlihatkan bahwa job insecurity berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan, dimana semakin tinggi job insecurity seseorang maka semakin rendah kinerjanya, dan sebaliknya. Selain itu, beberapa penelitian sebelumnya juga menjelaskan bagaimana job insecurity dapat mempengaruhi kepuasan kerja sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Utami (2008).

Job insecurity memiliki dampak yang beragam termasuk pada kehidupan pribadi karyawan. Penelitian Lozza, Libreri dan Bosio (2012) pada karyawan kontrak mengungkapkan bahwa job insecurity memiliki kaitan dengan tingkat konsumsi sehari-hari dan rencana hidup seperti rencana berkeluarga, memiliki anak dan lain sebagainya. Job insecurity juga memiliki banyak dampak terhadap variabel-variabel di dunia kerja seperti komitmen organisasi, kepuasan kerja, turnover intention maupun well-being (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002). Oleh karena itulah job insecurity mulai banyak dikaji sejak beberapa tahun belakangan. Melihat hal di atas, dapat dikatakan bahwa job insecurity merupakan variabel

(6)

7

yang cukup penting untuk diteliti karena dapat mempengaruhi karyawan dan organisasi tempatnya bekerja.

Job insecurity menurut Ashford, Lee dan Bobko (1989) adalah sebuah kondisi dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan mereka tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Smithson dan Lewis (2000) menyebut job insecurity merupakan kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa bingung maupun rasa tidak amannya karena adanya perubahan kondisi termasuk di tempat kerjanya. Pemaparan lain mengenai job insecurity juga disebutkan oleh Hartley (dalam Morcos, 2009) yakni sebuah ketidaksesuaian antara tingkat keamanan yang dirasakan dengan tingkat kemanan yang diharapkan seorang karyawan atas pekerjaannya. Hal ini tidak terlalu jauh berbeda dengan pengertian job insecurity menurut Davy, Kinicki dan Sheck (dalam Morcos, 2009) yaitu sebuah harapan mengenai kelanjutan situasi kerja seseorang. Beberapa pengertian di atas merujuk pada pengertian job insecurity merupakan persepsi karyawan yang menghadapi keadaan tidak aman terutama dalam hal kejelasan dan keberlangsungan pekerjaan mereka karena perubahan yang ada di sekitarnya maupun karakter orang yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa pendapat dari berbagai ahli di atas, maka penelitian ini akan menggunakan penjelasan mengenai job insecurity yang dipaparkan oleh Greenhalgh & Rosenblatt (2010). Greenhalgh dan Rosenblatt (2010) menyebutkan bahwa job insecurity merupakan ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam.

Suasana yang nyaman dalam lingkungan kerja yang terancam merupakan salah satu hal yang cukup penting. Kenyamanan tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan adanya dukungan dari orang-orang sekitar. Hal ini sebagaimana pendapat Greenhalgh dan Rosenblatt (2010) bahwa selain faktor internal, terdapat faktor eksternal yang juga berpengaruh terhadap job insecurity. Salah satu faktor eksternal yang dapat berpengaruh tersebut adalah dukungan sosial. Penelitian Lim (1996) juga menunjukkan bahwa dukungan baik yang berasal dari lingkungan kerja maupun lingkungan di luar pekerjaan erat sekali hubungannya dengan berbagai dampak yang timbul sebagai efek dari job insecurity. Penelitian lain

(7)

8

milik Borg dan Elizur (1992) pun menunjukkan bahwa dukungan sosial berhubungan dengan job insecurity terutama komponen emosi. Peran dukungan sosial terutama dari atasan tempat bekerja juga dinyatakan dalam penelitian Palmer (1990). Menurut hasil penelitiannya, Palmer (1990) mengatakan bahwa dukungan dari atasan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stres yang dialami oleh pekerja yang memiliki job insecurity tinggi.

Adanya dukungan sosial dari sekitarnya menjadi salah satu faktor yang berperan bagi pekerja outsourcing dalam menyikapi kondisi kerjanya diutarakan juga oleh Chie (2010) dalam penelitiannya. Chie (2010) menyebutkan bahwa adanya harapan, dukungan sosial dan kepercayaan memungkinkan individu yang memiliki job insecurity yang tinggi mencapai well-being. Hal ini berarti dukungan sosial di lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap karyawan. Penelitian lain juga dilakukan oleh Schreurs, Emmerik, Gunter dan Germeys (2012) yang memperlihatkan bahwa dukungan dari atasan dan rekan kerja memiliki pengaruh dalam hubungan antara job insecurity dengan kinerja karyawan. Oleh karena itulah dukungan sosial dan penghargaan dari orang-orang sekitar menjadi penting termasuk bagi para pekerja outsourcing yang tidak memiliki jaminan akan keberlangsungan kerjanya.

Dukungan sosial menurut Sarafino (2006) merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan maupun bantuan dalam bentuk lain yang diterima oleh individu dari orang lain maupun kelompok. Pengertian lain mengenai dukungan sosial disebutkan oleh Lahey (2007) yaitu peran yang dimainkan oleh teman-teman yang biasanya berupa pemberian nasihat, bantuan, dan beberapa di antaranya dengan menceritakan perasaan pribadi. Pendapat lain juga disampaikan oleh Caplan (1974) bahwa dukungan sosial merupakan tindakan menolong orang lain dan ketenratraman berkomunikasi dengan orang lain.

Menurut Sarafino (2006) bentuk dukungan sosial dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu dukungan emosional dan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan persahabatan. Dukungan emosional dan penghargaan dapat berupa ungkapan empati maupun perhatian sedangkan dukungan instrumental dapat berupa uang maupun bantuan pekerjaan

(8)

9

keseharian. Selain itu masih ada dukungan informasi yaitu berupa nasihat, pengarahan maupun umpan balik atas apa yang telah dilakukan oleh seseorang. Sementara itu dukungan persahabatan berupa kebersamaan, ketersediaan waktu maupun aktivitas sosial yang sama.

Caplan (1974) mengungkapkan terdapat tiga komponen dalam dukungan sosial, yaitu perhatian emosional, informasi dan penilaian. Perhatian emosional yaitu perhatian pribadi yang diberikan oleh orang-orang atau kelompok di sekitarnya dan membantu memecahkan masalahnya termasuk masalah pekerjaan maupun masalah pribadi. Informasi adalah individu mendapat berbagai informasi yang dibutuhkan dan juga dapat menyampaikan informasi kepada orang lain. Komponen ketiga adalah penilaian yaitu adanya pemberian umpan balik dari orang-orang atau kelompok di sekitarnya atas apa yang dilakukannya.

Dukungan sosial yang diterima oleh pekerja outsourcing dapat bersumber dari berbagai pihak baik itu keluarga, rekan kerja, atasan, sistem di organisasi, teman-teman di luar lingkup pekerjaan, maupun komunitas sesama pekerja seperti serikat pekerja. Berdasarkan pengertian-pengertian dukungan sosial yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan kenyamanan yang diterima seseorang dari kelompok atau orang lain dalam berbagai bentuk seperti perhatian, penghargaan, bantuan dan lain sebagainya. Pengertian dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Caplan (1974) yaitu tindakan menolong orang lain dan ketentraman berkomunikasi dengan orang lain, dimana perilaku menolong ini termanifestasikan ke dalam tiga bentuk yaitu “pemberian perhatian”, “bantuan informasi”, dan “umpan balik”.

Selain dukungan yang diperoleh dari orang-orang sekitar, karakteristik individu sebagai komponen yang akan mempengaruhi perasaan subjektif karyawan merupakan hal yang penting untuk dipertimbangan pengaruhnya terhadap munculnya job insecurity. Naswall, Sverke dan Hellgren (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bagaimana karakteristik individu dapat menjadi hal yang penting terhadap job insecurity. Karakter yang dimiliki oleh seseorang mempengaruhi bagaimana ia mengevaluasi situasi dan menilai kebermaknaan

(9)

10

hidup mereka. Seseorang yang mempersepsikan diri mereka dan orang lain secara negatif cenderung akan memberi respon yang negatif pula terhadap lingkungan sekitar mereka dibandingkan dengan individu yang memiliki nilai positif. Hal ini menjelaskan bagaimana karakteristik personal seseorang dapat mempengaruhi cara yang ditempuh untuk menghadapi situasi yang mengancam atau permasalahan dalam hidupnya. Karakteristik personal pekerja outsourcing menjadi hal penting bagi mereka dalam menghadapi kekhawatiran akan keberlangsungan kerja mereka sebagaimana pendapat Klandermans dan Vuuren (1999) yang mengungkapkan bahwa salah satu komponen job insecurity adalah persepsi pribadi seseorang sebab situasi yang sama dapat dipersepsi berbeda oleh setiap karyawan.

Greenhalgh dan Rosenblatt (2010) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi job insecurity adalah karakteristik individual pekerja seperti locus of control, self-esteem, maupun perasaan optimis dan pesimis karyawan yang bersangkutan. Hal ini diperkuat juga dengan hasil penelitian Roskies, Louis-Guerin, dan Fournier di tahun 1993 tang dijelaskan oleh Kinnunen, Natti, & Happonen (2000) bahwa kepribadian positif yang dimiliki seorang karyawan memiliki dampak yang besar terhadap kemampuanya menghadapi stres terkait job insecurity. Pendapat Klandermans dan Vuuren (1999) yang menyebutkan bahwa salah satu komponen job insecurity adalah persepsi pribadi seseorang juga terlihat dengan adanya karyawan yang merasa pekerjaannya tidak aman meskipun kondisi baik-baik saja sedangkan karyawan lain ada yang merasa tenang meskipun pekerjaannya terancam. Hal ini sesuai dengan pengertian optimisme menurut Purba (2006) yaitu cara berfikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah, serta berfikir positif berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Oleh karena itu optimisme seseorang erat kaitannya dengan proses berfikir seseorang terkait dengan kondisi yang dialaminya dan dapat berpengaruh pada job insecurity terkait status kerja outsourcing. Pengertian lain mengenai optimisme dijelaskan oleh Carlson (2004) yang mendefinisikan optimisme sebagai kecenderungan untuk memandang sisi yang menyenangkan dari kondisi yang terjadi. Optimisme juga merupakan keyakinan bahwa hal baiklah yang akan

(10)

11

mendominasi. Selain itu, Srivastava dan Angelo (2009) mengatakan optimisme merupakan dorongan untuk berharap pada datangnya hal baik.

Seligman (1991) juga menjelaskan bahwa optimisme merupakan keyakinan individu bahwa peristiwa buruk atau kegagalan hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi semua aktifitas, dan bukan mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa juga disebabkan situasi, nasib atau orang lain. Ketika mengalami peristiwa yang menyenangkan, individu yang optimis akan memiliki keyakinan bahwa peristiwa baik tersebut akan berlangsung lama, mempengaruhi aktifitas yang lain dalam hidupnya dan disebabkan oleh dirinya sendiri. Hal ini berkebalikan dengan sikap pesimis, dimana orang yang pesimis akan berkeyakinan bahwa peristiwa buruk akan berlangsung lama, mempengaruhi semua aktifitas, dan hal itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri.

Orang yang optimis menurut penelitian Pulford (2009) dapat mengambil keputusan dengan baik saat dihadapkan pada pilihan yang membingungkan. Selain itu menurut penelitian O’Connor dan Cassidy (2007) optimisme dan harapan pikiran positif akan masa yang akan datang dapat merubah rasa putus asa seseorang. Para pekerja outsourcing dihadapkan pada keadaan dimana di satu sisi mereka membutuhkan pekerjaan demi menunjang kehidupannya namun di sisi lain pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan berstatus pekerja outsourcing sehingga tidak memiliki kepastian akan keberlangsungan pekerjaan mereka. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan dapat menghilangkan harapan akan kehidupan yang mapan dan tenang jika para pekerja tersebut tidak memiliki optimisme yang besar untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Oleh karena itulah optimisme menjadi salah satu variabel yang cukup penting untuk diteliti terutama bagi orang-orang yang mangalami keadaan tidak menyenangkan.

Optimisme menurut Seligman (1991) terdiri dari tiga aspek utama. Aspek pertama yaitu permanence yang merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Orang yang optimis akan percaya bahwa peristiwa yang tidak menyenangkan hanya berlaku sementara (temporer) sehingga mereka tidak akan mudah putus asa. Sedangkan untuk peristiwa menyenangkan, orang optimis akan berpikir bahwa kejadian tersebut

(11)

12

akan terjadi terus-menerus pada dirinya (permanen). Aspek kedua adalah pervasiveness yang merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup yang dibedakan menjadi spesifik dan universal. Orang orang yang optimis akan melihat secara universal (keseluruhan) dalam menghadapi peristiwa yang menyenangkan, dan melihat secara spesifik pada peristiwa yang tidak menyenangkan. Aspek ketiga adalah personalization yang merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, yaitu internal dan eksternal. Apabila seseorang berpikir tidak dapat mengendalikan peristiwa-peristiwa buruk, orang tersebut memiliki dua perkiraan, yakni apakah situasi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pribadi individu yang bersangkutan (internal) ataukah peristiwa buruk yang menimpanya terjadi karena hal-hal dari luar/lingkungan (eksternal). Orang yang optimis memandang masalah yang menekan dari sisi masalah lingkungan (eksternal) dan memandang peristiwa menyenangkan berasal dari dalam dirinya (internal). Hal ini disebut Seligman (1991) sebagai explanatory style yaitu salah satu atribut psikologis yang mengindikasikan bagaimana seseorang akan menjelaskan kepada dirinya mengenai kejadian yang dialami, baik positif maupun negatif.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas mengenai optimisme, maka penelitian ini akan menggunakan penjelasan dari Seligman (1991). Seligman (1991) menerangkan bahwa bahwa optimisme merupakan keyakinan individu bahwa peristiwa buruk atau kegagalan hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi semua aktifitas, dan bukan mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa juga disebabkan situasi, nasib atau orang lain. Optimisme dibutuhkan para pekerja outsourcing karena hal ini yang diharapkan akan memberikan keyakinan bahwa kehidupan mereka maupun orang-orang di sekitarnya akan baik-baik saja sekalipun mereka dihadapkan pada situasi yang sulit.

Karyawan outsourcing bagaimanapun juga harus tetap memiliki harapan akan hidup yang lebih baik meskipun kondisi yang sedang dijalani mereka rasa berat. Tujuannya agar mereka selalu berusaha untuk mencari “jalan” menuju target/cita-cita ketika mengalami hambatan sekalipun. Dengan selalu berusaha mencapai target maka mereka akan selalu termotivasi untuk memenuhi target

(12)

13

kinerja dari pekerjaannya. Artinya para karyawan outsourcing tidak lantas hanya selalu fokus pada kendala yang dialaminya seperti job insecurity tetapi juga harus membangun kualitas terbaik dalam segala kondisinya. Hal ini sesuai dengan teori Psikologi Positif dimana teori ini bertujuan untuk menjembatani perubahan dalam psikologi agar tidak hanya sibuk berusaha memperbaiki hal-hal terburuk dalam hidup tetapi juga lebih fokus ke arah membangun kualitas terbaik dalam hidup. Di dalam konsep Psikologi Positif, faktor-faktor yang signifikan berpengaruh pada organisasi adalah hope, resiliency, optimism, dan self efficacy/confident.

Penerapan konteks Psikologi Positif dalam konteks organisasi atau lingkungan kerja menurut Luthans (2002) disebut dengan Positive Organizational Behavior (POB). Positive Organizational Behavior adalah studi dan aplikasi dari kapasitas psikologi dan kekuatan sumber daya manusia yang berorientasi secara positif, yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja di organisasi pada saat ini (Luthans, 2002). Pada konteks penelitian ini, hope dan optimism sebagai faktor dalam Psikologi Positif yang mempengaruhi organisasi sangat sesuai dengan kondisi yang dialami karyawan outsourcing dimana mereka merasakan job insecurity namun harus tetap optimis dan memiliki harapan akan hidup yang lebih baik.

Kemungkinan adanya job insecurity yang dialami pekerja di PT. X membuat penelitian lebih jauh di PT. X perlu dilakukan guna memahami fenomena job insecurity pada pekerja outsourcing pada umumnya dan membantu PT. X dalam menghadapi kebutuhan psikologis karyawan penempatannya. Melihat penjelasan mengenai job insecurity, dukungan sosial, dan optimisme di atas, belum dapat dipastikan bagaimana peran dukungan sosial dan optimisme terhadap job insecurity karyawan outsourcing. Belum banyak penelitian yang benar-benar menguji atau memperlihatkan peran variabel dukungan sosial maupun optimisme terhadap job insecurity. Oleh karena itulah untuk memastikan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui bagaimana peran dukungan sosial dan optimisme terhadap job insecurity para pekerja outsourcing di PT. X Cabang Yogyakarta.

(13)

14

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah dukungan sosial dan optimisme secara bersama-sama berperan terhadap job insecurity.

Gambar 1. Kerangka Pikir Hipotesis

Implikasi Studi

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah guna memberikan sumbangan referensi mengenai job insecurity khususnya peran dukungan sosial dan optimisme terhadap job insecurity pada karyawan outsourcing. Sedangkan, implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan gambaran bagi PT. X mengenai job insecurity yang mungkin dialami oleh para karyawan serta mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalahan job insecurtiy tersebut. Selain itu dengan melihat penelitian ini diharapkan organisasi dapat mengantisipasi kemungkinan adanya dampak dari job insecurity.

METODE Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yaitu dengan mengumpulkan data melalui proses penyebaran angket berupa skala psikologi untuk mengukur variabel-variabel yang hendak diukur kepada subjek penelitian. Pengambilan data yang digunakan pada proses penelitian ini ialah dengan teknik survei. Cara survei yang digunakan ialah self-administered questionnaires, yaitu dengan menyerahkan daftar pernyataan kepada subjek untuk diisi sendiri oleh subjek tersebut (Soehartono, 1995). Teknik ini dipilih agar subjek dapat menentukan sendiri waktu pengisian angketnya sehingga tidak mengganggu jam bekerja mereka.

Dukungan Sosial

Job Insecurity Optimisme

Referensi

Dokumen terkait

Lampiran B.1 Menu Awal.Java import android.content.Intent; import android.support.v7.app.AppCompatActivity; import android.os.Bundle; import android.view.View; import

Adanya daya tarik industri yang banyak menyerap tenaga kerja menimbulkan minat pemuda untuk melakukan migrasi, hal ini dikarenakan penyediaan lapangan pekerjaan menjadi

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Membuat buku yang bisa mengedukasi dan menghibur anak untuk lebih eksploratif dalam membuat mainan sendiri, dilengkapi dengan cara pembuatannya. Serta dikemas sedemikian

Program imunisasi merupakan upaya preventif yang telah terbukti sangat cost efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan balita akibat

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pengadaan Langsung (BAHPL) dan Surat Penetapan Pemenang untuk pekerjaan , dengan ini Pejabat Pengadaan Barang/Jasa

Apabila permohonan pendaftaran telah memenuhi persyaratan permohonan, maka dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan DJHKI kan meneruskan permohonan pendaf- taran