• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEHATAN SALURAN CERNA BAYI DAN ANAK DITINJAU DARI SISI PSIKOLOGIS (BAGIAN 2) Rini Hildayani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESEHATAN SALURAN CERNA BAYI DAN ANAK DITINJAU DARI SISI PSIKOLOGIS (BAGIAN 2) Rini Hildayani"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Stres dan Gangguan Fungsi

Saluran Cerna

Situasi emosional tertentu yang dialami anak, seperti distres psikologis dan trauma masa kanak-kanak, dapat berisiko terhadap gangguan fungsi saluran cerna anak (Levy, Olden, Naliboff, Bradley, Francisconi, Drossman, & Creed, 2006). Dengan perkataan lain, secara fisiologis, usus responsif terhadap stimulus emosional dan stimulus dari lingkungan yang stressful (Drossman, Creed, Olden, Svedlund, Toner, & Whitehead, 1999).

Sebenarnya, saat-saat stressful telah dialami anak sejak masih berada di dalam kandungan. Penelitian dari Huizink, Medina, Mulder, Visser, dan Buitelaar (2003) menemukan bahwa stres yang dialami ibu pada masa kehamilan dapat menyebabkan stres pada janin. Selanjutnya, stres berlanjut dialami bayi saat pertama kali ia berada di dunia. Hal tersebut disebabkan oleh transisi yang tidak mudah pada bayi, dari uterus ke dunia luar. Ketika masih di dalam uterus, mekanisme biologis ibu memenuhi seluruh kebutuhan bayi. Akan tetapi, ketika bayi lahir, ia harus bergantung pada refleks-refleks, seperti menangis, bernapas, mengisap (sucking), dan menelan, yang bertujuan utnuk mengatur segala tuntutan fisiologisnya (Doussaed-Roosevelt dkk. dalam Esquivel-Sibaja, 2007). Saat tuntutan fisiologisnya, seperti lapar dan haus, tidak terpenuhi, anak dapat mengalami stres.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres dapat dialami anak apabila kebutuhannya akan hal-hal mendasar, seperti rasa lapar, haus, nyaman, tidak terpenuhi. Kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dengan baik karena orangtua tidak bersikap responsif, sensitif, dan konsisten. Padahal, ketiga hal tersebut merupakan hal yang penting untuk pembentukan secure attachment (Colin, 1996). Secure attachment penting karena kualitas attachment yang terbentuk antara orangtua dan anak dapat berkontribusi terhadap tingkat stres yang dialami bayi; dan stres merupakan salah satu faktor risiko bagi masalah pada fungsi saluran cerna (Bhatia & Tandon, 2005).

Secara lebih detil, beberapa sumber stres (stresor) dapat dilihat pada tabel berikut (Kagan, 1988). Usia 0 – 3 bulan 4 – 12 bulan 12 – 24 bulan Stresor rasa sakit, tidak

nyaman, lapar lapar, kejadian yang tidak dapat diramalkan (misalnya:

bertemu orang asing, ditinggal oleh

pengasuh) adanya batasan dari orangtua, hukuman, perpisahan dalam

waktu lama

Reaksi rewel, gangguan makan dan tidur hambatan tingkah laku, menarik diri, menangis, menggelendot terhambat, protes, depresi, apatis, perubahan ekspresi wajah (misalnya, menarik mulut atau alis, membesarkan

mata)

Berbagai sumber stres berdasarkan usia beserta reaksi anak

(3)

Attachment antara anak dan orangtua terbentuk lewat interaksi antara keduanya dalam kegiatan sehari-hari. Salah satunya adalah kegiatan makan. Jika orangtua bersikap sensitif, responsif, dan konsisten dalam kegiatan makan anak, kegiatan tersebut dapat dinilai anak sebagai kegiatan yang menyenangkan dan mengurangi risiko terjadinya stres pada anak saat menghadapi situasi makan.

Attachment

Pembahasan secara detail tentang attachment telah diberikan pada modul sebelumnya. Sekadar mereview kembali, attachment merupakan ikatan emosional yang bertahan, yang ditandai oleh kecenderungan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan orang tertentu, terutama saat berada dalam situasi menekan (Bowlby, Ainsworth dalam Colin, 1996). Attachment berkembang selama dua tahun pertama kehidupan lewat serangkaian tahapan. Adapun kualitas attachment yang diharapkan untuk terbentuk adalah secure attachment.

Attachment yang secure dapat terbentuk apabila orangtua dapat bersikap sensitif, responsif, dan konsisten terhadap kebutuhan anak (Colin, 1996). Sensitif berarti orangtua mampu mengenali tanda-tanda yang ditampilkan bayi atau anak secara akurat (Martin & Colbert, 1997). Responsif berarti orangtua mampu memberikan umpan balik yang tepat terhadap tanda-tanda yang ditampilkan anak (Martin & Colbert, 1997).

Sementara itu, konsisten menunjukkan bahwa orangtua akan terus bersikap sensitif dan responsif dalam setiap situasi.

Selain bersikap sensitif, responsif, dan konsisten serta memahami karakteristik perkembangan anak, orangtua perlu melakukan interaksi yang positif dengan anak dalam rangka membentuk attachment yang secure. Secara umum, terdapat empat karakteristik penting yang perlu ada dalam menciptakan interaksi yang positif antara orangtua dan anak (Booth & Jernberg, 2010). Keempat karakteristik ini dapat pula diterapkan dalam konteks kegiatan makan, dan meliputi:

- Adanya pemberian struktur/batasan Batasan yang jelas penting agar anak tidak bingung dan tetap merasa aman dan nyaman. Batasan dapat diterapkan melalui kegiatan bermain yang berhubungan dengan konteks makan, misalnya, dengan meminta anak untuk meniru secara persis apa yang sedang dilakukan ibunya (contoh: meniru hiasan kue bolu yang dibuat ibu), meminta anak melakukan tugas menurut instruksi tertentu (contoh: memilah makaroni 3-3), dll. Kebiasaan melakukan kegiatan bermain yang memiliki struktur/ batasan dapat membantu anak untuk terbiasa mengikuti struktur/batasan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya batasan untuk makan di kursi makan, batasan untuk tidak berbicara saat makan, dll.

(4)

- Adanya sejumlah tantangan yang sesuai untuk anak. Kegiatan menantang yang dapat diberikan kepada anak dapat berupa menebak berapa jumlah gigitan roti tawar yang dapat ia buat untuk menghabiskan selembar roti tawar, menebak rasa buah/ biskuit yang dicicipi anak atau isi lauk pada nasi gulung yang dimakan anak, mengajak anak berlomba memakan bubur kacang hijau, dll.

Menciptakan Suasana Makan yang

Menyenangkan bagi Anak

Menyenangkan-tidaknya suasana makan yang diciptakan ketika anak berkegiatan makan, tentu tidak terlepas dari kontribusi lingkungan, terutama orangtua.

Bagaimana orangtua mempersiapkan dan mendampingi anak selama kegiatan makan, turut menentukan suasana makan yang diciptakan.

Makan merupakan suatu kegiatan rutin. Oleh karena itu, penting untuk membentuk pembiasaan makan pada anak. Akan sangat baik lagi apabila anak dibiasakan pula untuk makan di tempat dan waktu tertentu. Akan tetapi, pembiasaan yang dilakukan ini tidak selalu mudah untuk dilakukan. Sejumlah orangtua membutuhkan perjuangan untuk membuat anaknya mau makan dan mau duduk di kursi makan.

- Respons yang penuh kejutan untuk mempertahankan perhatian anak Berbagai kegiatan bermain dalam konteks makan dapat dilakukan oleh ibu dan anak, misalnya ibu mendekatkan telinga ke pipi anak untuk mendengarkan suara makanan yang dimakan atau suara air yang diteguk anak. Ibu juga dapat berpura-pura untuk mengetuk lembut kening anak sambil memegang sereal dan mengatakan “Tok-tok-tok, boleh Ibu masuk?”. Apabila anak mengangguk atau mengatakan boleh, ibu menjalankan jari-jarinya yang menjumput sereal bergerak mengelilingi wajah anak dan berakhir di mulut anak. Dalam kegiatan makan sehari-hari, sejumlah kejutan dapat dibuat orangtua untuk anak, misalnya menutup

hidangan sebelum menyajikannya kepada anak, membuat pola-pola tertentu dengan roti tawar sesuai permintaan anak, menyajikan makanan dalam piring yang menarik, dll.

- Unsur sentuhan dan kontak fisik Saat anak melakukan kegiatan makan, orangtua dapat memasukkan unsur sentuhan, misalnya dengan mengusap pipi anak yang menggembung karena berisi makanan dalam mulutnya. Atau orangtua dan anak melakukan gerakan high five karena anak telah menelan habis makanannya.

(5)

hanya mengatakan “Pintar” atau “Hebat” karena anak tidak memperoleh umpan balik dalam hal apa ia dinilai pintar atau hebat. Jadi, orangtua perlu mengatakan “Kamu pintar sudah bisa makan di kursi makan” atau “Hebat makanmu habis”. Adanya pujian menjadi penguat positif (positive reinforcement) yang membuat anak akan mengulangi perilakunya.

Keempat langkah di atas, jika diterapkan secara konsisten, akan menciptakan suasana makan yang menyenangkan untuk anak. Selanjutnya, setelah anak menyenangi kegiatan makan, barulah anak dikenalkan dengan aturan-aturan yang perlu ia ketahui dan terapkan saat kegiatan makan, misalnya mencuci tangan dan berdoa sebelum makan atau tidak berbicara saat makan. Umumnya, anak akan lebih mau menerima aturan dan batasan yang diberikan ketika ia berada dalam keadaan senang atau berada dalam emosi positif.

Memijat Sebagai Satu Bentuk

Sentuhan yang Bermanfaat

untuk Kesehatan Saluran Cerna

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sentuhan merupakan cara yang efektif untuk mengurangi stres. Selain mengurangi stres, sentuhan, yang merupakan kontak fisik yang positif, juga dapat meningkatkan ikatan (bonding) antara orangtua dan anak (Jump, 1999).

Terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan untuk membuat anak tertarik dan senang melakukan kegiatan makan (Klein, 1996). Pertama, orangtua perlu mengarahkan perhatian anak terhadap kegiatan makan yang sedang dipersiapkan, misalnya dengan membunyikan

mangkuk atau piring makan sehingga menimbulkan suara “ting, ting, ting”, memperlihatkan piring makan dengan warna-warni mencolok atau susunan makanan yang menarik, membunyikan bel, atau mengatakan “Saatnya makan.” Selanjutnya, saat perhatian anak sudah mulai terfokus, orangtua dapat berlanjut dengan memberikan makna terhadap kegiatan (makan) yang akan dilakukan anak, misalnya dengan mengatakan “Waaah, makaroninya panjang sekali”, “Wortel ini warnanya oranye”, “Nasinya harum sekali”. Semua itu perlu didukung oleh ekspresi emosi yang positif dari ibu, yang dapat ditunjukkan dengan senyuman atau nada yang riang. Pada langkah ketiga, orangtua mulai memberikan penjelasan lebih lanjut, yang melebihi apa yang anak lihat dalam piring makannya, misalnya “Adek, makan itu gunanya supaya badan kita sehat dan kuat, jadi tidak gampang sakit”, “Telur ini tadi ibu beli di pasar”, atau “Wortel juga disukai binatang yang bertelinga panjang dan jalannya melompat-lompat. Apa coba?”. Keempat, orangtua perlu memberikan pujian saat anak berhasil menyuap makanan sendiri ke mulutnya atau menghabiskan makanannya. Yang perlu diingat adalah orangtua perlu memberikan pujian secara spesifik Jangan

(6)

Jika dikaitkan dengan pembentukan attachment, sentuhan dalam cara yang positif penting untuk membentuk secure attachment dan rasa percaya (trust) antara anak dan orangtua (Blackwell, 2000 dalam Esquivel-Sibaja, 2007) melalui adanya interaksi sosial, suara, bau, sentuhan, dan pengalaman umum yang penuh kasih sayang satu sama lain (McClure dalam Esquivel-Sibaja, 2007).

Terdapat beberapa cara menyentuh bayi, salah satunya adalah dengan cara memijat. Secara khusus, memijat adalah kegiatan yang dapat meningkatkan relaksasi fisik dan mengurangi rasa nyeri (Ernst; Lorenz dalam Esquivel-Sibaja, 2007). Pada bayi yang baru lahir, memijat bahkan adalah metode komunikasi antara bayi dan orangtua (Lappin & Kretschme, 2005).

Secara lebih detail, terdapat sejumlah keuntungan dari memijat bayi. Dalam aspek emosi, kegiatan memijat bayi dapat mengembangkan secure attachment (Jump, 1999). Beberapa komponen penting dalam secure attachment, seperti kontak mata dan kulit, bau, suara, dan komunikasi orangtua-bayi (McClure dalam Esquivel-Sibaja, 2007) ada dalam kegiatan memijat bayi. Kegiatan memijat yang dilakukan setiap hari dapat meningkatkan interaksi orangtua-anak yang sehat dan secure (Lorentz, Moyse, & Surguy, 2005). Kegiatan tersebut juga membantu bayi untuk melepaskan stres yang dapat berdampak pada kesehatan saluran cernanya.

Dalam aspek fisik, kegiatan memijat bayi dapat meningkatkan berat, panjang, dan lingkar kepala (Field dalam Esquivel-Sibaja, 2007). Penelitian Jump dkk. (dalam Esquivel-Sibaja, 2007) menemukan bahwa kelompok bayi yang dipijat mengalami diare dan penyakit umum lainnya yang lebih singkat (dalam hari) daripada kelompok kontrol, dan hal ini dijelaskan dengan peningkatan sistem kekebalan pada kelompok bayi yang dipijat. Pada bayi yang lahir sehat dan cukup bulan, kegiatan memijat bayi diasosiasikan dengan berkurangnya nyeri, baik pada kondisi internal (misalnya konstipasi, kolik, dan rasa tidak nyaman akibat tumbuh gigi) dan kondisi eksternal (seperti prosedur medis yang menyakitkan) (Field dalam Esquivel-Sibaja, 2007). Kegiatan memijat juga dapat membantu mengatur area pencernaan (Lappin & Kreschmer, 2005)

Dalam aspek kognitif, kegiatan memijat bayi yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan kesadaran diri

(self-awareness), yang dimulai dari bayi memiliki pengetahuan tentang tubuhnya sendiri (Lappin & Kretschmer, 2005). Ditemukan juga efek memijat untuk menstimulasi memori (Field dalam Esquivel-Sibaja, 2007). Pada orangtua, kegiatan memijat bayi merupakan cara bagi mereka untuk mengomunikasikan rasa sayang, kelembutan, dan bagian dari kegiatan merawat anak melalui sentuhan yang nyaman (Lorenz, Moyse, & Surguy, 2005).

(7)

1. Melibatkan anak pada kegiatan yang berhubungan dengan diri mereka. Anak harus menyadari segala kegiatan yang dilakukan untuk diri mereka, misalnya saja kegiatan makan. Saat melakukan kegiatan makan, anak perlu dilibatkan dengan cara mengajak anak bicara tentang kegiatan yang tengah dilakukan, misalnya “Adik, lihat ibu sedang menyiapkan makanan untukmu. Adik bisa bantu mengoles roti ini dengan meses?” Tidak dianjurkan untuk membuat anak menyibukkan diri dengan hal lain yang tidak berhubungan dengan kegiatan makan karena hal ini justru membuat anak tidak menyadari tentang kegiatan makan yang sedang berlangsung.

2. Menyediakan waktu yang berkualitas untuk anak, ayah dan ibu harus sepenuhnya hadir di hadapan anak, termasuk saat makan. Orangtua terkadang menyuapi anak sambil melakukan aktivitas lain. Padahal, saat makan, orangtua dan anak dapat berinteraksi secara optimal. Orangtua dapat menceritakan isi makanan yang sedang anak makan, warna dan bentuk makanan, dll.

3. Melakukan komunikasi efektif dengan anak. Penting bagi ayah dan ibu untuk berespons terhadap komunikasi yang ditawarkan oleh anak. Saat anak menolak untuk makan, misalnya dengan membungkam, menggeleng, atau menangis, bisa jadi anak sedang Ketika orangtua memijat bayinya dengan

cara yang positif dan lembut, mereka menjadi ahli dalam mengatasi kebutuhan fisik dan emosional bayinya. Orangtua juga menunjukkan peningkatan dalam kompetensi dan kepercayaan mereka dalam menjalankan perannya sebagai orangtua (Dellinger-Bavolek, n.d.).

Secara khusus, kegiatan memijat bayi oleh ayah dapat menyediakan kesempatan untuk membangun kedekatan, membentuk secure attachment, dan menghabiskan waktu spesial dengan bayi. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa bayi yang dipijat oleh ayahnya mempunyai kontak mata, vokalisasi, perilaku tersenyum, menjangkau, dan berespons terhadap ayah mereka lebih banyak daripada bayi yang tidak dipijat oleh ayah mereka (Scholz & Samuel, 1992).

Sepuluh Prinsip Pengasuhan Anak

Terdapat 10 (sepuluh) prinsip pengasuhan yang perlu diketahui oleh orangtua. Prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan di berbagai konteks pengasuhan anak (Gonzalez-Mena & Eyer, 2004), salah satunya adalah dalam situasi makan. Berikut ini akan dipaparkan ke-10 prinsip tersebut dan contohnya terkait dengan situasi makan.

(8)

5. Menghargai anak.

Orangtua perlu menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan terhadap anak, misalnya, orangtua perlu memberitahu anak bahwa waktu makan telah tiba. Jadi, orangtua tidak sekonyong-konyong menyuapi anak makan. Orangtua juga perlu menghargai ekspresi emosi anak, misalnya saat anak tidak menyukai makanan yang diberikan, jangan memarahi atau memaksa anak untuk menghabiskannya.

6.Mengakui perasaan diri sendiri. Orangtua sebaiknya mengekspresikan

perasaan mereka terhadap anak apa adanya. Jika orangtua merasa bingung atau kecewa karena anak tidak mau memakan makanan yang telah disiapkan, orangtua dapat menyampaikannya kepada anak, misalnya dengan mengatakan “Bunda bingung deh Kak, Bunda sudah

memasakkan makanan ini untuk kakak, tapi kakak tidak mau memakannya. Bunda tidak tahu harus masak apa lagi sekarang.” Penyampaian pesan semacam ini lebih baik daripada ibu menjadi marah karena anak tidak mau makan. Biasanya penyampaian pesan semacam ini juga lebih efektif untuk anak dengan usia yang lebih besar. mengomunikasikan sesuatu. Anak

mungkin sudah kenyang atau bosan dengan menu yang diberikan.

4. Menyediakan waktu dan usaha untuk mengembangkan anak seutuhnya. Kegiatan makan dapat digunakan oleh orangtua untuk menstimulasi semua aspek perkembangan anak. Anak dapat dilatih aspek fisik-motoriknya dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk menyuap makanannya sendiri, belajar menggulung mie telur dengan garpu, menabur meses, dll. Aspek kognitif akan terstimulasi saat orangtua memanfaatkan kegiatan makan untuk mengajarkan anak berbagai konsep, seperti warna, bentuk, dan tekstur makanan, asal makanan (misalnya, telur dari ayam), dll. Sementara itu, aspek sosial dan emosional anak dapat terasah saat anak berinteraksi dengan orangtua saat ia makan dan saat anak memperoleh rasa senang dari kegiatan yang dilakukannya. Untuk dapat menstimulasi secara tepat, ayah dan ibu perlu untuk memahami karakteristik perkembangan anak pada setiap tahapan usia. Secara umum, anak pada usia toddler dan usia prasekolah memiliki karakteristik: sedang

mengembangkan kemandirian, mudah teralih perhatiannya, senang meniru orang lain, dan senang bermain.

(9)

7. Memberikan model tingkah laku yang tepat. Agar anak mau mencoba berbagai jenis makanan atau mau makan di kursi makan, model dari orangtua diperlukan. Oleh karena itu, jangan salahkan anak untuk tidak suka makan ikan atau sayur karena orangtua juga tidak menyukainya.

8. Menjadikan masalah yang dialami anak sebagai kesempatan bagi anak untuk belajar serta membiarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam hal ini, penting bagi orangtua untuk menyediakan arahan saat anak mengalami kesulitan dalam melakukan sesuatu, dan bukan menyelesaikan secara langsung masalah yang dihadapi anak.

Sebagai contoh, saat anak mengalami kesulitan untuk membuka tutup tempat minumnya, cek apakah tutupnya terlalu erat. Jika ya, orangtua dapat melonggarkan tutup botol tersebut sedikit, dan membiarkan anak untuk membukanya.

9. Membangun rasa aman dengan mengembangkan rasa percaya pada anak. Rasa aman dan percaya pada anak dapat terbangun jika anak memiliki secure attachment dengan orangtuanya.

10. Lebih memperhatikan kualitas perkembangan anak dalam setiap tahapannya. Orangtua sebaiknya tidak memaksakan anak untuk mencapai tahap perkembangan tertentu sebelum waktunya. Lebih baik orangtua

memberikan dukungan kepada anak terhadap pencapaian yang telah dan memang seharusnya dicapai oleh anak dengan cara memberikan anak kesempatan untuk terus berlatih untuk mengembangkan kemampuannya. Sebagai contoh, daripada melatih anak untuk menggunakan sendok dan garpu sekaligus, ada baiknya orangtua melatih anak untuk terampil makan dengan menggunakan sendok terlebih dahulu.

Tipe-tipe Gangguan Pencernaan

yang Sering Terjadi pada Bayi

dan Anak

Konstipasi atau sembelit merupakan salah satu gangguan pencernaan yang sering terjadi pada bayi dan anak. Konstipasi merupakan gangguan saluran cerna yang dimanifestasikan dengan proses buang air besar yang seringkali menyakitkan pada bayi. Ditinjau dari aspek psikologis, gangguan konstipasi dapat disebabkan oleh toilet training yang terlalu cepat.

(10)

Gendong sambil diayun ke depan dan ke belakang

Usap dengan wash lap yang hangat; Membelai bayi;

Tepuk-tepuk punggung bayi; Pijat dengan lembut tangan

dan kaki bayi; Gunakan skin-to-skin

contact Letakkan bayi di dada

kiri ibu agar dapat mendengarkan denyut

jantung ibu; Bicara pada bayi dengan nada yang menenangkan; Bunyikan musik yang lembut atau bersenandung lembut dengan irama yang

monoton. Gerakan

Sentuhan

Suara

Cara Contoh

Cara menenangkan bayi kolik

Tabel 15.2

Penundaan toilet training hingga usia anak mencapai dua tahun dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konstipasi (Brazelton & White dalam Ambron, 1981). Toilet training sebaiknya diberikan saat anak sudah siap secara fisik, intelektual, dan sosial-emosional. Siap secara fisik berhubungan dengan kemampuan anak untuk menahan dan melepaskan BAK dan BAB di tempat yang tepat, serta berhubungan dengan kemampuan anak untuk membuka pakaian. Siap secara intelektual ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengomunikasikan keinginannya untuk BAK dan BAB. Adapun siap secara sosial-emosional terlihat dari keinginan anak untuk BAK/BAB di pispot/ kloset dan bukan lagi BAB/BAK di popok (Gonzalez-Mena, 2002). Dalam proses mengajari toilet training, orangtua juga harus ceria, sabar, dan konsisten, serta tidak memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan.

Selain konstipasi, kolik juga sering dijumpai pada bayi. Kolik merupakan istilah

untuk gejala-gejala seperti rewel yang ekstrem, periode tangis yang bertahan lama (biasanya pada sore hari), dan ketidaknyamanan pada area perut (Karl-srud dalam Martin & Colbert, 1997). Kejadian kolik dapat diramalkan dan seringkali terjadi dari 2 sampai 3 minggu pertama dan berlangsung hingga 3 sampai 4 bulan pertama sejak lahir.

Tabel berikut menampilkan cara-cara yang dapat dilakukan orangtua untuk menenangkan bayi yang sedang kolik (Martin & Colbert, 1997).

(11)

Referensi

1. Ambron, S.R. (1981). Child Development. 3rd ed. New York: Holt, Rinehart, and Winston

2. Bhatia, V. & Tandon, R.K. (2005). Stress and the gastrointestinal tract. Journal of Gastroenterology and Hepatology. Mar, 20(3):332-9. http://www.ncbi.nim.nih. gov/pubmed/ 15740474

3. Booth, P. B. & Jernberg A.M. (2010). Theraplay: Helping Parents and Children Build Better Relationships through Attachment-Based Play. 3rd ed. San Fransisco: Jossey-Bass

4. Colin, V.L. (1996). Human Attachment. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 5. Drossman, D.A., Creed, F.H., Olden, K.W.,

Svedlund, J., Toner, B.B., & Whitehead, W.E. Psychosocial aspects of the

functional gastrointestinal disorders. Gut. 1999; 45 (Suppl II): 1125-1130. http://gut. bmj.com/content/45/ suppl_2/1125.full. html#related-urls

6. Esquivel-Sibaja, A.G. (2007). Effect of Massage on Quantitative and Qualitative Stress Parameter in Full-Term Infants. University of Arkansas. Thesis.

7. Gonzalez-Mena, J. & Eyer, D.W. (2004). Infants, Toddlers, and Caregivers: A Curriculum of Respectful, Responsive Care, and Education. New York:McGraw-Hill

8. Gonzalez-Mena, J. (2002). The Child in The Family and The Community. 3rd ed. New Jersey: Merril Prentice Hall

9. Huizink, A.C., Medina, P.G.R., Mulder, E.J.H., Visser, G.H.A., Buitelaar, J.K. (2003). Stress during pregnancy is associated with developmental outcome in infancy. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 44: 810-818. Doi: 10.1111/1469- 7610.00166

10. Jump, V.K. (1999). Effects of Infant Massage on Attachment Security: An Experimental Manipulation. Annual Society for Research in Child Development Conference (p. 2 – 13). Albuquerque, N.M. 11. Kagan, J. (1988). Stress, Coping, and

Development in Children. Dalam Norman Garmezy & Michael Rutter (editor). Stress and Coping in Early Development. (p 191-216). Baltimore: The Johns Hopkins University Press.

12. Klein, P.S. (1996). Early Intervention. Cross-cultural Experiences with A Mediational Approach. New York: Garland Publishing, Inc.

13. Lappin, G. & Kretschmer, R.E. (2005). Applying Infant Massage Practices: A Qualitative Study. Journal of Visual Impairment and Blindness, 99 (6), 355-367

(12)

14. Levy, R.L., Olden, K.W., Naliboff, B.D., Bradley, L.A., Francisconi, C., Drossman, D.A., & Creed, F. (2006). Psychosocial aspects of the functional gastrointestinal disorders. Gastroenterology, 130: 1447-1458

15. Lorenz, L., Moyse, K., & Surguy, H. (2005). The Benefit of Baby Massage. Pediatric Nursing, 17 (2), 15-18

16. Martin, C.A. & Colbert, K.K. (1997). Parenting: A Life Span Perspective. New York: The McGraw- Hill Companies, Inc. 17. Scholz, K. & Samuel C.A. (1992) Neonatal

Bathing and Massage Intervention with Fathers, Behavioural Effects 12 Weeks after Birth of the First Baby. The Sunraysia Australia Intervention Project. International Journal of Behavioral Development, 15 (1), 67-8

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Perubahan pola gaya hidup seperti aktivitas rutin sehari-hari dapat mempengaruhi pola tidur. Pada individu yang bekerja dengan 2 shift siang dan malam sering

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) manakah yang memberikan prestasi belajar

“Pelaksanaan Penagihan Tunggakan Pajak Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam”.f. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan

3) Strata diambil berdasarkan tingkat kemampuan siswa yaitu tinggi, sedang, rendah. Untuk tingkat kemampuan tinggi, sedang, rendah diambil sampel sebanyak 1, 3, 1 pada

Perbandingan ketiga Jenis Percobaan Dari tiga jenis percobaan yang telah dilakukan secara garis besar terlihat bahwa akurasi optimum tercapai pada saat praproses

Abstrak: Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Tujuan dari penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa

Dapat diartikan individu akan merasa senang jika dalam memberikan pengertian tentang suatu hal namun didalamnya terdapat sesuatu yang menjajikan seperti memberi