BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011).
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko TB paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Kuman Mycobacterium Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (Herchline, 2013).
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer (Crofton, 20002). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Faktor- faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi TB adalah (Hiswani, 2002):
1. Faktor Sosial Ekonomi
Berhubungan erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Status Gizi
3. Umur
Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15–50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB paru.
4. Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.
2.1.3 Patogenesis TB paru
gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Orang dapat terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan dan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trachea-bronkhial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Namun bila tidak semuanya keluar, bakteri yang tinggal justru
menempel dan berkembang biak pada makrofag dan akan menginfeksi paru (Rahajoe, 2008)
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3. Berkomplikasi dan menyebar (Amin dan Bahar, 2009).
2.1.4 Gejala Klinis TB paru
seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes, 2007).
2.1.5 Cara Mendiagnosis Tuberkulosis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosa, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosa dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu- pagi sewaktu (S-P-S) (Depkes, 2007).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009).
1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) (PDPI, 2011)
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
2.2 Pengobatan TB paru
Pengobatan TB bertujuan untuk ;
1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas. 2. Mencegah kematian.
3. Mencegah kekambuhan. 4. Mengurangi penularan.
5. Mencegah terjadinya resistensi obat (PDPI, 2011).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes, 2007).
Pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap Awal (Intensif)
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007).
Panduan obat TB paru dapat dibagi atas 4 kategori, yaitu (Kemenkes, 2011): 1. Kategori I:
Kasus: TB paru BTA +, BTA -, lesi luas
Pengobatan: 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE; 2RHZE/ 4R3H3. a. Kategori II:
Kasus: Kambuh
Pengobatan: RHZES/ 1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/ 1RHZE/5RHE
Kasus: Gagal pengobatan
Pengobatan: kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE
Kasus: TB paru putus berobat
Pengobatan: 2RHZES/RHZE/ 5R3H3E3 b. Kategori III:
Kasus: TB paru BTA – lesi minimal
c. Kategori IV: Kasus: Kronik
Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
Kasus: MDR TB
Pengobatan: Sesuai uji resistensi+ OAT lini 2 atau H seumur hidup.
Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat.
Tabel 2.1 Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan Rifampicin Semua OAT diminum malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri Aspirin Kesemutan s/d rasa
Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi penjelasan pada pasien
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan
keseimbangan
Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang.
Bingung dan muntah – muntah (permulaan
ikterus karena obat)
Hampir semua OAT
Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol Purpura dan rejatan
(syok)
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal – gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
2.3 Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
(1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan,dan (2) tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium development goal (MDG) pada tahun 2015
Kegiatan pada program penanggulangan TB paru yaitu kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan
penemuan tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis atau tersangka TB paru dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Pengobatan TB paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
2.3.1 Strategi DOTS
Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun (WHO, 1999).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
1. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. 2. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
Komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan terhadap penanggulangan TB paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB paru dalam reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB paru harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan.
kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan
pemeriksaan radiografi, seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.
Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh penderita tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan penderita menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin penderita mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai.
Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendek adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Ethambutol (E). Oleh karena itu penggunaan Rifampisin dan Streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis melalui pemeriksaan radiologik, dan laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum penderita (Girsang, 2002).
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan (4-7 bulan) pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).
Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat. Komponen kelima yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru. Setiap penderita TB paru yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB paru yang ada di kabupaten. Kemanapun penderita ini pergi dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak sampai tercatat dua kali.
2.3.2 Uraian Tugas Pengelola Program Tuberkulosis Paru
1. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum b. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
c. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form TB 06 d. Membuat sediaan hapus dahak
e. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium f. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
g. Membuat klasifikasi penderita h. Mengisi kartu penderita
i. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
j. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.
2. Memberikan Pengobatan
a. Menetapkan jenis paduan obat.
b. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan.
c. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01. d. Menentukan PMO (bersama penderita).
e. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO. f. Memantau keteraturan berobat.
h. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya.
i. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita. 3. Penanganan Logistik
a. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas.
b. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll). c. Agar mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c.
2.3.3 Evaluasi Program
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi,
diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik
dan benar.
Pada prinsipnya semua kegiatan harus dimonitoring dan dievaluasi antara lain
kegiatan penatalaksanaan penderita (penemuan, diagnosis dan pengobatan), pelayanan
laboratorium, penyediaan obat dan bahan pelengkap lainnya . seluruh kegiatan tersebut
harus dimonitor baik dari aspek masukan, proses, maupun keluaran. Cara pemantauan
dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung, dan wawancara dengan
petugas pelaksanan program dengan masyarakat sasaran.
Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator
program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan
berdasarkan serangkaian kegiatan penanggulangan Tuberkulosis Paru yang meliputi
pencegahan, penemuan kasus, pengobatan dan kesembuhan
2.4 Landasan Teori
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebaga berikut:
1. Pemberian OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan katagori pengobatan.
2. Melakukan pengawasan langsung untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat.
a. Tahap awal pengobatan terdiri dari:
1) Pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan
b. Tahap lanjutan terdiri dari:
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
14
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir