Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018 – Januari 2019 Tomy Michael
Kristoforus Laga Kleden
102
MENYOAL PEMAHAMAN HAK DALAM PRINSIP-PRINSIP YOGYAKARTA 2007 Tomy Michael, Kristoforus Laga Kleden
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tomy@untag-sby, [email protected]
Abstrak
Secara normatif dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Lebih lanjut lagi dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39-1999 bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pemaknaan dua pasal tersebut apabila dikaitka dengan PPY 2007 maka akan menimbulkan pemrasalahan hukum yaitu bagaimana pemenuhan hak perkawinan LGBT di Provinsi Jawa Timur menurut PPY 2007 dan jalan keluar rasional untuk mengatasinya. Berdasarkan hasil penelitian maka pemenuhan hak perkawinan bukanlah teleologi ds karena dengan ada perlakuan tidak diskriminatif saja merupakan kemajuan dalam masyarakat. Perlakuan tidak diskriminatif dapat berupa tidak ada persekusi terhadap LGBT atau waria, penerimaan di tempat kerja hingga tersedianya sarana untuk melakukan hiburan. Saran yang diperoleh yaitu agar Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Timur memberikan pemahaman atas hak LGBT melalui pertemuan ilmiah atau seminar ilmiah.
Kata kunci: pekawinan, hak, PPY 2007 A. Pendahuluan
Hak untuk membentuk keluarga merupakan hak asasi manusia. Hak tersebut telah termaktub di Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan kemudian diikuti dengan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1-1974) bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Dengan demikian, kewajiban negara baik pemerintah pusat maupun daerah untuk menyediakan akses perkawinan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara karena dari perkawinan inilah keluarga dapatlah dibentuk. Namun dalam tataran praktiknya, masyarakat lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT) sebagai subjek hukum yang selalu berkembang memperoleh perlakuan
diskriminatif untuk pemenuhan hak perkawinan.1 Hal tersebut disebabkan rendahnya
1 Pemenuhan hak-hak seksual tersebut yang merupakan tanggung jawab negara, akan tetapi negara sebagai penentu kebijakan publik abai dan lalai dalam pemenuhan hak-hak seksual, hal itu bisa dilihat pada hasil riset tahun 2013 yang dilakukan oleh LSM Arus Pelangi yang menunjukkan bahwa 89,3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena identitas seksualnya, 79,1% responden menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan psikis, 46,3% responden menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 26,3% kekerasan ekonomi, 45,1% kekerasan seksual, 63,3% kekerasan budaya. Bahkan kekerasan yang biasa dialami sudah diterima pada saat usia sekolah dalam bentuk bullying 17,3% LGBT pernah mencoba untuk bunuh diri diri, dan 16,4%nya bahkan pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali dalam Masthuriyah Sa’dan, LGBT Dalam Perspektif Agama Dan
103
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39-1999) dan Prinsip-Prinsip Yogyakarta Tahun 2007 (PPY 2007). Hal lainnya akibat adanya perbedaan orientasi seksual dan identitas gender masyarakat LGBT maka masyarakat LGBT membutuhkan perlindungan dalam pemenuhan hak perkawinan.
Berdasarkan keilmuan hukum, masyarakat LGBT memiliki hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan. Secara normatif dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Lebih lanjut lagi dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39-1999 bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian terdapat peraturan perundang-undangan yang memperluas makna perkawinan melalui PPY 2007 dengan landasan filosofis bahwa PPY 2007 adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-Prinsip ini menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-Prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan yang berbeda, dimana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.
Dengan demikian, pemerintah dan pemerintah daerah termasuk Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur berkewajiban untuk memenuhi pemenuhan hak perkawinan
masyarakat LGBT2 Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji mengenai sejauh mana
pemenuhan hak perkawinan bagi masyarakat LGBT di Provinsi Jawa Timur. Untuk mengetahui hal tersebut, maka akan dikaji mengenai norma hukum apa yang telah dan akan diambil oleh Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur.
B. Pembahasan
1. Memaknai Perkawinan Dalam Konteks Moral
Di dalam kehidupan bermasyarakat, justifikasi memegang peranan penting. Justifikasi adalah wujud pemaknaan keadilan hukum terhadap apa yang dilihat oleh seseorang. Perkawinan adalah hal yang sakral dalam kehidupan bermasyarakat. Perkawinan adalah tujuan utama dalam suatu hidup manusia. Seperti yang termaktub dalam UU No. 1-1974 bahwa:
HAM, Jurnal NIZHAM, Vol. 05, No. 01 Januari-Juni 2016, Institut Agama Islam Negeri Metro Lampung, hlm. 25.
2 Semenjak berlakunya Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23-2014) maka dalam huruf H Lampiran UU No. 23-2014, peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender (KG) dan hak anak kewenangan daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota.
Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018 – Januari 2019 Tomy Michael
Kristoforus Laga Kleden
104 Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami
isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan.
Melihat 5 (lima) pasal tersebut maka perkawinan adalah hak privat yang dicampuri oleh
negara. Ketika negara mencampuri maka moral yang dikehendaki dalam suatu perkawinan
tidaklah menjadi ranah privat tapi menjadi urusan publik. Seiring perkembangan waktu,
perkawinan berkembang menjadi lebih bias. Secara normal, perkawinan yang seorang pria
dan seorang wanita maka menjadi pria dengan pria dan wanita dengan wanita.
3
3Is homosexuality sinful? What’s wrong with abortion? Why is racism bad? Moral questions of this kind arise inexorably in almost any legal system. And confronting them is among the fundamental characteristics of a free society. Moreover, the language of morals is increasingly employed on the international stage. When an American president described an ‘axis of evil’ existing between certain nations, he was (probably unconsciously) presuming a normative yardstick by which to measure the conduct of states, that since the formation of the United Nations, is partly embodied in an expanding anhtology of international declarations and conventions. Although we cannot easily evade moral question marks, the identification or even the acknowledgement, of moral values by which to live, is always contentious. Being or doing good is not necessarily synonymous with obeying the law, even though the law, its ideas and its institutions, are often informed by moral values. It would be strange if it were otherwise. The relationship between the law and the moral practices (or positive morality) adopted by society may be represented by two partially intersecting circles. Where they overlap we find a correspondence between the law and moral values (for example, murder is both morally and legally prohibited in all societies). Outside the overlapping zone, reside, on the one hand, acts which are legally wrong, but not necessarily immoral (for example, exceeding your time on a parking meter) and, on the other, conduct which is immoral, but not necessarily unlawful (such as adultery). The greater the intersection, the more likely the law is to be accepted and respected by members of that society. In some cases, of course there will be a conflict between the law and the moral code of certain individuals or groups. So, for example, a pacifist who is required to serve in the military may be compelled to become a conscientious objector and face imprisonment as consequence of his violation of the law. Moral questions rarely admit of simple solutions. They frequently polarize society. The abortion debate in United States is compelling example. Christian groups condemn (occasionally violently) yhe practice of abortion, regarding it as murder of foetus. Feminists on other hand consider the matter as
105
A Juwono merupakan pemuka agama dari Klenteng Hok An Kiong Surabaya. Menurut pendapat kami, dalam keyakinan kami terkait dengan LGBT itu kurang baik, dan dalam keyakinan kita tidak membolehkan perkawiann sesama jenis. Dan selama ini belum ada yg mengajukan permohonan perkawinan sejenis di klenteng ini. Dan jika ada kami akan menolak. Karna kami lihat dalam pernikahan sejenis ini kurang sehat. Sebaiknya kita lakukan pendekatan secara rohani kepada yang bersangkutan, kita tanamkan sugesti sugesti baik yang mana dapat merubah pikiran yang bersangkutan untuk tidak melakukan hal tersebut, dan agar kembali ke jalan yang benar dan baik. Jika memang sudah saling mengasihi, saran kami sebaiknya dijadikan sebagai saudara angkat saja.
2.2 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Sunardi
Pdt. Sunardi merupakan Pendeta di Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Surabaya di Jalan Mayjen Prod. Dr. Moestopo 25-27 Surabaya pada 16 Mei 2018. Gereja tidak memperbolehkan LGBT. Prinsipnya menurutnya adalah penyimpangan norma. Solusi yang hatrus dilakukan yaitu setiap keluarga bertanggung jawab terhadap keluarganya terkait adanya penyimpangan-penyimpangan. Tugas gereja dalam hal ini yaitu mendampingi saja namun tetap tidak setuju dengan pelegalan LGBT. Dalam hal ini faktor utamanya adalah kelaurga sehingga LGBT dapat dikategorikan sebagai salh asuh. Terdapat dua solusi yaitu ketika ada pertobatan maka itu untuk perceraian dan ketika ada LGBT maka belum diatur seperti pergantian kelamin. Saran yang dapat diperoleh yaitu:
1. Pendampingan baik yang sudah maupun yang belum
2. Tidak boleh melakukan penghinaan
3. Tidak boleh dipidana
4. Untuk memberikan kesejahteraan maka harus diadakan pendampingan
5. Tidak bisa dianggap rendah martabatnya
6. Tidak boleh dibebankan kepada dia (pelaku LGBT) saja karena proses seseorang menjadi
LGBT akibat proses panjang
7. Mencoba memahami walaupun kita tidak sepaham sehingga penyimpangan tidak
menular
8. Adanya pencegahan
2.3 Hasil Wawancara Dengan Pdt. Sucianto Nugroho
Pdt. Sucianto Nugroho merupakan Pendeta di Gereja Kebangunan Kalam Allah Indonesia di Jalan Raya Tenggilis Mejoyo Nomor 87 Surabaya. Dijelaskan titik tolaknya dimana harus tunduk pada otoritas Firman dimana Firman itu harus dijunjung tinggi. Hal ini penting karena Firman ituberasal dari Allah. Dari Kitab Kejadian dikatakan semua baik fundamental to a woman’s right to control her own body. There is no apparent middle ground. Ronald Dworkin vividly portrays the ferocity of the struggle, lebih lanjut dalam Raymond Wacks, 2008, Law A Very Short Introduction, New York, Oxford, hlm. 67 dan 74. Penjelasan yang ditulis oleh Raymond Wacks mengajak seseorang untuk menjawab pertanyaan secara bertanggung jawab. Ketika pertanyaan diajukan maka jawaban yang akan dijawab harus melalui pemikiran matang terutama jika terkait moral.
4Wawancara yang dimuat tidak seutuhnya karena adanya pemecahan naskah yang diterbitkan dalam media lain. Pemecahan naskah ini untuk menghindari plagiasi dalam naskah yang sama. Wawancara lengkap termuat dalam laporan akhir dan luaran dalam bentuk buku. Dengan demikian, pemahaman akan suatu naskah dibutuhkan pembacaan yang mendalam.
Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018 – Januari 2019 Tomy Michael
Kristoforus Laga Kleden
106
adanya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan baik. Dalam koridor hukum Allah tetap adil dimana laki-laki adalah laki dan perempuan adalah perempuan. Gereja menempatkan mereka “sama” sebagai teman. Solusinya yaitu memberikan pembinaan, merangkul dan memberikan pembinaan, tetap diakui gender sebenarnya. Sedangkan secara komunal yaitu menerima bahwa saudara kita walaupun di unik.
2.4 Hasil Wawancara Dengan Ust. Ahmad Hariyono Ong, S.H.I., M.E.I.
Ust. Ahmad Hariyono Ong, S.H.I., M.E.I. adalah Ketua Takmir Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya. Ditinjau dari hukum Islam diketahui bahwa sangat bertentangan karena Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Allah menciptakan makhluk secara sempurna dimana laki-laki adalah sempurna dan perempuan adalah sempurna. LGBT sangat bertentangan dengan Surat Al Rhum ayat (21). Salah satu tanda-tanda yaitu menciptakan di antara kalian berpasang-pasangan supaya didapan ketenangan hidup berdasarkan kasih sayang. Mawadah (cinta langgeng sampai mati) dan mahabah (cinta yang bisa luntur). Jadi suatu tanda kebesaran Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar muncul ketenangan.
2.5 Hasil Wawancara Dengan XS. Antonius Ong
XS. Antonius Ong adalah Rohaniwan Khong Hu Cu pada TITA Kwan Sing Bio Tuban. Wawancara dilakukan pada 26 Mei 2018. Menentang dimana hidup itu sesuai kodrat yaitu laki-laki dan perempuan. Negara tidak boleh memberikan sanksi pidana terhadap LGBT karena bertentangan dengan esensi kemanusiaan itu sendiri. Negara harus tetap melakukan pendampingan agar LGBT kembali pada kodratnya.
2.6 Hasil Wawancara Dengan Prof. Dr. H. Sahid, M.M., M.Ag., M.H.
Prof. Dr. H. Sahid, M.M., M.Ag., M.H. adalah Wakil Rois NU. Semua orang mempunyai hak menyatakan diri sebagai Gay dan Lesbi itu tidak boleh (mementingkan kolegial kolektif) karena adanya hubungan Negara dan Agama (Hubungan Simbiosis), Tidak boleh mementingkan kepuasaan (Hedonisme)
“hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seseorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal. Sesusungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat Ayat 13)
1. Apa yang harus dilakukan oleh Negara?
Negara harus memberikan edukasi seperti tentang keagamaan (Moralitas), Transformasi Sosial baik mengenai bakat atau yang lainnya juga harus berinteraksi terhadapa masyarakatnya terutama LGBT dan BKKPN harus turun terhadap permasalahan LGBT. 2.7 Hasil Wawancara Dengan RD. Yosef Eko Budi Susilo, Pr.
Wawancara dengan RD. Yosef Eko Budi Susilo, Pr., dilakukan pada 25 Mei 2018. Perkawinan Katolik adalah perwujudan dari proses bangunan gereja yang utuh. Dimana Roh Kudus hadir dalam diri manusia yang utuh, sebagai proses tumbuh dan berkembangnya iman dalam bangunan gereja (diri manusia). Haridnya Roh Kudus sebagai proses bangunan iman itu dalam bentuk sakramen, sejak Sakramen Permandian, Sakramen Ekaristi, Sakramen Krisma, Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Perkawinan, Sakramen
107
Dari lahir sampai kematian, Roh Kudus hadir dalam diri umat manusia. 2.8 Hasil Wawancara Dengan I Wayan Suraba, S.H.
Wawancara ini dilakukan oleh Kristoforus Laga Kleden pada 2 Juni 2018 di Sekretariat Forum Kerukunan Umat Beragama Jl. Menur No. 31 A Surabaya. Dalam Ajaran Agama Hindhu, Prinsip Dasar yaitu Satu Srada atau Satu Keyakinan. Keyakinan tersebut, didasari Lima Dasar Keyakinan yaitu yakin dengan adanya Hyang Widhi (Tuhan), yakin dengan adanya Atman (Roh yang Hidup), yakin dengan adanya Kharma Phala (Hukum Karma), yakin dengan adanya Punarbawa (Reinkarnasi) dan yakin dengan adanya Moksa (Kebahagian Abadi)
Perkawinan dalam Ajaran Agama Hindhu, adalah Wiwaha Samskara adalah ikatan lahir bathin antara pria dengan wanita. Perkawinan itu dengan tujuan, yaitu:
1. Dharma Sampati (kedua mempelai melaksankan semua kegiatan agama secara
bersama-sama, dan penuh tanggung jawab)
2. Ratih (kedua mempelai dapat menikamti kepuasan seksual dan tidak bertentangan)
3. Praja (kedua mempelai mampu melahirkan keturunan)
2.9 Hasil Wawancara Dengan Indarto, S.T., M.Pd.B.
Wawancara ini dilakukan pada 6 Juni 2018 di Vihara Dhammadipa Surabaya. Indarto, S.T., M.Pd.B., seorang Pandita Magabudhi. Dalam ajaran agama Buddha tidak pernah dibahas tentang LGBT. Terkecuali ada aturan khusus bagi para Bhikhu, bahwa para Bhikhu dilarang melakukan hubungan seksual. Dan juga aturan lainnya, bahwa jika seseorang lelaki yang bersikap atau berperilaku seperti perempuan tidak bisa menjadi Bhikhu. Dengan kata lain para Bhikhu tidak termaksud dalam pengertian LGBT tersebut. Tetapi tidak ada satu pun aturan bagi umat Buddha tentang LGBT, terkecuali aturan buat para Bhikhu. Karena di dalam ajaran Buddha tidak ada larangan melainkan untuk melatih diri (bertapa). Jika seorang laki-laki menjadi perempuan atau transgender dan sudah sah di penggadilan ingin menikah, apakah di buddhisme diatur tentang itu? Dan apakah perkawinan beda agama dilarang di dalam ajaran Buddha? Tentang perkawinan tersebut tidak diatur di dalam ajaran Buddha.
C. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian maka pemenuhan hak perkawinan bukanlah teleologi karena dengan ada perlakuan tidak diskriminatif saja merupakan kemajuan dalam masyarakat. Perlakuan tidak diskriminatif dapat berupa tidak ada persekusi terhadap LGBT atau waria, penerimaan di tempat kerja hingga tersedianya sarana untuk melakukan hiburan. Saran yang diperoleh yaitu agar Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Kanotr Wilayah Jawa timur memberikan pemahaman atas hak LGBT melalui pertemuan ilmiah atau seminar ilmiah. Hal ini adalah wujud untuk menghilangkan gesekan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Masthuriyah Sa’dan, LGBT Dalam Perspektif Agama Dan HAM, Jurnal NIZHAM, Vol. 05, No.
01 Januari-Juni 2016, Institut Agama Islam Negeri Metro Lampung.