• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN FISIKA BATUAN PADA SHALE GAS DI SUMUR X, CEKUNGAN SUMATERA UTARA LAPORAN TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN FISIKA BATUAN PADA SHALE GAS DI SUMUR X, CEKUNGAN SUMATERA UTARA LAPORAN TUGAS AKHIR"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN FISIKA BATUAN PADA SHALE GAS DI SUMUR

X, CEKUNGAN SUMATERA UTARA

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Nanditha Arahman 101116041

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(2)
(3)

PEMODELAN FISIKA BATUAN PADA SHALE GAS DI SUMUR

X, CEKUNGAN SUMATERA UTARA

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:

Nanditha Arahman 101116041

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

(4)
(5)

Universitas Pertamina - i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir : Pemodelan Fisika Batuan Pada Shale Gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman

Nomor Induk Mahasiswa : 101116041

Program Studi : Teknik Geofisika

Fakultas : Teknologi Eksplorasi dan Produksi

Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 18 Agustus 2020

Jakarta, 10 September 2020 MENGESAHKAN Pembimbing Waskito Pranowo, M. T. 116030 MENGETAHUI Ketua Program Studi

Muhammad Husni Mubarak Lubis, M.S. 106028

(6)

Universitas Pertamina - ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir saya yang berjudul “Pemodelan Fisika Batuan Pada Shale Gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara” ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (non-exclusive royalty-free right) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, 08 Agustus 2020 Yang membuat pernyataan,

(7)

Universitas Pertamina - iii

ABSTRAK

Nanditha Arahman. 101116041. Pemodelan Fisika Batuan Pada Shale Gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara.

Penelitian ini merupakan penelitian mengenai pemodelan fisika batuan yang berfokus pada formasi batuserpih yang diduga terdapat zona yang berpotensi sebagai shale gas.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melakukan substitusi fluida, sehingga didapatkan pengamatan pengaruh suatu fluida terhadap modulus efektif batuan. Selain itu, dilakukan pula analisis parameter anisotropi (epsilon dan gamma) untuk mengetahui perilaku anisotropi pada daerah penelitian. Penelitian ini dilakukan berbasis pemrograman menggunakan perangkat lunak Matlab 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemodelan fisika batuan berhasil dilakukan dengan menggunakan persamaan substitusi fluida Gassmann.

(8)

Universitas Pertamina - iv

ABSTRACT

Nanditha Arahman. 101116041. Rock Physics Modelling for Shale Gas, Study Case of Well-X, North Sumatera Basin.

This research is about rock physics modelling that focus on shale formation, where the potential of shale gas exists along the study target. The purpose of this research is to do fluid substitution, so we can determine the changes of rock effective moduli due to fluid changes. Moreover, this study also tries to identify the anisotropy behaviour of the field by calculating Thomsen parameter (epsilon and gamma). This research was established by using Matlab 2016, which give the result that the rock physics model successfully determined with Gassmann fluid substitution model.

Keywords: rock physics modelling, shale, shale gas, fluid substitution

(9)

Universitas Pertamina - v Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir penulis yang berjudul “Pemodelan Fisika Batuan Pada

Shale Gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara” dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.

Selama penulis mengerjakan Tugas akhir ini, sangat banyak pihak yang membantu penulis baik dalam penelitian, penulisan, maupun dukungan doa. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Husni Mubarak Lubis, S.T. M.S. selaku Kepala Program Studi Teknik Geofisika Universitas Pertamina yang telah membimbing dan memberikan inspirasi kepada penulis.

2. Bapak Waskito Pranowo, M.T. selaku pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, baik dalam proses pembelajaran selama kuliah, maupun selama proses pengerjaan Tugas Akhir. 3. Bapak Taufik dan Ibu Herlina, selaku orangtua penulis yang selalu

memanjatkan doa dan memotivasi penulis.

4. Seluruh teman-teman Teknik Geofisika Universitas Pertamina, terutama kepada David dan Putu Pasek yang tak henti memberikan dukungan moral kepada penulis.

Dengan ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, sehingga dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis juga berharap bahwa Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk pembaca dalam ilmu pengetahuan.

Jakarta, 8 Agustus 2020

Nanditha Arahman

DAFTAR ISI

(10)

Universitas Pertamina - vi Lembar Pengesahan ... i Lembar Pernyataan... ii Abstrak ... iii Abstract ... iv Kata Pengantar ... v Daftar Isi... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1.Latar Belakang ... 1 1.2.Rumusan Masalah ... 2 1.3.Batasan Masalah... 2 1.4.Tujuan Penelitian ... 3 1.5.Manfaat Penelitian ... 3 1.6.Lokasi Penelitian ... 3 1.7.Waktu Pelaksanaan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Batuan Shale Gas ... 5

2.2. Properti Fisis Batuaan ... 6

2.2.1. Gelombang P dan Gelombang S ... 6

2.2.2. Densitas ... 7

2.3. Pemodelan Fisika Batuan ... 7

2.3.1. Teori Bound ... 8

2.3.2. Model Differential Effective Medium (DEM) ... 10

2.3.3. Teori Gassmann ... 11

2.3.4. Hubungan Matriks dengan Batuan Dry ... 12

2.3.5. Parameter Thomsen ... 13

2.3.6. Rata-Rata Backus ... 14

(11)

Universitas Pertamina - vii

BAB III METODE PENELITIAN... 18

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

3.2. Data Penelitian ... 18

3.3. Alat dan Perangkat Lunak ... 19

3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.4.1. Pra-Pengolahan ... 19

3.4.2. Perhitungan Awal ... 19

3.4.3. Substitusi Fluida ... 20

3.4.4. Analisis Anisotropi ... 20

3.5. Diagram Alir Penelitian ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Pemodelan Fisika Batuan ... 22

4.1.1. Estimasi Fraksi Mineral dan Modulus Mineral... 22

4.1.2. Batuan Matriks (Solid Rock) Dengan Menggunakan Cara (1) dan (2) ... 25

4.1.3. Substitusi Fluida dengan Menggunakan DEM ... 27

4.1.4. Substitusi Fluida dengan Menggunakan DEM dan Gassmann ... 28

4.1.5. Substitusi Fluida dengan Menggunakan Gassmann... 29

4.2. Analisis Substitusi Fluida ... 31

4.3. Pengaruh Saturasi Air Terhadap Properti Elastis ... 33

4.4. Parameter Anisotropi ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

Universitas Pertamina - viii Tabel 1.1. Waktu Pelaksanaan ... 4 Tabel 3.1. Kelengkapan Data Penelitian ... 18

(13)

Universitas Pertamina - ix

Gambar 2.1. Ilustrasi perambatan gelombang P dan gelombang S... 6

Gambar 2.2. Tahapan pemodelan fisika batuan ... 8

Gambar 2.3. Efek perubahan volume fraksi terhadap Modulus Bulk efektif. ... 9

Gambar 2.4. Model iso-strain Voigt dan Model iso-stress Reuss ... 9

Gambar 2.5. Koefisien P dan Q untuk bentuk inklusi yang berbeda ... 10

Gambar 2.6. Arti fisis dari porositas kritis ... 12

Gambar 2.7. Vertical Transverse Isotropy ... 16

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian ... 21

Gambar 4.1. Hasil estimasi fraksi mineral menggunakan MLR ... 22

Gambar 4.2. Hasil estimasi fraksi mineral menggunakan rasio Vclay/Vshale ... 23

Gambar 4.3. Porositas kritis ... 24

Gambar 4.4. Modulus mineral clay ... 25

Gambar 4.5. Modulus mineral non-clay ... 25

Gambar 4.6. Model solid rock dengan estimasi fraksi mineral menggunakan MLR 26 Gambar 4.7. Model solid rock dengan estimasi fraksi mineral menggunakan Model Nur ... 26

Gambar 4.8. Hasil substitusi fluida menggunakan DEM ... 28

Gambar 4.9. Hasil substitusi fluida menggunakan DEM dan Gassmann ... 29

Gambar 4.10. Hasil substitusi fluida menggunakan Gassmann (1) ... 30

Gambar 4.11. Hasil substitusi fluida menggunakan Gassmann (2) ... 30

Gambar 4.12. Hasil pemodelan Vp, Vs, dan densitas ... 32

Gambar 4.13. Plot antara properti seismik (AI, SI, dan Vp/Vs) menggunakan data real ... 33

Gambar 4.13. Plot antara properti seismik (AI, SI, dan Vp/Vs) menggunakan data model ... 33

(14)
(15)

Universitas Pertamina - 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Energi fosil merupakan energi yang berasal dari proses pembusukan sisa-sisa organisme yang terendapkan dan prosesnya telah berlangsung selama jutaan tahun. Energi ini merupakan salah satu sumber energi yang paling banyak diminati, baik dari sektor industri maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Berdasarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2018, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi energi tertinggi kelima di Asia Tenggara setelah Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan dengan pertumbuhan mencapai 6.04% per tahun.

Energi fosil terdiri dari beberapa jenis, di antaranya adalah minyak, gas, dan batu bara. Minyak dan gas adalah jenis energi fosil yang cukup masif dari segi eksplorasi. Pada metode konvensional, minyak dan gas diproduksi melalui reservoir yang merupakan batuan dengan porositas dan permeabilitas yang relatif baik seperti pada batupasir maupun batuan karbonat. Akan tetapi, akibat permintaan akan energi terus meningkat, ketersediaan hidrokarbon pada reservoir konvensional terus menurun seiring bertambahnya waktu sehingga dibutuhkan adanya pembaharuan untuk meningkatkan produksi, salah satunya dengan metode non-konvensional.

Dalam metode non-konvensional, khususnya pada batu serpih kita tidak lagi mempertimbangkan keutuhan dari satu petroleum system seperti keberadaan masing-masing batuan sumber, reservoir, dan perangkap. Namun, batu serpih tersebut berperan sebagai batuan sumber sekaligus sebagai reservoir dan perangkap hidrokarbon.

Selain itu, batu serpih memiliki tingkat heterogenitas dan kompleksitas yang tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi properti elastis batuserpih, di antaranya komposisi mineral, porositas, orientasi mineral, fluida pengisi pori, dll. Salah satu tantangan terbesar dalam metode non-konvensional pada batu serpih

(16)

Universitas Pertamina - 2 adalah sifat anisotropi yang dimilikinya. Anisotropi pada batuan serpih disebabkan oleh heterogenitas kecepatan batuan secara vertikal ‘Vertical Transverse Isotropy’ yang menjadi ciri khas bagi batuan serpih. Apabila efek anisotropi pada data diabaikan, maka data seismik dapat menghasilkan pencitraan yang buruk, mis-tie, dan tentunya mempengaruhi hasil interpretasi.

Oleh karena itu, untuk memahami perilaku dari gelombang seismik yang menjalar pada tubuh batuserpih, dibutuhkan pengamatan khusus yang dirangkum dalam suatu bentuk pemodelan fisika batuan yang dapat menghubungkan properti elastis batuserpih dengan properti seismik.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses dan hasil pemodelan substitusi fluida pada reservoir shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara?

2. Bagaimana perubahan yang terjadi akibat perubahan saturasi air pada reservoir shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara?

3. Bagaimana karakter anisotropi pada reservoir shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara?

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi dalam beberapa hal, di antaranya:

1. Pengolahan dilakukan berbasis pemrograman dengan bahasa Matlab.

2. Penelitian dilakukan hanya pada data sumur X pada formasi batuan serpih di Cekungan Sumatera Utara.

3. Hasil penelitian dibatasi hanya sampai mendapatkan model Vp, Vs, dan densitas, serta parameter Thomsen (𝜕, 𝜖).

(17)

Universitas Pertamina - 3

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan metode yang sesuai untuk melakukan substitusi fluida pada reservoir shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara.

2. Menentukan parameter elastis yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan saturasi air pada reservoir shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara.

3. Menentukan parameter anisotropi (Parameter Thomsen) untuk mengetahui karakter anisotropi pada medium Vertical Transverse Isotropy (VTI) reservoir

shale gas di Sumur X, Cekungan Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu untuk:

1. Meningkatkan kemampuan dalam bidang terkait yang dapat digunakan sebagai bekal memasuki dunia kerja.

2. Mengimplementasikan pengetahuan teori yang didapat selama perkuliahan. 3. Melatih sikap profesionalisme untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki

dunia kerja.

1.6. Lokasi Penelitian

Adapun penelitian berlokasi di Gedung Griya Legita, Universitas Pertamina, Jalan Teuku Nyak Arif, Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

(18)

Universitas Pertamina - 4

1.7. Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan mengikuti waktu pelaksanaan sebagai berikut: Tabel 1.1. Waktu pelakanaan

(19)
(20)

Universitas Pertamina - 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batuan Shale Gas

Shale gas merupakan salah satu jenis migas non-konvensional yang bertindak sebagai sumber sekaligus tempat terakumulasinya hidrokarbon. Pada formasi ini, batuan sumber yaitu shale tidak memerlukan kehadiran jebakan hidrokarbon seperti pada metode konvensional. Gas yang terdapat pada batuan

shale gas yang telah matang (mature) umumnya disimpan sebagai:

Free gas dalam kerogen atau pada pori-pori intergranular

Free gas pada rekahan (fracture)

Adsorbed gas pada pori-pori kerogen

Adsorbed gas pada pori-pori intergranular

• Terlarut dalam air (biasanya diabaikan)

Batuan shale gas pada kasus umum terdiri dari beberapa mineral seperti clay, kuarsa, calcite, dolomite, dan lain-lain. Akan tetapi, shale gas yang baik adalah shale gas yang memiliki kandungan mineral clay yang sedikit. Hal tersebut disebabkan karena sifat mineral clay yang ductile (lentur) sehingga akan sulit untuk membentuk rekahan sebagai jalan keluarnya hidrokarbon. Semakin tinggi kandungan mineral non-clay (kuarsa, calcite, dll) maka batuan tersebut akan semakin brittle. Oleh karena itu, rekahan akan lebih mudah terbentuk dan hidrokarbon dapat mengalir keluar.

Salah satu ciri khas sekaligus tantangan yang dihadapi dalam eksplorasi pada reservoir shale gas adalah sifat anisotropi yang dimilikinya. Sifat anisotropi tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yakni bentuk mineral penyusun, orientasi mineral, hingga persentase material organik (TOC) akibat proses geologi sebelum, saat, dan sesudah pengendapan (Bandyopadhyay, 2009).

(21)

Universitas Pertamina - 6

2.2. Properti Fisis Batuan

2.2.1. Gelombang P dan Gelombang S

Gelombang seismik merupakan gelombang yang menjalar di bawah permukaan bumi ke segala arah dan mampu dicatat oleh seismograf yang perambatannya dipengaruhi oleh sifat elastis batuan. Berdasarkan cara perambatannya, gelombang digolongkan menjadi dua jenis, yaitu gelombang P dan gelombang S seperti yang diilustrasikan oleh gambar berikut.

a. Gelombang P, biasa juga disebut sebagai gelombang kompresional yang menjalar pada tubuh batuan secara kompresional dan tensional. Partikel gelombang P merambat searah dengan arah perambatan gelombang dan dapat merambat pada medium padat, cair, dan gas.

b. Gelombang S atau yang biasa disebut sebagai gelombang shear, bergerak secara shear pada tubuh batuan. Partikel gelombang S merambat tegak lurus dengan arah perambatan gelombang dan tidak dapat merambat pada medium cair dan gas (fluida).

Besar kecepatan gelombang P dan gelombang S dapat dinyatakan dengan persamaan Gassmann (1951) dan Biot (1956) sebagai berikut:

Gambar 2.1. Ilustrasi perambatan (a) gelombang P dan (b) gelombang S. (Bolt, 1993)

(22)

Universitas Pertamina - 7 𝑉𝑝 = √𝐾𝑠𝑎𝑡+ 4 3 𝜇𝑠𝑎𝑡 𝜌𝑠𝑎𝑡 (pers. 2.1.) 𝑉𝑆 = √ 𝜇𝑠𝑎𝑡 𝜌𝑠𝑎𝑡 (pers. 2.2.)

dimana Vp dan Vs adalah kecepatan gelombang P dan gelombang S, K adalah modulus bulk, µ adalah modulus shear, dan 𝜌 adalah densitas. Dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kecepatan gelombang P yang menjalar di bawah permukaan dipengaruhi oleh besarnya nilai modulus bulk batuan, modulus shear, serta densitas batuan. Sedangkan, nilai kecepatan gelombang S hanya dipengaruhi oleh modulus shear dan densitas batuan. Parameter-parameter inilah yang kemudian diprediksi dalam pemodelan fisika batuan.

2.2.2. Densitas

Densitas atau massa jenis merupakan suatu perbandingan antara massa dan volume. Dalam fisika batuan, densitas suatu batuan tersaturasi dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

𝜌𝑠𝑎𝑡 = 𝜌𝑚(1 − ∅) + 𝜌𝑤𝑠𝑤∅ + 𝜌ℎ𝑐(1 − 𝑠𝑤)∅ (pers. 2.3.) dengan 𝜌𝑠𝑎𝑡 adalah densitas batuan tersaturasi, 𝜌𝑚 adalah densitas matriks, 𝜌𝑤 adalah densitas air, 𝑠𝑤 adalah saturasi air, 𝑠ℎ𝑐 adalah saturasi hidrokarbon, dan ∅ adalah porositas.

2.3. Pemodelan Fisika Batuan

Secara umum, pemodelan fisika batuan membutuhkan beberapa tahapan, yakni membentuk model mineral, model fluida, membentuk rock frame,

kemudian menggabungkan seluruh komponen tersebut hingga menjadi suatu model fisika batuan.

(23)

Universitas Pertamina - 8

2.3.1. Teori Bound

Dalam menentukan modulus elastis dari suatu batuan, kita memerlukan informasi mengenai volume fraksi dari tiap mineral, modulus elastis mineral, serta geometri bagaimana mineral tersebut tersusun (Mavko, G. et al, 2009). Akan tetapi, pada umumnya kita hanya memiliki informasi volume fraksi dan modulus elastis mineral sehingga kita hanya dapat menentukan batas atas dan batas bawah dari modulus mineral. Salah satu model yang umum digunakan yaitu Model Voigt (1910) dan Model Reuss (1929). Batas atas dari modulus elastisitas efektif dijelaskan dengan persamaan Model Voigt berikut:

𝑀𝑣 = ∑𝑁𝑖=1𝑓𝑖𝑀𝑖 (pers. 2.4.)

Sedangkan, batas bawah dari modulus elastisitas efektif dijelaskan dengan persamaan Model Reuss yang dapat dituliskan:

Gambar 2. 2. Tahapan pemodelan fisika batuan (Carl Reine, 2017)

(24)

Universitas Pertamina - 9 1 𝑀𝑅= ∑ 𝑓𝑖 𝑀𝑖 𝑁 𝑖=1 (pers. 2.5.)

dengan fi adalah volume fraksi dari mineral -i, dan Mi adalah modulus elastis dari mineral-i.

Voigt bound disebut juga sebagai isostrain average karena merepresentasikan rasio antara rata-rata stress dan rata-rata strain dengan mengasumsikan semua unsur memiliki strain yang sama, begitu pula dengan Reuss bound disebut sebagai isostress average dengan mengasumsikan semua unsur memiliki stress yang sama.

Pada umumnya, nilai modulus berada di antara batas atas dan batas bawah. Oleh karena itu, sebagai representatif, seringkali digunakan nilai rata-rata dari kedua batas atas dan batas bawah yang disebut rata-rata Voigt-Reuss-Hill:

Gambar 2.3. Efek perubahan volume fraksi terhadap Modulus Bulk efektif. Nilai modulus bulk akan berkisar di

antara batas atas dan batas bawah. (Mavko G. et al, 2009)

Gambar 2.4. (a) Model iso-stress Reuss, (b) Model iso-strain Voigt. TA adalah ketebalan material A, dan

(25)

Universitas Pertamina - 10 𝑀𝑉𝑅𝐻 = 𝑀𝑣+ 𝑀𝑅

2

(pers. 2.6.)

2.3.2. Model Differential Effective Medium (DEM)

Pada teori inklusi, pori atau rekahan dianggap sebagai void atau inklusi yang berada di dalam matriks solid sebagai host (Ramadhan, L., 2018). Differential Effective Medium (DEM) merupakan salah satu model inklusi yang digunakan untuk mengestimasi modulus elastis batuan yang dipengaruhi oleh suatu konstituen dan porositas. Pada model DEM, inklusi akan ditambahkan secara berkala hingga mencapai kondisi yang paling maksimal. Model DEM sangat dipengaruhi oleh urutan komposit. Dalam kata lain, menggunakan material host sebagai komposit-1 dan inklusi sebagai komposit-2 akan memiliki hasil modulus efektif yang berbeda dengan menempatkan inklusi sebagai komposit-1 dan material host sebagai komposit-2. Adapun persamaan dalam pemodelan menggunakan model DEM didasari dari dua persamaan differential yang terkopel yang dapat dipecahkan dengan metode Euler menjadi:

𝐾(𝑦𝑖+1)= 𝐾(𝑦𝑖)+(𝐾2− 𝐾(𝑦𝑖) ∗ 1 − 𝑦𝑖 𝑃(𝑦∗2𝑖)∆𝑦 𝜇(𝑦𝑖+1)= 𝜇(𝑦𝑖) ∗ +(𝜇2− 𝜇(𝑦𝑖) ∗ 1 − 𝑦𝑖 𝑄(𝑦∗2𝑖)∆𝑦 (pers 2.7.)

dengan nilai P dan Q adalah sebagai berikut:

(26)

Universitas Pertamina - 11 2.3.3. Teori Gassmann

Keberadaan suatu fluida di dalam pori-pori batuan akan mempengaruhi properti elastik batuan yang bergantung pada jenis fluida dan kuantitas fluida pengisi pori. Dengan demikian, perubahan properti elastik tersebut yang kemudian menjadi obyek dalam suatu pemodelan fisika batuan, dan membantu dalam analisis perubahan respon seismik akibat perubahan fluida tersebut. Teori Gassmann (1951) dan Biot (1956) memprediksi hubungan modulus bulk pada batuan tersaturasi fluida dengan persamaan sebagai berikut:

𝐾𝑠𝑎𝑡 = 𝐾𝑑𝑟𝑦+ (1− 𝐾𝑑𝑟𝑦 𝐾𝑚) 2 ∅ 𝐾𝑓𝑙+ 1−∅ 𝐾𝑚− 𝐾𝑑𝑟𝑦 𝐾𝑚2 (pers 2.8.)

𝐾𝑠𝑎𝑡 : modulus bulk efektif pada batuan tersaturasi fluida 𝐾𝑑𝑟𝑦 : modulus bulk efektif pada ‘dry rock

𝐾𝑓𝑙 : modulus bulk efektif dari fluida pengisi pori 𝐾0 : modulus bulk efektif dari mineral penyusun batuan ∅ : porositas

Kemudian, Mavko, dkk (2009) menyederhanakan persamaan di atas menjadi: 𝐾𝑠𝑎𝑡 𝐾0−𝐾𝑠𝑎𝑡 = 𝐾𝑑𝑟𝑦 𝐾0−𝐾𝑑𝑟𝑦+ 𝐾𝑓𝑙 ∅(𝐾0−𝐾𝑓𝑙) (pers 2.9.) Permasalahan yang sering ditemui adalah untuk memprediksi perubahan yang terjadi apabila suatu fluida digantikan dengan fluida yang lain yang berkaitan dengan perubahan respon seismik. Oleh karena itu, persamaan 9 dapat kita ubah menjadi:

𝐾𝑠𝑎𝑡1 𝐾0−𝐾𝑠𝑎𝑡1− 𝐾𝑓𝑙1 ∅(𝐾0−𝐾𝑓𝑙1)= 𝐾𝑠𝑎𝑡2 𝐾0−𝐾𝑠𝑎𝑡2+ 𝐾𝑓𝑙2 ∅(𝐾0−𝐾𝑓𝑙2) (pers 2.10) dengan 𝐾𝑓𝑙1 adalah modulus bulk fluida pada kondisi mula-mula, dan 𝐾𝑓𝑙2 adalah modulus bulk fluida pada kondisi akhir.

Secara fisis, modulus bulk lebih sensitif terhadap saturasi fluida di dalam formasi. Hal tersebut disebabkan karena apabila gelombang seismik melewati batuan, gelombang tersebut akan memberikan kompresi sehingga terjadi

(27)

Universitas Pertamina - 12 perubahan volume pori yang menyebabkan perubahan pula pada tekanan pori. Tekanan tersebut akan meningkatkan kekakuan (stiffness) batuan. Akibatnya, nilai modulus bulk akan meningkat dan berimplikasi pada meningkatnya kecepatan gelombang P. Sedangkan, pada modulus geser (shear modulus) gelombang S tidak mempengaruhi volume pori sehingga fluida yang berbeda-beda pun tidak akan menyebabkan perubahan pada modulus geser. Hal tersebut dijelaskan dengan persamaan Biot-Gassmann:

𝜇𝑠𝑎𝑡= 𝜇𝑑𝑟𝑦 (pers 2.11)

dengan 𝜇𝑠𝑎𝑡 adalah modulus geser pada batuan tersaturasi dan 𝜇𝑑𝑟𝑦 adalah modulus geser pada batuan dry.

2.3.4. Hubungan Batuan Matriks Dengan Batuan Dry

Pada model Nur (1992) dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara batuan matriks dengan batuan dry yang dipengaruhi oleh porositas kritis. Porositas kritis adalah porositas yang terbentuk ketika fasa batuan berubah dari suspensi sampai batuan terendapkan, sehingga pada fase ini akan terjadi perubahan tren pada modulus elastisitas batuan.

(28)

Universitas Pertamina - 13 Pada batuan dry, modulus bulk dan modulus shear dinyatakan dengan persamaan berikut: 𝐾𝑑𝑟𝑦= 𝐾𝑚𝑎(1 − ∅ ∅𝑐 ) 𝜇𝑑𝑟𝑦 = 𝜇𝑚𝑎(1 − ∅ ∅𝑐 ) (pers 2.12)

Sedangkan, untuk batuan tersaturasi, modulus bulk dan modulus shear dinyatakan dengan persamaan berikut:

𝐾𝑠𝑎𝑡= 𝐾𝑚𝑎(1 − ∅ ∅𝑐) + ∅ ∅𝑐𝐾𝑓𝑙 𝜇𝑑𝑟𝑦= 𝜇𝑚𝑎(1 − ∅ ∅𝑐) (pers 2.13)

dengan 𝐾𝑚𝑎 dan 𝜇𝑚𝑎adalah modulus bulk dan modulus shear dari batuan matriks, 𝐾𝑓𝑙 adalah modulus bulk fluida, ∅ adalah porositas, dan ∅𝑐 adalah porositas kritis.

2.3.5. Parameter Thomsen

Pada material Transversely Isotropic (TI), parameter anisotropi didapatkan dari representasi konstanta tensor elastis yang diperoleh dari hubungan stress dan strain. Hal tersebut dijelaskan oleh matriks dengan 5 buah konstanta independen berikut:

[ 𝑐11 𝑐12 𝑐13 0 0 0 𝑐12 𝑐11 𝑐13 0 0 0 𝑐13 𝑐13 𝑐33 0 0 0 0 0 0 𝑐44 0 0 0 0 0 0 𝑐44 0 0 0 0 0 0 𝑐66] , 𝑐66 = 1 2(𝑐11− 𝑐12)

Thomsen (1986) menjelaskan perbandingan kecepatan gelombang P dan gelombang S pada material Vertical Transverse Isotropy (VTI) dalam parameter-parameter yang digunakan untuk mengkarakterisasi konstanta elastisitas material TI untuk anisotropi lemah (𝜀, 𝛾, dan 𝛿). Parameter-parameter terebut mendefinisikan perbandingan kecepatan gelombang P dan gelombang S pada arah vertikal dan horizontal dari suatu batuan yang dituliskan dengan persamaan:

(29)

Universitas Pertamina - 14 𝜀 ≈𝑉𝑝(90°)−𝑉𝑝(0°) 𝑉𝑝(0°) (pers 2.14) 𝛾 ≈𝑉𝑆𝐻(90°)−𝑉𝑆𝑉(90°) 𝑉𝑆𝑉(90°) = 𝑉𝑆𝐻(90°)−𝑉𝑆𝐻(0°) 𝑉𝑆𝐻(0°) (pers 2.15) 𝛿 = 4 [𝑉𝑝(45°)−𝑉𝑝(0°) 𝑉𝑝(0°) ] − 𝜀 (pers 2.16) 2.3.6. Rata-Rata Backus

Backus (1962) membuktikan bahwa untuk gelombang yang panjang, suatu medium yang memiliki lapisan horizontal tipis akan cenderung memiliki sifat yang sama seperti medium homogen, atau mendekati homogen. Properti elastis dari suatu lapisan tipis, atau lapisan transversely isotropic, merupakan anisotropi efektif pula dengan kekakuan (stiffness) efektif sebagai berikut:

[ 𝐴 𝐵 𝐹 0 0 0 𝐵 𝐴 𝐹 0 0 0 𝐹 𝐹 𝐹 0 0 0 0 0 0 𝐷 0 0 0 0 0 0 𝐷 0 0 0 0 0 0 𝑀] , 𝑀 =1 2(𝐴 − 𝐵) A = 〈𝑎 − 𝑓2𝑐−1〉 + 〈𝑐−1−1〈𝑓𝑐−12 (pers 2.17) B = 〈𝑏 − 𝑓2𝑐−1〉 + 〈𝑐−1−1〈𝑓𝑐−12 (pers 2.18) C = 〈𝑐−1−1 (pers 2.19) F = 〈𝑐−1−1〈𝑓𝑐−12 (pers 2.20) D = 〈𝑑−1−1 (pers 2.21) M = 〈𝑚〉 (pers 2.22)

Tanda kurung 〈. 〉 mengindikasikan rata-rata suatu properti yang diberi pembobotan berdasarkan volume fraksinya. Hal inilah yang biasa disebut Backus average atau rata-rata Backus. Jika tiap-tiap lapisan tersebut homogen, medium efektifnya tetap transversely isotropic, tetapi jumlah konstanta independen yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan masing-masing lapisan menjadi:

(30)

Universitas Pertamina - 15 A = 〈4𝜇(𝜆+𝜇) 𝜆+2𝜇 〉 + 〈 1 𝜆+2𝜇〉 −1 𝜆 𝜆+2𝜇〉 2 (pers 2.23) B = 〈 2𝜇𝜆 𝜆+2𝜇〉 + 〈 1 𝜆+2𝜇〉 −1 𝜆 𝜆+2𝜇〉 2 (pers 2.24) C = 〈 1 𝜆+2𝜇〉 −1 (pers 2.25) F = 〈 1 𝜆+2𝜇〉 −1 𝜆 𝜆+2𝜇〉 2 (pers 2.26) D = 〈1 𝜇〉 −1 (pers 2.27) M = 〈𝜇〉 (pers 2.28)

Atau dalam bentuk kecepatan gelombang P dan S dapat dituliskan sebagai berikut: A = 〈4𝜌𝑉𝑠2(1 −𝑉𝑠2 𝑉𝑝2)〉 + 〈1 − 2 𝑉𝑠2 𝑉𝑝2〉2〈(𝜌𝑉𝑝2)−1〉−1 (pers 2.29) B = 〈2𝜌𝑉𝑠2(1 −𝑉𝑠2 𝑉𝑝2)〉 + 〈1 − 2 𝑉𝑠2 𝑉𝑝2〉 2〈(𝜌𝑉𝑝2)−1−1 (pers 2.30) C = 〈(𝜌𝑉𝑝2)−1−1 (pers 2.31) F = 〈1 − 2𝑉𝑠2 𝑉𝑝2〉 2〈(𝜌𝑉𝑝2)−1−1 (pers 2.32) D = 〈(𝜌𝑉𝑠2)−1−1 (pers 2.33) M = 〈𝜌𝑉𝑠2 (pers 2.34) Kecepatan gelombang P dan S pada medium anisotropi efektif dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑉𝑆𝐻,ℎ = √𝑀/𝜌 (pers 2.35)

𝑉𝑆𝐻,𝑣 = 𝑉𝑆𝑉,ℎ = 𝑉𝑆𝑉,𝑣 = √𝐷/𝜌 (pers 2.36)

𝑉𝑃,ℎ = √𝐴/𝜌 (pers 2.37)

(31)

Universitas Pertamina - 16 dengan 𝜌 adalah densitas rata-rata, 𝑉𝑃,𝑣 adalah kecepatan gelombang P dalam sumbu vertikal; 𝑉𝑃,ℎ adalah kecepatan gelombang P dalam sumbu horizontal; 𝑉𝑆𝐻,ℎ adalah kecepatan gelombang S yang menjalar pada sumbu horizontal dengan arah vertikal; 𝑉𝑆𝑉,ℎ adalah kecepatan gelombang S yang menjalar pada sumbu vertikal dengan arah horizontal; dan 𝑉𝑆𝑉,𝑣 adalah kecepatan gelombang S yang menjalar pada sumbu vertikal dengan arah vertikal.

2.4. Multi Linear Regression (MLR)

Dalam kasus regresi linear sederhana yang seringkali kita temui, dijelaskan hubungan antara variabel X dan Y yang ditulis dengan persamaan berikut:

𝑦𝑖 = 𝛽0+ 𝛽1𝑋𝑖 + 𝑒𝑖,

i = 1,2,3,…,n (pers 2.39)

Dari persamaan di atas, kita dapat melihat bahwa variabel Y bergantung pada nilai variabel X. Oleh sebab itu, variabel Y disebut sebagai dependent variable, sedangkan variabel X disebut sebagai independent variable. Pada regresi linear sederhana ini, dibutuhkan hanya satu independent variable (X)

untuk memprediksi suatu dependent variable (Y). Berbeda dengan Multi Linear

Gambar 2.7. Vertical Transverse Isotropy (VTI). Properti elastis akan sama secara horizontal, namun berbeda secara vertikal atau dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Pada batuserpih,

(32)

Universitas Pertamina - 17

Regression (MLR), pada kasus ini terdapat lebih dari satu variable independen yang digunakan untuk mengestimasi suatu variabel dependen, dengan syarat variabel independennya tidak saling berhubungan satu sama lain. Persamaan Multi Linear Regression dituliskan sebagai berikut:

𝑦𝑖 = 𝛽0+ 𝛽1𝑋𝑖1+ 𝛽2𝑋𝑖2+ ⋯ + 𝛽𝑘𝑋𝑖𝑘+ 𝑒𝑖,

i = 1,2,3,…,n (pers 2.40)

(33)
(34)

Universitas Pertamina - 18

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada waktu dan tempat sebagai berikut:

Waktu : Februari 2020 – Juli 2020

Tempat : Gedung Griya Legita, Universitas Pertamina, Jalan Teuku Nyak Arief, RT.7/RW.8, Simprug, Kec. Kby. Lama, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12220

3.2. Data Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data sumur X pada cekungan Sumatera Utara. Adapun kelengkapan data dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 3.1. Kelengkapan data penelitian

Data Sumur Gamma Ray ✓ Densitas ✓ Vp ✓ Vs ✓ Resistivitas ✓ Saturasi air ✓

Data Petrografi (39 sampel)

XRD ✓

Data Geokimia

TOC ✓

Pada data penelitian yang dimiliki, diberikan informasi bahwa terdapat zona yang diduga sebagai zona yang berpotensi mengandung shale gas, yaitu pada kedalaman

(35)

Universitas Pertamina - 19 1680 m – 1770 m. Oleh karena itu, penelitian akan difokuskan pada interval kedalaman tersebut.

3.3. Alat dan Perangkat Lunak

Dalam penelitian ini, perangkat lunak yang digunakan adalah MATLAB 2019.

3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu tahap pra-pengolahan, perhitungan awal dan tahap pemodelan.

3.4.1 Pra-Pengolahan

Pada tahap ini, dilakukan pengkajian mengenai data yang dimiliki, serta studi literatur yang mendukung penelitian.

3.4.2 Perhitungan Awal

Data penelitian yang dimiliki memiliki jumlah sampel yang terbatas hanya untuk beberapa kedalaman saja. Oleh karena itu, dibutuhkan perhitungan awal untuk memprediksi informasi yang digunakan untuk melakukan pemodelan fisika batuan. Dalam penelitian ini, informasi yang perlu diprediksi adalah fraksi dan modulus mineral penyusun batuan. Terdapat dua cara untuk memprediksi kedua hal tersebut, cara pertama yaitu dengan menggunakan Multi Linear Regression (MLR) dan cara kedua dengan menggunakan rasio Vclay/Vshale dan Model Nur (1992).

Dengan cara MLR, terlebih dahulu kita memprediksi fraksi mineral dengan menggunakan informasi data sumur lainnya seperti gamma ray, resistivitas, densitas, dll. Data sumur tersebut diperlakukan sebagai dependent variable, sedangkan independent variable nya adalah fraksi mineral yang kita inginkan. Hasil yang didapatkan kemudian diaplikasikan ke semua kedalaman. Sedangkan, untuk modulus mineral didapatkan melalui referensi yang tersedia.

Untuk cara yang kedua, Ramadhan (2018) dalam studinya menyatakan bahwa fraksi mineral didapatkan dengan cara mengasumsikan mineral terbagi menjadi dua jenis saja, yaitu mineral clay dan non-clay. Pada cara ini, kita menggunakan informasi rasio 𝑉𝑐𝑙𝑎𝑦/𝑉𝑠ℎ𝑎𝑙𝑒 yang dihitung pada tiap titik sampel. Vclay diperoleh dari data sumur, sedangkan nilai Vshale dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan:

(36)

Universitas Pertamina - 20 𝑉𝑐𝑙𝑎𝑦= 𝐼𝐺𝑅= 𝐺𝑅−𝐺𝑅𝑚𝑖𝑛

𝐺𝑅𝑚𝑎𝑥−𝐺𝑅𝑚𝑖𝑛 (pers 3.1.) dengan GR adalah nilai bacaan gamma ray di titik sampel, 𝐺𝑅𝑚𝑖𝑛 adalah nilai gamma ray minimum, dan 𝐺𝑅𝑚𝑎𝑥 adalah nilai gamma ray maksimum. Setelah itu, rasio 𝑉𝑐𝑙𝑎𝑦/𝑉𝑠ℎ𝑎𝑙𝑒 yang didapatkan diaplikasikan ke semua kedalaman sehingga didapatkan fraksi mineral clay dan fraksi mineral non-clay. Sedangkan, untuk mengestimasi modulus mineral pada cara ini kita menggunakan model porositas kritis Nur (1992) seperti pada persamaan (2.13) sehingga didapatkan nilai 𝐾𝑚𝑎 dan 𝜇𝑚𝑎. Setelah itu, nilai 𝐾𝑚𝑎 dan 𝜇𝑚𝑎 diplot terhadap fraksi mineral yang sudah dicari sebelumnya. Besar modulus efektif masing-masing mineral didapatkan dari nilai intercept pada plot tersebut.

3.4.3 Substitusi Fluida

Setelah semua parameter yang diperlukan sudah dipenuhi, maka proses substitusi fluida dapat dilakukan dengan beberapa algoritma yang berbeda, yaitu: a. Hanya menggunakan model Differential Effective Medium (DEM)

b. Menggunakan model DEM dan model substitusi fluida Gassmann c. Hanya menggunakan model substitusi fluida Gasssmann

3.4.4 Analisis Anisotropi

Analisis anisotropi dilakukan dengan menggunakan rata-rata Backus untuk menghasilkan parameter anisotropi 𝜀 dan 𝛾. Akan tetapi, untuk menghasilkan kedua parameter tersebut dalam bentuk log, kita perlu membagi sampel ke dalam beberapa bagian. Untuk menentukan jumlah sampel, kita mengasumsikan terdapat seismik dengan frekuensi 20 Hz dan kecepatan gelombang seismik pada batuan shale sebesar 2750 m/s (Telford & Sherrif, 1984). Dengan demikian, kita dapat menghitung besar panjang gelombang (λ = kecepatan/frekuensi) yaitu 137.5 m.

Kemudian, besar tebal lapisan maksimal yang dapat terbaca oleh seismik adalah λ/4, yakni sebesar 34.375 m. Data penelitian memiliki tebal zona interest

(37)

Universitas Pertamina - 21 anisotropi dapat ditentukan dengan 90 m / 34.375 m = 2.581 ≈ 3. Artinya, analisis anisotropi dengan menggunakan rata-rata Backus akan dilakukan setiap 3 buah sampel.

3.5. Diagram Alir Penelitian

Adapun alur penelitian ini dilakukan berdasarkan diagram alir berikut:

Start

Data sumur

Solid rock (clay, quartz, calcite, dll)

Dry rock

Kerogen, pores, cracks

Fluid saturated rock

Fluids Stop Fit Yes No Analisis anisotropi Interpretasi K, 𝜇, 𝜌, 𝜀, 𝛾,𝛿

(38)
(39)

Universitas Pertamina - 22

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemodelan Fisika Batuan

4.1.1. Estimasi Fraksi Mineral dan Modulus Mineral

Informasi mengenai fraksi masing-masing mineral penyusun batuan pada umumnya terdapat pada data XRD. Akan tetapi, data XRD yang dimiliki hanya menyediakan informasi di beberapa kedalaman tertentu saja. Sehingga, dibutuhkan suatu proses untuk mengestimasi fraksi mineral pada kedalaman yang dibutuhkan, yang pada penelitin ini yaitu kedalaman 1680 m – 1770 m. Estimasi fraksi mineral tersebut dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menggunakan (1) Multi Linear Regression (MLR) dan (2) rasio Vclay/Vshale.

Dengan menggunakan cara (1) Multi Linear Regression (MLR), dibutuhkan variabel yang bertindak sebagai variabel dependen dan variabel independen. Pada kasus ini, fraksi mineral yang ingin kita estimasi berperan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya menggunakan data sumur lainnya seperti gamma ray, densitas, porositas, dll. Proses estimasi tersebut berjalan sesuai dengan persamaan 2.40 sehingga dihasilkan fraksi-fraksi mineral seperti pada Gambar 4.1. Sedangkan, untuk modulus mineral didapatkan dari referensi.

(40)

Universitas Pertamina - 23 Di sisi lain, estimasi fraksi mineral juga dilakukan dengan menggunakan cara (2), yakni menggunakan rasio Vclay/Vshale. Vclay dapat diperoleh dari data petrografi, sedangkan Vshale didapatkan dengan menghitung menggunakan persamaan 3.1. Cara ini berlaku dengan mengasumsikan mineral penyusun batuan tersusun dari dua jenis mineral, yakni mineral clay dan mineral non-clay. Kedua fraksi mineral tersebut dijelaskan pada gambar berikut:

Selanjutnya, nilai modulus untuk masing-masing mineral clay dan non-clay dapat diperoleh menggunakan Model Nur (1992) yang ditunjukkan pada persamaan 2.13. Akan tetapi, perlu terlebih dahulu menentukan porositas kritis yang didapatkan dengan melakukan plot antara porositas dengan modulus bulk yang ditunjukkan oleh Gambar 4.3.

Gambar 4.2. Hasil estimasi fraksi mineral menggunakan rasio Vclay/Vshale

(41)

Universitas Pertamina - 24 Porositas kritis adalah porositas yang terbentuk ketika fasa batuan berubah dari suspensi hingga batuan terendapkan. Oleh karena itu, akan terjadi perubahan tren modulus elastisitas secara signifikan. Pada kasus ini, tren tersebut berada pada titik 0.2 (ditunjukkan dengan garis hitam pada Gambar 4.3.), sehingga nilai tersebut adalah nilai porositas kritisnya. Nilai porositas kritis tersebut kemudian dimasukkan ke dalam persamaan 2.13 dan dilakukan plot terhadap masing-masing fraksi mineral sehingga didapatkan modulus mineral clay dan non-clay.

Gambar 4.3. Porositas kritis bernilai 0.2

Gambar 4.4. Modulus mineral clay. (Kiri) Modulus bulk sebesar 29.4 GPa, (Kanan) Modulus shear sebesar 5.798 Gpa

(42)

Universitas Pertamina - 25

4.1.2. Batuan Matriks (Solid Rock) Dengan Menggunakan Cara (1) dan (2)

Setelah semua informasi yang dibutuhkan telah tersedia, selanjutnya kita perlu membentuk batuan matriks (solid rock). Proses ini memiliki peranan yang sangat penting mengingat batuan matriks akan menjadi pondasi dari model yang akan kita hasilkan. Berdasarkan hasil estimasi fraksi mineral dan modulus mineral menggunakan kedua cara sebelumnya, masing-masing cara tersebut menghasilkan modulus efektif batuan matriks yang diperoleh dengan menggunakan rata-rata Voigt-Reuss-Hill seperti yang dituliskan pada persamaan 2.6., sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.5. Modulus mineral non-clay. (Kiri) Modulus bulk sebesar 15.4 GPa, (Kanan) Modulus shear sebesar 3 Gpa

(43)

Universitas Pertamina - 26 Gambar 4.6. Model solid rock dengan estimasi fraksi mineral menggunakan

MLR

Gambar 4.7. Model solid rock dengan estimasi fraksi mineral menggunakan rasio Vclay/Vshale dan modulus mineral menggunakan Model Nur (1992).

(44)

Universitas Pertamina - 27 Berdasarkan Gambar 4.6. dan Gambar 4.7., diketahui bahwa estimasi fraksi mineral dan modulus mineral menggunakan cara yang berbeda dapat menghasilkan model modulus efektif batuan matriks yang berbeda pula. Pada kasus ini, estimasi fraksi mineral menggunakan MLR menghasilkan nilai modulus efektif batuan matriks yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan rasio vclay/vshale. Model batuan matriks dengan cara tersebut memiliki rentang antara 18.838 GPa – 30.5085 GPa untuk modulus bulk-nya, dan 14.8194 GPa – 21.5782 GPa untuk modulus shear-nya. Sedangkan, dengan menggunakan cara (2) dihasilkan model batuan matriks dengan rentang nilai modulus bulk sebesar 8.0594 GPa – 12.1824 GPa, dan rentang modulus shear sebesar 1.7165 GPa – 2.49 GPa. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara hasil model solid rock dengan menggunakan cara (1) dan cara (2). Perbedaan nilai tersebut diduga dapat terjadi karena pada prinsip MLR, kita membutuhkan training model sebelum mengaplikasikan pada data yang sebenarnya. Training model yang digunakan pada penelitian ini adalah data XRD yang memiliki kelengkapan data yang minim (lack of data) sehingga terjadi overestimasi pada model yang dihasilkan.

4.1.3. Substitusi Fluida Menggunakan DEM

Setelah batuan matriks terbentuk, sesuai dengan tahapan pada Gambar 2.2., kita perlu memberikan informasi mengenai fluida dan rock frame. Dengan menggunakan model solid rock dengan cara (1), substitusi fluida dilakukan dengan cara menggunakan model DEM dengan algoritma seperti gambar berikut:

(45)

Universitas Pertamina - 28 Berdasarkan hasil pemodelan tersebut, dapat terlihat bahwa untuk model modulus bulk sudah memiliki tren yang sama antara model dengan data real.

Tetapi, untuk modulus shear-nya masih memiliki error yang tinggi. Bahkan, nilai modulus shear model melebihi nilai modulus shear pada data real. Hal tersebut diduga disebabkan karena model solid rock menggunakan cara (1) memiliki nilai yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya overestimate. Akibat model solid rock tersebut terlalu tinggi tersebut, maka proses substitusi fluida menggunakan cara ini tidak dapat dilakukan.

4.1.4. Substitusi Fluida Menggunakan DEM dan Gassmann

Selanjutnya, karena model solid rock dengan menggunakan cara (1) memiliki hasil overestimate, pemodelan substitusi fluida dilanjutkan dengan menggunakan model solid rock dengan cara (2). Pada proses ini, substitusi fluida dilakukan dengan menggunakan model DEM untuk membentuk dry rock, serta menggunakan persamaan Gassmann (pers 2.8.) untuk memberikan informasi

Gambar 4.8. Hasil substitusi fluida model solid rock menggunakan DEM.

(Kiri) Algoritma pemodelan yang digunakan, (Kanan) Hasil pemodelan dengan menggunakan algoritma pada gambar sebelah kiri. Data real adalah nilai modulus efektif batuan tersaturasi.

(46)

Universitas Pertamina - 29 fluida sehingga dihasilkan sebagai berikut:

Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa antara data real dan model sudah memiliki tren yang cukup mirip. Perubahan yang signifikan terlihat jelas pada model modulus shear yang lebih mendekati kondisi sebenarnya dibandingkan dengan sebelumnya pada model solid rock dengan cara (1). Akan tetapi, untuk modulus shear antara model dan data real masih memiliki tren yang cukup berbeda, sehingga dilakukan pemodelan dengan cara berikutnya, yaitu menggunakan persamaan Gassmann.

4.1.5. Substitusi Fluida Menggunakan Gassmann

Pada kedua cara sebelumnya, kita dapat melihat bahwa model solid rock yang berbeda dapat menyebabkan hasil yang berbeda jauh, dimana model solid rock menggunakan cara (1) menghasilkan nilai yang sangat tinggi. Untuk melakukan validasi terhadap dugaan tersebut, dilakukan substitusi fluida dengan hanya menggunakan persamaan Gassmann dengan saturasi air yang divariasikan dari 0-100%, sehingga dihasilkan sebagai berikut:

Gambar 4.9. Hasil substitusi fluida model solid rock menggunakan DEM dan Gassmann. (Kiri) Algoritma pemodelan yang digunakan, (Kanan) Hasil pemodelan berdasarkan

(47)

Universitas Pertamina - 30 Dengan menggunakan persamaan substitusi fluida Gassmann, didapatkan hasil seperti pada Gambar 4.10. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa terdapat nilai negatif pada modulus bulk yang tentunya tidak masuk akal jika ditelaah secara fisis (suatu batuan tidak mungkin memiliki nilai modulus bulk negatif). Hal tersebut memvalidasi dugaan bahwa model solid rock dengan estimasi fraksi mineral menggunakan cara (1) memang memiliki nilai estimasi yang terlalu tinggi.

Sedangkan, dengan menggunakan model solid rock menggunakan cara (2) menggunakan persamaan substitusi fluida Gassmann didapatkan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.10. (Kiri) Algoritma pemodelan menggunakan persamaan Gassmann (1). (Kanan) Hasil pemodelan berdasarkan algoritma pada gambar sebelah kiri.

(48)

Universitas Pertamina - 31 Melalui percobaan ini, kita dapat melihat perbedaan yang terjadi dengan lebih jelas dengan membandingkan hasil pada Gambar 4.10. dan hasil pada Gambar 4.11 yang menggunakan model solid rock yang berbeda. Berdasarkan hasil pada Gambar 4.11., terlihat pula bahwa perubahan nilai modulus bulk terhadap saturasi air di dalam batuan tidak terlalu signifikan. Jika dibandingkan dengan algoritma-algoritma sebelumnya, maka substitusi fluida dengan menggunakan persamaan Gassmann merupakan algoritma yang paling cocok diterapkan untuk kasus ini karena memiliki hasil yang paling masuk akal.

4.2. Analisis Substitusi Fluida

Berdasarkan beberapa percobaan di atas, dapat kita simpulkan bahwa proses substitusi fluida dengan model solid rock menggunakan cara MLR menghasilkan nilai modulus efektif yang terlalu tinggi. Hal tersebut dibuktikan ketika percobaan substitusi fluida dilakukan dengan menggunakan persamaan Gassmann secara langsung, didapatkan nilai negatif yang tentunya tidak masuk akal jika dikaitkan secara fisis dengan batuan di alam. Seperti yang dijelaskan melalui persamaan 2.10, bahwa model substitusi fluida menggunakan persamaan Gassmann dipengaruhi beberapa faktor, yakni modulus bulk batuan matriks,

Gambar 4.11. Pemodelan menggunakan model solid rock cara (2).

(Kiri) Algoritma pemodelan menggunakan persamaan Gassmann, (Kanan) Hasil pemodelan berdasarkan algoritma sebelah kiri.

(49)

Universitas Pertamina - 32 modulus bulk batuan tersaturasi, fluida pengisi batuan pada kondisi awal dan akhir, serta porositas. Pada kasus ini, semua parameter selain modulus bulk batuan matriks diperoleh dari data petrografi, sehingga kecil kemungkinan terdapat galat pada parameter tersebut. Artinya, satu-satunya parameter yang mungkin kita bisa kita modelkan adalah modulus bulk batuan matriks yang telah didapatkan dari proses sebelumnya. Hal tersebut membuktikan bahwa munculnya fenomena nilai negatif pada hasil model benar- benar disebabkan akibat nilai modulus dari batuan matriks yang terlalu tinggi, sehingga ketika diproses melalui algoritma di persamaan Gassmann menyebabkan munculnya nilai negatif. Dalam kata lain, substitusi fluida dengan menggunakan cara ini tidak dapat dilakukan.

Kemudian, substitusi fluida menggunakan model DEM dan Gassmann menghasilkan model modulus bulk yang cukup mirip tren nya dengan data real. Tetapi, model modulus shear yang dihasilkan memiliki tren yang cukup berbeda dengan data realnya. Sedangkan, ketika substitusi fluida dilakukan menggunakan persamaan Gassmann secara langsung, didapatkan hasil yang paling masuk akal karena menghasilkan nilai modulus efektif yang tidak memiliki nilai negatif. Dengan demikian, maka pemodelan substitusi fluida dengan menggunakan persamaan Gassmann merupakan model yang paling cocok untuk diterapkan dalam kasus ini dibandingkan dengan algoritma lainnya.

(50)

Universitas Pertamina - 33

4.3. Pengaruh Saturasi Air Terhadap Properti Elastis

Selain itu, dilakukan pula pengamatan dengan cara melakukan plot antara properti elastis seismik, yakni AI (Acoustic Impedance), SI (Shear Impedance), dan Vp/Vs dan memberikan hasil sebagai berikut:

Gambar 4.13 dan 4.14 menjelaskan hubungan antara masing-masing properti elastis seismik dengan saturasi air sebagai skalanya menggunakan data real dan model. Saturasi air tersebut divariasikan dari 0-100%. Nilai saturasi air rendah ditandai dengan warna biru, sedangkan saturasi air yang tinggi ditandai dengan warna kuning. Berdasarkan kedua gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa semakin tinggi tingkat saturasi air, maka semakin tinggi pula nilai Acoustic Impedance (AI) dan Shear Impedance (SI) nya. Sedangkan, nilai AI dan SI tersebut berbanding terbalik dengan nilai Vp/Vs.

Gambar 4.12. Plot antara properti seismik (AI, SI, dan Vp/Vs) menggunakan data real dengan saturasi air sebagai skala

Gambar 4.13. Plot antara properti seismik (AI, SI, dan Vp/Vs) menggunakan model dengan saturasi air sebagai skala

(51)

Universitas Pertamina - 34 Melalui analisis ini, kita dapat simpulkan pula bahwa jika ingin mencari potensi shale gas, maka yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi zona dengan kandungan saturasi air yang rendah (lingkaran biru) seperti yang ditunjukkan dengan lingkaran merah. Akan tetapi, kita tidak mungkin memisahkan zona tersebut secara langsung sehingga dibutuhkan parameter yang dapat memisahkan zona target (shale gas) dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil plot pada Gambar 4.13 dan 4.14, maka parameter yang dapat digunakan untuk memisahkan zona tersebut adalah AI dan SI, sedangkan untuk Vp/Vs tidak dapat digunakan untuk memisahkan zona shale gas.

4.4. Parameter Anisotropi

Analisis parameter anisotropi atau yang biasa dinotasikan sebagai parameter Thomsen dilakukan dengan menggunakan persamaan rata-rata Backus, sehingga dihasilkan parameter epsilon (𝜀) dan gamma (𝛾) sebagai berikut:

Parameter-parameter tersebut merupakan parameter yang diperoleh dari hubungan stress dan shear dari Hukum Hooke pada medium anisotropi. Secara fisisnya, parameter epsilon menggambarkan rasio kecepatan gelombang P yang menjalar secara horizontal dan vertikal. Sedangkan, parameter gamma menggambarkan rasio kecepatan gelombang S yang menjalar secara horizontal dan

(52)

Universitas Pertamina - 35 vertikal. Berdasarkan Gambar 4.15, didapatkan nilai parameter epsilon dan gamma yang memiliki nilai < 0.2. Oleh karena itu, maka penelitian pada sumur X ini memiliki tingkat anisotropi yang rendah. Pada umumnya, nilai parameter epsilon dan gamma bernilai positif karena nilai kecepatan akan lebih besar ketika menjalar sejajar dengan perlapisan daripada tegak lurusnya. Akan tetapi, pada kasus ini, terdapat nilai epsilon yang bernilai negatif. Berryman (1999) membuktikan bahwa nilai epsilon dapat menjadi negatif akibat fluktuasi nilai konstanta Lame λ yang dapat disebabkan oleh fluktuasi nilai modulus mineral atau adanya keberadaan fluida dalam formasi.

(53)
(54)

Universitas Pertamina - 36

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan yakni: 1. Metode yang paling cocok diterapkan untuk substitusi fluida pada kasus ini

yaitu dengan menggunakan persamaan Gassmann.

2. Zona yang berpotensi sebagai shale gas dan non-shale gas dapat dipisahkan dengan menggunakan parameter Acoustic Impedance (AI) dan Shear Impedance (SI).

3. Parameter anisotropi yang dihasilkan merupakan nilai epsilon dan gamma yang merepresentasikan rasio kecepatan gelombang P dan S dengan arah vertikal dan horizontal. Nilai kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki tingkat anisotropi rendah.

5.2. Saran

Untuk penelitian lebih lanjut, terdapat beberapa saran yang penulis ajukan untuk menunjang penelitian ini. Saran tersebut yaitu:

1. Melakukan penelitian dengan sumur lainnya yang berada di cekungan Sumatera Utara.

2. Pemodelan fisika batuan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan asumsi ideal tanpa memperhitungkan sifat anisotropi batuserpih, variasi tingkat kematangan kerogen, dll sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.

(55)
(56)

Universitas Pertamina - 37

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Vertical Transverse Isotropy - Schlumberger Oilfield Glossary. (2019).

Retrieved 22 December 2019, from

https://www.glossary.oilfield.slb.com/en/Terms/v/vertical_transverse_isotropy. aspx

Backus, G. (1962). Long-wave elastic anisotropy produced by horizontal layering. Journal of Geophysical Research, 67(11), 4427-4440. doi: 10.1029/jz067i011p04427

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. (2018). Outlook Energi Indonesia 2018 (p. 2).

Bandyopadhyay, K. (2009). SEISMIC ANISOTROPY: GEOLOGICAL CAUSES AND

ITS IMPLICATIONS TO RESERVOIR GEOPHYSICS (Ph. D). Stanford

University.

Berryman, J., Grechka, V., & Berge, P. (1999). Analysis of Thomsen parameters for finely layered VTI media. Geophysical Prospecting, 47(6), 959-978. https://doi.org/10.1046/j.1365-2478.1999.00163.x

Biot, M.A., 1956, Theory of propagation of elastic waves in a fluid saturated porous solid. I. Low frequency range; II. High-frequency range: Journal of Acoustical Society of America, v. 28, p. 168–191.

Gassmann, F., 1951, Elasticity of porous media: Vierteljahrsschr der Naturforschenden Gesselschaft

Han, D., & Batzle, M. (2004). Gassmann's equation and fluid‐saturation effects on seismic velocities. GEOPHYSICS, 69(2), 398-405. doi: 10.1190/1.1707059 Mavko, G., Mukerji, T., & Dvorkin, J. (2009). The rock physics handbook. Cambridge,

UK: Cambridge University Press.

Meaud, J., & Hulbert, G. (2012). Dependence of the dynamic properties of Voigt and Reuss composites on the Poisson's ratios and bulk loss factors of the constituent materials. Journal of Composite Materials, 47(26), 3237-3247. doi:

(57)

Universitas Pertamina - 38 10.1177/0021998312463456

Nur, A. 1992. Critical Porosity and The Seismic Velocities in Rocks. EOS, Trans. Am. Geophys. Union.

Nur, A., Mavko, G., Dvorkin, J., & Galmudi, D. (1998). Critical porosity: A key to relating physical properties to porosity in rocks. The Leading Edge, 17(3), 357-362. https://doi.org/10.1190/1.1437977

Panguriseng, M. (2008). Karakterisasi Litofasies dan Dimensi Reservoir Turbidit Middle Baong Sand (MBS) dari Data Log Sumur dan Seismik 3D dengan Pendekatan Artificial Neural Network, Prospek “Corundum”, Cekungan Sumatera Utara. Universitas Indonesia.

Ramadhan, M. (2018). PEMODELAN FISIKA BATUAN UNTUK KARAKTERISASI

BATUSERPIH ORGANIK DI CEKUNGAN SUMATERA SELATAN. Institut

Teknologi Bandung.

Reine, C. (2020). Discovering A Supermodel – A Rock-Physics Tutorial [Ebook]. Sunjay, S., Kumar, S., & Jain, N. (2014). Shale Gas: An Unconventional Gas

Reservoir. doi: 10.13140/RG.2.1.1975.2805

Thomsen, L. (1986). Weak elastic anisotropy. GEOPHYSICS, 51(10), 1954-1966. doi: 10.1190/1.1442051

Vertical transverse isotropy - Schlumberger Oilfield Glossary.

Glossary.oilfield.slb.com. (2020). Retrieved 10 August 2020, from https://www.glossary.oilfield.slb.com/en/Terms/v/vertical_transverse_isotropy. aspx.

(58)
(59)
(60)

Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

(61)

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041 Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 5 Hari/Tanggal: Kamis, 9 April 2020 Hal yang menjadi perhatian:

Mencoba pemodelan menggunakan algoritma yang berbeda: 1. Solid rock – water saturated rock – fluid substitution 2. Solid rock – dry rock – saturated rock

Paraf Pembimbing: No. 6 Hari/Tanggal: Kamis, 23 April 2020

Hal yang menjadi perhatian:

1. Memasukkan kerogen ke dalam solid rock menggunahan VRH

2. Mencoba algoritma fluid substitution dengan menggunakan persamaan Gassmann langsung

(62)

Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041

Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 7 Hari/Tanggal: Kamis, 30 April 2020 Hal yang menjadi perhatian:

Membuktikan bahwa solid rock menggunakan MLR memiliki nilai negatif dengan persamaan Gassmann

Paraf Pembimbing: No. 8 Hari/Tanggal: Kamis, 12 Mei 2020

Hal yang menjadi perhatian:

Mencoba pemodelan menggunakan algoritma penelitian terdahulu

(63)

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041 Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 9 Hari/Tanggal: Kamis, 28 Mei 2020 Hal yang menjadi perhatian:

Memastikan model dengan algoritma berdasarkan referensi sudah benar sehingga pemodelan dapat dilanjutkan

Paraf Pembimbing: No. 10 Hari/Tanggal: Kamis, 4 Juni 2020

Hal yang menjadi perhatian:

Melanjutkan pemodelan menggunakan Model Nur (1992) berdasarkan referensi

(64)

Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041

Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 11 Hari/Tanggal: Kamis, 11 Juni 2020 Hal yang menjadi perhatian:

Presentasi hasil pemodelan dengan menggunakan algoritma yang berbeda

Paraf Pembimbing: No. 12 Hari/Tanggal: Kamis, 25 Juni 2020

Hal yang menjadi perhatian: Mencoba parameter anisotropi

(65)

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041 Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 13 Hari/Tanggal: Kamis, 09 Juli 2020 Hal yang menjadi perhatian:

Persiapan sebelum seminar kemajuan

Paraf Pembimbing: No. 14 Hari/Tanggal: Kamis, 16 Juli 2020

Hal yang menjadi perhatian:

Konsultasi hasil dari menerapkan algoritma model pada data di kedalaman >3000 m

(66)

Form TA-2 Bimbingan Tugas Akhir

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041

Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 15 Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2020 Hal yang menjadi perhatian:

1. Melakukan analisis anisotropi secara lebih detail dan dibuat log nya 2. Plot antara properti elastis dan properti seismik

Paraf Pembimbing: No. 16 Hari/Tanggal: Senin, 03 Agustus 2020

Hal yang menjadi perhatian:

Presentasi hasil plot properti elastis dan properti seismik beserta analisis zona shale gas

(67)

Nama Mahasiswa : Nanditha Arahman NIM : 101116041 Nama Pembimbing : Waskito Pranowo, M.T. NIP : 116030

No. 17 Hari/Tanggal: Minggu, 02 Agustus 2020 Hal yang menjadi perhatian:

1. Melakukan analisis anisotropi secara lebih detail dan dibuat log nya 2. Plot antara properti elastis dan properti seismik

Paraf Pembimbing: No. 18 Hari/Tanggal: Senin, 03 Agustus 2020

Hal yang menjadi perhatian:

Presentasi hasil plot properti elastis dan properti seismik beserta analisis zona shale gas

(68)

ESTIMASI FRAKSI MINERAL MENGGUNAKAN CARA 1

clear all; clc; close all;

%load data XRD

clay = load('mineral.txt'); depth = load('depth.txt'); calc = clay(:,6); vcl = clay(:,13); data2 = load('vpgr.txt'); vp = data2(:,2); gr = data2(:,3); neutron = data2(:,4); rhob = data2(:,5); phie = data2(:,6);

%load data log data4 = load('parameterlog.txt'); depth_all = data4(:,1); neutron_all = data4(:,2); vp_all = data4(:,3); gr_all = data4(:,4); rhob_all = data4(:,5); phie_all = data4(:,6); vcl_all = data4(:,7); %korelasi c1 = corr(vcl,calc); c2 = corr(vcl.^2,calc); c3 = corr(1./(vcl.^2),calc); c4 = corr(vp,calc); c5 = corr(vp.^2,calc); c6 = corr(1./vp,calc); c7 = corr(gr,calc); c8 = corr(gr.^2,calc); c9 = corr(1./gr,calc); c10 = corr(phie,calc); c11 = corr(phie.^2,calc); c12 = corr(1./phie,calc); c13 = corr(neutron,calc); c14 = corr(1./neutron,calc); x = [ones(size(calc)) vp.^2 vcl vp 1./vp vcl.^2 1./neutron] ; y = calc; eps = mean(mean(x)); A = inv(x'*x + eps*eye(size(x,2)))*x'*y calcite = x*A; figure

plot(calc, depth), hold on, plot(calcite, depth,'k'); set(gca,'YDir','reverse') corr(calc,calcite)

rmse = sqrt(mean((y-calcite).^2));

calc_all = A(1)+ A(2)*vp_all.^2 + A(3)*vcl_all + A(4)*vp_all + A(5)*(1./vp_all) +

A(6)*vcl_all.^2 + A(7)*(1./neutron_all);

dlmwrite('calcall.txt',calc_all )

(69)

ESTIMASI FRAKSI & MODULUS MINERAL MENGGUNAKAN

CARA (2)

clear all; clc; close all;

vel = load('velocity.txt'); vp = vel(:,1); % km/s vs = vel(:,2); % km/s

log = load('datalog.txt'); depth = log(:,1); GR = log(:,12); rhob = log(:,14); phie = log(:,16); phit = log(:,17); sw = log(:,19); sw(sw > 1) = 1; vcl = log(:,20); %Informasi Fluida kw = 2.25; %Kwater in GPa - RPH pw = 1.04; kgas = 0.04; pgas = 0.111; kker = 2.9; uker = 2.7; pker = 1.3; koil = 0.57; poil = 0.7;

%Estimasi Fraksi Mineral GR_read = median(GR); GR_max = max(GR); GR_min = min(GR);

vshale = (GR_read - GR_min) / (GR_max - GR_min);

fclay = vcl/vshale; fnonclay = 1-fclay;

%Saturated Rock

usat = rhob.*(vs.^2); %GPa

ksat = (vp.^2.*rhob)-(4.*usat/3); %GPa

%Estimasi Modulus Mineral %Menentukan porositas kritis % plot(phit,ksat,'.')

% xlabel('porosity') % ylabel('Bulk Modulus')

(70)

%Menghitung Modulus Matriks por_k = 0.2; sg = 1-sw; kfl = 1./ ((sw/kw) + (sg/kgas)); a = phie./por_k; b = a.*kfl; c = 1 - a; d = ksat - b; kma = d ./ c; uma = usat ./ c;

% plot(ksat,depth,'k'), hold on, plot(kma,depth,'r') % set(gca,'YDir','reverse')

%Menentukan Modulus mineral % plot(fnonclay,uma,'.') % xlabel('Clay Fraction')

(71)

SUBSTITUSI FLUIDA MENGGUNAKAN GASSMANN

% Solid rock

kv = fclay*kclay + fnonclay*knonclay; %Voigt Bulk Modulus kr = 1./(fclay*kclay + fnonclay*knonclay); %Reuss Bulk Modulus km = (kv + kr)./2; %VRH Bulk Modulus

uv = fclay*uclay + fnonclay*unonclay; %Voigt Shear Modulus ur = 1./(fclay*uclay + fnonclay*unonclay); %Reuss Shear Modulus um = (uv + ur)./2; %VRH Shear Modulus

%Gassmann Eq sw = [0:0.1:1]; sg = 1-sw; kfl1 = 0; kfl2 = 1./(sw/kw + sg/kgas); k2=gassmnk(ksat,kfl1,kfl2,km,phie);

(72)

SUBSTITUSI FLUIDA MENGGUNAKAN DEM & GASSMANN

kclay = 29.4; uclay = 5.789; knonclay = 15.45; unonclay = 2.99; kv = fclay*kclay + fnonclay*knonclay; kr = 1./(fclay*kclay + fnonclay*knonclay); km = (kv + kr)./2; uv = fclay*uclay + fnonclay*unonclay; ur = 1./(fclay*uclay + fnonclay*unonclay); um = (uv + ur)./2;

%Membuat Dry Rock k2 = 0; mu2 = 0; asp = [0.1:0.1:1]; phic = 1; for i = 1:length(depth) for j = 1:length(asp) [k(i,j),mu(i,j),kv,muv,porv]=dem1(km(i),um(i),k2,mu2,asp(j),phic,phi e(i)); end end

%Melakukan Fluid Substitution kfl1 = 0;

kfl2 = 1./ ((sw/kw) + (sg/kgas));

kmod=k + ((1 - k./km).^2 ./ ((phie./kfl2) + ((1-phie)./km) - (k./km.^2)));

(73)

SUBSTITUSI FLUIDA MENGGUNAKAN DEM clear all; clc; close all;

log = load('all_logs_need.txt'); depth = log(:,1); neutron = log(:,2); GR = log(:,5); rhob = log(:,6); phie = log(:,7); sw = log(:,8); vel = load('vpvs.txt'); vp = vel(:,1)/1000; % km/s vs = vel(:,2)/1000; % km/s kw = 2.25; %Kwater in GPa - RPH kgas = 0.111; k_ker = 2.9; u_ker = 2.7;

fraksi = load('fmin.txt'); ismc = fraksi(:,1)/100; ill = fraksi(:,2)/100; kaol = fraksi(:,3)/100; chl = fraksi(:,4)/100; cal = fraksi(:,5)/100; dol = fraksi(:,6)/100; sid = fraksi(:,7)/100; qtz = fraksi(:,8)/100; pgc = fraksi(:,9)/100; pyr = fraksi(:,10)/100;

K_ismc = 36.7; %Zee Wang 2001 U_ismc = 18.4;

p_ismc = 2.546;

K_ill = 60.1; %Zee Wanf 2001 U_ill = 25.3; p_ill = 2.75; K_kaol = 1.5; %GPa U_kaol = 1.4; p_kaol = 1.58; K_chl = 54.3; U_chl = 30.2; p_chl = 2.95; K_cal = 76.8; U_cal = 32; p_cal = 2.71; K_dol = 94.9; U_dol = 45; p_dol = 2.87; K_sid = 123.7; U_sid = 51; p_sid = 3.96; K_qtz = 37; U_qtz = 44; p_qtz = 2.65; K_pgc = 75.6; U_pgc = 25.6; p_pgc = 2.63; K_pyr = 147.4; U_pyr = 132.5; p_pyr = 4.93;

dataker = load('data toc.txt'); ker = dataker(:,2);

%--- -

---%saturated rock moduli usat = rhob.*(vs.^2); %GPa ksat = (vp.^2.*rhob)-(4.*usat/3); %GPa

%solid rock + kerogen as solid kvoigt = ismc*K_ismc + ill*K_ill + kaol*K_kaol + chl*K_chl + cal*K_cal + dol*K_dol + sid*K_sid + qtz*K_qtz + pgc*K_pgc + pyr*K_pyr + ker*k_ker; perkreuss = ismc/K_ismc + ill/K_ill + kaol/K_kaol + chl/K_chl + cal/K_cal + dol/K_dol + sid/K_sid + qtz/K_qtz + pgc/K_pgc + pyr/K_pyr + ker/k_ker; kreuss = 1./perkreuss; km = (kvoigt + kreuss)/2;

Gambar

Tabel 1.1. Waktu Pelaksanaan ..................................................................................
Tabel 1.1. Waktu pelakanaan
Gambar 2.1. Ilustrasi perambatan (a) gelombang P dan (b) gelombang S.  (Bolt, 1993)
Gambar 2. 2. Tahapan pemodelan fisika batuan  (Carl Reine, 2017)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemungkinan keterpaparan virus sangat sering terjadi karena kontak antara unggas dengan unggas lainnya dimana sangat mungkin unggas yang bercampur dengan hewan

Interaksi edukatif sebenarnya komunikasi timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, sudah mengandung maksud-maksud tertentu yakni untuk mencapai

❖ Menjawab pertanyaan yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang telah disediakan. ❖ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru

vector , IS-IS ( Intermediate System to Intermediate System ) yang menggunakan pendekatan link-state , dan juga OSPFv3 ( Open Shortest Path First version 3) yang

Evaluasi secara kuantitatif dilakukan untuk menghitung kuantitas penggunaan antibiotik menggunakan metode Defined Daily Dose yang disingkat DDD (Kemenkes RI,

management yang dilakukan perusahaan tiga tahun sebelum pengumuman merger dan akuisisi, sedangkan pengujian kedua dilakukan untuk mengetahui perbedaan kinerja

 Mengetahui teknik dan persyaratan perlindungan bahaya longsoran pekerjaan saluran &amp; galian tanah;..  Mengetahui cara mengidentifikasi bahaya, penilaian risiko dan

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI LARUTAN PENGENDAP TERHADAP SIFAT OPTIK NANOPARTIKEL Cu 2 O YANG DISINTESIS DENGAN..