• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DI INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM SISTEM PEMILU DI INDONESIA NAMA : ARYANINDITA BAGASATWIKA M

NIM : 11000117410042

I. PENDAHULUAN

Di setiap negara akan terdapat sistem pemerintahan di dalamnya, dimana sistem pemerintahan tersebut bertujuan untuk menjalankan suatu fungsi pemerintahan dan tujuan negara tersebut. Tentunya di setiap negara menganut sistem pemerintahan yang berbeda – beda. Jimly Asshiddiqie dan Sri Soemantri mengemukakan tiga variasi sistem pemerintahan, yaitu : sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem parlementer (parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed system

atau hybrid system.1 Dalam beberapa sistem pemerintahan tersebut dipimpin oleh kepala

negara dan kepala pemerintahan sebagai pemegang kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan dan negara. Kepala Negara dan kepala pemerintahan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan stabilitas negara dan tentunya menentukan kesejahteraan rakyatnya. Maka dari itu sistem pemilihan atau penunjukkan kepala negara atau pemerintahan pada suatu negara harus dapat mengakomodir aspirasi dari semua golongan masyarakat dalam negara tersebut. Sehingga terpilihnya kepala negara dan kepala pemerintahan dapat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dalam negara tersebut.

Indonesia pada masa kemerdekaan di tahun 1945, pertama kali menganut UUD 1945 sebagai dasar sistem pemerintahan negara, yang mana kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh seorang Presiden. Pada saat itu Ir. Soekarno menjadi Presiden pertama Indonesia karena adanya usulan dari Otto Iskandardinata untuk menyetujui Soekarno sebagai Presiden secara aklamasi. UUD 1945 yang disahkan sehari setelah Indonesia merdeka itu bukan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen. Sebagai mantan Ketua PPKI tentu Soekarno mengetahui dan menyebut UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat. Untuk itu ia mengatakan bila keadaannya sudah memungkinkan, maka akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang bertugas menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Dengan berjalannya waktu sistem pemerintahan dan sistem pemilu Indonesia terus dibenahi dan disempurnakan oleh para pemegang kekuasaan politik. Dalam terlahirnya produk – produk hukum yang mengatur tentang sistem pemilu di Indonesia tentunya tidak terlepas dari banyaknya pro dan kontra dari semua elemen baik dari partai politik, pemangku kepentingan, dan masyarakat. Karena penyusunan dan pengesahan produk hukum sistem pemilu di Indonesia itu sendiri melibatkan pemerintahan dan fraksi – fraksi dari seluruh partai politik yang ada di DPR RI.

Baru – baru ini pemerintah mengesahkan Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Pada perjalanannya, pengesahan Undang – Undang ini terbilang sangat sengit, di dalam rapat paripurna di DPR RI terdapat beberapa fraksi yang masih tidak menyetujui sebagian isi dari Undang – Undang ini dan memilih untuk walk out, salah satu partai juga ada yang menyatakan akan melakukan uji materil Undang – undang ini ke Mahkamah Konstitusi. Fenomena ini tentunya memperlihatkan dengan nyata bahwa

(2)

pembentukan produk hukum sistem pemilu di Indonesia masih belum dapat mengakomodir aspirasi dari semua pihak atau belum tercapainya kesepakatan bersama dari semua pihak. Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini tentang Politik Hukum dalam Sistem Pemilu di Indonesia yang mencakup tentang apa itu Politik Hukum, Pemilu, dan bagaimana Sistem Pemilu di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

Dalam bab pembahasan penulis pertama – tama akan menjelaskan tentang apa itu Politik Hukum dari berbagai para ahli – ahli baik ahli ilmu hukum maupun politik. Kemudian penulis akan menjelaskan tentang bagaimana sistem pemilu yang dianut di Indonesia dari awal pasca kemerdekaan sampai dengan sekarang.

 Politik Hukum

Politik Hukum menurut Mahfud MD, merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam kerangka mencapai tujuan negara2.

Politik hukum, menurut Padmo Wahyono, merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.3 Politik Hukum berkaitan

dengan hukum yang diharapkan (ius constituendum), politik hukum yang sesungguhnya memiliki tujuan mulia yang ingin dicapai masyarakat, bangsa, dan negara untuk mewujudkan cita – cita bersama. Kebijakan hukum yang dikeluarkan tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu untuk mengabdi pada kepentingannya sendiri. Bernard L Tanya kemudian menegaskan, dalam perspektif politik hukum, hukum tidak boleh dimanfaatkan untk sembarang tujuan di luar tujuan ideal bersama.4

Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.5 Pada buku lain yang berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.6

Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional

melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.7

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat8.

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara tertentu.9 Namun dengan meyakini adanya persamaan substantif antarberbagai pengertian 2 Mahfud MD, Op.Cit. Hlm. 1

3 Padmo Wahyono, 1986.Indonesia negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan II. Ghalia Indoesia. Jakarta. 4 Bernard L Tanya, 2011. Politik Hkum : Agenda Kepentingan Bersama. GENTA Publishing: Yogyakarta. Hlm.11.

5Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm: 20.

6 Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm:151.

7 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm: 1

8 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm:35

(3)

yang ada, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi – materi hukum agar dapat sesuai dengan kebuthuan, kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegakkan hukum.10 Dalam hubungan

antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.11 Dari

pengertian para ahli, tentunya terdapat penjelasan yang berbeda – beda tentang politik Hukum itu sendiri, dapat dijelasakan bahwa Politik Hukum itu mengenai pembuatan suatu Hukum atau perundang – undangan oleh pemegang kekuasaan politik yang didasari pada cita – cita negara.

 Pemilu

Pemilihan Umum adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan suaranya dalam pemilihan.12 Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Menurut Karim pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar–benar memancar ke bawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat dan untuk rakyat.13 Dan menurut Rahman, pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia

bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.14 Sehingga kegiatan pemilihan umum itu sendiri merupakan suatu

sarana penyaluran hak asasi warga negara untuk memilih seorang penguasa atau pemimpin negara. Pelaksanaan pemilihan umum ini tentunya menjadi tahapan penting yang harus dilewati dalam penentuan pemimpin negara. Negara dalam hal ini pemerintah harus bisa menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum dapat berjalan sesuai dengan aturan atau prosedur yang berlaku sesuai Undang – Undang.

 Sistem Pemilu di Indonesia

Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan sistem perwakilan yang dikehendaki.15 Sistem pemilu dikenal sebagai salah satu mekanisme kelembagaan

terpenting dalam menentukan watak persaingan politik, dan sebagai salah satu alat yang akan digunakan dalam mengurangi konflik di tengah masyarakat.16 Pada dasarnya sistem

10 Abdul hakum garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja Latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.

11 Satjipto Rahardjo, Beberapa ..., op.cit. hlm. 71.

12 Abu Nashr Muhammad Al-Iman, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta, 2004, hlm: 29.

13 Karim, M. Rusli. 1991. Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 14 Rahman, A. 2007.Sistem Politik Indonesia.Yogyakarta : Graha Ilmu

15 Robert Scigliano, 1995, “Representation”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume III, (Washington D.C.: Congressional Quarterly Inc.), hlm. 1054-1055

(4)

pemilu dirancang untuk melaksanakan tiga tugas pokok.17 Pertama, menerjemahkan

jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama. Seperti halnya yang kita lakukan pada saat kegiatan pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR RI di tempat pemungutan suara, kegiatan tersebut merupakan bagian dari Sistem Pemilihan Umum yang metodenya mengatur serta memungkinkan warga negara memilih / mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih. Sistem Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme penentuan pendapat rakyat melalui sistem yang bersifat langsung. Pemilu bertujuan memilih orang atau partai politik untuk menduduki suatu jabatan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga eksekutif, seperti presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan MPR, anggota DPD dan MPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten, dan anggota DPD Kota.

Sistem Pemilihan Presiden di Republik Indonesia telah mengalami perubahan – perubahan dari masa ke masa. Sistem pemilihan pun selalu mengalami pembaharuan seiring negara Indonesia menjadi Negara demokrasi. Presiden Ir. Soekarno merupakan Presiden pertama Indonesia yang terpilih melalui mekanisme musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat satu hari setelah beliau menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada masa Presiden Soeharto yang sistem pemilihannya dengan penunjukkan oleh MPR dalam Sidang Istimewa MPR. Pada masa – masa berikutnya, pemilihan Presiden dilakukan dalam forum Sidang Umum MPR. Pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara, dan yang mempunyai hak suara untuk memilih Presiden hanyalah anggota MPR. Sampai pada masa Megawati menjadi Presiden, dilakukanlah segala persiapan untuk menciptakan pemilihan Presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak lagi melalui sidang umum MPR. Usaha ini berbuah manis ketika tahun 2004 Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan Presiden pertama secara langsung dengan mekanisme voting oleh ratusan juta jiwa rakyat Indonesia. Berikut akan lebih dijelasakan sistem pemilu yang dianut di Indonesia dari masa ke masa mulai pada zaman pasca kemerdekaan.

1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)

Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan Pemilu selalu menjadi program pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sudah dinyatakan untuk segera diadakan Pemilu secara nasional18 dan ketika pada tangga 14 November 1945 pemerintah

mengeluarkan maklumat tentang susunan Kabinet Sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan – tindakan demokratis yang lain yang harus segera dilaksanakan adalah mengadakan pemilihan umum. Namun rencana Pemilu selalu terhalang. Pada periode 1945 – 1949 rencana itu terhalang oleh peperangan melawan Belanda. Sampai pada tanggal 21 Oktober 1952 Kabinet Wilopo memutuskan secara resmi untuk mempercepat pemilihan bagi anggota konstituante dan DPR, dan paada tanggal 4 April 1953 diresmikannya UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. UU No. 7 Tahun 1953 biasa disebut UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemilihan dan

17 Andrew Reynolds, 2001, “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, (Bandung: Mizan), hlm. 101-102.

(5)

perangkat peraturan yang menata bagaimana Pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil Pemilu itu. Sedangkan Electoral Process adalah mekanisme yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara perhitungan, penentuan hasil, dan sebagainya. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem perwakilan berimbang (sistem pemilu proporsional) dengan sistem daftar dan sisa suara terbanyak.19 Dari ketentuan Pasal

35 UUDS 1950 dan muatan lengkap) UU No. 7 Tahun 1953, dapat dikeluarkan asas – asas : umum, periodik, jujur, berkesamaan (adil), bebas, rahasia, dan langsung.

Pada tahun 1955, pemilu dapat diselenggarakan oleh kabinet BH - Baharuddin Harahap. Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu 1955 berlangsung secara sangat fair dan dapat menghasilkan konstituante dan DPR yang lebih dari 75% anggotanya adalah orang - orang baru. Moehammad Roem menulis , bahwa pemilu 1955 sudah dilaksanakan dengan sangat baik, hak pilih, dan hak dipilih sebagai hak asasi diakui dan dilaksanakan dengan sebebas – bebasnya, dan dengan rule of the game yang dihormati oleh semua golongan dan dilindungi oleh penguasa secara adil.20 Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu

perorangan. Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk mendirikan partai politik. Selama kurun waktu 1959 – 1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpin menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.

3. Zaman Orde Baru (1965-1998)

Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia. Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama di bidang ekonomi.

Pada Zaman Orde Baru pemilu dilaksanakan berdasarkan sistem perwakilan berimbang dan pemerintah dapat mengangkat sebanyak 100 orang dari 460 anggota DPR yang akan dibentuk. UU No. 15 tahun 1969 dab No. 16 Tahun 1969 merupakan produk hukum tentang pemilu yang disahkan pada masa Orde Baru. UU Pemilu pada Orde Baru

19 Rusminah, op. Cit., hlm. 76. Tepatnya dengan D’Hont System: Lihat Afan Gaffar, Sistem..., ,op. Cit., hlm. 219.

(6)

dikualifikasi sebagai produk hukum yang berkarakter ortodoks/elitis/konservatif.21 Pada

masa ini Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun 1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.

4 . Zaman Reformasi (1998- Sekarang)

Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Di masa reformasi berbagai Undang – Undang bidang politik produk Orde Baru langsung diubah dengan pembongkaran atau asumsi – asumsi serta penghilangan atas kekerasan politik yang menjadi muatannya, berikut contohnya:

 UU tentang partai politik dan Golongan Karya diganti dengan UU tentang Kepartaian. Dalam UU ini rakyat diperbolehkan membentuk partai politik yang eksistensinya di parlemen bisa dibatasi oleh rakyat melalui pemilu dengan pemberitahuan electoral threshold dan/atau parliamentary threshold.

 UU tentang pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh Presiden. Ketentuan ini dimasukkan di dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni pasal 22E Ayat (5) yang berbunyi, , ”Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”

 UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak sejalan dengan perubahan UU tentang Pemilu. UU ini pada prinsipnya hanya berisi pengurangan terahadapjumlah anggota DPR yang diangkat serta pengangkatan anggota MPR secara terbukadan memasukkan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara yang baru sejalan dengan maandemen atas UUD 1945 bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

 UU tentang Pemerintah Daerah juga diganti, dari yang semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi berasas otonomi luas.

Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba. Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.22 Pada tanggal 15 Agustus

2017, Presiden Ir. Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017

tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang – undang ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan,

21 Mahfud MD, 2017, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 314.

(7)

dan 4 lampiran. Dalam Undang - Undang ini telah ditetapkan, bahwa jumlah kursi anggota DPR sebanyak 575 (lima ratus tujuh puluh lima), dimana daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/ kota, dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh)

kursi. Pada isi Undang – Undang ini terdapat beberapa hal yang menjadi isu krusial yakni

sistem pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil :

 1. Presidential Threshold: 20-25 Persen

Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden. Presidential threshold 20-25% maksudnya adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya.

2. Parliamentary Threshold: 4 Persen

Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk ke parlemen. Ini berarti parpol minimal harus mendapat 4 persen suara untuk kadernya bisa duduk sebagai anggota dewan.

3. Sistem Pemilu: Terbuka

Sistem proporsional terbuka berarti di kertas suara terpampang nama caleg selain nama partai. Pemilih juga bisa mencoblos langsung nama caleg yang diinginkan.

4. Dapil Magnitude: 3-10

Dapil magnitude atau alokasi kursi per dapil yakni rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 8/2012 disebutkan jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Hal ini yang disepakati.

5. Metode Konversi Suara: Sainte Lague Murni

Metode konversi suara mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Metode sainte lague murni menerapkan bilangan pembagi suara berangka ganjil seperti, 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Metode sainte lague ini dalam melakukan penghitungan suara bersifat proporsional yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.

III. PENUTUP

(8)
(9)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Makalah

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2017.

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.Padmo. 2010. Wahyono. Indonesia negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan II. Jakarta : Ghalia

Indoesia. 1986

Tanya, Bernard L, Politik Hukum : Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta : GENTA Publishing. 2011.

Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung : Sinar Baru, 1983.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung : Alumni, 1991.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Hakum, Abdul, garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja

Latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.

Muhammad Al-Iman, Abu Nashr, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta, 2004.

Karim, M. Rusli. Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991.

Rahman, A, Sistem Politik Indonesia.Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007.

Scigliano, Robert, “Representation”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume III, (Washington D.C.: Congressional Quarterly Inc.), 1995.

Reilly, Ben, “Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan”, dalam Julia I.

Suryakusuma, 1999, Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, (Jakarta: Almanak Parpol Indonesia), 1999.

Reynolds, Andrew, “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, (Bandung: Mizan), 2001.

Feith, Herbert, The Indonesian Election of 1955. Interim Report Series, Modern indonesia Project, Southest Asian program, Cornell University, Ithaca, New York, cet II, 1971.

Rusminah, Perwakilan ( Sistem dan lembaganya ) Berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945, dalam Padmo Wahono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.

Roem, Mohammad, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Surabaya : Budaya Dokumenter, 1971.

B. Internet

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi Baritan memang sering dilaksanakan oleh masyarakat Desa Wates Kabupaten Blitar, tetapi seiring berkembangnya zaman dan kemajuan (IPTEK), kebanyakan dari pemuda

3.3 Deteksi Tepi Operator Laplacian of Gaussian Proses mendeteksi tepi motif batik menggunakan operator Laplacian of Gaussian, berikut ini adalah hasil dari deteksi tepi

merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan selanjutnya pertanyaan tersebut diperdalam [8]. Melakukan observasi penelitian dilakukan secara langsung dengan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di serikat pekerja PT.Pantjatunggal kntting mill telak melakukan standar keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang

Alur pengujian pada game space shooter ini adalah mencari dua tipe player yang dapat mewakili player pemula dan player handal untuk mencoba game yang telah dibuat

Masyarakat berkembang suatu wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Lampung, banyak membutuhkan tanah untuk perorangan, badan hukum, maupun pemerintah daerah

Obzirom da albumin i bilirubin predstavljaju tipiĉne parametre kojima se mjeri sintetska (albumin) i ekskretorna (bilirubin) funkcija jetre, recentno je konstruiran

Jika Persyaratan sudah sesuai maka petugas memproses surat keterangan (pengajuan nomor induk kesenian), jika berkas persyaratan tidak sesuai maka berkas